Drama Perselingkuhan (Part 1 sampai 10)

12
3
Deskripsi

Menikah itu layaknya meminum seteguk kopi. Walaupun rasanya pahit, namun bikin ketagihan.


(1) Awal Menikah
 

"Nggak abis lagi, Mas?" tanya Dewi saat menyambut kepulanganku.

"Hemmm," sahutku, mengangguk sembari menyangga sepeda yang baru saja aku tunggangi dengan sebilah kayu, yang di rancang khusus sebagai tongkat penyangga tambahan agar tidak jatuh.

Dewi, yang sedari tadi berdiri di ambang pintu menungguku, keluar mendekat ke sepeda yang baru saja aku cagak, lalu membuka tutup panci yang ku ikat kuat dengan tali karet agar tidak terbuka saat dalam perjalanan. Seketika, aroma anyir langsung menyeruak keluar dari sana menyengat hingga ke lubang hidungku.

Mencium aroma tersebut, tiba-tiba saja perutku terasa mual. Bagaimana tidak, sudah sebulan ini, aroma anyir itu senantiasa menemani hari-hariku. Cepat aku berlalu meninggalkannya sendirian, menuju kamar untuk mengambil handuk, lalu bergegas pergi menuju kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan sekujur tubuh, aku membaringkan diri di atas kasur, meluruskan badan untuk mengusir rasa lelah. Kasur itu terletak di sudut kamar yang kecil begitu saja, tanpa adanya kaki penyangga sama sekali. Rumah ini baru saja kami tempati sekitar dua minggu yang lalu, setelah kami berdua memutuskan untuk pindah dari rumah mertua dan mengontrak di sini.

Rumahnya minimalis, hanya ada satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Ruang tamu dan dapur yang sangat kecil sekali.

"Tidak apa-apa kecil, Mas! Yang penting ada tempat kita untuk bernaung. Tidak basah terkena hujan, dan tidak panas tersengat matahari. Lagian, Dewi juga tidak terlalu repot untuk mengurusnya nanti jika Dewi sudah mendapatkan pekerjaan. Toh, kita juga bakalan jarang di rumah juga, kan! Cuma untuk numpang tidur doang," ucap Dewi untuk sekedar menghiburku, sembari memeluk erat tubuh ini sebelum kami tidur.

"Apa kamu merasa nyaman tinggal di tempat seperti ini?" tanyaku lagi, karena rumah yang kami tempati ini lebih cocok untuk kandang monyet.

Dewi mengangguk sembari tersenyum menatapku lekat. 

"Dewi merasa lega dan bahagia sekarang, setelah bisa keluar dari rumah ibu. Di sini kita berdua bisa bebas, tanpa harus diatur lagi oleh mereka, Mas."

Aku diam sejenak, menarik napas dalam. Kupalingkan pandangan ke langit-langit kamar, sembari menatap cahaya bulan yang mengintip dari celah atap yang berlubang.  Baru sadar, jika memulai dari awal kembali itu sangat sulit sekali, apalagi tanpa campur tangan dari orang tua.

Ah, sebenarnya untuk pengantin baru seperti kami ini masih sangat membutuhkan bimbingan dari mereka. Baik itu dukungan secara moral dan juga material. Kami sangat memerlukan bantuan. Namun, apa yang kami dapatkan dari mereka? Tidak ada. Mereka semua seolah-olah lepas tangan dan menganggap kami sudah mapan karena telah menikah.

Kakak, adik, saudara, ipar, semuanya menatap rendah kami saat masih menumpang di rumah ibu mertua. Okelah, jika mereka memperlakukan itu padaku, tidak apa-apa. Karena nyatanya aku memang orang asing yang menumpang di rumah orang tua mereka. Namun, hal ini mereka lakukan juga kepada Dewi, seolah-olah ingin mengeluarkan saudari mereka sendiri dari sana dengan dalih sudah menikah dan harus ikut dengan suami. Apakah hal itu perbuatan yang pantas untuk dilakukan?

"Sudah makan, Mas?" Suara Dewi menyadarkanku dari lamunan. Aku menggeleng.

"Pergi makan dulu sana! Dewi masak sup ayam tadi. Mumpung masih hangat." 

"Iya," jawabku masih tetap dengan posisi semula. Rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur. Selain karena seluruh persendian kaki terasa pegal karena mengayuh sepeda seharian, semangatku juga rasanya menghilang karena tidak membawa pulang banyak uang hari ini.

Ada, sih sebenarnya hasil penjualan cilok hari ini, namun sangat sedikit sekali. Untuk modal jualan esok hari saja masih kurang. Sedangkan jualan hari ini yang tidak habis, sudah semestinya di buang saja karena sudah tidak layak untuk di jual lagi. Cilok itu merupakan cilok kemarin yang tidak habis. Rasanya sudah terasa hambar karena terlalu sering dipanasi. Para bocah yang rata-rata duduk di sekolah dasar langgananku sudah banyak yang protes dengan mengatakan jika cilok yang ku jual tidak ada rasa sama sekali. 

"Kenapa ciloknya seperti rasa tepung saja, Jhon? Apa si Jhon lupa ngasi bumbu, ya?" Komplain beberapa anak yang membeli jualanku. Rasanya sangat malu sekali untuk menjawab pertanyaan mereka itu. Untung saja mereka masih anak-anak yang belum banyak mengerti, sehingga mudah untuk aku bohongi.

"Iya, Jhon! Tadi lupa ngasi garam," ucapku untuk meyakinkan mereka. Agar besok mereka mau beli lagi. 

Jhon itu panggilan anak-anak untuk kami para pedagang laki-laki yang berjualan di sekitar sekolah mereka. Entah darimana mereka mendapatkan gelar itu. Aku yang merupakan orang baru merintis disini, mengikuti kebiasaan mereka saja. Apa yang mereka bilang, begitu juga yang aku bilang.

Dewi mengambil posisi duduk di sampingku yang masih dalam posisi berbaring.

"Ciloknya dibuang saja ya, Mas! Rasanya sudah tidak enak," ucapnya sembari mengelus bahuku dengan lembut.

"Tapi, uangnya tidak cukup untuk buat yang baru."

"Dewi ada simpanan sedikit. Mas pakai saja untuk modal besok. Mudah-mudahan jualan Mas besok, bisa habis dan laris manis. Amin," ucapnya sembari tersenyum, dengan sebuah keyakinan yang besar. Berharap jika jualanku akan habis dan ramai pembeli.

"Kamu tidak menyesal, menikah denganku?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.

Dewi menggeleng." Tidak, Mas! Dewi tidak pernah menyesali keputusan Dewi untuk menikah dengan, Mas. Sekalipun hidup kita susah, bahkan jika Allah menguji dengan kesusahan yang lebih parah dari ini sekalipun, mudah-mudahan Dewi akan tetap setia untuk mendampingi, Mas," ucapnya tulus dengan penuh keyakinan.

Aku tertegun mendengar penuturan darinya, merasa bersyukur karena telah di titipkan oleh Tuhan wanita tegar seperti dia. Beruntung dapat memilikinya, walaupun usianya terpaut dua tahun lebih tua di atasku. Justru itu, yang membuatnya terlihat lebih dewasa dariku. Sedangkan aku sendiri, merasa malu dengan kelemahan yang kumiliki. Tak pantas rasanya aku harus senantiasa berlindung di bawah ketiak istri. Setiap ada masalah dalam biduk rumah tangga kami, Dewi Lah yang senantiasa mencarikan jalan keluarnya, bukan aku. 

Sama halnya dengan hidup mandiri seperti saat ini, awalnya aku merasa ragu saat Dewi mengajakku untuk mencari rumah kontrakan. Selain tidak memiliki uang, aku juga tidak memiliki pekerjaan tetap. Bahkan  sehabis menikah tempo hari, aku belum mendapatkan pekerjaan sama sekali. Mau ku kasi makan apa istriku nanti.

"Jangan takut, Mas sebelum kita mencoba terlebih dahulu. Yakinlah bahwa menikah itu merupakan jalan pembuka beribu pintu rezeki. Yang penting kita harus senantiasa berikhtiar dan tetap berusaha. Mana tahu, setelah kita tinggal di rumah kontrakan nanti, ada orang yang mau berbaik hati datang untuk menawarkan pekerjaan buat Mas, ataupun buat Dewi. Kan, tidak ada yang tahu," ucapnya kala itu untuk meyakinkanku. Dirinya terlihat bersemangat sekali untuk pergi meninggalkan rumah ini.

"Jikapun kita tetap tinggal menumpang di sini, mau sampai kapan? Dewi hanya tidak ingin mereka semua memandang rendah pada Mas. Biarlah kita bersakit-sakit dahulu, makan tak makan pun tidak mengapa, yang penting kita bisa keluar dari rumah ini secepatnya. Mumpung Dewi masih memiliki sedikit simpanan untuk mengontrak rumah. Jika uangnya nanti habis, mungkin kita tidak akan bisa lagi keluar dari sini. Bagaimana, Mas? Apakah Mas mau mendengar ucapan Dewi?" Dia menatapku dengan penuh harap. Memohon agar aku mau menuruti permintaannya.

Dengan setengah keyakinan, akhirnya aku menurut juga. Walaupun aku tahu bahwa semua ini akan sangat sulit untuk kedepannya. Jujur, saat ini aku memang belum siap untuk itu.

*****

(2) Piknik

 

"Namun satu hal yang perlu Dewi tegaskan buat Mas! Jangan sekali-kali Mas mencoba untuk selingkuh di belakang Dewi. Jika hal itu sampai terjadi, Dewi tidak akan pernah terima. Dewi siap untuk Mas ajak hidup susah, namun Dewi tidak akan pernah siap jika Mas ajak untuk hidup berpoligami. Ingat itu ya, Mas!" ucapnya serius menatapku.

Aku tersenyum mendengar perkataannya  itu, merasa bahwa prasangka buruk istriku itu terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin aku akan menambah istri lagi, sedangkan untuk menafkahi satu orang saja aku belum mampu. Namun aku juga merasa senang, sebab merasa dicintai sepenuh hati olehnya.

Pernikahan kami ini memang hanya dilandasi oleh rasa cinta semata. Dewi tak sekalipun  memberatkanku saat sebelum ijab kabul terucap. Dia tidak meminta banyak macam agar aku bisa mempersunting dirinya. Pokoknya, semua hal dia permudah tanpa mempersulit sedikitpun. Walaupun beberapa orang kerabatnya terdengar olehku mencibir dengan mengatakan bahwa hidupku terlalu enak, dengan datang tidak membawa apa-apa, namun di beri tempat istimewa. Tapi tak kuhiraukan. Biarlah Anjing bergonggong dan Kafilah berlalu. 

"Tidak usah di dengar, mulutnya memang seperti itu," ucap Dewi saat aku mengadu padanya kala itu.

"Kenapa? Apa kamu terlalu cinta sama Mas, hemmm?" Aku mencoba menggodanya.

Dewi merebahkan diri di sampingku, lalu memeluk tubuhku dengan erat. Hangat.

"Aku hanya tidak ingin di khianati," ucapnya lembut di telingaku.

"Aku juga tidak akan tega untuk mengkhianatimu, sayang. Dimana lagi aku akan menemukan wanita sepertimu. Mungkin, jika aku menghabiskan seluruh sisa hidupku sekalipun, berkeliling dunia untuk mencari wanita yang persis seperti dirimu,  itu hanya akan sia-sia. Sebab, wanita berhati mulia itu hanya tinggal kamu saja di dunia ini."

"Sungguh?"

"Hemmm."

"Alah, nanti Mas cuman gombal aja." Dewi mencubit perutku manja.

"Mas, serius," ucapku meyakinkan. Dengan menatap bola matanya dalam.

"Itu karena Mas belum melihat wanita lain di luar sana."

"Tidak. Mas tidak akan melihat mereka." 

"Itu karena hidup kita susah, Mas! Jika hidup kita senang, kaya raya, apa Mas masih sanggup untuk menjaga hati Mas untuk Dewi seorang?"

"Insya Allah."

"Serius?"

"Hemmm."

Dia kembali memeluk tubuhku erat. Alunan napasnya bergejolak naik turun membelai kulitku dengan lembut, juga terasa hangat. Ah, betapa nikmatnya menikah dan memiliki istri sah seperti ini. Apalagi jika kebutuhan hidup kita telah terpenuhi semuanya. Ah, rasanya jadi pengen traveling kemana-mana. Seperti mendaki gunung dan melewati lembah, misalnya.

Aku membalas pelukannya dengan hangat pula. Mencium keningnya secara perlahan dan berulang. Kulirik Dewi terpejam sambil tersenyum, pasrah menerima setiap kecupan yang mendarat di kulit lembutnya. Mulai dari kening, pipi, bibir dan akhirnya aku jadi menjelajah kemana-mana. Mulai dari mendaki gunung hingga memasuki kawah lembab yang tersembunyi di balik lahan gambut. Menikmati suasana pengantin baru berdua saja. Tanpa takut terdengar oleh orang lain dari luar sana.

Mungkin, hal ini yang diinginkan oleh Dewi dengan mengajakku untuk pindah cepat-cepat dan tinggal di rumah sendiri. Dia bisa bebas mengekspresikan hasratnya dengan berteriak manja yang membuatku semakin bergairah. Rasa letih siang tadi hilang sejenak tertutupi oleh hawa nafsu yang membara.

"Berapa ronde kita malam ini, Yang?" Suaranya terdengar manja, berbisik di telingaku, menggoda.

"Kamu mau berapa ronde, hemm," jawabku membalas bisikannya dengan menancap gas lebih kencang.

"Lama," desahnya, terdengar semakin menggairahkan.

"Yah, udah keluar," ucapku sembari mengurangi kecepatan gerakan naik turun.

"Ish." Dewi menepuk lenganku sebal. "Yayang curang."

"Abis kamu sih, mainnya berisik amat," jawabku ngos-ngosan.

"Curang," hardiknya lagi.

"Besok aja kita sambung ya!" Aku membujuknya agar jangan sampai merajuk. 

Belakangan ini, aku tidur lebih awal dari biasanya dan sempat menolak ajakannya beberapa kali karena faktor kelelahan, sehingga Dewi terlihat ketus padaku pada keesokan harinya. Untuk malam ini, biarlah kusenangkan hatinya terlebih dahulu. Entah itu pula yang menyebabkan rezekiku sulit dalam beberapa hari terakhir. Karena aku tidak menyenangkan hati istri terlebih dahulu.

"Curang," ucapnya lagi. Sewot.

"Oke. Oke. Abis ini kita ulangi lagi."

"Bener?"

"Iya, Sayang."

"Jangan tidur dulu ya."

"Iya. Iya."

Dewi tersenyum dan kembali memeluk tubuhku. Menunggu agar si kecil mau bangun lagi. Sesekali, dia mencoba membelai agar si kecil terjaga. Lama dia berusaha agar si kecil merasa terganggu dan tertantang kembali.

"Ngapain, Yang?" tanyaku saat melihat kerjaannya ditengah malam buta begini.

"Bangunin tuyul."

Kami tertawa lepas bersama, melupakan sejenak kehidupan di dunia nyata. Sebelum esok pagi datang menyongsong, saat matahari mulai menyingsing kembali kepermukaan bumi dari ufuk timur. Saat itu pula, kegalauan jiwa kembali melanda. Ketika aku akan kembali mengayuh sepeda pemberian mertua untuk mencari rezeki, menafkahi keluarga kecilku kini.

"Tadi Mas, keluarnya dimana?" tanya Dewi setelah kami terbaring lemas di peraduan karena kehabisan tenaga.

"Ha," jawabku setengah mengantuk.

"Tadi ngeluarinnya di mana?"

"Di dalam. Emangnya kenapa?" tanyaku lagi dengan mata yang mulai terasa berat.

"Kok didalam, sih! Bagaimana kalau Dewi hamil?" ucapnya khawatir.

"Haaa."

Bagaimana kalau dia hamil? Apa yang harus kami lakukan jika Dewi sampai hamil? Dari mana kami akan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan anak kami nanti. Mulai dari popoknya, biaya melahirkannya, dan tetek bengek lainnya. Sedangkan pekerjaan yang sedang aku geluti ini tidak begitu menjanjikan. Jangankan untung, malahan lebih sering rugi dan termakan modal.

Ada rasa getir yang melanda jiwa kami berdua. Sehingga kenikmatan sesaat tadi hilanglah sudah.

Sejak awal menikah pun, kami telah berencana untuk tidak memiliki momongan terlebih dahulu. Kami berdua berencana ingin meniti karir terlebih dahulu, dengan bekerja bersama-sama untuk membangun setidaknya sebuah rumah terlebih dahulu agar ada tempat untuk bernaung. Tidak tinggal di rumah kontrakan seperti ini. 

Setelah itu, barulah merencanakan untuk memiliki anak. Dari segi usia pun kami masih tergolong muda. Usiaku dua puluh tiga dan Dewi dua puluh lima. Jika kami mampu mendirikan sebuah rumah dalam tempo waktu sepuluh tahun, berarti usiaku masih tiga puluh tiga dan usia Dewi tiga puluh lima. Masih muda. Masih usia ideal untuk melahirkan. Tapi bagaimana kalau Dewi sampai kebobolan dan hamil? 

"Makanya, kalau lagi ena-ena itu jangan sampai terlena. Pokoknya Dewi tidak mau kalau sampai Dewi hamil ya! Mas harus tanggung jawab," ucapnya ketus menyalahkanku. 

Padahal, kesalahan ada pada kami berdua. Kenapa cuma aku yang harus bertanggung jawab. Bukankah hal itu harus kami tanggung jawabin berdua. Orang yang buatnya juga sama-sama. Ah, payah. Wanita memang egois. Sukanya hanya ingin menang sendiri dan menyalahkan orang lain.

"Iya. Iya. Sudah, kamu tidur saja. Mas juga sudah ngantuk. Takut besok kesiangan," ucapku untuk menenangkannya. Padahal, aku sendiri pun ikut merasa galau dan merasa ingin di tenangkan juga.

Bagaimana jika Dewi sampai hamil dan punya anak? Pertanyaan itu terus saja mengisi otak dan pikiranku. Ah, memang susah kalau hidup miskin. Bahkan hanya untuk punya anak saja pun rasanya masih takut. Takut jika anakku nanti menyesal lahir ke dunia ini karena terlahir dari keluarga miskin seperti kami. Di hina dan senantiasa di rendahkan. Dan aku tak mau anakku kelak mendapatkan perlakuan seperti itu.

****

Maaf yo kalau ceritanya agak uwu-uwu di bagian ini....🙏🙏🙏🙏

 

(3) Kang Halu

Seperti biasa, aku kembali mengayuh sepeda onthel pemberian Bapak mertua berisi peti jualan di belakang boncengan, ditengah keramaian hiruk pikuk lalu lintas pagi hari. Banyak ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah dengan menggunakan motor. Beberapa orang tua murid juga mengantar anaknya dengan mobil. Dan aku, mencari nafkah hanya dengan menggunakan sepeda tua ini. Mengsedihkan. 

Untung ini bukan kampung kelahiranku, melainkan kampung kelahiran istriku_Dewi. Jika tidak, mau ditaruh kemana mukaku ini jika sempat ketemu dengan teman sekolah dulu. Rata-rata dari mereka sudah banyak yang sukses. Kuliah, punya mobil, punya pekerjaan yang bagus, eh malah dapet jodoh yang sekufu pula. Apa nggak enak tuh hidup mereka. Malah berbanding terbalik dengan kehidupanku kini.

Rasanya cukup tidak adil bahwasanya Tuhan telah menuliskan nasib seperti ini untukku. Mau protes, tapi tak tau entah pada siapa. Sungguh, aku pun tak  pernah menyangka jika di abad yang serba canggih ini, aku masih mengayuh sepeda ontel untuk melakukan mobilitas, dari tempat yang satu berpindah ke tempat yang lain. Beringsut pelan seperti jalan kura-kura.

Dengan mengenakan busana serba merah, jaket dan topi berlogo bulu ayam dan Noah, aku mulai beraktifitas, menunggu bocah-bocah SD yang akan menuntut ilmu di sekolah-sekolah negeri yang kusam. Cat temboknya sudah banyak yang mengelupas dan berlumut. Pagar pembatas sudah banyak yang berkarat tersiram hujan dan tersengat terik matahari. Di situlah aku berdiri, menanti tangan-tangan mungil itu bermurah hati untuk merogoh koceknya dan menyodorkan uang recehan itu untuk menebus Cilok yang kujajakan. 

Seribu dua ribu, uang-uang kusut itu kini telah berpindah ke tanganku. Kedengarannya sedikit, namun untuk mendapatkannya saja sangat sulit. Saingan orang berjualan itu banyak. Macam-macam jajanan mereka tawarkan untuk menarik minat anak-anak untuk membeli. Harus banyak bersabar juga dalam menghadapi anak-anak yang baru tumbuh kepermukaan bumi itu. Ada yang bawel, judas, pelit dan perhitungan. Menurut sifat yang diwariskan oleh orang tua mereka masing-masing.

"Om, beli ciloknya seribu ya. Tapi kasi bonus dua."

"Iya."

"Aku juga, Om. Minta bonusnya tiga ya."

"Iya."

"Bonusnya kok cuman dua, Om? Tadi kan mintanya tiga."

"Iya, udah di kasi tiga tadi."

"Ah, Oom ini bohong. Tadi aku hitung cuma di kasi dua belas."

Eh, ternyata dia ikut ngitung juga. Padahal tadi aku masukin cepat-cepat.

"Cilok si Jhon ini nggak enak. Kemarin aku beli  cuman rasa tepung doang. Bagusan beli di tempat lain."

Kepala kau. Sudah nggak beli, malah menghasut orang lain pula supaya jangan beli. Masih kecil aja sudah kelihatan bakat ghibahnya. Gimana nanti jika sudah besar. Bakalan jadi provokator profesional nih, anak. Kadang kesal melihat bocah cilik tipe yang seperti ini.

"Iya. Aku aja kemarin sakit perut makan cilok si Jhon ini." Teman di sampingnya menyambung. Mendukung perkataan temannya tadi.

Siapa suruh pakai saus banyak-banyak. Di kasi sedikit katanya pelit, minta di penuhin. Rasakan aja sendiri. Sudah dekil, degil, kere. Eh, tukang hasut pula. Aku benci orang yang seperti ini.

"Jhon! Jaket sama topimu kok nggak pernah ganti. Pasti nggak pernah dicuci kan?"

Itu mulut apa comberan, sih. Kok rempong amat.

Kuhitung lembaran demi lembaran uang itu setelah anak-anak kembali masuk ke ruangan mereka masing-masing setelah bel berbunyi panjang, memanggil dari dalam ruangan guru. Sebentar lagi, aku akan beranjak pergi dari sini menuju ke sekolah lain. Di sana waktu istirahatnya sekitar sepuluh menit lagi. Jadi, masih bisa agak santai jalannya. Baru saja aku akan bergerak, tiba-tiba suara seseorang menghentikan langkahku.

"Mas! Mas!," panggil suara wanita dengan keras. Aku berhenti sembari menoleh kebelakang. Barang kali ibu itu mau beli. Kan lumayan dapat uang tambahan.

"Ini sampahnya tolong dikutipin dulu sebelum pergi, ya! Jangan cuma uangnya saja yang di ambil dari sini. Sampahnya di biarin berserakan di mana-mana. Jangan sampai besok-besok anak-anak nggak kami izinin lagi jajan di luar," ucap wanita yang mengenakan baju olah raga itu dari balik pagar besi.

"Iya, Bu. Iya." Aku menyangga sepedaku kembali, dan mulai memungut sampah yang berserakan di halaman bekas limbah jualanku.

"Sudah sering ku peringatkan, Bu. Tolong kebersihan lokasi ini sama-sama kita jaga. Jangan sampai kalian yang buat sampah, malah aku yang kena tegur. Namun, orang ini nggak mau dengar. Mereka pikir malah aku iri sama pendapatan mereka," sambung Mas Aji, Kang jualan pisang molen yang mangkal menetap di tempat itu. Dia tidak berpindah-pindah seperti kami yang lari ke sana lari ke sini demi mengejar sesuap nasi. 

Ah, baru jadi Kang pisang molen aja udah pandai angkat telor. Sok nyalahin orang pula. Ilfil melihat teman tipe yang seperti ini. Di depan orangnya aja berani terang-terangan bicara, bagaimana kalau kita tidak ada. Mungkin perkataannya akan lebih parah lagi.

*

Aku kembali mengayuh sepedaku. Kali ini agak terburu-buru karena jam istirahat sudah akan di mulai. Gara-gara mungutin sampah tadi, aku jadi tergesa-gesa seperti ini. Bahkan, hanya untuk menghayal sebagai pelipur lara sembari mengayuh sepeda saja kini sudah tidak sempat.

"Mas! Cilok." Suara seseorang kembali memanggilku. Suara wanita dan terdengar begitu lembut di telinga. Tidak seperti suara ibu guru tadi. Cempreng. Sudah tua, cerewet pula. Kok betah ya, suaminya pada wanita seperti itu. Andai aku suaminya, mungkin sudah lama aku tinggalin tipe istri toxic seperti itu. Mendengar suaranya saja aku sudah jijik. Mual. Mau muntah. Ih, sebal.

Aku menghentikan sepedaku dan mencari asal sumber suara itu. Saat ini posisiku sedang berada di depan sebuah gedung SMA. Setiap hari ruteku memang melewati jalan ini, namun tidak pernah singgah sama sekali. Di sini Kang ciloknya sudah sangat terkenal dan melegenda. Orangnya juga sudah sangat tua. Tapi masih kelihatan sehat walafiat. Untuk bersaing dengan Pakde itu harus mikir-mikir terlebih dahulu. Sebab menurut kabar yang kudengar, jika berani bersaing dengannya, jangankan manusia, bahkan seekor lalat saja tidak mau singgah ke jualan kita. Serem nggak tuh. Katanya sih, Pakde itu bawa tuyul. Tapi itu kata mereka ya, bukan aku yang bilang. Takutnya salah, jatuh fitnah. Aku hanya menyampaikan saja apa yang mereka katakan sebagai penyambung lidah. Biar lidahnya panjang, menjulur. Nanti, air liurnya bisa buat penglaris.

Pandanganku tertuju kepada sekelompok orang yang sedang duduk-duduk di bawah rindangnya pohon. Mereka memakai seragam olahraga. Mungkin habis olah raga, capek, istirahat, minum es, dan...lapar.

Eh, Mas Ridho mana? Kok nggak ada. Biasanya, dia mangkal di sini. Pandanganku menyapu ke sekitar, mencari jejak-jejak keberadaan Mas Ridho, Kang cilok yang sangat melegenda itu. Tapi nihil. Keadaan aman dan terkendali. Jadi, aku bisa bebas berjualan di sini tanpa harus takut bersaing dengan penjual lain yang jualannya sejenis denganku. Jika jualannya tidak sejenis denganku, itu namanya bukan saingan, tetapi teman. Dan di sini banyak. Ada Kang Es Air, Kang Pisang Molen, Kang Pecel, Kang Gorengan. Pokoknya banyak dech. Tapi, rata-rata dari mereka sudah pada tua-tua, rambutnya sudah pada ubanan dan kulitnya pada mengeriput. Pokoknya sudah pada bau tanah semua.

Tapi menurut kabar yang beredar, rata-rata anak dari mereka sudah pada berhasil, ada yang jadi Polisi, TNI, PNS dan macam-macam profesi sejenis lainnya. Pengen juga sih, jika nanti punya anak, bisa berhasil seperti anak mereka. Kan keren, seperti yang ada di berita-berita yang sempet viral, ' Anak Tukang Cilok Terpilih Menjadi Menteri Perdagangan Dalam Kabinet....'

Uh, betapa bangganya jadi orang tua seperti itu. Tapi, kapan ya? Kami kan belum punya anak.

*****

(4) Kepincut Anak SMA

Setelah sepeda yang kutunggangi berhenti, segera kuambil sebilah kayu yang kubawa dari rumah untuk menyangga peti agar tidak jatuh. Setelah itu, barulah  aku kembali menoleh ke arah sekelompok orang tadi. 

Sekumpulan anak remaja perempuan yang lagi asik ngerumpi. Paling lagi ngebahas Drama Korea, tuh. Dari raut wajahnya saja sudah bisa kelihatan jika mereka sangat mengidolakan Oppa-Oppa korea itu. Padahal masih gantengan aku lho, dari Oppa-oppa itu. Lihat aja nih, gayaku aja sudah mirip seperti Ariel Noah lengkap dengan jerseynya. Kurang keren apalagi coba?

Namun, para siswi yang rata-rata berusia baru empat belasan tahun itu hanya diam, santai, selow, cuek bebek, seperti tidak terjadi apa-apa. 

Eh, suara yang memanggil tadi mana ya? Kok nggak ada? Apa aku salah dengar tadi? Aduh, gimana, nih? Mau bergerak pergi, sudah terlanjur berhenti. Malu, dong.

Atau..., jangan-jangan mereka hanya iseng dan ingin mengerjaiku saja. Seperti yang viral-viral di youtube itu, tuh. Ngeprank kalau tidak salah namanya. Hanya untuk membuat sebuah konten semata. Ih, tega amat ya, mempermainkan orang susah. Aku ini lagi cari makan tau! Jangan hanya gara-gara keisengan kalian, istriku kelaparan di rumah.

"Tanggung jawab kalian, Woy! Cepat! Abang itu sudah nungguin dari tadi." Akhirnya, salah satu dari mereka buka suara juga.

Oh, syukurlah. Berarti telingaku masih normal. Bukan salah dengar tadi. Tapi, suara yang memanggil tadi, yang mana ya, orangnya? Kok nggak tanggung jawab, nih! Jangan sampai aku marah, nekat masuk ke dalam sana dan langsung menciumnya sekalian. Biar kapok. Karena dia sudah berani mempermainkanku.

Eh, kok di cium? Ya iyalah. Kalau di pukul entar masuk penjara. Mendingan di cium, paling minta di kawinin.

Tapi, anak-anak itu tak satupun yang bergerak dari tempat duduk mereka semula. Mereka hanya saling dorong, saling sikut, dan bahkan saling tuding dengan menyuruh tanggung jawab.

Emangnya aku hamil, apa? Sehingga harus ditanggung jawabin.

Aku masih berdiri, menunggu dan jadi salah tingkah sendiri. Antara ingin pergi dan tetap bertahan di sini. 

Jika aku pergi, kemungkinan sekolah SD yang akan aku tuju semula, sudah pada keluar istirahat. Telat dong. Andaipun aku lanjut ke sana, kemungkinan besar uang jajan mereka sudah habis. Ah, mendingan aku tungguin di sini aja dulu. Tidak apa-apa. Tidak akan lari gunung di kejar, kecuali gunung kembar. Eh.

Toh, kalau rezeki, pasti akan datang sendiri. Yang penting, sabar.

Tak lama, salah satu dari anak cewek itu bangkit dan datang menghampiriku. Dia berdiri di balik pagar pembatas sekolah. Sedangkan aku, berdiri di luarnya saja. Tepat di pinggir jalan.

"Ciloknya dua ya, Bang! Sambelnya yang banyak!" ucapnya dari dalam.

"Iya, Kak!" jawabku sembari membuka tutup panci. Untung ciloknya masih baru, masih segar. Baru di olah pagi tadi. Kalau tidak, bisa malu-maluin, dong. Nggak ada rasa. Anak SD aja komplain, apalagi anak SMA.

"Dua ribu ya, Kak?" tanyaku memastikan. Sembari memasukkan butiran cilok itu kedalam kantongan plastik dengan menggunakan sendok garpu yang sudah dimodifikasi.

"Dua bungkus, Bang! Lima ribu lima ribu, ya!" jawab anak gadis remaja itu.

Alhamdulillah, lumayan, batinku dalam hati. 

Enak kalau dapet pelanggan anak SMA atau orang dewasa kek gini. Uangnya bisa cepat dapat banyak. Tapi, ya gitu. Orangnya pada malu-malu. Mungkin mereka pikir aku masih lajang, jadinya kegeeran. Eh, malah aku jadi ikutan grogi. Lihat, nih! Tangan aku aja sampai gemetaran masukin ciloknya. Abisnya dilihatin terus, sih.

Setelah selesai, aku langsung mengulurkannya pada gadis itu dan mulai membungkus pesanannya yang satu lagi. Kulirik, dia langsung memakannya, menjujut langsung dari dalam bungkusan plastik. Tanpa menggunakan pincuk lidi yang telah ku sediakan tadi.

"Enak, woi! Enak lho cilok Abang ini! Nggak mau kalian?" serunya pada teman-temannya yang masih ngumpul seperti kotoran lembu. Menumpuk.

"Maulah, aku pesan lima ribu."

"Satu lagi ya, Bang!" perintah gadis itu.

"Iya. Iya." Aku mengangguk sembari menabur senyum. Senang dapet lima belas ribu. Sudah bisa, nih buat nafkahin istri.

"Aku juga mau, Mei!" Terdengar teriak yang lain dari jauh.

"Satu lagi ya, Bang!"

Akhirnya aku sangat sibuk sekali. Apalagi harus bolak-balik, berjalan antara peti sepeda dan pagar pembatas sekolah. Lumayan jauh, tidak terjangkau oleh uluran tangan. Saking sibuknya, sehingga aku tidak sempat untuk melihat wajah-wajah daun muda itu lagi. Sekarang, sudah banyak yang mendekat ke dinding pagar karena tidak sabar menunggu antrian.

"Sini Bang! Aku bantuin. Abang bungkus aja, biar aku yang anterin." Suara seseorang mengejutkanku. Sekilas kulirik ke arah dadanya, untuk melihat siapa nama anak itu. Kok baik banget, mau bantuin orang yang lagi sibuk dan membutuhkan bantuan banget. Masih kecil. Baru tumbuh mungkin. Eh, mikir apa aku.

"Enak ya, cilok Abang! Lain dari yang lain," ucap anak itu memuji. Alhamdulillah, baru kali ini ada yang memuji masakan ane. 

Aku hanya tersenyum, merasa tersanjung oleh pujiannya. Apalagi yang memuji itu cewek. Wah....Seneng banget rasanya.

"Kalau sore, Abang mangkal dimana? Kok nggak pernah liat?" tanyanya ramah.

"Oh, di sana." Aku menyebut salah satu tempat biasa aku mangkal jika sore hari. Tempatnya enak, pinggir laut. Jualan sambil melihat nelayan pulang dari melaut.

Biasanya jika mereka pulang, akan banyak anak-anak yang menunggu di pelabuhan tempat kapal nelayan bersandar. Masing-masing mereka membawa kantongan kresek untuk meminta ikan pada para nelayan itu. Katanya untuk dimakan. Padahal, anak-anak yang mayoritas berambut pirang mirip bule itu berbohong. Ikannya mereka tawarkan kepada orang-orang yang mau beli. Sekilo atau dua kilo gram ikan segar di jual dengan harga murah. Siapa yang tidak mau coba?

Tapi, yang namanya nelayan, tetap akan memberikan jatah itu walaupun mereka tahu ikannya bakalan di jual, bukan untuk dikonsumsi sendiri. Karena mereka tahu bahwa mereka mencari rezeki di alam bebas. Dan diantara rezeki yang mereka dapatkan itu, ada banyak hak orang lain di dalamnya. Termasuk hak anak-anak itu.

Istilahnya rezeki laut, jika ada yang meminta untuk di makan, namun tidak di beri, katanya akan sial pas waktu melaut lagi. Makanya, mereka takut. Karena mereka percaya tentang hal itu.

Kalau ikan yang di minta oleh anak-anak itu laku mereka jual, mereka akan datang kepadaku, membeli daganganku. Seribu dua ribu rupiah, kan lumayan untuk nambahin beli saus.

Ah, orang dagang itu harus banyak perhitungan. Bahkan lima ratus rupiah pun harus masuk hitungan juga. Parah kan?

"Bagusan Abang jualannya di depan Ganesha aja, Bang! Kalau sore, banyak anak les Bahasa Inggris di sana. Orang jualan juga rame," ucap gadis itu memberi tahu. 

Gemes dech, mendengar suaranya yang merdu. Itu baru ngomong, belum nyanyi.

"Yang di jalan pelajar itu, ya?"

"Iya. Abang tau?" 

"Tau." Aku mengangguk.

"Kenapa nggak jualan di sana?"

"Banyak saingan."

"Oh. Kalau nggak mau bersaing, jualan di hutan aja, Bang!"

"Jadi, siapa yang mau beli?"

"Monyet, kali mau, Bang," jawabnya tertawa.

"Abang ini lucu, jadi pedagang kok malah takut bersaing. Abang baru ya, jualan?" Aku mengangguk. 

Kok nyaman banget ya ngomong sama adek ini. Orangnya cepat akrab. Rame dan seru. Apalagi orangnya, lumayan....

******

(5) Kete

Cantik.

Ah, tidak. Masih cantikan lagi istriku. Belum ada yang bisa menandingi kecantikannya hingga saat ini. Cantik luar maupun dalam. Apalagi sifatnya juga sudah dewasa. Kalau yang ini, emang aku akui. Tapi, masih bau kencur. Masih bocil. Nggak-le-vel.

*

Hari ini aku cepat pulang. Daganganku laris manis berkat bantuan anak itu tadi. Sepertinya, dia memiliki bakat terpendam sebagai pedagang. Orangnya super pede dan menjual. Dia tidak merasa canggung sedikitpun untuk menjajakan daganganku kepada teman-temannya. Bahkan kepada kaum pria sekalipun.

"Enak wei, cilok abang ini! Nggak mau beli kalian? Entar nyesel, lho. Bentar lagi habis, nih," serunya kepada orang-orang yang ngumpul di situ. 

Dengan begitu, banyak diantara mereka yang penasaran untuk mencoba. Apalagi yang beli memang lumayan ramai. Jadi, cepat ludes.

"Kenapa buatnya sedikit sekali, Bang?" tanyanya setelah cilokku hampir tatas.

"Iya. Masih baru, Kak! Jadi, buatnya dikit-dikit aja. Yang penting habis."

"Oooo. Besok buat banyak aja, Bang! Kalau segini mah, tanggung jualinnya."

Apanya yang tanggung. Biasanya, sampai malam aja belum tentu habis. Kan sayang jika harus  terbuang tiap hari. Mana modal buatnya mahal lagi.

Aku hanya menyunggingkan bibir, tersenyum menanggapi ucapannya. Mencoba bersikap ramah mengimbanginya. Kapan lagi dapat asisten gratisan seperti ini.

"Kok cepat pulang, Mas?" tanya Dewi begitu aku sampai rumah dengan raut wajah khawatir. Mungkin berpikir jika terjadi apa-apa denganku sehingga cepat balik. Tak biasanya 'kan pulangnya jam segini.

"Udah habis," jawabku menyunggingkan bibir, tersenyum. Bawaannya happy aja hari ini.

"Ha. Kok cepat?" ucapnya tak percaya.

"Alhamdulillah, banyak yang beli. Mas Ridho nggak jualan hari ini. Jadi, aku jualan di depan SMA."

"Alhamdulillah," ucapnya bersyukur dengan wajah ceria.

"Iya. Mungkin itu berkat doamu tadi malam. Ternyata manjur juga. Berarti, kita harus sering-sering nih, ngelakuinnya biar rezeki kita semakin lancar," godaku padanya.

"Enak aja. Cukup sekali seminggu aja. Kalau sering-sering juga nggak enak. Cepat bosan."

"Ya udah, deh kalau tidak mau. Tolong ini diberesin dulu ya. Mas capek. Mau istirahat dulu."

"Ya udah. Biar Dewi beresin. Tapi...." Dia diam sejenak sembari menadahkan tangannya.

"Apa?"

Dia memberi kode dengan menggesek-gesekkan jari telunjuk dengan ibu jari.

"Saranghae!"

"Ish. Bukan."

"Jadi?"

"Duit. Duit."

"Kok tumben minta duit?"

"Kan jualannya habis."

"Kalau habis, emang kenapa?"

"Bagi dong!"

"Untuk apa?"

"Mau beli handbody, biar kulit Dewi lembab. Lihat, nih! Kering dan pecah-pecah."

Tanpa menoleh, aku langsung menjawab ucapannya. "Gini aja udah cantik. Sayang duitnya kalau untuk buat beli hal yang nggak penting seperti itu. Sudah nyarinya susah. Mendingan ditabung aja. Mana tau besok ada keperluan mendesak yang jauh lebih penting, 'kan tinggal ambil."

Tiba-tiba kulihat wajahnya berubah cemberut, tidak seperti tadi lagi. Sepertinya Dewi tidak senang dengan ucapanku barusan. Apakah aku salah untuk mengingatkannya agar jangan terlalu boros. Jika nyari uangnya tadi gampang, tidak masalah. Ini mah, sulitnya minta ampun. 

Apalagi aku juga tidak ingin hidup kami begini-begini terus. Aku juga pengen maju. Setidaknya, dalam beberapa bulan ke depan harus bisa beli motor untuk jualan. Tidak mesti harus baru, motor seken pun tidak apa-apa asal ada mesinnya. Supaya jangan naik sepeda lagi. Sudah jalannya lamban, dengkulku pun terasa pegal setiap malam. 

Toh, aku juga tidak banyak menuntut agar dia terlihat cantik. Begini aja sudah cukup. Aku mencintainya tulus dan apa adanya. Jadi menurutku, tak perlu buang-buang uang untuk hal gak penting seperti itu.

Tapi Dewi, sudah tidak mau bicara lagi. Setelah membereskan ini dan itu, dia tidak masuk ke kamar untuk menemaniku, bertanya tentang perjalananku hari ini. Bercerita, memberi semangat sembari membawakan secangkir teh hangat atau kopi. Jika lagi mau, dia juga memijati tubuhku yang pegal linu. Tapi, kenapa dia langsung berubah saat aku tak memberinya uang untuk hal yang nggak terlalu penting.

Jika yang dia pinta tadi untuk kebutuhan pokok, pasti aku beri karena itu merupakan kewajibanku. Tapi ini.... 

Ah, perempuan memang tidak ada rasa bersyukurnya. Di kasi rezeki berlebih oleh Tuhan, malah ngajak ribut. Maunya langsung ingin hura-hura dan berfoya-foya terus. Nggak mikirin bagaimana sulitnya perjuangan suami di luaran sana untuk mendapatkannya.

Ah, dari pada pusing mikirin dia, lebih baik aku berkhayal untuk menghibur diri. Membayangkan anak abege yang membantuku jualan tadi. Sepertinya, gadis itu lebih cocok jika diajak untuk bekerja sama. Andai Dewi bisa seperti dirinya, mungkin hidup kami akan jauh lebih baik.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, anak itu tadi....

Ah, cantik. Wajahnya cantik, hatinya juga, baik.

Lama aku berbaring di tempat tidur, guling sana guling sini, gelisah. Sampai aku teringat bahwasanya tadi aku membeli sebungkus nasi padang, pakai rendang untuk dimakan berdua, bersama-sama. Mumpung ada rezeki, sesekali tak apalah makan enak, pikirku tadi. Tapi jadi lupa karena sikap yang di tunjukkan Dewi kepadaku tadi.

Aku keluar dari kamar dan mendapati nasi bungkus yang tadi kubeli masih utuh di balik tudung saji. Segera ku cari Dewi agar kami bisa menikmatinya bersama-sama. Agar berkesan romantis, sebungkus makan berdua. So sweet. Selain itu, bisa lebih hemat juga. Kulihat dia sedang termenung seorang diri di serambi depan.

"Sudah makan, Yang?" tanyaku padanya dengan lembut.

Dia hanya diam, tak menggubris pertanyaanku.

"Makan, yok! Entar nasinya dingin, lho," ucapku lagi dengan lembut. Membujuk.

"Makan aja pencarian kau itu," jawabnya ketus, sembari bangkit dari tempat duduknya. Berlalu pergi, kemudian membanting pintu kamar dengan kuat.

Ah, bikin emosi aja. Dia pikir, aku akan mau membujuknya lagi dan minta maaf segera. Tak usah ye....

Emangnya aku salah apa?

****

(6) Kepikiran Terus

Ini hari ketiga aku jualan di tempat yang sama. Di depan sekolah SMA. Kelihatannya hari ini Mas Ridho tidak jualan lagi. Syukurlah. Mudah-mudahan dia tidak jualan lagi untuk selamanya. Sudah tua juga sih. Buat apa lagi cari uang banyak-banyak, coba? Sudah saatnya dia pensiun dan menikmati hasil pencariannya selama ini. Beri kesempatan kepada kami yang muda-muda ini untuk berkreasi. Jangan serakah. Toh kalau mati nanti, uangnya juga tidak akan dibawa.

"Abang kok pandai buat cilok begini? Ini dibuat sendiri atau orang tua abang yang buatin?" tanya Mei disela-sela kesibukan kami.

"Abang sendiri yang buat."

"Kok bisa?" 

"Dulu abang pernah kerja di warung bakso."

"Oooo." Dia manggut-manggut.

"Kenapa berhenti?"

"Gajinya kecil. Sudah nggak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga abang lagi, jika terus dilanjutkan ."

"Abang bantuin orang tua juga?" 

"Tidak."

"Jadi?"

"Untuk kebutuhan keluarga sendiri."

"Maksudnya abang punya keluarga sendiri, gitu?" tanyanya penasaran. Dengan tatapan penuh selidik.

Aku mengangguk sembari tersenyum.

"Abang sudah menikah?" tanyanya lagi, seakan-akan tidak percaya.

"Iya."

"Serius, abang sudah menikah?" Dia terlihat masih belum percaya juga.

"Iya. Serius. Jika belum menikah, mana mungkin abang mau kerja seperti ini," ucapku meyakinkan.

Tiba-tiba saja kulihat wajahnya berubah datar, seperti kecewa. Tidak ceria lagi seperti tadi. Dan setelah itu, dia hanya diam saja. Namun, masih mau menemaniku, membantu untuk melayani pembeli. 

Dengan ekspresi yang ia tunjukkan saat ini membuat aku merasa canggung sendiri. Kenapa tadi aku berkata jujur jika hanya untuk merusak suasana saja. Lebih baik aku tadi berbohong saja demi menjaga perasaannya. Tak apalah sedikit berbohong jika itu demi kebaikan bersama. 

Eh, tapi, kenapa dia berubah cemberut begini ya? Apakah dia sedang cemburu?

Aku mencoba tetap bersikap tenang, tak mau terlalu terbawa perasaan atau malah kegeeran tentang asumsi ku barusan. Nggak mungkinlah dia sampai naksir sama aku, sedangkan aku, yah lihat saja sendiri. Nggak ada yang bisa dipandang dari hidupku ini sedikitpun.

"Mei, itu cowokmu ya? Dari kemarin lengket terus. Apa nggak ada lagi cowok lain yang mau sama kamu selain tukang cilok?" Segerombolan laki-laki datang mendekati kami sembari meledek Mei.

Oh iya, gadis ini namanya Mei. Teman-temannya juga memanggil dengan sebutan demikian. Mei. Tapi aku tidak tahu entah Mei apa kepanjangannya. Segan untuk bertanya. Takutnya dia salah paham dan menganggap aku peduli dan menyukainya. Padahal sesungguhnya, ada sih rasa itu. Tapi cuma sedikit. Hanya secuil saja.

"Abang ini udah nikah tau! Kalau dengar istrinya, abis kalian kena marah," ucap Mei ramah menjawab ledekan mereka.

"Apa? Abang ini sudah nikah?" Kali ini, teman ceweknya pula yang menanggapi ucapan Mei tadi.

"Iya." Mei mengangguk.

"Ah, nggak percaya."

"Iya, lho."

"Iya, Bang! Abang sudah nikah beneran?"

Aku mengangguk. "Iya. Emangnya ada nikah bohongan?"

"Ah, masak sih. Emang usia abang sudah berapa? Kami kira masih lajang lho, Bang! Nggak kelihatan dari mukanya kalau abang sudah nikah."

Aku hanya tersenyum, tak berniat untuk menjawab pertanyaan teman Mei itu. Nggak penting juga, sih.

Tapi, bagaimana dengan Mei? Apakah setelah ini dia akan pergi menjauh dariku? Ah, sudahlah. Buat apa juga aku terlalu memikirkannya. Toh besok-besok aku nggak jualan di sini lagi, kok.

*

Hari ini aku pulang cepat lagi. Kali ini, aku membawakan sebungkus bakso untuk Dewi. Aku tau itu merupakan makanan favoritnya. Walaupun selama tiga tahun bekerja di warung bakso, tidak lantas membuatnya merasa bosan untuk memakan makanan yang terbuat dari campuran tepung tapioka dan daging sapi giling itu. Hitung-hitung untuk mengambil hatinya kembali yang sudah tiga hari tidak mau bicara padaku.

Sebenarnya, banyak hal yang ingin aku sampaikan padanya. Termasuk ingin memberitahu bahwasanya selama tiga hari ini jualanku cepat habis, berkat telah di tolong oleh seorang malaikat kecil. Tapi karena dia hanya diam membisu, apa yang ingin aku sampaikan itu hanya kupendam seorang diri. Tak tersalurkan. Dan itu rasanya.... 

Ah, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Yang! Ini ada bakso untukmu. Cepat dimakan selagi masih panas." Aku masuk kedalam kamar dan mendapati Dewi sedang rebahan di atas kasur.

"Yang. Ini ada bakso. Mau nggak?" Dia hanya diam. Tak menjawab ucapanku.

Segera ku sentuh lengannya untuk membangunkan. Mana tau dia sedang tertidur.

"Yang. Ada bakso. Mau nggak?"

Dewi terjaga dan segera bangkit. Namun belum beranjak dari tempat tidur.

"Mau nggak? Nanti aku habisin, lho" ancamku padanya.

"Kok tumben ingat sama istri," ucapnya ketus.

"Kan memang setiap hari ingat. Emang apa aku pernah lupa?"

"Kemarin waktu bawa nasi bungkus, dimakan sendiri. Dewi nggak ditinggali."

Oh, karena itu perkaranya makanya aku dicueki selama tiga hari ini.

"Tapi Dewi nggak mau saat Mas tawari kemarin."

"Namanya juga orang lagi merajuk." Kini gaya bicaranya sudah terdengar sedikit lembut. Namun sikapnya masih jutek seperti tadi.

"Jadi, kenapa Mas yang disalahin?"

"Ya iyalah. Kan nggak mungkin jika Dewi mau nyalahin suami orang. Orang Dewi merajuk karena gara-gara Mas juga."

"Ya sudah. Kalau begitu Mas minta maaf ya, jika selama ini Mas telah menyakiti atau menyinggung perasaan Dewi. Mulai hari ini, Mas berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sakit rasanya saat dicueki istri sendiri seperti itu. Sepanjang hari kepikiran terus sama Dewi. Takut jika Dewi pergi minggat dari rumah. Mas harus nyari kemana, coba?"

"Makanya hati istri itu dijaga kalau merasa takut kehilangan. Kalau istri itu minta sesuatu, apa salahnya jika sesekali dituruti. Bukan pun setiap hari Dewi minta dibeliin ini dan itu sama Mas. Lagian, karena Dewi tau bahwa Mas punya uang berlebih, makanya Dewi pinta. Tak baik jika laki-laki dibiarkan memegang uang banyak-banyak. Nanti penyakitnya bisa kambuh. Penyakit main perempuan di luar sana."

"Ya ampun, Dek, Dek! Kok bisa-bisanya adek berpikiran jahat seperti itu sama Abang. Apa pernah selama ini abang berbohong sama adek. Begini-begini abang ini orangnya setia lho, Dek. Adek kan tau sendiri bagaimana sifat abang dari dulu. Adek kan sudah mengenal abang lama, kenapa masih curiga sama abang, sih?" ucapku membela diri. Menyayangkan ucapannya.

"Abang? Sejak kapan Dewi memanggil Mas dengan sebutan Abang. Jangan-jangan feeling Dewi benar. Mas sudah punya selingkuhan di luar sana, iya?" Sorot matanya menatap tajam ke arahku. Tatapan penuh selidik.

Ah, kenapa aku sampai salah ngomong dengan menyebut diriku sendiri Abang di hadapan Dewi. Apakah aku masih kepikiran terus kepada Mei, ya? Kenapa wajah anak itu tiba-tiba berubah datar saat aku bilang sudah menikah. Apakah benar, dia merasa kecewa padaku. Kalau benar, kok bisa?

****

(7) Gawat

"Bu... bukan begitu maksudnya, Dek! Mas hanya terbawa suasana saja tadi. Saat berjualan, biasanya Mas menyebut diri Mas, dengan panggilan Abang kepada pembeli." Aku beralasan. Mudah-mudahan Dewi percaya dengan semua ucapanku dan tak memperpanjang masalah ini lagi.

"Yang bener?" Dia menatapku dengan tatapan serius.

"Iya lho, Sayang. Dewi tau sendiri 'kan bagaimana sifat Abang selama ini. Eh, maksudnya, Mas. Mas tidak mungkin berbicara dengan sembarangan orang. Apalagi sama cewek. Masa Dewi nggak percaya sama Mas. Jangan-jangan Dewi cemburu buta ya, sama Mas?" Aku mencoba menggodanya agar dia tidak merasa curiga lagi.

"Itukan dulu sewaktu kita belum menikah, Mas! Biasanya sifat seseorang itu akan berubah seratus delapan puluh derajat saat sudah berumah tangga. Yang dulunya jahat, bisa jadi baik luar biasa. Dan begitu juga sebaliknya, yang dulunya baik bisa berubah jahat luar biasa. Ada lho kejadian, suami temannya Dewi sendiri yang dulunya rajin kerja sekarang malah malas-malasan setelah sudah menikah. Hanya bergantung pada istrinya saja. Dewi hanya tidak ingin jika Mas berubah seperti itu. Boleh berubah, asal jangan banyak-banyak. Itupun berubahnya ke arah yang lebih baik."

"Iya. Iya. Mas tidak akan berubah sedikit pun untuk Dewi. Mas berjanji akan tetap seperti ini sampai kapanpun jika itu yang Dewi inginkan. Tapi, Mas juga tidak ingin jika Dewi berubah manja dan tukang merajuk seperti ini lagi, ya!" Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya sehingga tatapan kami saling beradu. 

"Janji?"

"Hemm." Dewi menganggukkan kepala pelan. 

Lalu sebuah kecupan lembut kudaratkan tepat dikeningnya sebagai tanda cinta. Lega. Masalah selesai. Mudah-mudahan Dewi tidak menaruh curiga dan merasa cemburu buta lagi kepadaku.

"Pergi mandi sana! Mas bau," perintahnya sembari mendorong tubuhku menjauh.

"Bentar lagi. Mas masih lelah. Pengen istirahat dulu sebentar."

"Ish, Mas jorok, dech. Pergi cepat mandi sana! Biar segar."

"Bentar lagi lho, Sayang!"

"Cepetan! Dewi lagi mau, nih," ucapnya manja.

Dia masih saja mendorong-dorong tubuhku agar segera keluar dari kamar menuruti perintahnya.

Eh, apaan itu maksudnya? Apakah itu merupakan sebuah kode rahasia?

*

Pagi ini aku kembali berangkat jualan menuju tempat biasa aku mangkal. Sekolah SD yang jaraknya paling dekat dengan kediaman kami. Setelah mereka masuk kelas, aku tidak lantas pergi. Aku berdiam diri sejenak, menaksir-naksir kira-kira anak SMA sudah masuk apa belum. Aku tidak ingin berjualan di sana lagi. Selain masih merasa canggung untuk bertemu dengan Mei, aku juga tidak ingin merusak hubunganku yang mulai membaik dengan Dewi. Bagaimanapun juga, Dewi merupakan istri yang sah untukku. Sudah layaknya aku memperlakukannya dengan baik. Walaupun yang di sana terlihat lebih segar, namun itukan rumput tetangga. Tak patut aku berharap banyak padanya. Takut jadi dosa.

Selang beberapa menit kemudian, barulah aku bergerak. Tak apa kehilangan banyak pemasukan untuk hari ini. Toh, kalau rezeki takkan lari kemana. Nanti juga datang sendiri. Buat apa juga banyak uang jika kita tidak merasa bahagia. Berantem. Berantem. Berantem hanya perkara uang. Lebih baik sedikit asal mencukupi. Itu baru berkah namanya.

Setelah melewati gedung SMA, kulihat para siswa sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang siswa yang terlihat masih berkeliaran di halaman sekolah, belum masuk ke dalam kelas. Dan Mas Ridho terlihat sudah berjualan kembali. Ah, syukurlah. Berarti, mulai besok aku sudah bisa leluasa lewat dari sini. Beraktifitas normal seperti biasa kembali. Terbersit rasa lega dalam hati.

*

Hari ini rasanya tidak bersemangat dalam berjualan. Daganganku terasa sepi sekali. Sudah hampir jam empat sore, Cilok yang kubawa masih banyak tersisa. Mungkin karena efek ramai selama tiga hari belakangan ini, membuat aku kehilangan gairah untuk hari ini. Biasanya, jam segini aku sudah pulang, bisa selonjoran di atas kasur melepas lelah. Dan saat ini, aku masih disini, menunggu seribu dua ribu rupiah dari saku anak-anak kecil yang lewat sebagai tambahan modal untuk besok. Ah, susahnya cari uang.

Lama aku menunggu, namun hanya ada satu dua orang anak yang datang mendekat untuk  membeli daganganku. Itupun tak seberapa, hanya seribu dua ribu saja. Orang tuanya pada pelit semua, seperti kebanyakan emak-emak lainnya. Suka perhitungan dengan uang. Bahkan perkara untuk mengeluarkan seribu rupiah saja pun sanggup berdebat hebat dengan anaknya yang masih kecil di hadapan orang ramai.

"Baru lagi kau minta jajan, ini sudah minta jajan lagi. Di rumah berserak jajanmu pun bukan kau makan. Bagus kau tak usah ikut tadi," ucap seseibu memarahi anaknya ketika anak itu meminta untuk dibelikan cilok jualanku.

Mendengar celoteh ibu itu saja sudah naik tensiku. Namanya juga anak-anak, ya wajarlah minta jajan terus. Kalau memang belum sanggup untuk memenuhi kebutuhan anak, mendingan nggak usah di buat dulu. KB...KB.....Kalau tidak childfree....

Lama aku tercenung, merenungi nasib. Hingga terdengar suara seseorang menyapaku.

"Cilok, Bang!" Suaranya terdengar begitu lembut dan tak asing di telingaku.

Aku menoleh setengah terkejut. 'Mei!'

Ternyata benar. Mei datang ketempat lapak jualanku. Sore-sore begini. Mau apa dia?

" Kok melamun aja, Bang? Lagi mikirin apa?" tanyanya lembut sembari menabur senyum. Ah, manis.

"Eh, Mei. Kamu kok ada disini?" tanyaku heran.

"Ya, mau beli lah Bang. Jadi mau ngapain lagi."

"Oh, iya ya." Aku jadi salah tingkah dengan menggaruk-garuk rambut bagian belakangku.

"Masih ada, Bang jualannya?"

"Iya, ada. Malah masih banyak." Tanpa kuperintah, dia langsung membuka tutup panci jualanku.

"Masih banyak ya! Kenapa tadi tidak jualan di depan SMA? Padahal sudah Mei tungguin, lho."

"Oh iya. Sengaja nggak singgah. Soalnya segan sama Mas Ridho."

"Nggak apa-apa, Bang! Namanya juga orang jualan. Ngapain segan-segan. Orang sama-sama cari makan."

Uihh, kok dewasa banget ngomong adik ini ya? Padahal masih duduk di bangku SMA. 

"Iya, sih. Cuman Abang aja yang malu. Masih newbie, pemula. Malu sama senior."

"Alah, jualan aja pun, Bang! Ngapain malu-malu." Aku hanya cengar-cengir. Tambah malu diceramahi sama bocil.

"Ini berapa semuanya, Bang? Biar Mei aja yang borong."

"Haaa. Kamu mau beli semuanya?" Tanyaku tak percaya.

"Iya lho, Bang. Biar cepat abis. Kasian liat abang belum pulang jam segini. Tadi abang kesiangan ya?"

"Kok kamu tau?"

"Jangan panggil kamu dong, Bang! Panggil Mei aja!"

"Iya. Iya. Kok Mei tau?"

"Tadi Kan sudah Mei bilang kalau Mei nungguin Abang."

Aduh. Melihat sikap Mei blak-blakan seperti ini, kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak ya? Takut jangan-jangan feelingku selama ini benar. Dia menyukaiku. Aduh, gimana ini? Bisa gawat jika Dewi sampai tau.

Apalagi jika diterawang lebih dalam lagi, anak ini terlihat pemberani. Bagaimana jika dia sampai nekat datang ke rumah untuk menemuiku.

Bisa perang dunia ketiga, nih.

****

(8) Jangan Sampai Ketahuan

Sembari memasukkan butiran Cilok kedalam kantongan plastik, mulut Mei terus menyerocos bertanya padaku.

"Jauh juga ya Abang jualan sampai sini? Nggak capek apa, mengkayuh sepedanya?"

"Namanya juga kerja, Mei. Sudah pasti capek lah."

"Kenapa Abang tidak naik motor aja?"

Aku kembali nyengir seperti kuda Sumbawa. " Kalau punya sudah Abang bawa Mei dari dulu."

"Maksudnya, Abang nggak punya motor?" Lagi-lagi dia bertanya seperti tidak percaya. Mungkin merasa aneh, kok bisa ya di zaman sekarang ini masih ada manusia yang tidak punya motor.

Aku mengangguk sembari nyengir lagi. Sekilas kulirik dia menatapku serius. Namun dengan cepat segera kualihkan pandangan. Namun sebentar-sebentar kulirik lagi. Dan dia masih menatapku seperti tadi.

Entah kenapa jantungku terasa bergetar saat melihat tatapannya barusan. Aneh, seperti sorot mata seseorang yang menatap iba kepada orang lain. Apakah dia merasa kasihan padaku? Ah, jika betul seperti itu, aku jadi terharu. Ternyata masih ada orang yang mau peduli padaku. Mendapat perhatian begitu saja, aku sudah merasa senang.

Mungkin anak ini benar-benar berhati mulia, lembut, sama persis seperti suaranya. Mudah tersentuh saat melihat orang lain dalam kesusahan. 

"Di rumah ada motor nggak terpakai. Apa abang mau? Entar biar Mei bilang sama Bapak."

"Apa?" 

"Di rumah Mei ada motor nggak terpakai. Bekas motor bapak dulu. Sekarang sudah jarang di pakai. Apakah Abang mau? Nanti biar Mei mintakan sama Bapak."

"Oh, tidak usah Mei," ucapku menolak. Sambil nyengir, pasti. Nyengir, menertawakan nasibku yang menyedihkan ini.

"Kenapa, Bang?"

"Abang merasa tidak enak jika harus merepotkan Mei."

"Nggak merepotkan, kok. Inikan kemauannya Mei. Bukan abang yang minta."

"Iya. Tapi tidak enak nanti dengan keluarga Mei."

"Nggak apa-apa lho, Bang! Bapak juga suka bantu-bantu orang, kok. Malahan Bapak akan senang jika tau anaknya bersikap santun kepada orang lain. Kan semuanya itu Bapak yang ajarin."

Aku kembali nyengir.

"Bagaimana, Bang? Apa Abang mau?"

Aku kembali menggeleng. Malu sebagai seorang lelaki harus dikasihani. Selain itu, aku juga tidak ingin berhutang budi terlalu banyak padanya nanti. Sebab aku tahu bahwa hutang budi itu akan di bawa sampai mati.

"Ya udah kalau tidak mau," ucapnya dengan nada kecewa.

Sekilas kulirik wajahnya kembali. Kali ini dia telah memalingkan pandangan ke tempat lain. Menoleh ke arah laut tempat kapal-kapal ikan nelayan bersandar.

"Enak ya Bang di sini. Bisa melihat-lihat pemandangan sore seperti ini. Suasananya romantis, banget."

"Iya. Makanya abang suka mangkal di sini."

"Abang suka sama laut?"

"Suka."

"Kok samaan ya, Bang! Mei juga suka dengan laut. Di kamar Mei aja temanya tentang pemandangan laut semua."

"Iya?."

"Iya. Mei juga suka nonton Spongebobs. Mereka jualan di dalam laut. Seru ya Bang kalau kita punya restoran di dalam laut."

Kita. Eh, apa itu maksudnya.

"Maksudnya?"

"Kalau kita bisa bikin restoran di dalam laut, seru ya! Keknya pasti romantis, dech makan di tempat begituan."

Oh, anak ini suka dengan hal yang romantis-romantis, mungkin. Dari tadi ngomongin yang romantis mulu.

"Oh iya, rumah-rumah yang ada di tengah laut itu gimana, Bang? Apakah rumah itu mengambang?" Dia menunjuk ke seberang sana. Ke arah barisan rumah yang terlihat mengambang di permukaan air laut.

"Tidak. Rumah-rumah itu memiliki tiang penyangga di bawah."

"Kok bisa? Cara buatnya gimana?"

"Tunggu airnya surut dulu. Biasanya ada waktu-waktu tertentu air laut pasang dan surut." 

"Oh, gitu ya." Dia masih santai, duduk di atas motornya, sambil melihat-lihat aktifitas manusia, sore hari ini di daerah pesisir pantai.

"Abang punya nomor Whatsapp?" Suaranya kembali memecah keheningan.

"Untuk apa?"

"Abang ini lucu! Nomor WhatsApp kok untuk apa. Abang tau whatsapp 'kan?"

"Tau. Aplikasi yang hijau itu 'kan."

Dia tersenyum. "Itu tau. Mei kira abang tidak tau, makanya nanya fungsinya untuk apa tadi."

"Kalau itu, abang tau."

"Abang punya nomornya?"

Aku kembali nyengir sembari menggeleng.

"Abang nggak punya nomor WA?"

"Gimana mau punya, orang hapenya aja nggak punya."

"Ya ampun Bang! Masa hari gini nggak punya handphone."

"Ada sih. Tapi istri abang yang pegang."

"Oh, punya kakak ya? Tak usah lah. Takut, entar kakaknya marah."

"Emangnya untuk apa kalau abang punya nomor WA?" 

Aku mulai memberanikan diri untuk bertanya. Sudah kadung terlanjur, bahwa Mei mengetahui banyak hal tentang kehidupanku. Sedangkan aku, bahkan tidak mengetahui sedikit pun tentang dirinya. Sebab dari kemarin, hanya dia saja yang banyak bertanya padaku. Sedangkan aku hanya menjawab pertanyaannya saja. Tak kusangka jika hal-hal pribadi sekalipun secara tak sengaja telah aku beberkan semuanya.

Kali ini, Mei terlihat gugup untuk menjawab.

"Yah, untuk di simpen aja. Mana tau perlu. Mana tau Mei nanti mau bikin Cilok, kan bisa bertanya sama abang."

*

Aku kembali mengayuh sepedaku menuju pulang ke rumah. Kali ini aku pulang agak kemalaman. Tadi, Mei pulangnya lama. Padahal sudah berkali-kali aku peringatkan dan menyinggung tentang orang tuanya. Nanti di cari Bapak atau ibu, tapi dia biasa saja. Ngobrol terus sambil cekikikan. Mau tak mau aku harus menemaninya juga.

Sesampai di depan rumah, kulihat Dewi sedang menantiku di serambi depan. Menunggu kedatanganku ditempat biasa dia duduk.

"Kok lama Mas, pulangnya?" Dia bangkit sembari menyambut kedatanganku dengan mencium punggung tangan dan menaruh  ke keningnya.

"Sepi."

"Kok bisa. Tapi kemarin ramai?"

"Itu karena jualannya di depan SMA."

Dewi membuka tutup panci yang kubawa.

"Tapi habis."

"Iya alhamdulillah. Untung ada yang borong tadi semuanya."

"Alhamdulillah," ucapnya ikut bersyukur.

Seperti biasa, Dewi langsung membereskan peralatan jualanku, sedangkan aku sendiri masuk ke dalam untuk segera mandi. Sehabis mandi kami makan malam bersama, setelah itu menuju ke dalam kamar untuk berbaring di atas kasur. Beginilah rutinitas kami setiap malam. Bercerita tentang  pengalaman apa saja yang aku lalui hari ini.

Dewi hanya bertanya, lalu aku akan menjawab tentang apa yang dia pertanyakan. Namun, jawabanku terkadang sangat panjang sekali. Malah hanya dengan satu pertanyaan saja, bisa sampai kami tertidur sekalipun belum selesai jawabannya. Ngalor ngidul ke sana kemari.

Mungkin, jika tidak ada pengaruh dari luar, atau jika kami hanya hidup berdua saja di muka bumi ini, hidup kami sudah sangat bahagia sekali. 

"Capek ya, Mas?"

"Iya."

"Mau Dewi pijat?"

"Hooh," ucapku dengan mata terpejam.

Dia menolak tubuhku. " Telungkup!" ucapnya memberi perintah.

Dengan mata yang masih terpejam, aku segera telungkup. Tak lama, tangan halus Dewi seketika mendarat dan menari-nari di punggungku. Nikmat. Apalagi diolesi dengan minyak urut atau balsem. Hangat.

Ah, betapa beruntungnya aku memiliki istri perhatian seperti Dewi. Jarang-jarang ada wanita yang seperti Dewi lagi di muka bumi ini. Kebanyakan istri-istri zaman sekarang hanya pandai menuntut haknya saja sebagai istri tanpa mau tau tentang kewajibannya apa saja pada suami. Pandainya hanya memijat-mijat layar ponsel dan minta uang buat beli paket kuota internet.

Tapi Dewi berbeda daripada yang lain. Dia tidak banyak menuntut ini dan itu. Hanya yang kemarin itu saja. Hanya minta di beliin handbody. Itupun saat aku bilang tidak, maka dia tidak akan memintanya lagi.

Di tengah kenikmatan yang sedang aku rasakan dari sentuhan lembut jari-jemari Dewi, tiba-tiba saja wajah Mei muncul di kepalaku. Tatapannya, senyumannya, suaranya membuat jantungku berdebar. 

Dalam hatiku bertanya-tanya. Untuk apa dia meminta nomor whatsapp dariku. Jika dia hanya ingin bertanya tentang resep masakan, bukankah dia bisa bertanya langsung saja? Kenapa musti melalui hape. Atau jangan-jangan dia ingin mengatakan sesuatu padaku, yang tidak enak jika ingin dikatakan langsung. Tapi, apa itu? Kok aku jadi penasaran.

"Yang!" ucapku pada Dewi.

"Hemm," jawabnya menyahuti.

"Ada nggak hape android seken harga tiga ratusan?"

"Buat apa?" 

"Mas mau beli."

"Buat apa beli baru? Kalau mau nelepon 'kan bisa pakai punya Dewi!"

Aku diam sejenak. Mencari alasan apa yang tepat untuk mengatakan niat hatiku padanya. Jangan sampai salah bicara dan mengundang rasa curiganya lagi. Bisa-bisa gawat beneran kalau sampai ketahuan. 

Mulai sekarang aku harus pandai-pandai berbohong dan bersilat lidah agar semua rencanaku berhasil. Mei, dia masih muda. Masih polos. Masih perlu banyak belajar. Tak ada salahnya jika aku membimbingnya agar jangan sampai jatuh ketangan laki-laki yang salah. Laki-laki yang suka memanfaatkan kepolosan wanita dan lalu kemudian lari dari tanggung jawab.

Kasihan jika Mei mendapatkan tipe laki-laki seperti itu. Setidaknya, aku harus menjaganya sebagai abang hingga dia menemukan laki-laki yang pantas untuknya. Yah, minimal laki-laki yang bertanggung jawab, sepertiku.

*****

(9) Curiga

"Tapi kan Mas perlu hape juga, Yang. Pelanggan Mas aja banyak yang nanyakin nomor WA, Mas. Kan malu hari gini nggak punya handphone. Kelihatan sekali Mas udik banget jadi orang. Apa Dewi nggak malu punya Suami jadul seperti Mas, hemm?"

"Ya sudah, beli aja kalau Mas punya uang," ucapnya pasrah setelah mendengar alasanku. Aku menyunggingkan bibir tersenyum, merasa senang karena rencana awalku berhasil.

"Memang Mas punya uang segitu?" tanyanya lagi.

"Ada."

"Dapat dari mana?"

"Hasil jualan Mas, selama tiga hari ini."

Dewi menghentikan aktifitasnya. Kemudian pergi berlalu keluar dari kamar. Tak lama kemudian dia masuk kembali dan langsung berbaring, tidur.

"Dari mana?"

"Kamar mandi."

"Ngapain?"

"Cuci tangan."

"Kok sudahan?"

"Capek. Lagi nggak mood," ucapnya ketus.

Kan merajuk lagi. Begini nih kalau sudah tau ada uang berlebih. Pasti ada saja tingkahnya.

*

Rencanaku untuk membeli hape kemarin gagal total. Setelah malam itu, sikap Dewi kembali berubah. Dia lebih banyak berdiam diri dan cuek saat diajak bicara. Melihat sikapnya seperti itu, lebih baik aku mengurungkan niatanku terlebih dahulu. Walaupun dia sudah mengizinkanku untuk membeli hape tersebut, namun aku tahu bahwa dalam hatinya masih belum ikhlas. Jadi, dari pada masalah semakin rumit, lebih baik aku mengalah saja.

Uang yang aku simpan itu aku serahkan semua untuknya. Terserah ingin dia pakai untuk apa. Biar dia senang. Untukku, biar nanti di cari lagi. Pelan-pelan. Walaupun rasanya sedikit kecewa dan merasa tidak semangat untuk bekerja, namun harus tetap aku jalani. Begitulah resiko punya istri. Tidak bisa sesuka hati lagi. Jika ingin berbuat sesuatu mesti izin dulu. Kalau tidak, bisa perang dunia ketiga.

"Kemarin abang tidak jualan?" Pelanggan setiaku datang lagi.

"Tidak."

"Kenapa?" 

"Lagi tidak enak hati."

"Kok bisa?"

"Istri abang merajuk."

"Lho. Emangnya kenapa sampai merajuk?"

"Itu lho, Dek. Kemarin itu abang izin sama dia mau beli hape. Tapi istri abang nggak setuju. Sebenarnya dia setuju, tapi kek nggak ikhlas gitu. Mukanya cemberut terus."

"Mungkin lagi datang bulan kali, Bang!" ucap Mei bercanda.

Eh, ngomong apa itu? Kok nekat.

"Nggak tau juga lah, Dek. Soalnya belum abang periksa." Eh.

"Abang mau beli hape?" tanya Mei lagi. Aku mengangguk.

"Tapi kemarin itu. Sekarang uangnya sudah tidak ada lagi," jawabku.

"Di rumah, Mei punya hape nggak terpakai lagi. Apa abang mau?"

"Masih bagus?"

"Masih, dong. Sebenernya masih baru juga, tapi karena Mei beli yang ini, yang itu jadi jarang di pakai. Kalau abang mau, besok biar Mei bawain."

"Berapa harganya?"

"Nggak usah bayar, Bang! Kan tadi sudah Mei bilang mau kasi aja."

"Beneran, nih?"

"Iya. Abang mau kan?" Aku mengangguk sembari tersenyum. 

Tak apa-apalah ya menerima barang bekas seperti itu. Toh di rumahnya juga tidak terpakai, kok. Kan sayang, lama-lama nanti batrainya bisa soak. Bagusan aku yang rawat.

"Motornya bagaimana, Bang? Kemarin Mei sudah tanya sama Bapak, kalau Abang mau bisa ambil sekalian ke rumah. Sekalian kenalan sama Bapak."

Aduh, sebenarnya tidak enak sih menerima pemberian orang lain seperti ini. Tapi, bagaimanapun juga aku memang sangat butuh barang itu. Apalagi kan dia yang nawarin, bukan aku yang minta. Nggak enaklah ya kalau di tolak terus. Takutnya dia merasa tersinggung lagi seperti kemarin.

"Ya udahlah, Mei. Kalau Mei maksa. Ya, dengan senang hati akan abang terima."

"Abang mau? Beneran?" tanyanya dengan raut wajah ceria. Dengan malu-malu aku mengangguk.

"Gitu dong, Bang! Kalau dari kemarin aja, pasti keluarga abang akan baik-baik saja. Nggak seperti saat ini," ucapnya terdengar tulus dan perhatian. 

"Iya, sih." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tiba-tiba terasa gatal.

*

Malam harinya, barulah aku dan Dewi berangkat ke rumah Mei. Seperti yang telah kami sepakati sore tadi. Aku membawa Dewi agar dia tidak merasa curiga apalagi sampai cemburu terhadapku. Sebab, Mei tidak ingin jika nanti keluarga kami bertengkar lagi gara-gara ini.

Kami menumpangi becak untuk sampai ke rumah Mei. Mengingat area rumah Mei  lumayan jauh dari tempat tinggal kami. Sedangkan tentang letak lokasinya, Mei sudah bilang sore tadi. Rumahnya berbentuk ruko tiga pintu dan tiga tingkat. Di depan ruko itu terdapat sebuah papan nama toko yang bertuliskan Meilin Fasion. Untuk itu, kami tinggal tanya saja ke Kang Becak, supaya jangan muter-muter.

"Oh, Meilin Fasion ya? Yang dekat kota itu. Toko besar yang jual pakaian itu kan?" ucap Kang Becak memastikan.

"Kami juga tidak tahu, Pak, tokonya yang mana. Makanya kami nanya sama Bapak."

"Oh iya. Saya tau. Dulu yang punya toko itu jualannya di pasar. Sekarang dia sudah maju, bisa buka toko pakaian sampai sebesar itu."

"Bapak kenal sama dia?" Aku merasa penasaran. 

"Ya kenal. Itukan istrinya yang orang kita tionghoa. Ci Asen namanya. Sebenarnya, orang tua istrinya itu yang kaya raya. Kalau keluarga Pak Turlip ini, biasa aja. Malah dia dulu hanya pekerja di tempat orang tua Ci Asen itu. Sudah nasibnya 'kan baik, mau anak majikan sama dia, kaya raya lagi. Siapa juga yang tidak mau, coba?" ucap Kang Becak bersemangat.

"Kau lah coba, kalau ada perempuan kaya raya yang mau sama kau, bisa nggak kau menolaknya?" tanya Kang Becak berkulit hitam dan berkumis tebal itu padaku.

Aku hanya tersenyum mendengar celotehnya.

"Dia sudah punya istri, Pak! Kalau sempat dia mau, hemmmm," ucap Dewi menanggapi perkataan Kang Becak tadi.

"Hahahaha." Kang Becak itu tertawa terbahak-bahak. " Namanya juga laki-laki ya, kalau di rumah boleh sudah punya istri, tapi kalau diluar 'kan harus tetap lajang."

"Hem, sempat lah ketahuan, Mas, main perempuan diluaran sana ya! Habis Mas Dewi buat," ucap Dewi geram, mendengar celoteh Kang Becak sembari mencubit pahaku.

Ah, Kang Becak ini malah cari gara-gara aja.

Tak lama, kami sampai di depan ruko yang di tuju. Ternyata tokonya buka sampai malam juga. Besar dan memiliki banyak karyawan cewek. Ternyata benar, jika Mei ini memang anak orang kaya. Duh, kok rasanya aku semakin gemetaran ya, untuk bertemu dengan orang tuanya.

Setelah membayar ongkos becak, kami segera turun dan berdiri bingung di depan ruko. Sedangkan Mei sendiri belum terlihat batang hidungnya.

"Benci kali Dewi mendengar celoteh tukang becak itu tadi. Sudah jelek, sok banyak gaya. Sok ngaku lajang pula, tuh," ucap Dewi kesal. "Mendingan tadi kalau dia ganteng. Ini, mah, melihat kumisnya aja Dewi udah geli." Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Dewi sembari mencari-cari jejak keberadaan Mei.

"Apa bener Mas, ini tempatnya?" tanya Dewi memastikan.

"Iya, bener. Katanya Meilin Fasion."

"Temen Mas cowok apa cewek?"

"Cewek."

"Cewek?" Dewi menatapku dengan sorot mata tajam.

"Iya, cewek. Namanya saja Mei."

"Mas tidak ada bilang sama Dewi kalau namanya Mei. Sudah berapa lama Mas kenal sama dia?" tanya Dewi penuh selidik.

Aduh gimana ini? Belum apa-apa saja gaya bicara Dewi sudah ngegas seperti ini. Bagaimana nanti jika dia bertemu dengan Mei. Apakah mereka akan main jambak-jambakan karena cemburu?

Ah, aku jadi bingung sendiri.

*****

(10) Tatapan yang Menggetarkan Kalbu

 

"Masih baru. Waktu jualan di depan SMA kemarin."

"Kenapa Mas, tidak cerita?"

"Bagaimana Mas mau cerita, sedangkan Dewi aja merajuk terus kerjaannya."

Dia diam. Tak bicara lagi sepatah kata pun. Sampai tiba-tiba sebuah mobil berwarna merah mengejutkan kami dengan menyalakan klaksonnya, berhenti dan parkir tepat di belakang kami. Dari dalam mobil itu keluar seorang wanita cantik yang sudah tidak asing lagi di mataku.

"Sudah lama Abang sampai?" tanya wanita itu ramah kepada kami sembari memperlihatkan senyuman terindahnya.

"Ba_baru saja," jawabku gugup sembari menelan ludah.

"Ini istri Abang?" tanyanya lagi, menunjuk ke arah Dewi. 

"I_iya. Ini istri saya," jawabku masih gugup seperti tadi.

Ah, jantungku berdebar semakin tidak karu-karuan saat melihat penampilan Mei berdandan seperti ini. Dengan mengenakan baju Dress berwarna kuning keemasan sebatas lutut, penampilannya terlihat sangat menawan. 

Bibirnya yang tipis dipolesin dengan lipstik berwarna merah cerah. Kulit wajahnya yang putih bersih kini terlihat semakin mempesona karena di permak dengan mengaplikasikan berbagai macam alat kosmetik sehingga terlihat kinclong dan berwarna kemerah-merahan. Begitu juga dengan tatanan rambutnya yang hitam legam, kini digulung-gulung kecil seperti bentuk sosis goreng siap makan. Aku saja hampir pangling saat melihatnya tadi. Apalagi ketika dia baru saja keluar dari dalam mobil. Sungguh tidak menyangka jika itu adalah Mei yang aku kenal selama ini.

Penampilannya yang terlihat menawan itu sangat kontras jika di bandingkan dengan penampilan Dewi yang saat ini terlihat seperti.... Ah, entahlah. 

Aku saja tidak sampai hati untuk mengatakannya. Dewi hanya mengenakan baju tidur sejenis piyama, kesayangannya. Salah satu baju yang dia beli saat akan menikah denganku beberapa waktu lalu. Dengan budget yang pas-pasan, Dewi memilih piyama yang harganya agak miring agar dapat dua helai. Kemana-mana,  pakaian itulah yang ia kenakan selama ini. Selain nyaman untuk dipakai, stelan piyama itu yang paling baru di antara pakaiannya yang lain. 

Sedangkan wajahnya, terlihat kusam tanpa riasan sedikit pun. Bibir dan rambutnya... Ah, sudahlah. Nanti dia nangis jika aku sebutkan satu persatu.

"Kenalkan! Saya Mei." Mei menjulurkan tangannya kearah Dewi dengan tatapan ramah. Sedangkan senyumannya masih mengembang menghiasi bibirnya yang merekah. Dewi menyambut uluran tangan Mei dengan raut wajah bertambah cemberut.

 Ih, geram melihat ekspresi Dewi seperti itu. Malah bersikap seperti orang sombong. Entah apa yang dia sombongkan. Apa sih susahnya memasang wajah ceria barang kali sedikit saja, sebagai bentuk penghargaan agar orang lain yang melihatnya ikut senang. Ini malah menunjukkan raut wajah masam, seperti orang susah saja. Persis seperti raut wajah orang belum makan satu bulan.

"Dewi," jawab Dewi kecut, sembari berjabat tangan.

"Maaf ya agak telat. Tadi agak sibuk di rumah," ucap Mei ramah, dengan senyuman manis yang masih menghiasi bibirnya.

"I_iya. Tidak apa-apa," jawabku, masih dengan kegugupan yang hakiki.

"Ya udah. Ayo kita berangkat sekarang!" Ajaknya sembari berjalan menuju ke arah mobilnya tadi.

Aku dan Dewi saling terpaku, merasa bingung melihat tingkah laku Mei. Katanya ingin mengajak kami ke rumahnya, tapi kenapa malah mengajak naik ke mobil, bukan mengajak masuk ke dalam ruko. Bukankah rumahnya ada di sini?

"Kok malah bingung? Ayo cepat naik," teriaknya dari balik kemudi mobil merah itu. 

Aku dan Dewi saling bersitatap, sama-sama merasa kebingungan.

"Ayo! Kok malah diem aja?"

Aku celingak-celinguk, antara melihat Mei dan ruko yang ada di belakangku. Kemudian, Mei turun kembali dari mobilnya dan mendekat menghampiri kami.

"Ayo! Bapak sama ibu sudah nungguin kita di rumah, lho," ucapnya menjelaskan.

"Tapi, ini." Aku menunjuk ke arah ruko yang dipenuhi oleh berbagai macam corak warna pakaian itu.

"Oh, ini rukonya Bapak untuk jualan aja. Kami tidak tinggal di sini. Kami tinggal di kompleks."

"Oh, gitu ya." Aku baru paham.

"Iya." Mei tersenyum melihat kebodohan kami. Aku kira tadi, mereka tinggal di ruko ini.

"Sengaja Mei suruh Abang nunggu di sini supaya nyari alamatnya gampang. Kalau nyari alamat langsung ke kompleks agak ribet. Harus lapor dulu sama securiti kalau mau masuk."

"Oh, gitu ya. Abang kira tadi Mei tinggal di sini."

Dia kembali tersenyum. Ih, senyumannya itu, sungguh sangat-sangat menggemaskan. Jadi pengen tak cubit tuh pipi tembemnya.

"Kakak di depan aja sama Mei," ucap Mei sebelum masuk ke dalam mobil kembali.

Sedangkan aku, langsung mengambil tempat untuk duduk di belakang. Sengaja aku memilih duduk di sebelah kiri agar Dewi tidak cemberut lagi. Pasti cemburu tuh, makanya raut wajahnya kecut terus seperti itu.Ternyata, susah juga kalau punya istri yang terlalu sensitif seperti Dewi. Terlalu gampang  cemburu buta.

"Kenapa kakak tidak naik, Bang?" tanya Mei kepadaku setelah menunggu beberapa saat, namun Dewi tak kunjung masuk ke dalam mobil. Dewi hanya berdiri di luar saja. Celingak-celinguk seperti orang oon.

Aku hanya menggeleng. Merasa ikut bingung dengan kelakuan anak itu. Aneh-aneh saja.

"Apakah Kakak merajuk lagi?" tanya Mei kembali. Mungkin merasa tidak enak juga, mengingat bagaimana sikap Dewi selama ini setelah mendengar ceritaku tempo lalu.

Aku kembali menggeleng. Tak mengerti.

"Coba Abang tanya dulu!" pinta Mei padaku.

Aku mendengus kesal, sembari keluar dari mobil.

"Kenapa tidak masuk? Apa kamu tidak ingin ikut, ha?" tanyaku geram dengan intonasi suara meninggi, namun sedikit tertahan karena takut di dengar orang.

Kulihat Dewi menunduk, raut wajahnya kini terlihat gelap. Dia memain-mainkan jari-jemarinya seperti anak kecil.

"Hei!" hardikku kesal sembari menepis sedikit lengannya agar dia merespon pertanyaanku.

"Pintunya nggak bisa di buka," ucapnya pelan, seperti sungkan untuk menatap wajahku.

Segera ku buka pintu itu, dan..., creeekkk.  Terbuka.

Dewi langsung masuk tanpa menoleh sedikitpun padaku lagi.

Setelah aku duduk, barulah Mei menghidupkan mesin mobil. Selang beberapa menit kemudian kami telah meluncur ke badan jalan yang disesaki oleh berbagai macam jenis kuda besi. Berlalu lalang kian ke sana kian kemari. Ramai. 

Di sela-sela keramaian itu, terlihat pula Mei begitu lihai dibelakang setir kemudi, menyalip dari celah-celah badan jalan yang berongga, melewati tiga sampai empat kendaraan yang saling berkejar-kejaran untuk saling mendahului. Berlomba-lomba mengikuti keinginan tuannya, kemana dia akan diantar pergi.

Melihat kelihaiannya itu, aku semakin takjub dibuatnya. Tak lepas pandanganku tertuju kearah Mei, melihat bagaimana dia melakukannya. Sesekali, tatapan mata kami saling bertemu, melalui kaca spion yang ada di depannya.

Dan tatapannya itu, begitu menggetarkan kalbu.

*****

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CINTA KAN MEMBAWAMU KEMBALI(Tamat)
3
0
(1) Masa SMP  Suara bel istirahat pertama baru saja berbunyi. Para siswa yang baru beberapa minggu ini mengenakan seragam putih-biru itu tampak lega menarik napas dalam. Seperti merasa bebas dari sebuah sandera kapal bajak laut karabian yang tersohor angker dan melegenda. Bu As Bunga, baru saja melangkahkan kakinya ke luar dari ruangan itu. Guru spesialis Bahasa Inggris itu memang terkenal sangat kejam. Suara jeritannya yang nyaring bisa terdengar sangat amat mengerikan jika dia sedang marah, melengking menusuk indra pendengaran, menjalar ke aliran darah dan tembus hingga ke jantung hati. Sorot matanya tak kalah tajam seperti sorot mata burung Elang yang sedang mengintai mangsa. Tak sedikit pun gerak-gerik siswa-siswi yang berada di hadapannya luput dari pandangannya. Empat puluh siswa-siswi yang baru saja di bimbingnya saling diam membisu dengan isi pikiran mereka masing-masing. Ada yang berharap agar bel segera berbunyi, agar bisa makan bakso di kantin Pak Tompel sepuasnya yang berada di belakang sekolah. Apalagi, tadi pagi kesiangan dan buru-buru berangkat karena diomeli oleh ibunya, sehingga tak sempat sarapan pagi. Sedangkan cacing-cacing yang ada dalam perutnya sudah pada berontak dan melakukan aksi demo besar-besaran karena merasa kelaparan. Dari tadi, Reza sudah terlihat sangat gelisah. Kau kenapa? Aku perhatikan lasak kali dari tadi? Kau cacingan, ya? Parlin yang duduk disebelahnya menegur karena merasa terganggu. Iya, aku tadi pagi nggak sempet sarapan. Cacingnya sudah pada komplain. Makanya, sebelum tidur itu makan obat cacing dulu! Biar ternak cacing kau nggak cepat berkembang biak.  Oke, Bos. Terima kasih atas hinaannya, jawab Reza pasrah. Parlin yang terkenal arogan itu memang susah untuk di lawan bicara. Anaknya bandel dan juga degil. Gaya bicaranya selalu asal bunyi dan ceplas-ceplos seenak jidatnya doang. Tanpa peduli apakah lawan bicaranya nanti akan tersinggung atau tidak. Sekejam dan seseram apapun guru yang mengajar di kelas mereka, dia nggak pernah peduli sama sekali. Begitu juga dengan Bu As Bunga yang baru saja keluar dari kelas mereka, sedikit pun dia nggak takut sama sekali. Padahal, untuk sebagian siswa, dengan melihat wajah Bu As Bunga yang berlobang-lobang karena bekas cacar air saja sudah banyak yang ketakutan. Terutama para golongan cewek-cewek, mereka merasa takut tertular. Padahal, bekas itu hanya bekas lama. Entah pun waktu dia masih anak-anak dulu terinfeksinya. Beberapa menit kemudian, ruangan itu berubah hening. Hanya tinggal beberapa orang siswi saja yang masih duduk di dalam tidak ikut keluar. Entah kenapa mereka tidak pergi ke luar untuk sekedar mencari makanan atau membeli minuman. Atau setidaknya, mencari angin segar. Ah iya, mereka merupakan anak cewek yang mayoritas susah di tebak kepribadiannya. Tapi, salah satu dari siswi cewek yang tersisa itu adalah Sariyem. Dia teman sekampung Parlin. Mereka dulu sangat akrab sekali. Selain memiliki rumah yang bertetangga, mereka juga memiliki sawah yang berdekatan pula. Sariyem tinggal bersama dengan Neneknya yang sudah tua. Sedangkan kedua orang tuanya merantau ke negeri jiran sebagai pahlawan devisa. Setiap bulan, ke dua orang tua Sariyem mengirimi uang belanja untuk kebutuhannya dan juga neneknya. Jadi, secara materi dia tidak berkekurangan. Akan tetapi, dia malas keluar kelas karena setiap hari dia selalu di bekali oleh neneknya jajanan tradisional berupa getuk lindri atau lepat ubi. Mbah Legi, neneknya Sari sangat kreatif dan nggak mau berdiam diri saja walaupun musim turun sawah masih lama. Dia terbiasa bercocok tanam dan rajin membuat cemilan tradisional dari bahan alami tanpa zat pengawet. Dia tak mengizinkan cucu kesayangannya untuk jajan sembarangan. Makanya, dia selalu membekali Sari dengan jajanan yang dia olah sendiri sebelum shalat subuh. Sebenarnya, Sari juga sudah malu membawa bekal seperti anak TK. Akan tetapi, dia merasa lebih tidak enak lagi jika harus menolak pemberian neneknya yang sudah banyak berkorban untuknya. Bawa cemilan apa hari ini, Sar? tanya David pada Sari yang lagi asyik membaca novel bergenre romantis yang dia pesan secara online dari penulis amatir kesayangannya. Ada singkong gaul. Tapi udah dingin. Kamu mau? tanya Sari yang agak ragu mengeluarkan dari dalam tasnya. David mengangguk mau. Dia duduk di kursi sebelah Sari yang kosong. Anak laki-laki itu membawa dua botol minuman dingin yang baru saja dia beli dari kantin belakang. Sudah beberapa hari ini, dia terlihat akrab dengan Sari. David tertarik melihat kepribadian Sari yang terbilang dewasa, pendiam dan suka menyendiri. Sari tidak seperti teman-teman cewek lain yang masih bertingkah laku seperti anak-anak. Yang masih suka bermain kuaci, bermain lompat karet atau yeye. Enak ya, camilan buatan nenek kamu! ucap David tulus, setelah memakan beberapa potong ubi goreng yang ditaburi bumbu rasa sapi panggang. Sari hanya tersenyum sekilas, melirik David yang sedang lahap mengunyah singkong gaul buatan Mbah Legi. David memang doyan makan. Terlihat dari badannya yang bulat seperti ikan buntal. Kalau kamu suka, kamu boleh habisin semuanya! David menghentikan aktifitas mengunyahnya. Mungkin dia merasa tersinggung dengan kata-kata Sari barusan. Untuk kamu? tanyanya penuh selidik, menatap Sari dengan tatapan serius. Aku masih kenyang, jawab Sari dengan memegang perutnya. Tapi ini banyak. Mana mungkin aku bisa menghabiskan semuanya, jawab David dengan membuka lebar mulut kantong plastik hitam yang ada di atas meja mereka. Dia merasa ragu jika harus menghabiskan semuanya. Bisa-bisa nanti perutnya meledak seperti balon yang ditiup kencang. Nenek kamu kok banyak banget membekali kamu seperti ini? Apa dia nggak takut cucu perempuannya nanti gendut seperti aku? Sebenernya itu bukan jatah buat aku aja, sih! Tapi jatah buat Parlin juga. Seketika, David tersedak dan terbatuk-batuk. Dia menepuk-nepuk dadanya yang seperti tersumpal sesuatu. Cepat Sari membukakan botol minuman yang ada di depannya dan menyodorkannya pada pria berpipi tembem itu.   Terima kasih. David cepat menyambar minuman dingin itu dan segera meneguknya untuk menghentikan batuk yang sedang dia derita. Oh iya, yang ini buat kamu! serunya kemudian dengan menggeser botol minuman yang belum di buka. Sari menerima botol minuman itu dan segera membuka tutupnya, kemudian meneguk isi dalamnya. Dari tadi, tenggorokannya juga sudah terasa kering. Tapi David nggak peka jika dia sedang kehausan. Walaupun dia tau kalau minuman itu memang di beli David khusus untuk dirinya, tetapi dia masih merasa malu jika harus main serobot saja sebelum ada akad serah terima. Namanya juga wanita, kepribadiannya sangat sulit di mengerti. Jadi, ini jatah buat Parlin juga? tanya David setelah tenggorokannya terasa lega. Sari mengangguk, memangnya kenapa? Dia menatap wajah David yang terlihat gusar. Kok kamu nggak bilang dari tadi? Kan kamu nggak nanya. Jadi, camilan yang kemarin itu juga? Sari mengangguk lagi, iya, emangnya kenapa, sih? tanyanya keheranan. 'Brenksek,' gumam David dalam hati.  *****(2)Toxic David memang tidak suka melihat Parlin sejak hari pertama kali masuk sekolah. Gaya Parlin yang arogan dan suka mengganggu membuat David sangat risih. Apalagi, Parlin setiap hari memeras uang jajannya setiap kali dia pergi ke kantin pak Tompel. Di sana, Parlin berlagak seperti anak senior saja. Mentang-mentang memiliki tubuh tinggi besar dan wajahnya yang sangar, dia lantas berbuat semena-mena kepada siswa yang lain. Anehnya, kakak kelas mereka yang ada di sana malah mendukung aksi yang dia lakukan itu. Mereka seperti mendukung apa yang dia kerjakan. Sehingga sikap arogan Parlin semakin menjadi-jadi. David yang masih jengkel dengan pengakuan Sari akhirnya mundur teratur kembali ke kursi tempatnya semula. Dia melihat Parlin sudah kembali dari kantin dengan mulut yang masih berminyak. Begitu juga dengan anak-anak yang lain, sudah mulai masuk memenuhi ruangan itu kembali untuk menghabiskan waktu sisa istirahat yang masih lumayan lama. Sebagian siswa cewek yang masih terbawa kebiasaan dari Sekolah Dasar mulai bersiap-siap mengambil ancang-ancang untuk bermain kuaci. Sejenis permainan anak-anak yang cara memainkannya dengan taruhan dan di lempar-lemparkan. Setelah beberapa anak perempuan berkumpul dan mulai meletakkan taruhan mereka di lantai, tiba-tiba saja Parlin datang ngerusuh dengan merecoki tumpukan taruhan itu. Tanpa pikir panjang, dia berlari masuk kedalam kumpulan anak cewek yang sedang labil-labilnya itu, kemudian menendang taruhan yang mereka tumpuk itu seperti sedang melakukan tendangan adu penalti dalam sebuah pertandingan sepak bola. Spontan, teriakan caci-maki, sumpah-serapah keluar dari mulut masing-masing anak-anak itu tanpa dikomandoi terlebih dahulu setelah melihat kuaci yang mereka tumpuk berserakan kemana-mana. Apalagi, jika mulut perempuan memang terkenal dua semenjak dahulu kala. Secara otomatis, ruangan itu menjadi riuh oleh makian yang di kerahkan khusus kepada Parlin. Ngaca dulu kau jadi orang! Udah misqueen nggak ada akhlak, teriak salah seorang dari mereka dengan suara nyaring. Biar tau kalian woi! Bapak dia orang misqueen. Kerjaan Bapaknya aja berkubang di lumpur-lumpur. Makanya anaknya jahat kek gini. Orang di kasi makan lumpur sama Bapaknya. Wanita muda itu terus saja mengoceh melampiaskan kemarahannya pada Parlin yang sedang mengintip dari luar jendela. Setelah merusuh tadi, dia menyelamatkan diri dengan berlari ke luar kelas karena takut di keroyok sama anak cewek. Itu memang sudah kebiasaannya dari dulu, bahkan semenjak dari Esde. Untuk teman-teman sekolahnya yang satu Esde seperti Sari, sudah terbiasa dengan tabiat Parlin. Kadang, Sari yang merasa malu sendiri dengan kelakuan teman kecilnya itu yang belum berpikiran dewasa. Makanya Sari enggan pergi ke kantin, karena merasa risih dengan kelakuan Parlin juga. Dia tau bahwa Parlin memang orang susah. Sejak Esde dulu pun, Parlin hanya berharap makanan bekal yang dia bawa untuk mereka makan berdua. Tetapi, setelah masuk SMP ini, Parlin sudah tak pernah lagi  berhubungan dengan Sari. Bahkan hanya untuk bertegur sapa pun mereka sudah tidak pernah sama sekali. Mungkin, mereka berdua sudah mulai memiliki rasa canggung satu sama lain atau masing-masing merasa malu jika harus diketahui oleh orang lain bahwasanya mereka pernah berteman akrab. Walaupun jauh dalam lubuk hati Sari yang paling dalam sebenarnya, dia menginginkan Parlin yang dulu. Dia rindu Parlin yang polos, yang rakus, yang patuh padanya karena takut tidak diberi makanan. Parlin yang selalu menjaganya saat pulang sekolah bersama. Bermain hujan bersama, menjaga burung di sawah bersama, bermain masak-masakan bersama. Sari rindu kebersamaan seperti dulu. Kadang dalam kesendirian, Sari juga merasa sedih. Merasa telah kehilangan seorang sahabat yang telah dia anggap sebagai saudaranya sendiri. Dan dia juga sempat berharap bisa menjadi lebih dari itu.  Lebih dari saudara. Menjadi abang misalnya, biar lebih dekat. Walaupun tak bisa dia pungkiri, bahwasanya dia juga berharap jika suatu hari nanti, Parlin bisa menjadi kekasih hatinya. Tapi melihat sosok Parlin saat ini, harapan itu seperti hanya tinggal harapan saja untuk Sari pendam sendiri. Walaupun masih berusia muda belia, tapi dia sudah bisa merasakan jika Parlin menyukai wanita lain yang baru saja mencaci maki pekerjaan orang tuanya. Wanita itu bernama Atikah, anak seorang pengusaha kaya di desa mereka. Ayah Atikah seorang tokoh pesohor dan berpengaruh di desa tempat tinggal mereka. Selain pengusaha, dia juga seorang pemimpin organisasi kepemudaan terkenal. Dia juga merupakan seorang kepala desa yang tak tergantikan. Dengan posisinya yang strategis itu, membuat semua keinginannya selalu mendapat dukungan dari warga dan pemuda setempat. Hanya satu hal yang belum bisa dia capai hingga saat ini, yaitu mengubah fungsi lahan persawahan menjadi lahan perkotaan dan perkantoran. Ambisinya untuk mengalihkan fungsi persawahan itu di tentang keras oleh para petani yang sudah secara turun menurun bercocok tanam. Beberapa waktu lalu, Pak Kades juga sempat menggandeng oknum anggota DPRD  untuk melancarkan aksinya. Tapi hal itu di tolak mentah-mentah oleh para petani dengan melempari rombongan itu dengan tanah lumpur. Atikah yang ikut menemani ayahnya menyaksikan kejadian itu langsung dengan mata kepalanya sendiri. Apalagi, Parlin si anak nakal juga ada di sana. Diam-diam, Atika memperhatikan pergerakan Parlin dan dia mendapati bahwasanya orang tua Parlin merupakan salah satu oknum yang ikut terlibat melempari rombongan mereka dengan tanah lumpur persawahan. Makanya Atikah membalas dendam dengan mempermalukan Parlin di hadapan teman-temannya. Apalagi, Parlin yang memancing permasalahan terlebih dahulu. Parlin yang merasa sudah terpojok, hanya mengintip dari celah jendela saja. Dia enggan masuk karena sudah terlanjur malu dengan omelan Atikah yang sulit untuk di debat. Parlin sangat malu dengan pekerjaan ayahnya yang sudah terbongkar secara publik. Dia sangat menyesal karena sudah terlahir dari keluarga misqueen yang berprofesi sebagai petani tradisional. Kadang, dia juga merasa heran dengan sikap para petani yang menolak pihak pemerintah desa untuk memajukan kampung halaman mereka. Dia merasa aneh, kenapa para petani itu, termasuk orang tuanya sendiri masih betah berkubang dengan lumpur. Bukankah pekerjaan perkantoran jauh lebih menjanjikan? Dari itu, Parlin selalu merasa iri dengan David. Bagaimana mungkin, anak gendut itu bisa bernasib mujur dengan terlahir dari keluarga besar polisi. Padahal, gayanya saja seperti itu. Untuk membawa bobot badannya saja, dia terlihat kesusahan. Bagaimana mungkin jika dia akan diwarisi sebuah tanggung jawab tugas negara? Apakah dia akan mampu?  Makanya, Parlin selalu menjadikan David sebagai bahan mainan dan bahan bulian. Parlin merasa lebih hebat dan lebih pantas dari pada pria culun itu untuk mengemban sebuah tanggung jawab negara di masa yang akan datang. Karena menurutnya, dia lebih berbakat dari pada David. Tanpa dia sadari, selain bakat, masih banyak faktor lain yang bisa menentukan seseorang untuk sukses. Tapi, Parlin kecil belum menyadari hal itu, karena dia sendiri bukan tipe manusia yang respect dan cepat peka terhadap lingkungan sekitarnya.  ****(3)Teman Dekat  Bel tanda masuk telah berbunyi. Terdengar suara guru piket memberi aba-aba dari dalam kantor, menyuruh agar seluruh siswa-siswi yang masih berada di luar untuk segera memasuki ruang kelasnya masing-masing, dengan menggunakan pengeras suara. Jam istirahat telah selesai, semua siswa harap memasuki ruang kelasnya masing-masing! Jangan adalagi yang berkeliaran di luar. Tunggu gurunya di kursi masing-masing dengan tenang! Woi Parlin, ngapain lagi kau di situ. Masuk kau cepat! Ku tempeleng nanti kepala kau! Suara Pak Je Black terdengar lantang memberikan peringatan kepada Parlin yang masih berdiri di luar. Dia masih merasa takut untuk masuk. Sebenarnya, takut bercampur malu juga. Itulah yang membuat dia ragu. Anak yang selama ini terkenal pemberani dan tidak takut kepada siapapun, hari ini telah menemui sedikit kelemahannya. Ternyata, dia memiliki rasa takut juga. Lucunya, dia merasa takut kepada anak perempuan yang bernama Atika. Padahal, raut wajah Atika itu sangat menyenangkan dan tidak menakutkan sama sekali. Tapi, kenapa Parlin merasa ketakutan? Apakah sekarang dia mulai merasa khawatir, takut jika sampai status sosial orang tuanya akan terbongkar dan menjadi viral di area sekolahan? Entahlah. Yang pasti, hari ini Parlin sedikit mengerti bahwa tak ada manusia yang sempurna. * Hari ini kamu bawa apa?  David sudah menunggu Sari yang baru saja memasuki pintu pagar sekolah. Tadi David nggak sempat sarapan pagi berhubung ibunya pergi ke luar kota. Dia hanya di titipkan ke petugas piket saja hanya untuk sekedar memantaunya. Karena mereka tinggal di sekitar kompleks rumah dinas polisi, jadi bisa dijamin aman sembilan puluh persen. Saya bawa lupis, kamu mau? Sari menawari sembari terus berjalan menuju ruangan mereka menuntut ilmu. David juga kini berjalan sejajar dengannya. Lupis? Kening David mengernyit dengan mengulang kata lupis. Lupis itukan yang bentuknya segi tiga dan kalau dipegang suka lengket-lengket. Yang sering di jual sama lontong. Otak David mulai traveling. Karena dia juga sering mendengar ibu muda di sebelah rumahnya sering mengomel memarahi anaknya yang masih kecil agar menutup lupisnya. Anak kecil itu suka berlarian ke luar rumah tanpa busana untuk mencari perhatian. Iya, kenapa? Kamu nggak suka lupis? Suka, suka, suka, jawab David cepat. Takut kalau Sari nanti berubah pikiran atau malah merajuk. Perempuan suka bawa perasaan kalau kurang dapat perhatian. Kan bisa rugi nggak dapat sarapan lupis gratis. Padahal, David sangat jarang sekali makan lupis, entah kenapa ibunya nggak pernah beli. Dan yang paling penting, David bisa sarapan bareng lagi sama Sari. Entah kenapa, akhir-akhir ini perasaan David berbeda jika dekat dengan Sari. Dia bisa mengetahui  lebih banyak hal-hal yang menakjubkan di luar sana jika mendengar cerita dari Sari. Seperti main layangan misalnya, memancing ikan di sawah, buat terompet dari batang padi dan banyak lagi. Imajinasi David seketika traveling bebas dan berkeliaran kemana-mana membayangkan apa yang di ceritakan oleh Sari yang sehari-hari bermain di sawah. Apalagi saat musim menjelang panen padi tiba. Sari hampir setiap hari selepas pulang sekolah akan pergi ke sawah buat membantu neneknya. Ini juga terbuat dari beras, kan? tanya David setelah menyantap sepotong lupis yang diberikan Sari. Iya, tapi berasnya beda. Namanya beras pulut.  Beras pulut? Bedanya apa? Rasanya lebih gurih!  Ooo, berarti nasi gurih itu, terbuat dari beras pulut juga? Bukan, bukan. Kalau nasi gurih ya tetep dari beras biasa. Tapi rasanya kok gurih? tanya David serius. Ya ampun, Vid! Kamu kok bego amat jadi makhluk, sih. Masa gitu aja nggak tau? Abisnya belum kamu kasi tau sih, jawab David serius. Kalo nasi gurih itu, beras biasa di tambahin santan, lho. Masak kamu nggak pernah denger? David menggeleng.  Kamu bisa membuatnya?  Ya bisa lah, kan aku sering bantuin Simbah buat masak. Kalo gitu, besok aku pesan di buatin ya nasi gurih. Aku pengen nyicipin masakan kamu! Dengan senang hati, Sari mengangguk cepat tanda setuju ingin membuatkan nasi gurih pesanan David. Padahal, David hanya minta bukan mau beli. Tapi buat Sari betapa bahagianya saat merasa dirinya dibutuhkan oleh seseorang. Sedangkan di rumah sendiri, sebenarnya Sari nggak begitu merasa di butuhkan. Semua-semua meski si Mbah yang ngerjain sendiri. Bukannya tak ingin membantu, tapi Mbah Legi selalu melarang jika dia berkeinginan meringankan beban Mbah Legi. Sudah biar simbah aja yang ngerjain. Kamu cuci tangan, cuci kaki pergi saja tidur sana! Perintah Mbah Legi saat Sari ingin membantu sekedar mencuci piring bekas makannya. * Namboru! Kalo masak nasi gurih itu, caranya bagaimana? tanya Sari kepada ibunya Parlin. Tinggal di tambahin santan aja, kenapa rupanya? Mau belajar aku, Namboru! Kenapa nggak belajar sama Simbah? Jangan Namboru, nanti Simbah yang masak sendiri. Sedangkan ini tugas dari sekolah, Sari harus praktek sendiri. Bisa Namboru mengajarin Sari kan? Sari tampak memelas kepada Namboru Sirait, ibunya Parlin. Apalagi, demi David dia terpaksa berbohong, padahal kepada David tadi siang, dia juga sudah berbohong. Dan nanti, dia akan berbohong lagi kepada Mbah Legi. Dan kebohongan itu akan terus berlanjut untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang sudah-sudah. Padahal dia tahu sendiri kalau bohong itu adalah dosa. Baiklah, jawab Namboru Sirait mengalah. Kapan kamu akan melakukannya? Kalau sekarang, bagaimana Namboru? jawab Sari dengan antusias. Kalo di bawa untuk besok, dingin dong! Bagaimana kalo kamu datang besok subuh saja, biar nasinya masih hangat untuk di bawa ke sekolah. Namboru menyarankan. Sari mengangguk tanda setuju. Baiklah, Namboru! serunya. Tak lama, Parlin keluar dari dalam kamar dan melewati mereka berdua yang sedang berada di dapur. Sari yang sudah tertangkap basah sedang berbohong, menjadi salah tingkah merasa tidak enak sendiri. Takut kalau rencananya di gagalkan oleh Parlin. Dia berpikiran, mungkin Parlin diam-diam ikut mencuri dengar pembicaraan mereka barusan. Tapi, kelihatannya Parlin hanya cuek saja seolah-olah tidak melihat ada orang di situ. Dia pergi menuju kamar mandi yang tak jauh dari tempat Sari dan ibunya bercengkrama. Setelah pintu tertutup, terdengar suara air mengalir deras seperti suara air kran yang dibuka sebesar-besarnya. Jongkok kau kencing, Parlin! Entah kemana-mana kencing kau itu merembes. Abis dinding bau kencing jengkol kau buat. Ibunya menegur Parlin yang berbuat semena-mena sama tembok kamar mandi. Sari yang mendengar itu, segera menutup mulutnya menahan tawa. Walaupun dia juga merasa sedikit tidak enak karena sudah mulai berpikiran remaja. Tapi Parlin, memang masih bersifat seperti anak-anak sama seperti dulu, walaupun yang sekarang badannya sudah semakin membesar.  Kau nggak ikut praktek, Parlin? tanya ibunya setelah anak laki-laki itu ke luar dari kamar mandi. Dia hanya diam saja tak menggubris pertanyaan ibunya. Memang begitulah sikap Parlin di rumah. Sangat irit bicara dan terbilang cuek dan nggak perduli. Yang dia tau, semua keinginannya harus bisa terpenuhi. Tapi karena ibu dan bapaknya belum bisa memenuhi permintaan Parlin, maka komunikasi mereka jadi terganggu. Sudah beberapa minggu ini, sejak duduk di bangku SMP, Parlin minta di belikan motor. Tapi karena terkendala dana, orang tuanya belum sanggup memenuhi permintaannya itu. Itulah penyebabnya Parlin tidak mau bicara lagi. Memang aneh anak semata wayang itu.... *****(4)Gagal Jadi kamu berangkat, Lin? tanya Sari kepada Parlin yang sudah bersiap-siap akan berangkat pergi ke luar kota. Di sampingnya sudah terletak sebuah tas sandang berukuran besar sebagai tempat pakaian untuk pakaian bersalin nanti selama di perantauan. Parlin mengangguk. Jadi, jawabnya singkat sembari mengenakan sepatu. Kalau kamu gagal lagi, bagaimana? Aku tidak akan gagal tahun ini. Aku yakin, aku akan lulus. Mendengar itu, Sari tertunduk. Dia merasa sedih karena tidak terlalu dipedulikan oleh Parlin tentang perasaannya. Hari ini, Parlin akan berangkat lagi untuk mengikuti tes seleksi calon TNI di daerah lain. Tahun kemarin, dia juga ikut. Namun gagal di tengah jalan. Karena kegagalan itu, Parlin sempat kecewa. Pada waktu itu, ada Sari yang mencoba untuk menghiburnya agar kembali bersemangat. Bahkan, Sari menawarkan diri agar Parlin mau menikah dengannya. Di desa mereka, menikah setelah lulus SMA itu hal yang lumrah. Sebagai wanita, Sari juga menginginkannya. Apalagi, Simbah juga sudah tidak ada. Sekarang, Sari hanya tinggal sebatang kara dan menumpang hidup di rumah orang tua Parlin. Orang tua kandung Sari sebenarnya sudah pernah datang menjemputnya, untuk membawanya ikut ke luar negeri bersama mereka, tetapi Sari menolak. Dia berdalih ingin tetap tinggal di kampung untuk merawat makam neneknya. Padahal, bukan itu alasan sebenarnya. Wanita yang belum genap berusia dua puluh tahun itu hanya tidak ingin meninggalkan banyak kenangan manis yang sudah dia lalui di desa ini. Dia juga memiliki harapan yang besar untuk membangun sebuah masa depan di sini pula. Sari merasa bahagia tinggal di desa ini. Perasaannya begitu damai dan sentosa. Setiap hari bisa menghirup udara segar langsung dari alam. Matanya selalu di manjakan oleh pemandangan yang eksotis setiap hari. Mulai dari penampakan betapa indahnya pemandangan  bukit barisan yang memanjang naik-turun dari kejauhan. Di suguhi oleh hamparan sawah yang sangat luas, sejauh mata memandang. Di setiap musim, pemandangan di sawah itu akan selalu berubah-ubah mengikuti musimnya masing-masing. Kadang terlihat menghijau, kadang terlihat menguning dan kadang terlihat gersang saat musim kemarau telah tiba. Begitulah hidup, yang setiap saat selalu berubah. Kadang bahagia, kadang sengsara. Kadang gembira, dan kadang bersedih. Kadang senang dan kadang juga bisa susah. Selain itu, dia juga memiliki sebuah impian yang sangat besar, yaitu bisa membangun sebuah rumah tangga di sini pula. Dia ingin sekali mewarisi semua yang telah di tinggalkan oleh neneknya. Seseorang yang sangat dia kagumi untuk seumur hidupnya. Dalam hati yang paling dalam, kadang Sari merasa bersyukur bisa tumbuh dan besar di kampung ini dan terlahir sebagai cucu seorang petani sejati. Tapi, tidak demikian dengan Parlin. Hampir setiap hari dia merutuki dirinya sendiri dan merutuki kedua orang tuanya,          karena merasa menyesal telah terlahir ke dunia ini sebagai anak petani. Dia sangat benci dengan petani dan apapun yang berhubungan dengan mereka. Dia sangat membenci sawah dan orang-orang yang berhubungan dengan itu. Dan rasa benci itu tumbuh kembang sejak dia di hina dan di permalukan oleh seorang wanita yang dia kagumi saat duduk di bangku sekolah dulu. Dan untuk mengikuti tahap seleksi tahun ini, Parlin memaksa kedua orang tuanya untuk menjual sawah yang mereka miliki. Hasil penjualan sawah itu rencananya akan dia jadikan sebagai modal awal untuk merubah nasib. Dengan mengikuti seleksi calon prajurit TNI tahun ini kembali. Walaupun secara luas sudah diumumkan bahwa tidak akan ada pungutan biaya sepersen pun, tapi tidak demikian dengan kenyataannya. Parlin yakin, pada tahun lalu dia gagal karena tidak memiliki uang yang cukup untuk biaya administrasi. Dan Sari, saat Sari mengajaknya untuk menikah tahun lalu, tentu dengan tegas dia menolak keras. Bagaimana mungkin dia akan menikah dengan gadis kampung seperti itu. Sungguh tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Sari bukan kriteria wanita impian Parlin. Wanita impian Parlin itu harus wanita yang sempurna. Berkulit putih, bermata sipit, berambut hitam, berhidung mancung dan harus dari keluarga terhormat. Sebagai seorang laki-laki, Parlin berhak untuk memilih. Dan satu-satunya wanita yang memiliki kriteria seperti di atas hanyalah Atika seorang. Sang pujaan hati. Sedangkan Sari sendiri, tidak memiliki satupun dari kriteria yang di idamkan oleh Parlin. Sari memiliki kulit hitam kegelap-gelapan. Walaupun selama ini, dia sangat rajin untuk merawat kulitnya. Setiap hari, wanita bermata teduh itu tidak pernah lupa untuk memakai bedak dingin jika akan berangkat ke sawah. Bedak yang dia racik dengan tangannya sendiri yang terbuat dari campuran bahan-bahan alami seperti tepung beras dan kunyit yang di padukan, sebagai alat kecantikan tradisional yang diturunkan secara turun temurun di keluarga mereka. Sari juga tidak memiliki mata yang sipit, melainkan mata yang teduh. Yang apabila seseorang telah melihat tatapannya dan masuk kedalam, maka dia tidak akan pernah bisa untuk ke luar dan akan sangat sulit untuk melupakannya. Tapi sayang, semenjak mereka remaja, Parlin sudah tidak pernah lagi menatap mata itu secara langsung. Pemuda dengan gaya potongan rambut cepak itu tidak ingin memalingkan pandangannya walau hanya sebentar kepada wanita lain, kecuali Atika seorang. Sedangkan rambut, Sari juga tidak memiliki rambut yang hitam berkilau seperti apa yang di inginkan oleh Parlin, melainkan memiliki rambut yang berwarna agak kecoklatan karena terlalu sering terpapar cahaya sinar matahari langsung. Hampir setiap hari Sari beraktifitas di luar ruangan, berteman dan berbaur dengan alam sehingga rambutnya menjadi rusak. Hidung, Sari hanya memiliki hidung pesek dan kecil. Namun sangat serasi dengan bentuk wajahnya yang mungil. Dengan memiliki bentuk hidung yang seperti itu, dia malah terlihat sangat imut. Setidaknya, begitulah yang pernah David katakan padanya. Sedangkan keluarga. Selama ini Sari hanya tinggal bersama neneknya, Mbah Legi. Selama hidupnya, Mbah Legi memang sangat di hormati oleh orang-orang kampung karena usianya yang sudah tua. Selain di hormati, beliau juga sangat di santuni oleh warga sekitar. Tapi, Mbah Legi sudah tidak ada lagi. Sekarang Sari hanya menumpang di rumah orang tuanya Parlin yang sudah dia anggap sebagai orang tuanya sendiri. Namun dia tahu sendiri, bahwa Parlin tidak pernah menaruh hormat sama sekali kepada mereka berdua. Melihat itu, Sari merasa sangat prihatin dan bertekad kuat untuk mengubah sikap Parlin tersebut. Dia berjanji pada dirinya sendiri, dengan sekuat daya dan upaya, bahwasanya dia akan membawa Parlin kembali ke jalan yang semestinya di lakukan oleh seorang anak kepada orang tua. Yaitu patuh dan taat serta mengabdi kepada nasihat ibu dan bapaknya. Hati-hati kamu di jalan, Nak! Jaga diri kamu baik-baik selama di sana. Di mana bumi di pijak, di situlah langit di junjung. Nasehat ibunya pada Parlin sesaat sebelum dia berangkat. Sedangkan ayahnya sendiri, tidak sudi melihat kepergian Parlin. Sang Ayah tidak setuju saat Parlin memintanya untuk menjual sawah mereka sehingga mereka berdua berselisih paham sehingga terjadilah perdebatan yang hebat antara anak dan Bapak itu. Tapi, karena mendapat dukungan dari sang istri untuk anaknya, Parlin. Akhirnya sang ayah mengalah juga. Jangan lagi ku lihat kau pulang ke rumah ini sebelum tercapai cita-cita kau itu. Jangan sekali-kali kulihat kau berani menginjakkan kaki lagi di rumahku sebelum kulihat kau menyandang senjata! Ancam ayahnya malam itu ketika menyerahkan uang hasil menjual beberapa petak sawah milik mereka. Oke...oke....Bapak jual, aku beli. Aku juga tidak akan sudi untuk pulang ke rumah ini lagi sebelum aku sukses, jawab Parlin yakin menantang ayahnya. Dan saat Parlin beranjak pergi, Sari hanya bisa menangis di sudut kamar. Mengintip dari balik celah jendela sampai Parlin tidak terlihat lagi. Dia bersedih karena merasa gagal untuk yang kedua kalinya dalam menahan dan meyakinkan Parlin agar jangan pergi lagi. *****(5)Pulang  Beberapa bulan kemudian setelah kepergian Parlin, Sari mendengar kabar bahwa Parlin gagal lagi untuk yang ke dua kalinya. Dengar-dengar uang hasil penjualan sawah yang dia bawa itu di bawa kabur oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Parlin kena tipu.  Pada saat ini, dia sudah kembali ke daerah asalnya, namun tidak berani untuk pulang ke rumah orang tuanya karena takut melihat ayahnya marah lagi. Parlin memutuskan untuk menumpang di rumah temannya saja. Kebetulan, ada salah satu temannya yang memiliki keluarga broken home. Ayahnya ada di barat dan ibunya ada di timur. Jadilah si anak tersebut memilih untuk tetap tinggal sendiri di rumahnya, agar konflik antara ayah dan ibunya tidak semakin membesar. Jadi, si anak itu lebih memilih untuk berlaku netral. Tidak berpihak ke blok barat maupun ke blok timur. Tapi di saat usia yang masih labil dan sedang rawan-rawannya seperti saat ini tanpa mendapat pengawasan langsung dari orang tua, membuat si anak yang di tinggal tadi merasa kesepian. Sehingga dia mengumpulkan banyak orang di rumahnya untuk menemaninya setiap hari. Anak-anak remaja yang menginginkan suatu kebebasan bisa datang dan di sambut baik di rumahnya. Karena di tempat anak itu memang benar-benar bebas untuk melakukan apapun. Tapi sayang, kebebasan yang mereka peroleh itu mereka gunakan hanya untuk melakukan hal-hal yang berbau negatif saja. Di tempat itu mereka bebas melakukan apa saja, memakai obat-obatan terlarang, meminum minuman keras, berjudi dan bahkan ada pula yang berani berzina. Di tempat itu pula, banyak anak-anak yang belajar untuk menjadi anak gaul. Dari tidak tau apa-apa, sekarang sudah bisa menjadi guru. Dari yang lugu menjadi candu. Dari yang alim menjadi binal. Semua itu terjadi karena akibat dari salah pergaulan. Di antara anak-anak yang rata-rata masih berusia labil itu, ada Parlin salah satunya. Dia memilih untuk singgah ke tempat itu karena di sanalah dia di sambut dan merasa di terima. Dia datang dengan raut wajah kecewa dan putus asa. Kenapa, Bang Pe? Kok, suntuk kali muka Abang, ku tengok? tanya Salman, sang empunya rumah menyambut kedatangannya. Parlin tak menjawab pertanyaan remaja yang usianya masih di bawah umur itu. Parlin duduk di sebuah kursi panjang yang ada di teras rumah sembari meletakkan tas yang dia bawa dan mulai membuka sepatunya. Ada rokok? tanya Parlin kepada anak itu. Sebentar! Salman masuk ke dalam rumahnya dan tak lama kemudian kembali lagi ke teras dengan membawa sebungkus rokok. Ini, Bang Pe! Kalau Bang Pe mau minum, ada itu di dalam. Orang itu lagi pesta-pesta. Gabung aja sama mereka. Ajak Salman menawari. Selain sebagai pemilik rumah, Salman juga berperan seperti calo di tempat itu. Dia akan menyambut siapa saja yang datang ke rumahnya dengan ramah. Biasanya, dia juga tak pernah keberatan jika ada tamu yang datang dan menumpang hidup di rumahnya dalam waktu yang lama secara gratis, sampai orang itu mendapatkan pekerjaan. Tak heran jika dia di kenal banyak pemuda-pemudi dari berbagai kampung di daerah mereka tinggal.  Setelah mematik korek untuk menyalakan rokok tadi, Parlin mulai meluruskan badan dengan bersandar ke sandaran kursi untuk relaksasi. Dia mulai menikmati sensasi asap yang masuk dari mulut dan keluar dari hidungnya. Dia juga mulai kembali berpikir, apa yang akan dia lakukan untuk masa depan. Sedangkan harapan satu-satunya sudah pupus begitu saja. Bagaimana kabarnya, Bang? tanya Salman berbasa-basi. Hancur, jawab Parlin singkat sembari menghembuskan asap yang ada di kerongkongannya dengan kasar. Apa abang gagal lagi? Salman kembali bertanya dengan ramah. Padahal dia sendiri sudah tau dari beberapa hari yang lalu, jika Parlin sudah tereliminasi dari tahap seleksi. Parlin hanya mengangguk dan kembali menikmati sensasi asap yang masih tersisa. Jadi, apa rencana abang selanjutnya? Parlin hanya menggeleng, tidak tau harus berbuat apa. Saat ini pikirannya memang benar-benar buntu. Salman ikut menyalakan rokok yang ada di tangannya, dan mulai menikmati candu itu. Mencoba ikut bersimpati atas derita yang sedang di alami oleh Parlin.  Kalau abang mau, aku ada ide cemerlang. Ini pun kalau abang nekat. Sudah lama ini aku pikirkan, Bang! Tapi sampai saat ini, tak ada satu orang pun yang berani melakukannya. Apa itu? tanya Parlin penasaran. Kalau di singgung masalah nekat ataupun berani, Parlin tidak perlu di ragukan lagi. Sampai sejauh ini, hanya ada dua orang yang dia takuti, yang pertama Atika, sudah sejak lama. Dan yang ke dua Ayahnya, itu pun baru-baru ini saja.  Abang lihat truk yang lewat itu! Salman menunjuk ke arah sebuah truk yang sedang melintas, membawa buah kelapa sawit segar yang baru saja di petik dari kebun. Parlin mengangguk. Karena hal itu memang sudah biasa dia lihat semenjak dia masih kecil. Bagaimana kalau truk-truk yang melintas di jalan kita ini, kita stop. Lalu jika mereka ingin lewat, mereka harus membayar upeti dulu sebagai uang keamanan. Apa abang Pe berani? Parlin terdiam. Dia tak menjawab pertanyaan Salman barusan. Parlin tau betul siapa pemilik truk dan kelapa sawit yang bolak balik melintas ke luar masuk perkampungan mereka. Orang itu bukan orang yang sembarangan. Orang itu orang hebat, kuat dan sangat berpengaruh pula. Anggotanya banyak dan sangar-sangar. Dia juga merupakan pendiri salah satu organisasi kepemudaan di daerah yang mereka tinggali. Parlin berpikir, alangkah bahayanya jika sempat berurusan dengan orang itu. Bahkan orang itu juga di juluki warga sebagai Tuan Takur karena besarnya pengaruh beliau di daerah itu. Bagaimana mungkin Parlin akan bermusuhan dan bentrok dengannya, padahal selama ini, Parlin sangat mengidolakan orang itu.  Parlin sudah mengetahui sepak terjang dan latar belakang beliau yang sangat di hormati itu. Parlin sudah mempelajari semua tentang beliau yang terkenal dengan sebutan Pak Kades. Kepala Desa yang tak tergantikan di kampung mereka selama puluhan periode. Bahkan dia menjabat sebagai Kepala Desa pada waktu usia yang masih muda. Itu bukan berarti bahwa dia merupakan orang yang pintar, lulusan Sarjana di usia belia. Tidak, bukan karena itu dia terpilih. Dia terpilih karena memiliki pergaulan yang sangat luas. Bahkan menurut informasi, Pak Kades juga tidak lulus Sekolah Dasar waktu dulu. Dari itu pula pengikutnya bertambah banyak. Apalagi dari golongan orang-orang yang tidak mampu mengemban pendidikan tinggi, namun memiliki kemauan yang sangat keras untuk sukses. Maka, tidak salah jika mereka memilih Pak Kades sebagai guru sekaligus motivator untuk mereka amalkan ilmunya. Bagaimana, Bang? Apa abang Pe, mau? tanya Salman lagi. Oke. Oke. Aku mau. Tapi, bagaimana cara kita untuk melakukannya? Kalau masalah itu, abang Pe serahkan saja kepadaku. Biar aku yang mengurus semuanya. Pokoknya, Abang Pe cukup tanda tangan saja sebagai ketua.  Oke. Oke. Aku mengikut saja apa yang ingin kau rencanakan. Pokoknya, kalau ada apa-apa, bilang saja sama aku. Biar aku yang bereskan. Tapi aku mau tidur dulu. Sudah mau pecah kepalaku ini berpikir. Kemudian,  Parlin masuk ke dalam rumah besar itu dan menuju sebuah kamar untuk tidur. Bos! Tolong volume musiknya di kecilin dulu, ya! Sudah seminggu ini aku belum tidur! pintanya pada segerombolan cewek-cowok yang sedang berkumpul mabuk-mabukan. Para kumpulan muda-mudi itu memilih untuk mengalah, walaupun merasa sedikit jengkel karena merasa di perintah. Karena banyak dari mereka yang sudah mengenal betul sama Parlin. Pemuda yang memiliki watak keras kepala dan suka mengatur sejak kecil. *******(6)Ketua Geng Bagaimana, Bang? Apa kita pasang sekarang? tanya Salman pada Parlin meminta persetujuan. Gas terus! Makin cepat makin baik, ucap Parlin yakin. Mereka mulai mengangkat sebuah besi besar yang sudah di tempah pada pandai besi alias tukang las beberapa hari yang lalu. Besi berukuran panjang itu rencananya akan di jadikan sebagai portal jalan untuk menghalangi truk pengangkut hasil kebun dari hutan yang melintas di desa mereka. Sistem yang akan mereka berlakukan merupakan sistem buka tutup. Dan setiap beberapa jam sekali, mereka akan secara bergantian untuk berjaga. Beberapa hari yang lalu juga, mereka telah selesai membangun sebuah pos jaga persis di depan rumah Salman. Sedangkan rumah pemuda berkulit putih dan memiliki tatto di lengan itu akan mereka jadikan sebagai markas besar organisasi. Bagian dinding luar bangunan itu juga sudah mereka perbarui dengan mengubah warna dan coraknya. Beberapa bagian dinding juga di aplikasikan dengan visual yang mengerikan agar terlihat horor dan ekstrim. Mereka sudah mempersiapkan ini sejak sekitar tiga minggu yang lalu. Tak hanya Parlin dan Salman, organisasi yang baru saja mereka bentuk itu sekarang sudah memiliki puluhan anggota. Tentu saja Parlin sebagai ketua dan Salman yang menjadi wakilnya. Bagaimana, Bang Pe? Apa kita tutup dari sekarang? tanya Salman lagi kepada ketuanya setelah selesai memasang portal tadi. Besok saja! Siapa pula malam-malam begini yang mau lewat? ucap Parlin sembari melirik jam yang melingkar di lengannya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Sengaja mereka memasang portal tersebut tengah malam agar tidak terlalu mencuri perhatian publik. Sebab jika sampai menjadi sorotan publik, itu bisa merusak semuanya. Mereka sudah memikirkan matang-matang jika mereka memasangnya pada siang hari, berkemungkinan apa yang sedang mereka rencanakan itu bisa saja gagal. Jika para warga merasa keberatan, bersatu dan bergerak. Mereka bisa apa? * Masih pagi-pagi sekali, tiba-tiba saja Parlin di kejutkan oleh suara Salman yang membangunkannya. Segera dia membuka mata dan bangkit untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di luar sana. Kenapa ribut sekali. Siapa yang masang portal di sini, ha? Cari mati kelen, ya? Cepat kalian buka itu! Sebelum datang petugas ke sini untuk mengamankan. Salah seorang sopir truk yang akan melintas marah-marah karena truk yang dia kendarai tidak bisa lewat. Panggil aja Bos mu ke sini, Pak! Biar bisa kita diskusikan baik-baik. Sudah puluhan tahun truk-truknya melintas dari jalan kami, kami biarkan dengan aman. Tapi, apa untungnya sama kami. Tidak ada. Kami tidak mendapatkan keuntungan apa-apa sedikitpun. Padahal, jalan kami hancur dan rusak parah karena truk-truk ini membawa muatan yang melebihi kapasitas. Untung nggak kami bakar sekalian trukmu ini, Pak! seru Parlin menantang. Awalnya, Bapak Sopir truk tetap ngotot tak mau kalah. Namun, lama kelamaan dia mundur juga setelah belasan pemuda lainnya ikut berkumpul di tempat itu membela Parlin, hingga Pak Sopir terpaksa memberitahukan kepada Bos, majikan tempat dia bekerja melalui panggilan telepon. Udah, Bang Pe. Sikat aja kalau susah di bilangin. Biar bisa jadi contoh untuk Sopir yang lain. Iya, Bang Pe. Sikat aja! Teriak para anak muda itu saling bersahutan memanas-manasi. Setelah beberapa menit menelepon, akhirnya Pak Sopir mau menuruti permintaan anak-anak muda itu. Dia bersedia menyerahkan sejumlah uang seperti yang mereka pinta agar di ijinkan untuk lewat. Gitu lah, Pak. Dari tadi, kek. Kan enak, seru mereka beramai-ramai sembari membuka portal. Ini merupakan penghasilan pertama mereka sebagai organisasi preman. Setelah keributan pagi tadi, kini terjadi lagi keributan di tempat yang sama. Kali ini yang memancing keributan bukan sopir truk lagi, melainkan anggota polisi berpakaian lengkap datang dan meminta agar portal itu di cabut. Tidak bisa, Pak! Tidak bisa. Bapak lihat saja sendiri, jalan kami rusak karena truk-truk itu. Kalau Bapak masih saja ngotot, mana surat perintah Bapak untuk mengamankan ini. Kami minta surat perintahnya dulu yang langsung ditanda tangani oleh Bupati. Selain itu, kami tidak mau terima. Mendengar permintaan mereka, Pak Polisi tadi mundur teratur. Dia tidak bisa berkutik karena kekurangan personil. Apalagi dia tidak membawa surat perintah seperti yang mereka pinta sama sekali. Tadi, dia hanya di suruh oleh atasannya di kantor agar pergi mengecek lokasi keributan antara warga dan sopir truk pagi tadi. Makanya bapak itu datang dengan membawa seorang teman seprofesinya untuk menakut-nakuti. Namun perkiraannya salah besar, bukannya takut. Anggota geng Bang Pe malah terlihat murka dan berani menantang mereka berdua. Bahkan menantang atasannya langsung agar datang ikut turun kelapangan. * Kenapa tidak Abang Pe sikat aja tadi! Aku aja udah emosi melihat mereka . Andai Bang Pe mulai sedikit aja tadi, udah abis orang itu babak belur. Beberapa anggotanya mencoba memprovokasi Parlin agar bertindak lebih nekat, karena merasa kurang puas dengan tindakan Parlin tadi yang hanya berdebat adu mulut. Padahal mereka tidak tau jika hal itu di lakukan, dapat melanggar undang-undang dan bisa terkena sanksi pidana karena sudah berani memberontak kepada aparat penegak hukum yang merupakan alat negara. Jangan dulu. Tahan emosi. Kita tunggu saja itikad baik dari mereka. Kalau mereka beritikad baik, maka kita sambut dengan baik pula. Kalau mereka beritikad buruk, baru kita sikat. Sebagai ketua kelompok, Parlin mencoba menenangkan anggotanya dan bersikap dewasa. Padahal sebelum ini, dia tidak pernah melakukan hal seperti itu. Dimana, setiap masalah selalu dia selesaikan dengan kekerasan. Seperti waktu tahap seleksi kemarin saja, dimana setiap calon prajurit yang mengikuti tes di wajibkan untuk membuka pakaian. Parlin yang melakukan itu malah ditertawakan oleh beberapa calon prajurit yang lain karena mendapati  tubuh Parlin, tepatnya di punggungnya ada sebuah tanda lahir berbentuk bulat dan berwarna merah seperti kurap. Melihat itu, mereka tertawa terbahak-bahak sambil sesekali meledek Parlin dengan sebutan yang kurang menyenangkan. Seperti kucing kurap misalnya. Mendengar dia menjadi bahan bulian, Parlin tidak terima. Tanpa pikir panjang, dia langsung menghajar beberapa anak itu sampai babak belur. Melihat kejadian itu, tim panitia yang di tunjuk sebagai pembina langsung mengeluarkan Parlin dari kesatuan karena dianggap sudah melanggar kode etik. Padahal, Parlin hanya ingin membela dirinya dan mempertahankan kehormatannya agar harkat dan martabatnya tidak di injak-injak oleh orang lain. Kenapa dia di keluarkan? Itulah yang menjadi pertimbangan untuk Parlin agar lebih berhati-hati lagi dalam bertindak. Alah, Bang! Tak usah mengharap itikad-itikad baik segala dari mereka. Hajar aja langsung. Jangan mau dibodohi sama mereka lagi. Orang-orang itu hanya mau membela siapa yang memiliki banyak uang saja. Kalau kita tidak punya uang, walaupun berdiri di pihak yang benar sekalipun, tidak akan ada yang membela. Lagi-lagi para anggotanya kembali memprovokasi. Mendengar itu, Parlin terpancing juga. Apalagi setelah teringat kembali kepada perihal yang menimpa dirinya beberapa waktu lalu. Setelah di keluarkan secara sepihak dari tahap seleksi sebagai calon prajurit TNI. Akibat dia nekat memukul beberapa orang calon prajurit yang merupakan anak dari orang-orang kaya dan terpandang. Sekarang Parlin sedikit mengerti tentang istilah orang Batak yang sudah cukup terkenal, bahwasanya. Hepeng do na mangatur nagaraon. Dan ternyata itu semua benar. Bahwasanya hanya uang yang bisa mengatur negara ini.Setidaknya , itulah yang Parlin lihat dan rasakan untuk saat ini. *****(7) Saling Cemburu Semakin hari, nama Parlin semakin berkibar dan banyak di bicarakan orang-orang. Ada yang memuji dan ada pula yang mencibir, menakut-nakuti tentang resiko besar yang kemungkinan akan dia dapatkan. Tapi, Parlin bersikap biasa saja. Dia tau bahwa setiap pekerjaan memiliki resiko tersendiri yang harus di hadapi. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Seperti saat ini, pemuda tanggung itu kembali di datangi oleh beberapa orang tidak di kenal dengan postur tubuh tegap tinggi. Mereka menanyakan tentang keberadaan Parlin. Dari gelagatnya, pasti mereka orang jauh. Buktinya, mereka tidak mengenal Parlin secara pasti. Parlin yang saat itu sedang beristirahat, terpaksa bangkit untuk menemui tamunya. Sejak mendirikan sebuah organisasi kepemudaan  dan menjabat sebagai ketua, tidur Parlin selalu tidak nyenyak. Ada saja yang mengusik waktu istirahatnya. Baik itu siang hari maupun malam hari. Seolah-olah mereka tidak tahu waktu saja. Kau yang namanya Parlin? Iya, Bos! Ada apa mencari saya? tanya Parlin menantang. Berani sekali kamu mendirikan sebuah organisasi tanpa ijin. Kamu pikir, membentuk sebuah organisasi itu seenak jidatmu doang. Ya terserah aku dong, Bos! Suka-suka aku. Mau pakai ijin atau tidak, itu bukan urusan kalian.  Tapi itu menyalahi aturan, Bos! Kami bisa saja melaporkan kalian ke pihak berwenang karena telah membentuk sebuah organisasi secara ilegal, dan organisasi ini bisa saja di bubarkan secara paksa karena tanpa ijin. Oke, silahkan laporkan! tantang Parlin dengan membentangkan telapak tangannya, memberi izin. Oh, iya. Kalian dari mana? Sudah di bayar berapa tadi? Kami datang dari kota. Kami perwakilan ormas kepemudaan dari sana. Dan teman saya yang ini, dari kementerian kepemudaan dan olahraga. Sedangkan yang ini, petugas dari kantor kepolisian. Parlin manggut-manggut tanda mengerti. Jadi, kamu kenal sama David? tanyanya kepada tamu yang mengaku sebagai petugas di kantor kepolisian itu. Jelas kenal. Dia 'kan anak komandan kami. Di mana si culun itu sekarang? Jangan sembarangan bicara, Bos! Walau begitu, sebentar lagi dia akan jadi seorang Perwira. Mendengar itu, Parlin seakan tidak percaya. Bagaimana mungkin, David yang dia kenal culun dan gemuk itu benar-benar di terima sebagai Taruna Polri. Apalagi calon seorang perwira pula. Ah, tak mungkin. Rasanya itu mustahil. Orang yang berbicara di depannya ini kemungkinan hanya berbohong, ingin memanas-manasi dirinya saja. Jika benar apa yang orang itu katakan barusan, Parlin tidak akan pernah terima untuk seumur hidupnya. Bahkan tidak akan pernah menerima kenyataan itu untuk dunia dan akhirat.  Bagaimana mungkin David bisa lulus mengemban pendidikan di akademi, sebagai calon perwira di kepolisian kelak. Sedangkan dia sendiri yang menurutnya lebih kuat dan lebih pantas, malah tidak lulus. Bahkan dia tidak lulus hanya mendaftar sebagai prajurit kelas bawah. Dua kali mendaftar, Parlin hanya mengikuti tes seleksi calon Tamtama dan calon Bintara, bukan Perwira. Dan itu juga gagal. Perwira? Nggak salah dengar aku, Bos? tanya Parlin lagi, tidak percaya. Jangan terlalu merendahkan orang lain, Bos! Setiap waktu, orang itu bisa saja berubah. Jangan pernah Bos memandang sebelah mata kepada orang lain, apalagi memandang dari segi fisik dan kelemahannya saja. Jangan pernah! Soalnya, rejeki orang itu beda-beda, tidak ada yang tau. Bisa saja hari ini dia terlihat hina, namun esok hari dia terlihat berwibawa, bahkan derajatnya lebih tinggi dari anda. Mendengar pria yang mengaku sebagai anggota dari kantor kepolisian itu menasehati, Parlin malah merasa gerah dan dongkol. Dia belum bisa menerima seutuhnya kenyataan pahit yang baru saja dia dengar. Sungguh, dia tidak bisa menerimanya dengan ikhlas, bahwasanya teman sekolahnya yang gendut itu lulus akademi dan beberapa tahun lagi akan menjadi seorang Perwira Polri. Itu tidak mungkin. Tidak. Itu tidak bisa di biarkan. Jika itu sampai terjadi, maka....Parlin berpikir keras. Diskusi hari itu kembali menemui jalan buntu. Tak ada kata sepakat dan jalan damai yang di peroleh, melainkan hanya sebuah perselisihan dan rasa dendam yang semakin membara. Bukan kah si David, anak yang gendut itu, Bang Pe? Yang satu sekolah sama Bang Pe dulu? tanya Salman penasaran. Parlin mengangguk, membenarkan. Kok bisa dia di terima, Bang Pe? Sedangkan Bang Pe sendiri malah gagal. Salman tampak ikut bersimpati dan menyesalkan. Apa karena pengaruh Bapaknya juga ya, Bang Pe? Bapaknya 'kan Kapolsek di sini! Parlin yang sudah terlanjur kesal bercampur iri dalam hatinya hanya diam tak bergeming. Menahan emosinya sekuat tenaga agar tidak terlihat orang lain. Padahal, jauh di dalam hatinya, dia sudah merasakan hancur berkeping-keping akibat rasa iri dan cemburu pada David. Bagaimana tidak iri dan merasa cemburu. Sedari dulu, Parlin merasa David selalu lebih beruntung darinya. Setiap hari David bisa leluasa dekat dengan Atika, kapanpun dia mau. Baik di rumah maupun di sekolah. Selain rumah mereka yang berdekatan, setiap pagi mereka juga pergi sekolah berbarengan yang di antar langsung oleh ayah David.  Dengan mengendarai mobil dinas berplat kuning ke emasan itu, alangkah mempesonanya ketika mereka berdua turun bersama. Berpuluh-puluh pasang mata terkesima menyaksikan kemesraan mereka. Fans yang selalu setia menunggu ke datangan mereka setiap pagi. Banyak juga diantara kaum adam yang merasa iri dengan apa yang setiap hari mereka tonton. Mereka beranggapan, bahwa David tidak pantas bersanding dengan Atika. Salah satu anak cucu Adam itu ialah Parlin. Dia selalu berharap, suatu saat nanti dialah yang akan menggantikan posisi David bersanding di samping Atika. Selama janur kuning belum tertancap dan akad belum terucap, selama itu pula kesempatan masih terbuka lebar. Tapi itu dulu, saat Parlin masih duduk di bangku SMP. Sekarang keadaan jauh berubah. David yang dulu berada di atas, kini melambung semakin tinggi. Demikian juga dengan Atika, sekarang dia sedang mengemban pendidikan tinggi di sebuah Universitas Negeri di Ibu Kota Provinsi. Beberapa tahun lagi dia akan lulus Sarjana. Kemudian akan di carikan jodoh oleh kedua orang tuanya. Tentu harus laki-laki yang sederajat dan sekufu dengan keluarga mereka. Sudah tentu mereka akan mencari yang dekat-dekat saja dan sudah kenal akrab. Siapa lagi kalau bukan David.  Jika Parlin saat itu lulus sebagai prajurit TNI, tentu ada yang akan dia banggakan. Mungkin pangkatnya rendah, tapi dia tetap seorang abdi negara yang harus di pandang hormat. Dia punya senjata dan dia punya kuasa. Tapi sekarang, semua itu telah sirna. Dia merasa telah gagal. Andai tidak bertemu dengan Salman pada waktu itu, mungkin saat ini Parlin sudah mati bunuh diri karena depresi. Untung dia cepat bertemu dengan Salman sehingga dia masih bernapas hidup sampai kini. Tapi, setiap hari dia harus berurusan dengan orang-orang besar yang merasa di rugikan. Yah, walaupun tidak jadi bunuh diri, tapi sama saja. Sebab, Parlin hanya ingin cari mati. Sedangkan David, apakah saat ini dia bahagia?  Dulu dia selalu di bully karena gendut. Sekarang tubuhnya sangat atletis. Kulitnya bersih dan berotot. Dua tahun mengemban pendidikan di Akademi, penampilan David jauh berubah. Dia rajin olah raga dan fitnes. Pola makannya juga sangat terjaga. Sebentar lagi, dia akan menjadi seorang Perwira Polri berpangkat Inspektur. Itu pencapaian yang sangat luar biasa. Tapi, apakah dia merasa puas dan bahagia dengan semua itu? Tidak. David tidak pernah bahagia selama dalam pendidikan. Dia juga tidak pernah merasa bahagia karena terlahir dari keluarga besar Polri. Dia merasa hidupnya tertekan dan selalu terkekang. Dari dulu hingga sekarang, selalu begitu. Waktu dulu, dia melampiaskan rasa emosinya dengan memperbanyak makan sehingga dia gendut. Dan saat ini, dia melampiaskan rasa emosi itu dengan rajin berolah raga sehingga tubuhnya menjadi kekar. Tapi, dia tidak pernah merasa bahagia. Dia hanya ingin bebas, tidak terikat dan tidak pula di kendalikan.  Ya, David hanya ingin merasakan sebuah kebebasan, seperti Sari dan Parlin.  ****(8) Rindu Mendengar kelakuan Parlin yang semakin hari semakin menjadi-jadi, akhirnya hati Sari terusik juga. Gadis itu tau apa yang sedang Parlin rasakan saat ini. Sari tau jika Parlin sedang merasa frustasi karena keinginannya tak pernah terpenuhi. Tapi Sari bisa apa? Dia sudah pernah mencoba sewaktu pertama kali Parlin gagal dulu. Namun, gadis itu hanya menerima sebuah penolakan dari Parlin. Nikah? Kamu bilang mau nikah? Denganku? Parlin mempertanyakan kembali tawarannya. Seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Dengan malu-malu dan dengan denyut jantung yang berdegup kencang, Sari mengangguk sembari tersenyum simpul. Iya, Lin! Apakah kamu mau? ucapnya kemudian, memberanikan diri untuk menatap mata Parlin dengan tatapan serius. Kita bisa tinggal berdua di rumah peninggalan Simbah. Kita juga bisa meneruskan apa yang Simbah wariskan. Bercocok tanam. Padi, ubi, jagung, kedelai. Kita pasti bisa melakukannya bersama, Lin! Apakah kamu mau? tanyanya lagi dengan penuh harap. Parlin tertegun mendengar pernyataan Sari barusan. Sungguh dia merasa terkejut dan tidak pernah menyangka jika Sari akan berbuat nekat, melakukan hal yang berlebihan semacam itu. Seorang wanita yang berani mengajak seorang pria untuk menikah tanpa rasa malu. Bukankah itu merupakan tipe wanita murahan. Parlin tidak suka itu. Dia mengidamkan seorang gadis yang terhormat dan berwibawa. Bisa menjaga sikap dan perilaku di depan orang lain. Walaupun sulit untuk mendapatkannya. Namun, semakin sulit untuk di jangkau, maka semakin semangat pula ia untuk meraihnya. Seperti Atika misalnya. Gadis itu, sungguh luar biasa. Dengan menyebut namanya saja, sudah menimbulkan getaran yang luar biasa dalam di hati Parlin. Itu baru menyebut namanya, belum menyentuh kulitnya yang putih dan mulus. Getarannya pasti sangat luar biasa. Bertahun-tahun Parlin memendam rasa itu sendirian. Namun dia sangat berkeyakinan, Atika juga memiliki perasaan yang sama untuknya. Walaupun tidak ada bukti yang nyata, tapi dia bisa merasakan itu. Bahwa Atika menyukainya. Dan sekarang, bagaimana bisa Sari mengungkapkan perasaannya pada Parlin. Apakah dia tidak sadar betapa jauhnya dirinya dengan Atika. Di mata Parlin, Sari itu tak ubahnya hanya sebatas teman saja. Tidak lebih. Parlin tidak ingin Sari mengantikan posisi Atika di hatinya. Sari itu hanya antonim dari Atika. Jika Atika cantik, maka Sari itu jelek. Jika Atika putih, maka Sari itu hitam. Maka, Sari tidak pantas dan tidak layak untuk menggantikan posisi Atika di hatinya. Parlin menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Meyakinkan dalam hati, jika permintaan Sari itu sangat konyol. Tidak wajib untuk di ikuti. Bagaimana, Lin? Apakah kamu bersedia? Sari kembali bertanya dengan penuh harap. Ha, apa? Parlin pura-pura tidak mendengar. Dia masih bingung untuk menjawab apa. Apakah kamu mau menikah denganku? Sari kembali menegaskan ucapannya dengan mantap. Tidak. Itu tidak mungkin terjadi, ucap Parlin setengah berbisik. Kenapa, Lin? Apa yang kurang dariku? tanya Sari kemudian. Dia sudah merasa terlanjur basah, ya sudah mandi sekalian. Cinta. Aku tidak mencintaimu, Sar. Aku belum ingin menikah. Aku masih muda. Masa depanku masih panjang. Hari ini aku gagal, tapi hari esok aku masih punya kesempatan untuk mencoba lagi. Aku tidak ingin jadi petani. Aku tidak ingin turun ke sawah. Aku tidak ingin hidup susah lagi, Sar! Aku ingin berubah. Anak cucuku harus berubah. Jika aku menikah, maka kesempatan itu akan sirna. Kamu taukan, syaratnya tidak boleh menikah dulu! Jadi, maaf. Aku menolakmu.  Kata-kata yang keluar dari mulut Parlin itu begitu sangat menyakitkan untuk Sari dengar. Namun dia harus tetap bersikap tenang, karena itu merupakan sebuah resiko yang harus dia terima. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata Parlin. Dia juga tidak ingin bersedih di hadapan Parlin sehingga pemuda itu berubah pikiran dan mau menikahinya karena merasa iba dan kasihan. Tidak, Sari tidak menginginkan hal seperti itu. Dia ingin menikah karena cinta. Selama ini, dia pikir Parlin mencintainya. Namun, baru sekarang dia tahu jika Parlin tidak pernah mencintainya. Itu sungguh menyedihkan. Ternyata cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Tapi Sari tidak boleh putus asa dan menyerah sampai di situ. Seperti yang ada dalam pikiran Parlin, semakin sulit untuk di raih, maka semakin bergairah pula untuk mendapatkannya. Begitu juga yang Sari pikirkan. Mungkin hari ini dia gagal, namun esok hari bukan tidak mungkin dia masih punya kesempatan untuk mencoba sekali lagi. Sari mencoba menghubungi David yang jauh di seberang pulau sana. Selama ini, komunikasi mereka masih lancar-lancar saja sama seperti waktu dulu. Bahkan Sari juga selalu curhat perihal kelakuan Parlin di kampung. Demikian juga dengan David. Dia selalu menyambut hangat jika Sari menghubunginya. Tak pernah terbersit di pikirannya untuk menjauhi Sari, karena Sari tidak sekufu dengannya. Karena gadis itu terlahir dari status sosial bawahan. Tidak, David tidak seperti itu. Dia justru senang karena Sari masih mau berhubungan dengannya. Masih mau bercerita tentang musim yang silih berganti di kampung halaman yang ia rindui. Saat padi mulai menghijau sampai menguning, dan siap untuk di panen. David tahu semuanya. Karena Sari selalu bercerita dengan ceria padanya. Tapi kali ini, bukan itu yang ingin Sari diskusikan. Tapi tentang hal lain. Hal yang jauh lebih penting. Apa? Untuk apa kamu menanyakan itu, Sar? tanya David merasa heran. Mau daftar. Siapa yang mau daftar? Ya aku lho, Vid! Bolehkan cewek masuk Akpol? Ya, boleh aja, sih. Tapi kok tumben baru kepikiran sekarang? Lagi suntuk aja, sih. Mana tau rezeki. Ya udah, nanti aku kirimin situsnya ya! Kalau kamu emang benar-benar serius, biar nanti aku bantu. Pokoknya kamu ngikut aja sama aku. Beneran, nih. Kamu mau bantu? Iya, beneran. Pokoknya kamu tinggal jalanin aja apa yang aku suruh. Kalau kamu nurut sama aku, bakalan beres urusannya. Suer, percaya sama aku. David berucap dengan sangat amat bersemangat dan terdengar meyakinkan. Kalau daftarnya berdua, kamu masih bisa bantu, nggak? tanya Sari lagi. Ngelunjak. Sama siapa? Parlin! Aku mau ajak dia sekalian, Vid. Kasian dia frustasi kek gitu. Mana tau, kali ini dia bisa lulus. Boleh, ya? Sari memohon, sedikit memaksa. Lama David tidak menjawab.  Jika Sari bercerita tentang Parlin, David memang jarang menanggapi. Dia hanya memilih untuk diam dan mendengarkan saja. Walaupun dia tidak begitu tertarik untuk membahasnya. Namun, dia juga tidak ingin memotong pembicaraan Sari. Untuk mendengar suaranya yang kadang terdengar manja itu saja, David sudah merasa senang. Sebagai cewek, kadang suara Sari memang terdengar menggemaskan. Kadang juga terdengar sangat manja. Apalagi sedang meminta sesuatu pada David. Dari dulu, kebiasaan Sari memang seperti itu jika berbicara dengan David. Ceplas ceplos dan apa adanya. Beda halnya jika Sari berbicara dengan Parlin. Obrolan mereka selalu terlihat kaku. Apalagi Sari berbicara dengan Parlin itu hanya menyinggung hal-hal yang dia anggap perlu saja. Tidak untuk berbasa-basi apalagi mau curhat. Itu tidak akan pernah terjadi. Vid? Kamu denger nggak, aku ngomong?  Seketika David baru tersentak dari lamunan setelah mendengar suara teriakan Sari yang khas menusuk indra pendengarannya. Eh, iya. Tadi kamu ngomong apa? Ih, David. Nggak dengerin aku ngomong dari tadi. Suara Sari terdengar kesal, namun tetap begitu menggemaskan. Sehingga menimbulkan sebuah dorongan yang sangat kuat dan bergejolak hebat dalam dada David yang bidang untuk segera bertemu. ****(9) Hanya Tinggal Harapan  Dengan berat hati, David memberi ijin juga agar Parlin ikut dengan Sari. David berjanji akan membantu semaksimal mungkin agar mereka berdua bisa lulus seleksi dan di terima bersama-sama. Mendengar itu, Sari merasa lega dan sangat bahagia. Baginya, tidak masalah jika nanti dia gagal asalkan Parlin bisa lulus dengan mulus. Sari juga rela melakukan semua ini hanya semata-mata demi Parlin. Bukan untuk dirinya sendiri. Setelah melakukan kesepakatan dengan David tadi, Sari segera menutup panggilan teleponnya.  Dia bergegas berangkat ingin menemui Parlin segera, untuk memberitahukan kabar gembira ini. Agar Parlin bisa mempersiapkan diri sejak dari sekarang. Begitu akan melangkahkan kaki dari pintu, tiba-tiba saja hujan turun dengan deras. Sari terpaksa menunda rencananya, menunggu hujan reda terlebih dahulu. Walaupun masih terletak di kampung yang sama, namun jarak antara rumah orang tua Parlin dengan tempat yang sekarang ia tinggali itu lumayan jauh. Apalagi jika di tempuh dengan berjalan kaki. Bisa mencapai sekitar dua puluh menit lebih. Sedangkan Sari dan orang-orang kampung kebanyakan, sudah terbiasa melakukan perjalanan jauh sebagai aktivitas sehari-hari hanya dengan berjalan kaki. Selain untuk kesehatan tubuh, juga bisa untuk menghemat bahan bakar minyak yang rencananya akan di naikkan oleh pemerintah. Tapi, bukan itu alasan utama kenapa warga kampung lebih memilih untuk berjalan kaki. Tapi lebih karena rata-rata warga memang tidak memiliki kendaraan bermotor. Hanya ada beberapa orang saja yang punya, tapi sayang, orang itu bukan Sari maupun orang tua Parlin. Makanya, Parlin yang berpikiran maju itu ingin sekali rasanya keluar meninggalkan kampung keramat yang menurutnya sangat ketinggalan zaman. Tapi sangat di sayangkan, keinginannya itu tidak pernah bisa ia capai.  Setelah hujan agak reda, Sari memutuskan untuk berangkat juga. Dia pergi sendiri dengan membawa sebuah payung untuk jaga-jaga agar tidak basah kuyup selama di perjalanan nanti, mengingat cuaca masih rada-rada gerimis mengundang. Walaupun kondisi jalan yang becek karena tergenang air, namun tidak lantas mengurangi semangat Sari sedikit pun. Sari sudah terbiasa melewati jalan yang seperti itu. Kondisi jalan di kampung mereka memang sangat parah dan memprihatinkan. Banyak bagian badan jalan yang rusak dan berlumpur akibat di hantam oleh truk-truk pengangkut hasil panen buah kelapa sawit dari pinggir hutan setiap hari. Pemilik kebun itu hanya satu orang saja, yaitu Pak Kades, orang tuanya Atika. Tapi beliau sangat jarang untuk memantau langsung kondisi kebunnya itu. Dia bukan tipe orang yang suka blusukan. Paling saat ada yang ia inginkan saja dari warga, barulah ia akan datang berkunjung.  Dia memiliki banyak anggota dan anak buah. Merekalah yang setiap hari dia percaya untuk mengawasi kebun-kebunnya. Dia juga merupakan orang yang super sibuk. Bisnisnya ada di mana-mana. Wajar jika dia selalu terpilih untuk menjadi Kepala Desa di sana. Dia memiliki power yang sangat luar biasa besar yang sulit untuk ditandingi. Padahal tidak semua orang menyukainya, apalagi dari golongan para petani. Masa iya, Pak Kades ingin merampas lahan persawahan mereka dan ingin dia ubah menjadi sebuah kawasan perkotaan yang tinggi gedungnya bertingkat-tingkat. Apa dia pikir para petani itu akan senang mendengarnya? Tidak, mereka tidak akan senang dengan itu.  Para petani itu lebih senang memegang gagang cangkul, lalu mengolah tanah untuk bercocok tanam. Setelah merasa lelah karena telah mengeluarkan banyak keringat, mereka akan pergi menuju gubuknya yang terbuat dari atap daun rumbia, beristirahat sejenak sembari menikmati secangkir kopi hangat dan sepotong singkong rebus hasil dari jerih payah mereka sendiri.  Hal yang demikian itu pulalah yang membuat mereka betah dan tak ingin di usik dari tempat itu. Di tempat itu pula mereka bisa merasakan langsung sebuah pucuk kenikmatan hidup yang sesungguhnya. Yaitu berupa ketenangan jiwa yang amat luar biasa menakjubkan yang tidak mereka dapatkan di tempat lain. Yang bisa mereka nikmati setiap hari secara gratis, sambil berkhayal jika hasil panen yang baru saja ia olah tadi lahannya, akan melimpah ruah kelak di kemudian hari. Dengan bersusah payah melewati jalan yang becek dan berlumpur itu, akhirnya Sari sampai juga di kediaman Parlin yang baru. Kemudian dia berjalan dengan perlahan, mendekati sebuah pos yang ada di pinggir jalan. Gadis itu melihat ada dua orang remaja yang sedang berjaga-jaga di sana.  Cari siapa, Kak? tanya salah satu dari mereka saat melihat Sari mendekat. Bang Parlin ada, Bang? O....Bang Pe. Bang Pe ada di dalam, Kak! Lagi tidur mungkin. Kakak ini siapanya, ya? Aku adiknya, jawab Sari berbohong. O....Adiknya. Masuk aja, Kak kalau begitu. Bang Pe ada di dalam. Dua orang itu menyuruh Sari untuk masuk ke dalam sebuah rumah besar yang berada tidak jauh dari pos tersebut. Dengan ragu-ragu, Sari menuju rumah itu. Rasanya dia belum siap untuk bertemu dengan Parlin. Padahal sepanjang perjalanan tadi, dia sudah menghapal-hapal, kalimat apa saja yang akan dia ucapkan pada Parlin. 'Hai Lin, apa kabar?' 'Hai Lin, bagaimana kabarmu' 'Halo Lin, apakah hari-harimu menyenangkan?' 'Hai Lin, ibu menyuruhmu pulang!' 'Hai Lin, ibu sangat mencemaskanmu!' 'Hai Lin, ibu menyuruhku untuk menjemputmu pulang.' 'Hai Lin, apakah kau baik-baik saja?' Tapi semakin mendekati rumah itu, semua kalimat yang sudah dia hapal tadi pergi menghilang satu persatu dari dalam ingatannya. Sari merasa grogi dan sangat gugup sehingga kakinya melangkah saja terasa seperti mengambang di udara. Setelah mendekati pintu, dia melihat banyak orang di dalam sana sedang berkumpul. Sari juga melihat, ada beberapa orang anak cewek yang ikut nimbrung bersama anak laki-laki yang lain. Sungguh pemandangan yang menjijikkan. Tak punya harga diri dan tak punya urat malu, pikir Sari membatin. Cari siapa, Mbak? tanya salah satu anak cewek yang ada di dalam tadi menghampiri, setelah menyadari kedatangan Sari. Bang Parlin, ada? Bang Parlin? Parlin siapa, ya? tanya anak abege itu terlihat bingung. Bang Parlin, yang tinggalnya di sini! Bang Parlin, siapa woi? tanya cewek itu ke teman-temannya. Bang Pe mungkin, Nit. Iya, Mbak? Apa Bang Pe yang Mbak maksud? Kemudian Sari mengangguk. Baru dia ingat jika dua orang anak laki-laki yang berjaga di pos depan tadi juga menyebut dengan panggilan Bang Pe. Kenapa lama sekali dia baru menyadarinya.  Masuk aja, Mbak! Bang Pe lagi tidur di kamarnya. Anak itu menawari. Bisa dipanggilin ke sini aja nggak, Kak? Nggak berani saya Mbak, untuk membangunkannya. Akhirnya, Sari pun memberanikan diri untuk masuk. Setelah membuka pintu kamar dengan hati-hati, Sari terperanjat kaget saat melihat Parlin, sedang tertidur pulas dengan posisi telentang, tidak mengenakan pakaian bagian atas. Alangkah lebih terkejutnya lagi dia saat melihat pemandangan aneh yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Yaitu, berupa sebuah lukisan berbentuk hati tertancap oleh anak panah yang terukir indah tepat di bagian dada sebelah kanan Parlin, dengan bertuliskan:  ATIKA. ***** (10) Teman Tapi Mesra Melihat semua itu, Sari kemudian mundur secara teratur dan membatalkan niatannya tadi untuk membangunkan Parlin. Untuk apa juga Parlin diberitahu, jika kenyataannya anak itu sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk mengikuti tes seleksi Akademi. Parlin sudah terlanjur merusak masa depannya sendiri dengan melukai tubuhnya menggunakan jarum-jarum dan tinta yang bisa membuat ketagihan itu. Alangkah terpukulnya hati Sari saat mengetahui semuanya. Gadis yang masih berusia dua puluh satu tahun itu benar-benar marah dan merasa kecewa melihat sikap Parlin yang terlalu egois.  Bagaimana tidak, saat dulu sewaktu dia mengajak Parlin untuk menikah, Parlin menolak dengan alasan demi masa depan. Dan sekarang, dia merusak masa depannya sendiri dan mengotori kulitnya dengan mengabadikan nama Atika di sana.  Padahal, wanita itu selama ini selalu menghina dan merendahkan harga diri Parlin di depan umum dengan kata-kata tajam dan menyakitkan. Bukan cuma Parlin saja yang dia hinakan, melainkan orang tua Parlin juga ikut dia bawa-bawa. Dan lebih parahnya lagi, para petani yang tidak tau apa-apa dan sudah Sari anggap sebagai bagian dari keluarga sendiri, juga tidak luput dari hinaannya dengan menggunakan kata-kata sarkas. Bagaimana mungkin Parlin menyukai wanita semacam itu? Itu sangat sulit untuk di mengerti. Saat ini, Sari sedang duduk tepekur di kamarnya, kembali merenungi apa yang dia lihat sore tadi. Sungguh itu hal yang menyakitkan baginya. Bertahun-tahun dia memendam rasa itu sendiri, lalu memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan itu dengan penuh harap, namun apa yang dia dapatkan, tak lain hanyalah sebuah bentuk penolakan dengan alasan demi masa depan.  Tak apa, dia tetap sabar menunggu dan berusaha membantu sebisanya agar masa depan yang di cita-citakan orang itu segera terwujud. Siang dan malam dia selalu berdoa agar apa yang Parlin inginkan itu dikabulkan oleh Tuhan, namun belum juga menemui titik hasil. Dan sekarang, saat apa yang di cita-citakan orang itu sudah mulai menemui titik terang dan jalan terbuka sangat lebar ada di depan mata, tapi apa yang Sari lihat. Tak lain hanyalah sebuah angan-angan dan omong kosong belaka. Sari sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Setiap manusia memiliki tingkat kesabaran yang berbeda-beda. Selama ini Sari merupakan termasuk dari tipe wanita yang penyabar. Tapi untuk kali ini, stok kesabaran itu benar-benar telah terkuras habis, untuk menantikan hal yang sia-sia pula. Rasanya, Sari ingin mati saja. Untuk apalagi dia hidup di dunia ini, jika satu-satunya orang yang paling dia harapkan untuk mengisi masa depannya kelak telah sirna. Lebih baik dia mati saja, agar semuanya terselesaikan dengan mudah. Ah, betapa pendeknya pemikiran wanita itu. Usianya masih dua puluh satu tahun, masih muda dan masih memiliki masa depan yang panjang. Alangkah sia-sia jika dia sampai mengakhiri hidupnya hanya demi seorang laki-laki. Apakah dia tidak tahu jika masih banyak laki-laki di luar sana yang mau menerima dia apa adanya, jika dia mau menata hatinya kembali.  Laki-laki di dunia ini bukan hanya sekedar Parlin saja. Masih ada Salman yang dekat dengan Parlin. Jika tidak dapat orangnya, sikat saja sahabatnya. Beres perkara. Apa boleh buat?  Anak laki-laki itu juga tampan, malah lebih tampan dari Parlin sendiri. Kulitnya putih bersih, postur tubuhnya juga tinggi. Maklum karena dia merupakan keturunan blasteran. Hanya saja usianya yang masih sangat muda. Tapi kalau di zaman sekarang ini, itu sudah hal yang biasa terjadi. Malah kadang menjadi sebuah kebanggaan tersendiri jika seorang wanita bisa menikahi pria yang lebih muda. Dengan istilah 'Brondong' nama kerennya. Jika tidak mau dengan Salman, 'kan masih ada David. David juga tak kalah ganteng dari Parlin dan Salman. Walaupun dia gendut, tapi itukan dulu. Sekarang bentuk fisiknya jauh berubah dan lebih enak untuk di pandang. Sebentar lagi dia juga akan menjadi seorang Perwira. Pakai seragam keren, rapi dan duduk di belakang meja. Wanita mana yang tak ingin bersuamikan laki-laki seperti itu, coba? Ah, iya. Kenapa Sari melupakan David begitu saja. Bukankah dulu, sewaktu Mbah Legi pergi untuk selama-lamanya, Sari juga sempat merasa rapuh dan hampir berputus asa. Tapi pada waktu itu, ada David di sampingnya yang rela memberikan bahu untuk tempat Sari bersandar. Menguatkan, memberi semangat agar Sari bangkit kembali. Sari yang saat itu sedang dirundung kesedihan, akhirnya bangkit juga berkat kata-kata motivasi dari David. Tuhan menciptakan seluruh Makhluk di dunia ini, karena Dia cinta. Dan Tuhan akan memanggil Makhluk itu kelak, karena Dia rindu. Sudahlah, berhentilah menangis sahabatku. Sesungguhnya Nenekmu sudah bahagia di alam sana. Tersenyumlah! Biarkan Nenek pergi dengan tenang. Sembari David mengelus-elus pundak Sari dengan lembut, yang masih menyandarkan kepalanya pada bahu David. Itu untuk yang pertama kalinya, sewaktu mereka duduk di bangku SMA. Dan untuk yang kedua kalinya, Sari juga pernah merasakan keresahan yang sama, pada saat David mengutarakan keinginannya, bahwa ia akan pergi ke luar Daerah untuk melanjutkan pendidikan dalam waktu yang lama. Sari sangat terpukul mendengar itu. Apalagi saat itu, Parlin juga baru saja pergi beberapa hari yang lalu meninggalkan kampung halaman untuk mengejar impiannya. Kenapa kuliahnya jauh sekali, Vid? Apakah di daerah kita tidak ada tempat yang bagus? Banyak, Sar! Tapi untuk pendidikan yang akan aku tempuh, hanya ada di sana. Kenapa harus di situ, kenapa tidak cari yang dekat-dekat saja? Ini kemauan Bapak, Sar. Aku sudah menolaknya berkali-kali, tapi Bapak terus saja memaksa. Aku tidak kuasa menolak keinginan Bapak, Sar. David berucap setengah frustasi. Jadi, bagaimana denganku, Vid? Apakah kamu akan meninggalkanku juga?  Mendengar pertanyaan Sari, David tertegun. Tidak tau harus berkata apa lagi. Kamu tau 'kan Vid, aku tidak memiliki banyak teman di sini? Aku sendirian, Vid. Kalau aku tiba-tiba rindu, bagaimana? Sari menatap David dengan mata liar dan sudah mulai tampak berkaca-kaca. Menunggu jawaban apa yang akan terlontar dari mulut pria yang ada di hadapannya itu.  Tapi aku tidak bisa menolak keinginan Bapak, Sar! Aku tidak ingin durhaka sama orang tua. David bicara pelan. Suaranya parau seperti tercekat di kerongkongan. Pria berpostur bulat gendut itu terlihat pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kamu tega Vid, sama aku. Kamu jahat! Sari berontak dengan menarik kerah baju David dan menggoyang-goyangkannya dengan kuat sehingga tubuh David yang gendut ikut oleng ke sana-kemari, sembari menangis. Kamu tega, Vid! Kamu jahat! Berkali-kali kalimat itu keluar dari mulutnya. Lama David membiarkan Sari meluapkan emosinya tanpa melawan sedikitpun. Dia hanya diam dan mengikuti kemauan Sari dengan pasrah. Karena tidak mendapat perlawanan dari David, akhirnya Sari lelah juga. Gadis itu segera menghentikan aktifitasnya. Kamu tega Vid, sama aku. Kamu jahat. Kalimat itu masih saja terdengar dari mulutnya. Melihat Sari sudah tidak terlalu agresif lagi, David segera merangkul tubuh gadis itu dan membawanya dalam pelukan. David mengecup bagian kepala Sari yang sedang menempel di dadanya. Kamu yang tenang ya, Sar! Aku juga berat untuk meninggalkan kamu. Aku juga sedih, Sar. Tapi aku laki-laki. Aku tidak boleh cengeng. Aku tidak boleh menangis. Aku tidak ingin terlihat cengeng seperti perempuan, ucap David ikut meneteskan air mata. Ah, alangkah anehnya duo sejoli itu. Suami kagak, pacaran juga tidak pernah. Tapi sangat dramatis sekali kisahnya saat akan berpisah jauh dalam tempo waktu yang lama. Padahal cuma sebatas teman. *****                                                           
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan