
Menikah itu layaknya meminum seteguk kopi. Walaupun rasanya pahit, namun bikin ketagihan.
(1) Awal Menikah
"Nggak abis lagi, Mas?" tanya Dewi saat menyambut kepulanganku.
"Hemmm," sahutku, mengangguk sembari menyangga sepeda yang baru saja aku tunggangi dengan sebilah kayu, yang di rancang khusus sebagai tongkat penyangga tambahan agar tidak jatuh.
Dewi, yang sedari tadi berdiri di ambang pintu menungguku, keluar mendekat ke sepeda yang baru saja aku cagak, lalu membuka tutup panci yang ku ikat kuat dengan tali karet agar tidak terbuka saat dalam perjalanan. Seketika, aroma anyir langsung menyeruak keluar dari sana menyengat hingga ke lubang hidungku.
Mencium aroma tersebut, tiba-tiba saja perutku terasa mual. Bagaimana tidak, sudah sebulan ini, aroma anyir itu senantiasa menemani hari-hariku. Cepat aku berlalu meninggalkannya sendirian, menuju kamar untuk mengambil handuk, lalu bergegas pergi menuju kamar mandi.
Setelah selesai membersihkan sekujur tubuh, aku membaringkan diri di atas kasur, meluruskan badan untuk mengusir rasa lelah. Kasur itu terletak di sudut kamar yang kecil begitu saja, tanpa adanya kaki penyangga sama sekali. Rumah ini baru saja kami tempati sekitar dua minggu yang lalu, setelah kami berdua memutuskan untuk pindah dari rumah mertua dan mengontrak di sini.
Rumahnya minimalis, hanya ada satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Ruang tamu dan dapur yang sangat kecil sekali.
"Tidak apa-apa kecil, Mas! Yang penting ada tempat kita untuk bernaung. Tidak basah terkena hujan, dan tidak panas tersengat matahari. Lagian, Dewi juga tidak terlalu repot untuk mengurusnya nanti jika Dewi sudah mendapatkan pekerjaan. Toh, kita juga bakalan jarang di rumah juga, kan! Cuma untuk numpang tidur doang," ucap Dewi untuk sekedar menghiburku, sembari memeluk erat tubuh ini sebelum kami tidur.
"Apa kamu merasa nyaman tinggal di tempat seperti ini?" tanyaku lagi, karena rumah yang kami tempati ini lebih cocok untuk kandang monyet.
Dewi mengangguk sembari tersenyum menatapku lekat.
"Dewi merasa lega dan bahagia sekarang, setelah bisa keluar dari rumah ibu. Di sini kita berdua bisa bebas, tanpa harus diatur lagi oleh mereka, Mas."
Aku diam sejenak, menarik napas dalam. Kupalingkan pandangan ke langit-langit kamar, sembari menatap cahaya bulan yang mengintip dari celah atap yang berlubang. Baru sadar, jika memulai dari awal kembali itu sangat sulit sekali, apalagi tanpa campur tangan dari orang tua.
Ah, sebenarnya untuk pengantin baru seperti kami ini masih sangat membutuhkan bimbingan dari mereka. Baik itu dukungan secara moral dan juga material. Kami sangat memerlukan bantuan. Namun, apa yang kami dapatkan dari mereka? Tidak ada. Mereka semua seolah-olah lepas tangan dan menganggap kami sudah mapan karena telah menikah.
Kakak, adik, saudara, ipar, semuanya menatap rendah kami saat masih menumpang di rumah ibu mertua. Okelah, jika mereka memperlakukan itu padaku, tidak apa-apa. Karena nyatanya aku memang orang asing yang menumpang di rumah orang tua mereka. Namun, hal ini mereka lakukan juga kepada Dewi, seolah-olah ingin mengeluarkan saudari mereka sendiri dari sana dengan dalih sudah menikah dan harus ikut dengan suami. Apakah hal itu perbuatan yang pantas untuk dilakukan?
"Sudah makan, Mas?" Suara Dewi menyadarkanku dari lamunan. Aku menggeleng.
"Pergi makan dulu sana! Dewi masak sup ayam tadi. Mumpung masih hangat."
"Iya," jawabku masih tetap dengan posisi semula. Rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur. Selain karena seluruh persendian kaki terasa pegal karena mengayuh sepeda seharian, semangatku juga rasanya menghilang karena tidak membawa pulang banyak uang hari ini.
Ada, sih sebenarnya hasil penjualan cilok hari ini, namun sangat sedikit sekali. Untuk modal jualan esok hari saja masih kurang. Sedangkan jualan hari ini yang tidak habis, sudah semestinya di buang saja karena sudah tidak layak untuk di jual lagi. Cilok itu merupakan cilok kemarin yang tidak habis. Rasanya sudah terasa hambar karena terlalu sering dipanasi. Para bocah yang rata-rata duduk di sekolah dasar langgananku sudah banyak yang protes dengan mengatakan jika cilok yang ku jual tidak ada rasa sama sekali.
"Kenapa ciloknya seperti rasa tepung saja, Jhon? Apa si Jhon lupa ngasi bumbu, ya?" Komplain beberapa anak yang membeli jualanku. Rasanya sangat malu sekali untuk menjawab pertanyaan mereka itu. Untung saja mereka masih anak-anak yang belum banyak mengerti, sehingga mudah untuk aku bohongi.
"Iya, Jhon! Tadi lupa ngasi garam," ucapku untuk meyakinkan mereka. Agar besok mereka mau beli lagi.
Jhon itu panggilan anak-anak untuk kami para pedagang laki-laki yang berjualan di sekitar sekolah mereka. Entah darimana mereka mendapatkan gelar itu. Aku yang merupakan orang baru merintis disini, mengikuti kebiasaan mereka saja. Apa yang mereka bilang, begitu juga yang aku bilang.
Dewi mengambil posisi duduk di sampingku yang masih dalam posisi berbaring.
"Ciloknya dibuang saja ya, Mas! Rasanya sudah tidak enak," ucapnya sembari mengelus bahuku dengan lembut.
"Tapi, uangnya tidak cukup untuk buat yang baru."
"Dewi ada simpanan sedikit. Mas pakai saja untuk modal besok. Mudah-mudahan jualan Mas besok, bisa habis dan laris manis. Amin," ucapnya sembari tersenyum, dengan sebuah keyakinan yang besar. Berharap jika jualanku akan habis dan ramai pembeli.
"Kamu tidak menyesal, menikah denganku?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Dewi menggeleng." Tidak, Mas! Dewi tidak pernah menyesali keputusan Dewi untuk menikah dengan, Mas. Sekalipun hidup kita susah, bahkan jika Allah menguji dengan kesusahan yang lebih parah dari ini sekalipun, mudah-mudahan Dewi akan tetap setia untuk mendampingi, Mas," ucapnya tulus dengan penuh keyakinan.
Aku tertegun mendengar penuturan darinya, merasa bersyukur karena telah di titipkan oleh Tuhan wanita tegar seperti dia. Beruntung dapat memilikinya, walaupun usianya terpaut dua tahun lebih tua di atasku. Justru itu, yang membuatnya terlihat lebih dewasa dariku. Sedangkan aku sendiri, merasa malu dengan kelemahan yang kumiliki. Tak pantas rasanya aku harus senantiasa berlindung di bawah ketiak istri. Setiap ada masalah dalam biduk rumah tangga kami, Dewi Lah yang senantiasa mencarikan jalan keluarnya, bukan aku.
Sama halnya dengan hidup mandiri seperti saat ini, awalnya aku merasa ragu saat Dewi mengajakku untuk mencari rumah kontrakan. Selain tidak memiliki uang, aku juga tidak memiliki pekerjaan tetap. Bahkan sehabis menikah tempo hari, aku belum mendapatkan pekerjaan sama sekali. Mau ku kasi makan apa istriku nanti.
"Jangan takut, Mas sebelum kita mencoba terlebih dahulu. Yakinlah bahwa menikah itu merupakan jalan pembuka beribu pintu rezeki. Yang penting kita harus senantiasa berikhtiar dan tetap berusaha. Mana tahu, setelah kita tinggal di rumah kontrakan nanti, ada orang yang mau berbaik hati datang untuk menawarkan pekerjaan buat Mas, ataupun buat Dewi. Kan, tidak ada yang tahu," ucapnya kala itu untuk meyakinkanku. Dirinya terlihat bersemangat sekali untuk pergi meninggalkan rumah ini.
"Jikapun kita tetap tinggal menumpang di sini, mau sampai kapan? Dewi hanya tidak ingin mereka semua memandang rendah pada Mas. Biarlah kita bersakit-sakit dahulu, makan tak makan pun tidak mengapa, yang penting kita bisa keluar dari rumah ini secepatnya. Mumpung Dewi masih memiliki sedikit simpanan untuk mengontrak rumah. Jika uangnya nanti habis, mungkin kita tidak akan bisa lagi keluar dari sini. Bagaimana, Mas? Apakah Mas mau mendengar ucapan Dewi?" Dia menatapku dengan penuh harap. Memohon agar aku mau menuruti permintaannya.
Dengan setengah keyakinan, akhirnya aku menurut juga. Walaupun aku tahu bahwa semua ini akan sangat sulit untuk kedepannya. Jujur, saat ini aku memang belum siap untuk itu.
*****
(2) Piknik
"Namun satu hal yang perlu Dewi tegaskan buat Mas! Jangan sekali-kali Mas mencoba untuk selingkuh di belakang Dewi. Jika hal itu sampai terjadi, Dewi tidak akan pernah terima. Dewi siap untuk Mas ajak hidup susah, namun Dewi tidak akan pernah siap jika Mas ajak untuk hidup berpoligami. Ingat itu ya, Mas!" ucapnya serius menatapku.
Aku tersenyum mendengar perkataannya itu, merasa bahwa prasangka buruk istriku itu terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin aku akan menambah istri lagi, sedangkan untuk menafkahi satu orang saja aku belum mampu. Namun aku juga merasa senang, sebab merasa dicintai sepenuh hati olehnya.
Pernikahan kami ini memang hanya dilandasi oleh rasa cinta semata. Dewi tak sekalipun memberatkanku saat sebelum ijab kabul terucap. Dia tidak meminta banyak macam agar aku bisa mempersunting dirinya. Pokoknya, semua hal dia permudah tanpa mempersulit sedikitpun. Walaupun beberapa orang kerabatnya terdengar olehku mencibir dengan mengatakan bahwa hidupku terlalu enak, dengan datang tidak membawa apa-apa, namun di beri tempat istimewa. Tapi tak kuhiraukan. Biarlah Anjing bergonggong dan Kafilah berlalu.
"Tidak usah di dengar, mulutnya memang seperti itu," ucap Dewi saat aku mengadu padanya kala itu.
"Kenapa? Apa kamu terlalu cinta sama Mas, hemmm?" Aku mencoba menggodanya.
Dewi merebahkan diri di sampingku, lalu memeluk tubuhku dengan erat. Hangat.
"Aku hanya tidak ingin di khianati," ucapnya lembut di telingaku.
"Aku juga tidak akan tega untuk mengkhianatimu, sayang. Dimana lagi aku akan menemukan wanita sepertimu. Mungkin, jika aku menghabiskan seluruh sisa hidupku sekalipun, berkeliling dunia untuk mencari wanita yang persis seperti dirimu, itu hanya akan sia-sia. Sebab, wanita berhati mulia itu hanya tinggal kamu saja di dunia ini."
"Sungguh?"
"Hemmm."
"Alah, nanti Mas cuman gombal aja." Dewi mencubit perutku manja.
"Mas, serius," ucapku meyakinkan. Dengan menatap bola matanya dalam.
"Itu karena Mas belum melihat wanita lain di luar sana."
"Tidak. Mas tidak akan melihat mereka."
"Itu karena hidup kita susah, Mas! Jika hidup kita senang, kaya raya, apa Mas masih sanggup untuk menjaga hati Mas untuk Dewi seorang?"
"Insya Allah."
"Serius?"
"Hemmm."
Dia kembali memeluk tubuhku erat. Alunan napasnya bergejolak naik turun membelai kulitku dengan lembut, juga terasa hangat. Ah, betapa nikmatnya menikah dan memiliki istri sah seperti ini. Apalagi jika kebutuhan hidup kita telah terpenuhi semuanya. Ah, rasanya jadi pengen traveling kemana-mana. Seperti mendaki gunung dan melewati lembah, misalnya.
Aku membalas pelukannya dengan hangat pula. Mencium keningnya secara perlahan dan berulang. Kulirik Dewi terpejam sambil tersenyum, pasrah menerima setiap kecupan yang mendarat di kulit lembutnya. Mulai dari kening, pipi, bibir dan akhirnya aku jadi menjelajah kemana-mana. Mulai dari mendaki gunung hingga memasuki kawah lembab yang tersembunyi di balik lahan gambut. Menikmati suasana pengantin baru berdua saja. Tanpa takut terdengar oleh orang lain dari luar sana.
Mungkin, hal ini yang diinginkan oleh Dewi dengan mengajakku untuk pindah cepat-cepat dan tinggal di rumah sendiri. Dia bisa bebas mengekspresikan hasratnya dengan berteriak manja yang membuatku semakin bergairah. Rasa letih siang tadi hilang sejenak tertutupi oleh hawa nafsu yang membara.
"Berapa ronde kita malam ini, Yang?" Suaranya terdengar manja, berbisik di telingaku, menggoda.
"Kamu mau berapa ronde, hemm," jawabku membalas bisikannya dengan menancap gas lebih kencang.
"Lama," desahnya, terdengar semakin menggairahkan.
"Yah, udah keluar," ucapku sembari mengurangi kecepatan gerakan naik turun.
"Ish." Dewi menepuk lenganku sebal. "Yayang curang."
"Abis kamu sih, mainnya berisik amat," jawabku ngos-ngosan.
"Curang," hardiknya lagi.
"Besok aja kita sambung ya!" Aku membujuknya agar jangan sampai merajuk.
Belakangan ini, aku tidur lebih awal dari biasanya dan sempat menolak ajakannya beberapa kali karena faktor kelelahan, sehingga Dewi terlihat ketus padaku pada keesokan harinya. Untuk malam ini, biarlah kusenangkan hatinya terlebih dahulu. Entah itu pula yang menyebabkan rezekiku sulit dalam beberapa hari terakhir. Karena aku tidak menyenangkan hati istri terlebih dahulu.
"Curang," ucapnya lagi. Sewot.
"Oke. Oke. Abis ini kita ulangi lagi."
"Bener?"
"Iya, Sayang."
"Jangan tidur dulu ya."
"Iya. Iya."
Dewi tersenyum dan kembali memeluk tubuhku. Menunggu agar si kecil mau bangun lagi. Sesekali, dia mencoba membelai agar si kecil terjaga. Lama dia berusaha agar si kecil merasa terganggu dan tertantang kembali.
"Ngapain, Yang?" tanyaku saat melihat kerjaannya ditengah malam buta begini.
"Bangunin tuyul."
Kami tertawa lepas bersama, melupakan sejenak kehidupan di dunia nyata. Sebelum esok pagi datang menyongsong, saat matahari mulai menyingsing kembali kepermukaan bumi dari ufuk timur. Saat itu pula, kegalauan jiwa kembali melanda. Ketika aku akan kembali mengayuh sepeda pemberian mertua untuk mencari rezeki, menafkahi keluarga kecilku kini.
"Tadi Mas, keluarnya dimana?" tanya Dewi setelah kami terbaring lemas di peraduan karena kehabisan tenaga.
"Ha," jawabku setengah mengantuk.
"Tadi ngeluarinnya di mana?"
"Di dalam. Emangnya kenapa?" tanyaku lagi dengan mata yang mulai terasa berat.
"Kok didalam, sih! Bagaimana kalau Dewi hamil?" ucapnya khawatir.
"Haaa."
Bagaimana kalau dia hamil? Apa yang harus kami lakukan jika Dewi sampai hamil? Dari mana kami akan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan anak kami nanti. Mulai dari popoknya, biaya melahirkannya, dan tetek bengek lainnya. Sedangkan pekerjaan yang sedang aku geluti ini tidak begitu menjanjikan. Jangankan untung, malahan lebih sering rugi dan termakan modal.
Ada rasa getir yang melanda jiwa kami berdua. Sehingga kenikmatan sesaat tadi hilanglah sudah.
Sejak awal menikah pun, kami telah berencana untuk tidak memiliki momongan terlebih dahulu. Kami berdua berencana ingin meniti karir terlebih dahulu, dengan bekerja bersama-sama untuk membangun setidaknya sebuah rumah terlebih dahulu agar ada tempat untuk bernaung. Tidak tinggal di rumah kontrakan seperti ini.
Setelah itu, barulah merencanakan untuk memiliki anak. Dari segi usia pun kami masih tergolong muda. Usiaku dua puluh tiga dan Dewi dua puluh lima. Jika kami mampu mendirikan sebuah rumah dalam tempo waktu sepuluh tahun, berarti usiaku masih tiga puluh tiga dan usia Dewi tiga puluh lima. Masih muda. Masih usia ideal untuk melahirkan. Tapi bagaimana kalau Dewi sampai kebobolan dan hamil?
"Makanya, kalau lagi ena-ena itu jangan sampai terlena. Pokoknya Dewi tidak mau kalau sampai Dewi hamil ya! Mas harus tanggung jawab," ucapnya ketus menyalahkanku.
Padahal, kesalahan ada pada kami berdua. Kenapa cuma aku yang harus bertanggung jawab. Bukankah hal itu harus kami tanggung jawabin berdua. Orang yang buatnya juga sama-sama. Ah, payah. Wanita memang egois. Sukanya hanya ingin menang sendiri dan menyalahkan orang lain.
"Iya. Iya. Sudah, kamu tidur saja. Mas juga sudah ngantuk. Takut besok kesiangan," ucapku untuk menenangkannya. Padahal, aku sendiri pun ikut merasa galau dan merasa ingin di tenangkan juga.
Bagaimana jika Dewi sampai hamil dan punya anak? Pertanyaan itu terus saja mengisi otak dan pikiranku. Ah, memang susah kalau hidup miskin. Bahkan hanya untuk punya anak saja pun rasanya masih takut. Takut jika anakku nanti menyesal lahir ke dunia ini karena terlahir dari keluarga miskin seperti kami. Di hina dan senantiasa di rendahkan. Dan aku tak mau anakku kelak mendapatkan perlakuan seperti itu.
****
Maaf yo kalau ceritanya agak uwu-uwu di bagian ini....🙏🙏🙏🙏
(3) Kang Halu
Seperti biasa, aku kembali mengayuh sepeda onthel pemberian Bapak mertua berisi peti jualan di belakang boncengan, ditengah keramaian hiruk pikuk lalu lintas pagi hari. Banyak ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah dengan menggunakan motor. Beberapa orang tua murid juga mengantar anaknya dengan mobil. Dan aku, mencari nafkah hanya dengan menggunakan sepeda tua ini. Mengsedihkan.
Untung ini bukan kampung kelahiranku, melainkan kampung kelahiran istriku_Dewi. Jika tidak, mau ditaruh kemana mukaku ini jika sempat ketemu dengan teman sekolah dulu. Rata-rata dari mereka sudah banyak yang sukses. Kuliah, punya mobil, punya pekerjaan yang bagus, eh malah dapet jodoh yang sekufu pula. Apa nggak enak tuh hidup mereka. Malah berbanding terbalik dengan kehidupanku kini.
Rasanya cukup tidak adil bahwasanya Tuhan telah menuliskan nasib seperti ini untukku. Mau protes, tapi tak tau entah pada siapa. Sungguh, aku pun tak pernah menyangka jika di abad yang serba canggih ini, aku masih mengayuh sepeda ontel untuk melakukan mobilitas, dari tempat yang satu berpindah ke tempat yang lain. Beringsut pelan seperti jalan kura-kura.
Dengan mengenakan busana serba merah, jaket dan topi berlogo bulu ayam dan Noah, aku mulai beraktifitas, menunggu bocah-bocah SD yang akan menuntut ilmu di sekolah-sekolah negeri yang kusam. Cat temboknya sudah banyak yang mengelupas dan berlumut. Pagar pembatas sudah banyak yang berkarat tersiram hujan dan tersengat terik matahari. Di situlah aku berdiri, menanti tangan-tangan mungil itu bermurah hati untuk merogoh koceknya dan menyodorkan uang recehan itu untuk menebus Cilok yang kujajakan.
Seribu dua ribu, uang-uang kusut itu kini telah berpindah ke tanganku. Kedengarannya sedikit, namun untuk mendapatkannya saja sangat sulit. Saingan orang berjualan itu banyak. Macam-macam jajanan mereka tawarkan untuk menarik minat anak-anak untuk membeli. Harus banyak bersabar juga dalam menghadapi anak-anak yang baru tumbuh kepermukaan bumi itu. Ada yang bawel, judas, pelit dan perhitungan. Menurut sifat yang diwariskan oleh orang tua mereka masing-masing.
"Om, beli ciloknya seribu ya. Tapi kasi bonus dua."
"Iya."
"Aku juga, Om. Minta bonusnya tiga ya."
"Iya."
"Bonusnya kok cuman dua, Om? Tadi kan mintanya tiga."
"Iya, udah di kasi tiga tadi."
"Ah, Oom ini bohong. Tadi aku hitung cuma di kasi dua belas."
Eh, ternyata dia ikut ngitung juga. Padahal tadi aku masukin cepat-cepat.
"Cilok si Jhon ini nggak enak. Kemarin aku beli cuman rasa tepung doang. Bagusan beli di tempat lain."
Kepala kau. Sudah nggak beli, malah menghasut orang lain pula supaya jangan beli. Masih kecil aja sudah kelihatan bakat ghibahnya. Gimana nanti jika sudah besar. Bakalan jadi provokator profesional nih, anak. Kadang kesal melihat bocah cilik tipe yang seperti ini.
"Iya. Aku aja kemarin sakit perut makan cilok si Jhon ini." Teman di sampingnya menyambung. Mendukung perkataan temannya tadi.
Siapa suruh pakai saus banyak-banyak. Di kasi sedikit katanya pelit, minta di penuhin. Rasakan aja sendiri. Sudah dekil, degil, kere. Eh, tukang hasut pula. Aku benci orang yang seperti ini.
"Jhon! Jaket sama topimu kok nggak pernah ganti. Pasti nggak pernah dicuci kan?"
Itu mulut apa comberan, sih. Kok rempong amat.
Kuhitung lembaran demi lembaran uang itu setelah anak-anak kembali masuk ke ruangan mereka masing-masing setelah bel berbunyi panjang, memanggil dari dalam ruangan guru. Sebentar lagi, aku akan beranjak pergi dari sini menuju ke sekolah lain. Di sana waktu istirahatnya sekitar sepuluh menit lagi. Jadi, masih bisa agak santai jalannya. Baru saja aku akan bergerak, tiba-tiba suara seseorang menghentikan langkahku.
"Mas! Mas!," panggil suara wanita dengan keras. Aku berhenti sembari menoleh kebelakang. Barang kali ibu itu mau beli. Kan lumayan dapat uang tambahan.
"Ini sampahnya tolong dikutipin dulu sebelum pergi, ya! Jangan cuma uangnya saja yang di ambil dari sini. Sampahnya di biarin berserakan di mana-mana. Jangan sampai besok-besok anak-anak nggak kami izinin lagi jajan di luar," ucap wanita yang mengenakan baju olah raga itu dari balik pagar besi.
"Iya, Bu. Iya." Aku menyangga sepedaku kembali, dan mulai memungut sampah yang berserakan di halaman bekas limbah jualanku.
"Sudah sering ku peringatkan, Bu. Tolong kebersihan lokasi ini sama-sama kita jaga. Jangan sampai kalian yang buat sampah, malah aku yang kena tegur. Namun, orang ini nggak mau dengar. Mereka pikir malah aku iri sama pendapatan mereka," sambung Mas Aji, Kang jualan pisang molen yang mangkal menetap di tempat itu. Dia tidak berpindah-pindah seperti kami yang lari ke sana lari ke sini demi mengejar sesuap nasi.
Ah, baru jadi Kang pisang molen aja udah pandai angkat telor. Sok nyalahin orang pula. Ilfil melihat teman tipe yang seperti ini. Di depan orangnya aja berani terang-terangan bicara, bagaimana kalau kita tidak ada. Mungkin perkataannya akan lebih parah lagi.
*
Aku kembali mengayuh sepedaku. Kali ini agak terburu-buru karena jam istirahat sudah akan di mulai. Gara-gara mungutin sampah tadi, aku jadi tergesa-gesa seperti ini. Bahkan, hanya untuk menghayal sebagai pelipur lara sembari mengayuh sepeda saja kini sudah tidak sempat.
"Mas! Cilok." Suara seseorang kembali memanggilku. Suara wanita dan terdengar begitu lembut di telinga. Tidak seperti suara ibu guru tadi. Cempreng. Sudah tua, cerewet pula. Kok betah ya, suaminya pada wanita seperti itu. Andai aku suaminya, mungkin sudah lama aku tinggalin tipe istri toxic seperti itu. Mendengar suaranya saja aku sudah jijik. Mual. Mau muntah. Ih, sebal.
Aku menghentikan sepedaku dan mencari asal sumber suara itu. Saat ini posisiku sedang berada di depan sebuah gedung SMA. Setiap hari ruteku memang melewati jalan ini, namun tidak pernah singgah sama sekali. Di sini Kang ciloknya sudah sangat terkenal dan melegenda. Orangnya juga sudah sangat tua. Tapi masih kelihatan sehat walafiat. Untuk bersaing dengan Pakde itu harus mikir-mikir terlebih dahulu. Sebab menurut kabar yang kudengar, jika berani bersaing dengannya, jangankan manusia, bahkan seekor lalat saja tidak mau singgah ke jualan kita. Serem nggak tuh. Katanya sih, Pakde itu bawa tuyul. Tapi itu kata mereka ya, bukan aku yang bilang. Takutnya salah, jatuh fitnah. Aku hanya menyampaikan saja apa yang mereka katakan sebagai penyambung lidah. Biar lidahnya panjang, menjulur. Nanti, air liurnya bisa buat penglaris.
Pandanganku tertuju kepada sekelompok orang yang sedang duduk-duduk di bawah rindangnya pohon. Mereka memakai seragam olahraga. Mungkin habis olah raga, capek, istirahat, minum es, dan...lapar.
Eh, Mas Ridho mana? Kok nggak ada. Biasanya, dia mangkal di sini. Pandanganku menyapu ke sekitar, mencari jejak-jejak keberadaan Mas Ridho, Kang cilok yang sangat melegenda itu. Tapi nihil. Keadaan aman dan terkendali. Jadi, aku bisa bebas berjualan di sini tanpa harus takut bersaing dengan penjual lain yang jualannya sejenis denganku. Jika jualannya tidak sejenis denganku, itu namanya bukan saingan, tetapi teman. Dan di sini banyak. Ada Kang Es Air, Kang Pisang Molen, Kang Pecel, Kang Gorengan. Pokoknya banyak dech. Tapi, rata-rata dari mereka sudah pada tua-tua, rambutnya sudah pada ubanan dan kulitnya pada mengeriput. Pokoknya sudah pada bau tanah semua.
Tapi menurut kabar yang beredar, rata-rata anak dari mereka sudah pada berhasil, ada yang jadi Polisi, TNI, PNS dan macam-macam profesi sejenis lainnya. Pengen juga sih, jika nanti punya anak, bisa berhasil seperti anak mereka. Kan keren, seperti yang ada di berita-berita yang sempet viral, ' Anak Tukang Cilok Terpilih Menjadi Menteri Perdagangan Dalam Kabinet....'
Uh, betapa bangganya jadi orang tua seperti itu. Tapi, kapan ya? Kami kan belum punya anak.
*****
(4) Kepincut Anak SMA
Setelah sepeda yang kutunggangi berhenti, segera kuambil sebilah kayu yang kubawa dari rumah untuk menyangga peti agar tidak jatuh. Setelah itu, barulah aku kembali menoleh ke arah sekelompok orang tadi.
Sekumpulan anak remaja perempuan yang lagi asik ngerumpi. Paling lagi ngebahas Drama Korea, tuh. Dari raut wajahnya saja sudah bisa kelihatan jika mereka sangat mengidolakan Oppa-Oppa korea itu. Padahal masih gantengan aku lho, dari Oppa-oppa itu. Lihat aja nih, gayaku aja sudah mirip seperti Ariel Noah lengkap dengan jerseynya. Kurang keren apalagi coba?
Namun, para siswi yang rata-rata berusia baru empat belasan tahun itu hanya diam, santai, selow, cuek bebek, seperti tidak terjadi apa-apa.
Eh, suara yang memanggil tadi mana ya? Kok nggak ada? Apa aku salah dengar tadi? Aduh, gimana, nih? Mau bergerak pergi, sudah terlanjur berhenti. Malu, dong.
Atau..., jangan-jangan mereka hanya iseng dan ingin mengerjaiku saja. Seperti yang viral-viral di youtube itu, tuh. Ngeprank kalau tidak salah namanya. Hanya untuk membuat sebuah konten semata. Ih, tega amat ya, mempermainkan orang susah. Aku ini lagi cari makan tau! Jangan hanya gara-gara keisengan kalian, istriku kelaparan di rumah.
"Tanggung jawab kalian, Woy! Cepat! Abang itu sudah nungguin dari tadi." Akhirnya, salah satu dari mereka buka suara juga.
Oh, syukurlah. Berarti telingaku masih normal. Bukan salah dengar tadi. Tapi, suara yang memanggil tadi, yang mana ya, orangnya? Kok nggak tanggung jawab, nih! Jangan sampai aku marah, nekat masuk ke dalam sana dan langsung menciumnya sekalian. Biar kapok. Karena dia sudah berani mempermainkanku.
Eh, kok di cium? Ya iyalah. Kalau di pukul entar masuk penjara. Mendingan di cium, paling minta di kawinin.
Tapi, anak-anak itu tak satupun yang bergerak dari tempat duduk mereka semula. Mereka hanya saling dorong, saling sikut, dan bahkan saling tuding dengan menyuruh tanggung jawab.
Emangnya aku hamil, apa? Sehingga harus ditanggung jawabin.
Aku masih berdiri, menunggu dan jadi salah tingkah sendiri. Antara ingin pergi dan tetap bertahan di sini.
Jika aku pergi, kemungkinan sekolah SD yang akan aku tuju semula, sudah pada keluar istirahat. Telat dong. Andaipun aku lanjut ke sana, kemungkinan besar uang jajan mereka sudah habis. Ah, mendingan aku tungguin di sini aja dulu. Tidak apa-apa. Tidak akan lari gunung di kejar, kecuali gunung kembar. Eh.
Toh, kalau rezeki, pasti akan datang sendiri. Yang penting, sabar.
Tak lama, salah satu dari anak cewek itu bangkit dan datang menghampiriku. Dia berdiri di balik pagar pembatas sekolah. Sedangkan aku, berdiri di luarnya saja. Tepat di pinggir jalan.
"Ciloknya dua ya, Bang! Sambelnya yang banyak!" ucapnya dari dalam.
"Iya, Kak!" jawabku sembari membuka tutup panci. Untung ciloknya masih baru, masih segar. Baru di olah pagi tadi. Kalau tidak, bisa malu-maluin, dong. Nggak ada rasa. Anak SD aja komplain, apalagi anak SMA.
"Dua ribu ya, Kak?" tanyaku memastikan. Sembari memasukkan butiran cilok itu kedalam kantongan plastik dengan menggunakan sendok garpu yang sudah dimodifikasi.
"Dua bungkus, Bang! Lima ribu lima ribu, ya!" jawab anak gadis remaja itu.
Alhamdulillah, lumayan, batinku dalam hati.
Enak kalau dapet pelanggan anak SMA atau orang dewasa kek gini. Uangnya bisa cepat dapat banyak. Tapi, ya gitu. Orangnya pada malu-malu. Mungkin mereka pikir aku masih lajang, jadinya kegeeran. Eh, malah aku jadi ikutan grogi. Lihat, nih! Tangan aku aja sampai gemetaran masukin ciloknya. Abisnya dilihatin terus, sih.
Setelah selesai, aku langsung mengulurkannya pada gadis itu dan mulai membungkus pesanannya yang satu lagi. Kulirik, dia langsung memakannya, menjujut langsung dari dalam bungkusan plastik. Tanpa menggunakan pincuk lidi yang telah ku sediakan tadi.
"Enak, woi! Enak lho cilok Abang ini! Nggak mau kalian?" serunya pada teman-temannya yang masih ngumpul seperti kotoran lembu. Menumpuk.
"Maulah, aku pesan lima ribu."
"Satu lagi ya, Bang!" perintah gadis itu.
"Iya. Iya." Aku mengangguk sembari menabur senyum. Senang dapet lima belas ribu. Sudah bisa, nih buat nafkahin istri.
"Aku juga mau, Mei!" Terdengar teriak yang lain dari jauh.
"Satu lagi ya, Bang!"
Akhirnya aku sangat sibuk sekali. Apalagi harus bolak-balik, berjalan antara peti sepeda dan pagar pembatas sekolah. Lumayan jauh, tidak terjangkau oleh uluran tangan. Saking sibuknya, sehingga aku tidak sempat untuk melihat wajah-wajah daun muda itu lagi. Sekarang, sudah banyak yang mendekat ke dinding pagar karena tidak sabar menunggu antrian.
"Sini Bang! Aku bantuin. Abang bungkus aja, biar aku yang anterin." Suara seseorang mengejutkanku. Sekilas kulirik ke arah dadanya, untuk melihat siapa nama anak itu. Kok baik banget, mau bantuin orang yang lagi sibuk dan membutuhkan bantuan banget. Masih kecil. Baru tumbuh mungkin. Eh, mikir apa aku.
"Enak ya, cilok Abang! Lain dari yang lain," ucap anak itu memuji. Alhamdulillah, baru kali ini ada yang memuji masakan ane.
Aku hanya tersenyum, merasa tersanjung oleh pujiannya. Apalagi yang memuji itu cewek. Wah....Seneng banget rasanya.
"Kalau sore, Abang mangkal dimana? Kok nggak pernah liat?" tanyanya ramah.
"Oh, di sana." Aku menyebut salah satu tempat biasa aku mangkal jika sore hari. Tempatnya enak, pinggir laut. Jualan sambil melihat nelayan pulang dari melaut.
Biasanya jika mereka pulang, akan banyak anak-anak yang menunggu di pelabuhan tempat kapal nelayan bersandar. Masing-masing mereka membawa kantongan kresek untuk meminta ikan pada para nelayan itu. Katanya untuk dimakan. Padahal, anak-anak yang mayoritas berambut pirang mirip bule itu berbohong. Ikannya mereka tawarkan kepada orang-orang yang mau beli. Sekilo atau dua kilo gram ikan segar di jual dengan harga murah. Siapa yang tidak mau coba?
Tapi, yang namanya nelayan, tetap akan memberikan jatah itu walaupun mereka tahu ikannya bakalan di jual, bukan untuk dikonsumsi sendiri. Karena mereka tahu bahwa mereka mencari rezeki di alam bebas. Dan diantara rezeki yang mereka dapatkan itu, ada banyak hak orang lain di dalamnya. Termasuk hak anak-anak itu.
Istilahnya rezeki laut, jika ada yang meminta untuk di makan, namun tidak di beri, katanya akan sial pas waktu melaut lagi. Makanya, mereka takut. Karena mereka percaya tentang hal itu.
Kalau ikan yang di minta oleh anak-anak itu laku mereka jual, mereka akan datang kepadaku, membeli daganganku. Seribu dua ribu rupiah, kan lumayan untuk nambahin beli saus.
Ah, orang dagang itu harus banyak perhitungan. Bahkan lima ratus rupiah pun harus masuk hitungan juga. Parah kan?
"Bagusan Abang jualannya di depan Ganesha aja, Bang! Kalau sore, banyak anak les Bahasa Inggris di sana. Orang jualan juga rame," ucap gadis itu memberi tahu.
Gemes dech, mendengar suaranya yang merdu. Itu baru ngomong, belum nyanyi.
"Yang di jalan pelajar itu, ya?"
"Iya. Abang tau?"
"Tau." Aku mengangguk.
"Kenapa nggak jualan di sana?"
"Banyak saingan."
"Oh. Kalau nggak mau bersaing, jualan di hutan aja, Bang!"
"Jadi, siapa yang mau beli?"
"Monyet, kali mau, Bang," jawabnya tertawa.
"Abang ini lucu, jadi pedagang kok malah takut bersaing. Abang baru ya, jualan?" Aku mengangguk.
Kok nyaman banget ya ngomong sama adek ini. Orangnya cepat akrab. Rame dan seru. Apalagi orangnya, lumayan....
******
(5) Kete
Cantik.
Ah, tidak. Masih cantikan lagi istriku. Belum ada yang bisa menandingi kecantikannya hingga saat ini. Cantik luar maupun dalam. Apalagi sifatnya juga sudah dewasa. Kalau yang ini, emang aku akui. Tapi, masih bau kencur. Masih bocil. Nggak-le-vel.
*
Hari ini aku cepat pulang. Daganganku laris manis berkat bantuan anak itu tadi. Sepertinya, dia memiliki bakat terpendam sebagai pedagang. Orangnya super pede dan menjual. Dia tidak merasa canggung sedikitpun untuk menjajakan daganganku kepada teman-temannya. Bahkan kepada kaum pria sekalipun.
"Enak wei, cilok abang ini! Nggak mau beli kalian? Entar nyesel, lho. Bentar lagi habis, nih," serunya kepada orang-orang yang ngumpul di situ.
Dengan begitu, banyak diantara mereka yang penasaran untuk mencoba. Apalagi yang beli memang lumayan ramai. Jadi, cepat ludes.
"Kenapa buatnya sedikit sekali, Bang?" tanyanya setelah cilokku hampir tatas.
"Iya. Masih baru, Kak! Jadi, buatnya dikit-dikit aja. Yang penting habis."
"Oooo. Besok buat banyak aja, Bang! Kalau segini mah, tanggung jualinnya."
Apanya yang tanggung. Biasanya, sampai malam aja belum tentu habis. Kan sayang jika harus terbuang tiap hari. Mana modal buatnya mahal lagi.
Aku hanya menyunggingkan bibir, tersenyum menanggapi ucapannya. Mencoba bersikap ramah mengimbanginya. Kapan lagi dapat asisten gratisan seperti ini.
"Kok cepat pulang, Mas?" tanya Dewi begitu aku sampai rumah dengan raut wajah khawatir. Mungkin berpikir jika terjadi apa-apa denganku sehingga cepat balik. Tak biasanya 'kan pulangnya jam segini.
"Udah habis," jawabku menyunggingkan bibir, tersenyum. Bawaannya happy aja hari ini.
"Ha. Kok cepat?" ucapnya tak percaya.
"Alhamdulillah, banyak yang beli. Mas Ridho nggak jualan hari ini. Jadi, aku jualan di depan SMA."
"Alhamdulillah," ucapnya bersyukur dengan wajah ceria.
"Iya. Mungkin itu berkat doamu tadi malam. Ternyata manjur juga. Berarti, kita harus sering-sering nih, ngelakuinnya biar rezeki kita semakin lancar," godaku padanya.
"Enak aja. Cukup sekali seminggu aja. Kalau sering-sering juga nggak enak. Cepat bosan."
"Ya udah, deh kalau tidak mau. Tolong ini diberesin dulu ya. Mas capek. Mau istirahat dulu."
"Ya udah. Biar Dewi beresin. Tapi...." Dia diam sejenak sembari menadahkan tangannya.
"Apa?"
Dia memberi kode dengan menggesek-gesekkan jari telunjuk dengan ibu jari.
"Saranghae!"
"Ish. Bukan."
"Jadi?"
"Duit. Duit."
"Kok tumben minta duit?"
"Kan jualannya habis."
"Kalau habis, emang kenapa?"
"Bagi dong!"
"Untuk apa?"
"Mau beli handbody, biar kulit Dewi lembab. Lihat, nih! Kering dan pecah-pecah."
Tanpa menoleh, aku langsung menjawab ucapannya. "Gini aja udah cantik. Sayang duitnya kalau untuk buat beli hal yang nggak penting seperti itu. Sudah nyarinya susah. Mendingan ditabung aja. Mana tau besok ada keperluan mendesak yang jauh lebih penting, 'kan tinggal ambil."
Tiba-tiba kulihat wajahnya berubah cemberut, tidak seperti tadi lagi. Sepertinya Dewi tidak senang dengan ucapanku barusan. Apakah aku salah untuk mengingatkannya agar jangan terlalu boros. Jika nyari uangnya tadi gampang, tidak masalah. Ini mah, sulitnya minta ampun.
Apalagi aku juga tidak ingin hidup kami begini-begini terus. Aku juga pengen maju. Setidaknya, dalam beberapa bulan ke depan harus bisa beli motor untuk jualan. Tidak mesti harus baru, motor seken pun tidak apa-apa asal ada mesinnya. Supaya jangan naik sepeda lagi. Sudah jalannya lamban, dengkulku pun terasa pegal setiap malam.
Toh, aku juga tidak banyak menuntut agar dia terlihat cantik. Begini aja sudah cukup. Aku mencintainya tulus dan apa adanya. Jadi menurutku, tak perlu buang-buang uang untuk hal gak penting seperti itu.
Tapi Dewi, sudah tidak mau bicara lagi. Setelah membereskan ini dan itu, dia tidak masuk ke kamar untuk menemaniku, bertanya tentang perjalananku hari ini. Bercerita, memberi semangat sembari membawakan secangkir teh hangat atau kopi. Jika lagi mau, dia juga memijati tubuhku yang pegal linu. Tapi, kenapa dia langsung berubah saat aku tak memberinya uang untuk hal yang nggak terlalu penting.
Jika yang dia pinta tadi untuk kebutuhan pokok, pasti aku beri karena itu merupakan kewajibanku. Tapi ini....
Ah, perempuan memang tidak ada rasa bersyukurnya. Di kasi rezeki berlebih oleh Tuhan, malah ngajak ribut. Maunya langsung ingin hura-hura dan berfoya-foya terus. Nggak mikirin bagaimana sulitnya perjuangan suami di luaran sana untuk mendapatkannya.
Ah, dari pada pusing mikirin dia, lebih baik aku berkhayal untuk menghibur diri. Membayangkan anak abege yang membantuku jualan tadi. Sepertinya, gadis itu lebih cocok jika diajak untuk bekerja sama. Andai Dewi bisa seperti dirinya, mungkin hidup kami akan jauh lebih baik.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, anak itu tadi....
Ah, cantik. Wajahnya cantik, hatinya juga, baik.
Lama aku berbaring di tempat tidur, guling sana guling sini, gelisah. Sampai aku teringat bahwasanya tadi aku membeli sebungkus nasi padang, pakai rendang untuk dimakan berdua, bersama-sama. Mumpung ada rezeki, sesekali tak apalah makan enak, pikirku tadi. Tapi jadi lupa karena sikap yang di tunjukkan Dewi kepadaku tadi.
Aku keluar dari kamar dan mendapati nasi bungkus yang tadi kubeli masih utuh di balik tudung saji. Segera ku cari Dewi agar kami bisa menikmatinya bersama-sama. Agar berkesan romantis, sebungkus makan berdua. So sweet. Selain itu, bisa lebih hemat juga. Kulihat dia sedang termenung seorang diri di serambi depan.
"Sudah makan, Yang?" tanyaku padanya dengan lembut.
Dia hanya diam, tak menggubris pertanyaanku.
"Makan, yok! Entar nasinya dingin, lho," ucapku lagi dengan lembut. Membujuk.
"Makan aja pencarian kau itu," jawabnya ketus, sembari bangkit dari tempat duduknya. Berlalu pergi, kemudian membanting pintu kamar dengan kuat.
Ah, bikin emosi aja. Dia pikir, aku akan mau membujuknya lagi dan minta maaf segera. Tak usah ye....
Emangnya aku salah apa?
****
(6) Kepikiran Terus
Ini hari ketiga aku jualan di tempat yang sama. Di depan sekolah SMA. Kelihatannya hari ini Mas Ridho tidak jualan lagi. Syukurlah. Mudah-mudahan dia tidak jualan lagi untuk selamanya. Sudah tua juga sih. Buat apa lagi cari uang banyak-banyak, coba? Sudah saatnya dia pensiun dan menikmati hasil pencariannya selama ini. Beri kesempatan kepada kami yang muda-muda ini untuk berkreasi. Jangan serakah. Toh kalau mati nanti, uangnya juga tidak akan dibawa.
"Abang kok pandai buat cilok begini? Ini dibuat sendiri atau orang tua abang yang buatin?" tanya Mei disela-sela kesibukan kami.
"Abang sendiri yang buat."
"Kok bisa?"
"Dulu abang pernah kerja di warung bakso."
"Oooo." Dia manggut-manggut.
"Kenapa berhenti?"
"Gajinya kecil. Sudah nggak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga abang lagi, jika terus dilanjutkan ."
"Abang bantuin orang tua juga?"
"Tidak."
"Jadi?"
"Untuk kebutuhan keluarga sendiri."
"Maksudnya abang punya keluarga sendiri, gitu?" tanyanya penasaran. Dengan tatapan penuh selidik.
Aku mengangguk sembari tersenyum.
"Abang sudah menikah?" tanyanya lagi, seakan-akan tidak percaya.
"Iya."
"Serius, abang sudah menikah?" Dia terlihat masih belum percaya juga.
"Iya. Serius. Jika belum menikah, mana mungkin abang mau kerja seperti ini," ucapku meyakinkan.
Tiba-tiba saja kulihat wajahnya berubah datar, seperti kecewa. Tidak ceria lagi seperti tadi. Dan setelah itu, dia hanya diam saja. Namun, masih mau menemaniku, membantu untuk melayani pembeli.
Dengan ekspresi yang ia tunjukkan saat ini membuat aku merasa canggung sendiri. Kenapa tadi aku berkata jujur jika hanya untuk merusak suasana saja. Lebih baik aku tadi berbohong saja demi menjaga perasaannya. Tak apalah sedikit berbohong jika itu demi kebaikan bersama.
Eh, tapi, kenapa dia berubah cemberut begini ya? Apakah dia sedang cemburu?
Aku mencoba tetap bersikap tenang, tak mau terlalu terbawa perasaan atau malah kegeeran tentang asumsi ku barusan. Nggak mungkinlah dia sampai naksir sama aku, sedangkan aku, yah lihat saja sendiri. Nggak ada yang bisa dipandang dari hidupku ini sedikitpun.
"Mei, itu cowokmu ya? Dari kemarin lengket terus. Apa nggak ada lagi cowok lain yang mau sama kamu selain tukang cilok?" Segerombolan laki-laki datang mendekati kami sembari meledek Mei.
Oh iya, gadis ini namanya Mei. Teman-temannya juga memanggil dengan sebutan demikian. Mei. Tapi aku tidak tahu entah Mei apa kepanjangannya. Segan untuk bertanya. Takutnya dia salah paham dan menganggap aku peduli dan menyukainya. Padahal sesungguhnya, ada sih rasa itu. Tapi cuma sedikit. Hanya secuil saja.
"Abang ini udah nikah tau! Kalau dengar istrinya, abis kalian kena marah," ucap Mei ramah menjawab ledekan mereka.
"Apa? Abang ini sudah nikah?" Kali ini, teman ceweknya pula yang menanggapi ucapan Mei tadi.
"Iya." Mei mengangguk.
"Ah, nggak percaya."
"Iya, lho."
"Iya, Bang! Abang sudah nikah beneran?"
Aku mengangguk. "Iya. Emangnya ada nikah bohongan?"
"Ah, masak sih. Emang usia abang sudah berapa? Kami kira masih lajang lho, Bang! Nggak kelihatan dari mukanya kalau abang sudah nikah."
Aku hanya tersenyum, tak berniat untuk menjawab pertanyaan teman Mei itu. Nggak penting juga, sih.
Tapi, bagaimana dengan Mei? Apakah setelah ini dia akan pergi menjauh dariku? Ah, sudahlah. Buat apa juga aku terlalu memikirkannya. Toh besok-besok aku nggak jualan di sini lagi, kok.
*
Hari ini aku pulang cepat lagi. Kali ini, aku membawakan sebungkus bakso untuk Dewi. Aku tau itu merupakan makanan favoritnya. Walaupun selama tiga tahun bekerja di warung bakso, tidak lantas membuatnya merasa bosan untuk memakan makanan yang terbuat dari campuran tepung tapioka dan daging sapi giling itu. Hitung-hitung untuk mengambil hatinya kembali yang sudah tiga hari tidak mau bicara padaku.
Sebenarnya, banyak hal yang ingin aku sampaikan padanya. Termasuk ingin memberitahu bahwasanya selama tiga hari ini jualanku cepat habis, berkat telah di tolong oleh seorang malaikat kecil. Tapi karena dia hanya diam membisu, apa yang ingin aku sampaikan itu hanya kupendam seorang diri. Tak tersalurkan. Dan itu rasanya....
Ah, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Yang! Ini ada bakso untukmu. Cepat dimakan selagi masih panas." Aku masuk kedalam kamar dan mendapati Dewi sedang rebahan di atas kasur.
"Yang. Ini ada bakso. Mau nggak?" Dia hanya diam. Tak menjawab ucapanku.
Segera ku sentuh lengannya untuk membangunkan. Mana tau dia sedang tertidur.
"Yang. Ada bakso. Mau nggak?"
Dewi terjaga dan segera bangkit. Namun belum beranjak dari tempat tidur.
"Mau nggak? Nanti aku habisin, lho" ancamku padanya.
"Kok tumben ingat sama istri," ucapnya ketus.
"Kan memang setiap hari ingat. Emang apa aku pernah lupa?"
"Kemarin waktu bawa nasi bungkus, dimakan sendiri. Dewi nggak ditinggali."
Oh, karena itu perkaranya makanya aku dicueki selama tiga hari ini.
"Tapi Dewi nggak mau saat Mas tawari kemarin."
"Namanya juga orang lagi merajuk." Kini gaya bicaranya sudah terdengar sedikit lembut. Namun sikapnya masih jutek seperti tadi.
"Jadi, kenapa Mas yang disalahin?"
"Ya iyalah. Kan nggak mungkin jika Dewi mau nyalahin suami orang. Orang Dewi merajuk karena gara-gara Mas juga."
"Ya sudah. Kalau begitu Mas minta maaf ya, jika selama ini Mas telah menyakiti atau menyinggung perasaan Dewi. Mulai hari ini, Mas berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sakit rasanya saat dicueki istri sendiri seperti itu. Sepanjang hari kepikiran terus sama Dewi. Takut jika Dewi pergi minggat dari rumah. Mas harus nyari kemana, coba?"
"Makanya hati istri itu dijaga kalau merasa takut kehilangan. Kalau istri itu minta sesuatu, apa salahnya jika sesekali dituruti. Bukan pun setiap hari Dewi minta dibeliin ini dan itu sama Mas. Lagian, karena Dewi tau bahwa Mas punya uang berlebih, makanya Dewi pinta. Tak baik jika laki-laki dibiarkan memegang uang banyak-banyak. Nanti penyakitnya bisa kambuh. Penyakit main perempuan di luar sana."
"Ya ampun, Dek, Dek! Kok bisa-bisanya adek berpikiran jahat seperti itu sama Abang. Apa pernah selama ini abang berbohong sama adek. Begini-begini abang ini orangnya setia lho, Dek. Adek kan tau sendiri bagaimana sifat abang dari dulu. Adek kan sudah mengenal abang lama, kenapa masih curiga sama abang, sih?" ucapku membela diri. Menyayangkan ucapannya.
"Abang? Sejak kapan Dewi memanggil Mas dengan sebutan Abang. Jangan-jangan feeling Dewi benar. Mas sudah punya selingkuhan di luar sana, iya?" Sorot matanya menatap tajam ke arahku. Tatapan penuh selidik.
Ah, kenapa aku sampai salah ngomong dengan menyebut diriku sendiri Abang di hadapan Dewi. Apakah aku masih kepikiran terus kepada Mei, ya? Kenapa wajah anak itu tiba-tiba berubah datar saat aku bilang sudah menikah. Apakah benar, dia merasa kecewa padaku. Kalau benar, kok bisa?
****
(7) Gawat
"Bu... bukan begitu maksudnya, Dek! Mas hanya terbawa suasana saja tadi. Saat berjualan, biasanya Mas menyebut diri Mas, dengan panggilan Abang kepada pembeli." Aku beralasan. Mudah-mudahan Dewi percaya dengan semua ucapanku dan tak memperpanjang masalah ini lagi.
"Yang bener?" Dia menatapku dengan tatapan serius.
"Iya lho, Sayang. Dewi tau sendiri 'kan bagaimana sifat Abang selama ini. Eh, maksudnya, Mas. Mas tidak mungkin berbicara dengan sembarangan orang. Apalagi sama cewek. Masa Dewi nggak percaya sama Mas. Jangan-jangan Dewi cemburu buta ya, sama Mas?" Aku mencoba menggodanya agar dia tidak merasa curiga lagi.
"Itukan dulu sewaktu kita belum menikah, Mas! Biasanya sifat seseorang itu akan berubah seratus delapan puluh derajat saat sudah berumah tangga. Yang dulunya jahat, bisa jadi baik luar biasa. Dan begitu juga sebaliknya, yang dulunya baik bisa berubah jahat luar biasa. Ada lho kejadian, suami temannya Dewi sendiri yang dulunya rajin kerja sekarang malah malas-malasan setelah sudah menikah. Hanya bergantung pada istrinya saja. Dewi hanya tidak ingin jika Mas berubah seperti itu. Boleh berubah, asal jangan banyak-banyak. Itupun berubahnya ke arah yang lebih baik."
"Iya. Iya. Mas tidak akan berubah sedikit pun untuk Dewi. Mas berjanji akan tetap seperti ini sampai kapanpun jika itu yang Dewi inginkan. Tapi, Mas juga tidak ingin jika Dewi berubah manja dan tukang merajuk seperti ini lagi, ya!" Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya sehingga tatapan kami saling beradu.
"Janji?"
"Hemm." Dewi menganggukkan kepala pelan.
Lalu sebuah kecupan lembut kudaratkan tepat dikeningnya sebagai tanda cinta. Lega. Masalah selesai. Mudah-mudahan Dewi tidak menaruh curiga dan merasa cemburu buta lagi kepadaku.
"Pergi mandi sana! Mas bau," perintahnya sembari mendorong tubuhku menjauh.
"Bentar lagi. Mas masih lelah. Pengen istirahat dulu sebentar."
"Ish, Mas jorok, dech. Pergi cepat mandi sana! Biar segar."
"Bentar lagi lho, Sayang!"
"Cepetan! Dewi lagi mau, nih," ucapnya manja.
Dia masih saja mendorong-dorong tubuhku agar segera keluar dari kamar menuruti perintahnya.
Eh, apaan itu maksudnya? Apakah itu merupakan sebuah kode rahasia?
*
Pagi ini aku kembali berangkat jualan menuju tempat biasa aku mangkal. Sekolah SD yang jaraknya paling dekat dengan kediaman kami. Setelah mereka masuk kelas, aku tidak lantas pergi. Aku berdiam diri sejenak, menaksir-naksir kira-kira anak SMA sudah masuk apa belum. Aku tidak ingin berjualan di sana lagi. Selain masih merasa canggung untuk bertemu dengan Mei, aku juga tidak ingin merusak hubunganku yang mulai membaik dengan Dewi. Bagaimanapun juga, Dewi merupakan istri yang sah untukku. Sudah layaknya aku memperlakukannya dengan baik. Walaupun yang di sana terlihat lebih segar, namun itukan rumput tetangga. Tak patut aku berharap banyak padanya. Takut jadi dosa.
Selang beberapa menit kemudian, barulah aku bergerak. Tak apa kehilangan banyak pemasukan untuk hari ini. Toh, kalau rezeki takkan lari kemana. Nanti juga datang sendiri. Buat apa juga banyak uang jika kita tidak merasa bahagia. Berantem. Berantem. Berantem hanya perkara uang. Lebih baik sedikit asal mencukupi. Itu baru berkah namanya.
Setelah melewati gedung SMA, kulihat para siswa sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang siswa yang terlihat masih berkeliaran di halaman sekolah, belum masuk ke dalam kelas. Dan Mas Ridho terlihat sudah berjualan kembali. Ah, syukurlah. Berarti, mulai besok aku sudah bisa leluasa lewat dari sini. Beraktifitas normal seperti biasa kembali. Terbersit rasa lega dalam hati.
*
Hari ini rasanya tidak bersemangat dalam berjualan. Daganganku terasa sepi sekali. Sudah hampir jam empat sore, Cilok yang kubawa masih banyak tersisa. Mungkin karena efek ramai selama tiga hari belakangan ini, membuat aku kehilangan gairah untuk hari ini. Biasanya, jam segini aku sudah pulang, bisa selonjoran di atas kasur melepas lelah. Dan saat ini, aku masih disini, menunggu seribu dua ribu rupiah dari saku anak-anak kecil yang lewat sebagai tambahan modal untuk besok. Ah, susahnya cari uang.
Lama aku menunggu, namun hanya ada satu dua orang anak yang datang mendekat untuk membeli daganganku. Itupun tak seberapa, hanya seribu dua ribu saja. Orang tuanya pada pelit semua, seperti kebanyakan emak-emak lainnya. Suka perhitungan dengan uang. Bahkan perkara untuk mengeluarkan seribu rupiah saja pun sanggup berdebat hebat dengan anaknya yang masih kecil di hadapan orang ramai.
"Baru lagi kau minta jajan, ini sudah minta jajan lagi. Di rumah berserak jajanmu pun bukan kau makan. Bagus kau tak usah ikut tadi," ucap seseibu memarahi anaknya ketika anak itu meminta untuk dibelikan cilok jualanku.
Mendengar celoteh ibu itu saja sudah naik tensiku. Namanya juga anak-anak, ya wajarlah minta jajan terus. Kalau memang belum sanggup untuk memenuhi kebutuhan anak, mendingan nggak usah di buat dulu. KB...KB.....Kalau tidak childfree....
Lama aku tercenung, merenungi nasib. Hingga terdengar suara seseorang menyapaku.
"Cilok, Bang!" Suaranya terdengar begitu lembut dan tak asing di telingaku.
Aku menoleh setengah terkejut. 'Mei!'
Ternyata benar. Mei datang ketempat lapak jualanku. Sore-sore begini. Mau apa dia?
" Kok melamun aja, Bang? Lagi mikirin apa?" tanyanya lembut sembari menabur senyum. Ah, manis.
"Eh, Mei. Kamu kok ada disini?" tanyaku heran.
"Ya, mau beli lah Bang. Jadi mau ngapain lagi."
"Oh, iya ya." Aku jadi salah tingkah dengan menggaruk-garuk rambut bagian belakangku.
"Masih ada, Bang jualannya?"
"Iya, ada. Malah masih banyak." Tanpa kuperintah, dia langsung membuka tutup panci jualanku.
"Masih banyak ya! Kenapa tadi tidak jualan di depan SMA? Padahal sudah Mei tungguin, lho."
"Oh iya. Sengaja nggak singgah. Soalnya segan sama Mas Ridho."
"Nggak apa-apa, Bang! Namanya juga orang jualan. Ngapain segan-segan. Orang sama-sama cari makan."
Uihh, kok dewasa banget ngomong adik ini ya? Padahal masih duduk di bangku SMA.
"Iya, sih. Cuman Abang aja yang malu. Masih newbie, pemula. Malu sama senior."
"Alah, jualan aja pun, Bang! Ngapain malu-malu." Aku hanya cengar-cengir. Tambah malu diceramahi sama bocil.
"Ini berapa semuanya, Bang? Biar Mei aja yang borong."
"Haaa. Kamu mau beli semuanya?" Tanyaku tak percaya.
"Iya lho, Bang. Biar cepat abis. Kasian liat abang belum pulang jam segini. Tadi abang kesiangan ya?"
"Kok kamu tau?"
"Jangan panggil kamu dong, Bang! Panggil Mei aja!"
"Iya. Iya. Kok Mei tau?"
"Tadi Kan sudah Mei bilang kalau Mei nungguin Abang."
Aduh. Melihat sikap Mei blak-blakan seperti ini, kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak ya? Takut jangan-jangan feelingku selama ini benar. Dia menyukaiku. Aduh, gimana ini? Bisa gawat jika Dewi sampai tau.
Apalagi jika diterawang lebih dalam lagi, anak ini terlihat pemberani. Bagaimana jika dia sampai nekat datang ke rumah untuk menemuiku.
Bisa perang dunia ketiga, nih.
****
(8) Jangan Sampai Ketahuan
Sembari memasukkan butiran Cilok kedalam kantongan plastik, mulut Mei terus menyerocos bertanya padaku.
"Jauh juga ya Abang jualan sampai sini? Nggak capek apa, mengkayuh sepedanya?"
"Namanya juga kerja, Mei. Sudah pasti capek lah."
"Kenapa Abang tidak naik motor aja?"
Aku kembali nyengir seperti kuda Sumbawa. " Kalau punya sudah Abang bawa Mei dari dulu."
"Maksudnya, Abang nggak punya motor?" Lagi-lagi dia bertanya seperti tidak percaya. Mungkin merasa aneh, kok bisa ya di zaman sekarang ini masih ada manusia yang tidak punya motor.
Aku mengangguk sembari nyengir lagi. Sekilas kulirik dia menatapku serius. Namun dengan cepat segera kualihkan pandangan. Namun sebentar-sebentar kulirik lagi. Dan dia masih menatapku seperti tadi.
Entah kenapa jantungku terasa bergetar saat melihat tatapannya barusan. Aneh, seperti sorot mata seseorang yang menatap iba kepada orang lain. Apakah dia merasa kasihan padaku? Ah, jika betul seperti itu, aku jadi terharu. Ternyata masih ada orang yang mau peduli padaku. Mendapat perhatian begitu saja, aku sudah merasa senang.
Mungkin anak ini benar-benar berhati mulia, lembut, sama persis seperti suaranya. Mudah tersentuh saat melihat orang lain dalam kesusahan.
"Di rumah ada motor nggak terpakai. Apa abang mau? Entar biar Mei bilang sama Bapak."
"Apa?"
"Di rumah Mei ada motor nggak terpakai. Bekas motor bapak dulu. Sekarang sudah jarang di pakai. Apakah Abang mau? Nanti biar Mei mintakan sama Bapak."
"Oh, tidak usah Mei," ucapku menolak. Sambil nyengir, pasti. Nyengir, menertawakan nasibku yang menyedihkan ini.
"Kenapa, Bang?"
"Abang merasa tidak enak jika harus merepotkan Mei."
"Nggak merepotkan, kok. Inikan kemauannya Mei. Bukan abang yang minta."
"Iya. Tapi tidak enak nanti dengan keluarga Mei."
"Nggak apa-apa lho, Bang! Bapak juga suka bantu-bantu orang, kok. Malahan Bapak akan senang jika tau anaknya bersikap santun kepada orang lain. Kan semuanya itu Bapak yang ajarin."
Aku kembali nyengir.
"Bagaimana, Bang? Apa Abang mau?"
Aku kembali menggeleng. Malu sebagai seorang lelaki harus dikasihani. Selain itu, aku juga tidak ingin berhutang budi terlalu banyak padanya nanti. Sebab aku tahu bahwa hutang budi itu akan di bawa sampai mati.
"Ya udah kalau tidak mau," ucapnya dengan nada kecewa.
Sekilas kulirik wajahnya kembali. Kali ini dia telah memalingkan pandangan ke tempat lain. Menoleh ke arah laut tempat kapal-kapal ikan nelayan bersandar.
"Enak ya Bang di sini. Bisa melihat-lihat pemandangan sore seperti ini. Suasananya romantis, banget."
"Iya. Makanya abang suka mangkal di sini."
"Abang suka sama laut?"
"Suka."
"Kok samaan ya, Bang! Mei juga suka dengan laut. Di kamar Mei aja temanya tentang pemandangan laut semua."
"Iya?."
"Iya. Mei juga suka nonton Spongebobs. Mereka jualan di dalam laut. Seru ya Bang kalau kita punya restoran di dalam laut."
Kita. Eh, apa itu maksudnya.
"Maksudnya?"
"Kalau kita bisa bikin restoran di dalam laut, seru ya! Keknya pasti romantis, dech makan di tempat begituan."
Oh, anak ini suka dengan hal yang romantis-romantis, mungkin. Dari tadi ngomongin yang romantis mulu.
"Oh iya, rumah-rumah yang ada di tengah laut itu gimana, Bang? Apakah rumah itu mengambang?" Dia menunjuk ke seberang sana. Ke arah barisan rumah yang terlihat mengambang di permukaan air laut.
"Tidak. Rumah-rumah itu memiliki tiang penyangga di bawah."
"Kok bisa? Cara buatnya gimana?"
"Tunggu airnya surut dulu. Biasanya ada waktu-waktu tertentu air laut pasang dan surut."
"Oh, gitu ya." Dia masih santai, duduk di atas motornya, sambil melihat-lihat aktifitas manusia, sore hari ini di daerah pesisir pantai.
"Abang punya nomor Whatsapp?" Suaranya kembali memecah keheningan.
"Untuk apa?"
"Abang ini lucu! Nomor WhatsApp kok untuk apa. Abang tau whatsapp 'kan?"
"Tau. Aplikasi yang hijau itu 'kan."
Dia tersenyum. "Itu tau. Mei kira abang tidak tau, makanya nanya fungsinya untuk apa tadi."
"Kalau itu, abang tau."
"Abang punya nomornya?"
Aku kembali nyengir sembari menggeleng.
"Abang nggak punya nomor WA?"
"Gimana mau punya, orang hapenya aja nggak punya."
"Ya ampun Bang! Masa hari gini nggak punya handphone."
"Ada sih. Tapi istri abang yang pegang."
"Oh, punya kakak ya? Tak usah lah. Takut, entar kakaknya marah."
"Emangnya untuk apa kalau abang punya nomor WA?"
Aku mulai memberanikan diri untuk bertanya. Sudah kadung terlanjur, bahwa Mei mengetahui banyak hal tentang kehidupanku. Sedangkan aku, bahkan tidak mengetahui sedikit pun tentang dirinya. Sebab dari kemarin, hanya dia saja yang banyak bertanya padaku. Sedangkan aku hanya menjawab pertanyaannya saja. Tak kusangka jika hal-hal pribadi sekalipun secara tak sengaja telah aku beberkan semuanya.
Kali ini, Mei terlihat gugup untuk menjawab.
"Yah, untuk di simpen aja. Mana tau perlu. Mana tau Mei nanti mau bikin Cilok, kan bisa bertanya sama abang."
*
Aku kembali mengayuh sepedaku menuju pulang ke rumah. Kali ini aku pulang agak kemalaman. Tadi, Mei pulangnya lama. Padahal sudah berkali-kali aku peringatkan dan menyinggung tentang orang tuanya. Nanti di cari Bapak atau ibu, tapi dia biasa saja. Ngobrol terus sambil cekikikan. Mau tak mau aku harus menemaninya juga.
Sesampai di depan rumah, kulihat Dewi sedang menantiku di serambi depan. Menunggu kedatanganku ditempat biasa dia duduk.
"Kok lama Mas, pulangnya?" Dia bangkit sembari menyambut kedatanganku dengan mencium punggung tangan dan menaruh ke keningnya.
"Sepi."
"Kok bisa. Tapi kemarin ramai?"
"Itu karena jualannya di depan SMA."
Dewi membuka tutup panci yang kubawa.
"Tapi habis."
"Iya alhamdulillah. Untung ada yang borong tadi semuanya."
"Alhamdulillah," ucapnya ikut bersyukur.
Seperti biasa, Dewi langsung membereskan peralatan jualanku, sedangkan aku sendiri masuk ke dalam untuk segera mandi. Sehabis mandi kami makan malam bersama, setelah itu menuju ke dalam kamar untuk berbaring di atas kasur. Beginilah rutinitas kami setiap malam. Bercerita tentang pengalaman apa saja yang aku lalui hari ini.
Dewi hanya bertanya, lalu aku akan menjawab tentang apa yang dia pertanyakan. Namun, jawabanku terkadang sangat panjang sekali. Malah hanya dengan satu pertanyaan saja, bisa sampai kami tertidur sekalipun belum selesai jawabannya. Ngalor ngidul ke sana kemari.
Mungkin, jika tidak ada pengaruh dari luar, atau jika kami hanya hidup berdua saja di muka bumi ini, hidup kami sudah sangat bahagia sekali.
"Capek ya, Mas?"
"Iya."
"Mau Dewi pijat?"
"Hooh," ucapku dengan mata terpejam.
Dia menolak tubuhku. " Telungkup!" ucapnya memberi perintah.
Dengan mata yang masih terpejam, aku segera telungkup. Tak lama, tangan halus Dewi seketika mendarat dan menari-nari di punggungku. Nikmat. Apalagi diolesi dengan minyak urut atau balsem. Hangat.
Ah, betapa beruntungnya aku memiliki istri perhatian seperti Dewi. Jarang-jarang ada wanita yang seperti Dewi lagi di muka bumi ini. Kebanyakan istri-istri zaman sekarang hanya pandai menuntut haknya saja sebagai istri tanpa mau tau tentang kewajibannya apa saja pada suami. Pandainya hanya memijat-mijat layar ponsel dan minta uang buat beli paket kuota internet.
Tapi Dewi berbeda daripada yang lain. Dia tidak banyak menuntut ini dan itu. Hanya yang kemarin itu saja. Hanya minta di beliin handbody. Itupun saat aku bilang tidak, maka dia tidak akan memintanya lagi.
Di tengah kenikmatan yang sedang aku rasakan dari sentuhan lembut jari-jemari Dewi, tiba-tiba saja wajah Mei muncul di kepalaku. Tatapannya, senyumannya, suaranya membuat jantungku berdebar.
Dalam hatiku bertanya-tanya. Untuk apa dia meminta nomor whatsapp dariku. Jika dia hanya ingin bertanya tentang resep masakan, bukankah dia bisa bertanya langsung saja? Kenapa musti melalui hape. Atau jangan-jangan dia ingin mengatakan sesuatu padaku, yang tidak enak jika ingin dikatakan langsung. Tapi, apa itu? Kok aku jadi penasaran.
"Yang!" ucapku pada Dewi.
"Hemm," jawabnya menyahuti.
"Ada nggak hape android seken harga tiga ratusan?"
"Buat apa?"
"Mas mau beli."
"Buat apa beli baru? Kalau mau nelepon 'kan bisa pakai punya Dewi!"
Aku diam sejenak. Mencari alasan apa yang tepat untuk mengatakan niat hatiku padanya. Jangan sampai salah bicara dan mengundang rasa curiganya lagi. Bisa-bisa gawat beneran kalau sampai ketahuan.
Mulai sekarang aku harus pandai-pandai berbohong dan bersilat lidah agar semua rencanaku berhasil. Mei, dia masih muda. Masih polos. Masih perlu banyak belajar. Tak ada salahnya jika aku membimbingnya agar jangan sampai jatuh ketangan laki-laki yang salah. Laki-laki yang suka memanfaatkan kepolosan wanita dan lalu kemudian lari dari tanggung jawab.
Kasihan jika Mei mendapatkan tipe laki-laki seperti itu. Setidaknya, aku harus menjaganya sebagai abang hingga dia menemukan laki-laki yang pantas untuknya. Yah, minimal laki-laki yang bertanggung jawab, sepertiku.
*****
(9) Curiga
"Tapi kan Mas perlu hape juga, Yang. Pelanggan Mas aja banyak yang nanyakin nomor WA, Mas. Kan malu hari gini nggak punya handphone. Kelihatan sekali Mas udik banget jadi orang. Apa Dewi nggak malu punya Suami jadul seperti Mas, hemm?"
"Ya sudah, beli aja kalau Mas punya uang," ucapnya pasrah setelah mendengar alasanku. Aku menyunggingkan bibir tersenyum, merasa senang karena rencana awalku berhasil.
"Memang Mas punya uang segitu?" tanyanya lagi.
"Ada."
"Dapat dari mana?"
"Hasil jualan Mas, selama tiga hari ini."
Dewi menghentikan aktifitasnya. Kemudian pergi berlalu keluar dari kamar. Tak lama kemudian dia masuk kembali dan langsung berbaring, tidur.
"Dari mana?"
"Kamar mandi."
"Ngapain?"
"Cuci tangan."
"Kok sudahan?"
"Capek. Lagi nggak mood," ucapnya ketus.
Kan merajuk lagi. Begini nih kalau sudah tau ada uang berlebih. Pasti ada saja tingkahnya.
*
Rencanaku untuk membeli hape kemarin gagal total. Setelah malam itu, sikap Dewi kembali berubah. Dia lebih banyak berdiam diri dan cuek saat diajak bicara. Melihat sikapnya seperti itu, lebih baik aku mengurungkan niatanku terlebih dahulu. Walaupun dia sudah mengizinkanku untuk membeli hape tersebut, namun aku tahu bahwa dalam hatinya masih belum ikhlas. Jadi, dari pada masalah semakin rumit, lebih baik aku mengalah saja.
Uang yang aku simpan itu aku serahkan semua untuknya. Terserah ingin dia pakai untuk apa. Biar dia senang. Untukku, biar nanti di cari lagi. Pelan-pelan. Walaupun rasanya sedikit kecewa dan merasa tidak semangat untuk bekerja, namun harus tetap aku jalani. Begitulah resiko punya istri. Tidak bisa sesuka hati lagi. Jika ingin berbuat sesuatu mesti izin dulu. Kalau tidak, bisa perang dunia ketiga.
"Kemarin abang tidak jualan?" Pelanggan setiaku datang lagi.
"Tidak."
"Kenapa?"
"Lagi tidak enak hati."
"Kok bisa?"
"Istri abang merajuk."
"Lho. Emangnya kenapa sampai merajuk?"
"Itu lho, Dek. Kemarin itu abang izin sama dia mau beli hape. Tapi istri abang nggak setuju. Sebenarnya dia setuju, tapi kek nggak ikhlas gitu. Mukanya cemberut terus."
"Mungkin lagi datang bulan kali, Bang!" ucap Mei bercanda.
Eh, ngomong apa itu? Kok nekat.
"Nggak tau juga lah, Dek. Soalnya belum abang periksa." Eh.
"Abang mau beli hape?" tanya Mei lagi. Aku mengangguk.
"Tapi kemarin itu. Sekarang uangnya sudah tidak ada lagi," jawabku.
"Di rumah, Mei punya hape nggak terpakai lagi. Apa abang mau?"
"Masih bagus?"
"Masih, dong. Sebenernya masih baru juga, tapi karena Mei beli yang ini, yang itu jadi jarang di pakai. Kalau abang mau, besok biar Mei bawain."
"Berapa harganya?"
"Nggak usah bayar, Bang! Kan tadi sudah Mei bilang mau kasi aja."
"Beneran, nih?"
"Iya. Abang mau kan?" Aku mengangguk sembari tersenyum.
Tak apa-apalah ya menerima barang bekas seperti itu. Toh di rumahnya juga tidak terpakai, kok. Kan sayang, lama-lama nanti batrainya bisa soak. Bagusan aku yang rawat.
"Motornya bagaimana, Bang? Kemarin Mei sudah tanya sama Bapak, kalau Abang mau bisa ambil sekalian ke rumah. Sekalian kenalan sama Bapak."
Aduh, sebenarnya tidak enak sih menerima pemberian orang lain seperti ini. Tapi, bagaimanapun juga aku memang sangat butuh barang itu. Apalagi kan dia yang nawarin, bukan aku yang minta. Nggak enaklah ya kalau di tolak terus. Takutnya dia merasa tersinggung lagi seperti kemarin.
"Ya udahlah, Mei. Kalau Mei maksa. Ya, dengan senang hati akan abang terima."
"Abang mau? Beneran?" tanyanya dengan raut wajah ceria. Dengan malu-malu aku mengangguk.
"Gitu dong, Bang! Kalau dari kemarin aja, pasti keluarga abang akan baik-baik saja. Nggak seperti saat ini," ucapnya terdengar tulus dan perhatian.
"Iya, sih." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tiba-tiba terasa gatal.
*
Malam harinya, barulah aku dan Dewi berangkat ke rumah Mei. Seperti yang telah kami sepakati sore tadi. Aku membawa Dewi agar dia tidak merasa curiga apalagi sampai cemburu terhadapku. Sebab, Mei tidak ingin jika nanti keluarga kami bertengkar lagi gara-gara ini.
Kami menumpangi becak untuk sampai ke rumah Mei. Mengingat area rumah Mei lumayan jauh dari tempat tinggal kami. Sedangkan tentang letak lokasinya, Mei sudah bilang sore tadi. Rumahnya berbentuk ruko tiga pintu dan tiga tingkat. Di depan ruko itu terdapat sebuah papan nama toko yang bertuliskan Meilin Fasion. Untuk itu, kami tinggal tanya saja ke Kang Becak, supaya jangan muter-muter.
"Oh, Meilin Fasion ya? Yang dekat kota itu. Toko besar yang jual pakaian itu kan?" ucap Kang Becak memastikan.
"Kami juga tidak tahu, Pak, tokonya yang mana. Makanya kami nanya sama Bapak."
"Oh iya. Saya tau. Dulu yang punya toko itu jualannya di pasar. Sekarang dia sudah maju, bisa buka toko pakaian sampai sebesar itu."
"Bapak kenal sama dia?" Aku merasa penasaran.
"Ya kenal. Itukan istrinya yang orang kita tionghoa. Ci Asen namanya. Sebenarnya, orang tua istrinya itu yang kaya raya. Kalau keluarga Pak Turlip ini, biasa aja. Malah dia dulu hanya pekerja di tempat orang tua Ci Asen itu. Sudah nasibnya 'kan baik, mau anak majikan sama dia, kaya raya lagi. Siapa juga yang tidak mau, coba?" ucap Kang Becak bersemangat.
"Kau lah coba, kalau ada perempuan kaya raya yang mau sama kau, bisa nggak kau menolaknya?" tanya Kang Becak berkulit hitam dan berkumis tebal itu padaku.
Aku hanya tersenyum mendengar celotehnya.
"Dia sudah punya istri, Pak! Kalau sempat dia mau, hemmmm," ucap Dewi menanggapi perkataan Kang Becak tadi.
"Hahahaha." Kang Becak itu tertawa terbahak-bahak. " Namanya juga laki-laki ya, kalau di rumah boleh sudah punya istri, tapi kalau diluar 'kan harus tetap lajang."
"Hem, sempat lah ketahuan, Mas, main perempuan diluaran sana ya! Habis Mas Dewi buat," ucap Dewi geram, mendengar celoteh Kang Becak sembari mencubit pahaku.
Ah, Kang Becak ini malah cari gara-gara aja.
Tak lama, kami sampai di depan ruko yang di tuju. Ternyata tokonya buka sampai malam juga. Besar dan memiliki banyak karyawan cewek. Ternyata benar, jika Mei ini memang anak orang kaya. Duh, kok rasanya aku semakin gemetaran ya, untuk bertemu dengan orang tuanya.
Setelah membayar ongkos becak, kami segera turun dan berdiri bingung di depan ruko. Sedangkan Mei sendiri belum terlihat batang hidungnya.
"Benci kali Dewi mendengar celoteh tukang becak itu tadi. Sudah jelek, sok banyak gaya. Sok ngaku lajang pula, tuh," ucap Dewi kesal. "Mendingan tadi kalau dia ganteng. Ini, mah, melihat kumisnya aja Dewi udah geli." Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Dewi sembari mencari-cari jejak keberadaan Mei.
"Apa bener Mas, ini tempatnya?" tanya Dewi memastikan.
"Iya, bener. Katanya Meilin Fasion."
"Temen Mas cowok apa cewek?"
"Cewek."
"Cewek?" Dewi menatapku dengan sorot mata tajam.
"Iya, cewek. Namanya saja Mei."
"Mas tidak ada bilang sama Dewi kalau namanya Mei. Sudah berapa lama Mas kenal sama dia?" tanya Dewi penuh selidik.
Aduh gimana ini? Belum apa-apa saja gaya bicara Dewi sudah ngegas seperti ini. Bagaimana nanti jika dia bertemu dengan Mei. Apakah mereka akan main jambak-jambakan karena cemburu?
Ah, aku jadi bingung sendiri.
*****
(10) Tatapan yang Menggetarkan Kalbu
"Masih baru. Waktu jualan di depan SMA kemarin."
"Kenapa Mas, tidak cerita?"
"Bagaimana Mas mau cerita, sedangkan Dewi aja merajuk terus kerjaannya."
Dia diam. Tak bicara lagi sepatah kata pun. Sampai tiba-tiba sebuah mobil berwarna merah mengejutkan kami dengan menyalakan klaksonnya, berhenti dan parkir tepat di belakang kami. Dari dalam mobil itu keluar seorang wanita cantik yang sudah tidak asing lagi di mataku.
"Sudah lama Abang sampai?" tanya wanita itu ramah kepada kami sembari memperlihatkan senyuman terindahnya.
"Ba_baru saja," jawabku gugup sembari menelan ludah.
"Ini istri Abang?" tanyanya lagi, menunjuk ke arah Dewi.
"I_iya. Ini istri saya," jawabku masih gugup seperti tadi.
Ah, jantungku berdebar semakin tidak karu-karuan saat melihat penampilan Mei berdandan seperti ini. Dengan mengenakan baju Dress berwarna kuning keemasan sebatas lutut, penampilannya terlihat sangat menawan.
Bibirnya yang tipis dipolesin dengan lipstik berwarna merah cerah. Kulit wajahnya yang putih bersih kini terlihat semakin mempesona karena di permak dengan mengaplikasikan berbagai macam alat kosmetik sehingga terlihat kinclong dan berwarna kemerah-merahan. Begitu juga dengan tatanan rambutnya yang hitam legam, kini digulung-gulung kecil seperti bentuk sosis goreng siap makan. Aku saja hampir pangling saat melihatnya tadi. Apalagi ketika dia baru saja keluar dari dalam mobil. Sungguh tidak menyangka jika itu adalah Mei yang aku kenal selama ini.
Penampilannya yang terlihat menawan itu sangat kontras jika di bandingkan dengan penampilan Dewi yang saat ini terlihat seperti.... Ah, entahlah.
Aku saja tidak sampai hati untuk mengatakannya. Dewi hanya mengenakan baju tidur sejenis piyama, kesayangannya. Salah satu baju yang dia beli saat akan menikah denganku beberapa waktu lalu. Dengan budget yang pas-pasan, Dewi memilih piyama yang harganya agak miring agar dapat dua helai. Kemana-mana, pakaian itulah yang ia kenakan selama ini. Selain nyaman untuk dipakai, stelan piyama itu yang paling baru di antara pakaiannya yang lain.
Sedangkan wajahnya, terlihat kusam tanpa riasan sedikit pun. Bibir dan rambutnya... Ah, sudahlah. Nanti dia nangis jika aku sebutkan satu persatu.
"Kenalkan! Saya Mei." Mei menjulurkan tangannya kearah Dewi dengan tatapan ramah. Sedangkan senyumannya masih mengembang menghiasi bibirnya yang merekah. Dewi menyambut uluran tangan Mei dengan raut wajah bertambah cemberut.
Ih, geram melihat ekspresi Dewi seperti itu. Malah bersikap seperti orang sombong. Entah apa yang dia sombongkan. Apa sih susahnya memasang wajah ceria barang kali sedikit saja, sebagai bentuk penghargaan agar orang lain yang melihatnya ikut senang. Ini malah menunjukkan raut wajah masam, seperti orang susah saja. Persis seperti raut wajah orang belum makan satu bulan.
"Dewi," jawab Dewi kecut, sembari berjabat tangan.
"Maaf ya agak telat. Tadi agak sibuk di rumah," ucap Mei ramah, dengan senyuman manis yang masih menghiasi bibirnya.
"I_iya. Tidak apa-apa," jawabku, masih dengan kegugupan yang hakiki.
"Ya udah. Ayo kita berangkat sekarang!" Ajaknya sembari berjalan menuju ke arah mobilnya tadi.
Aku dan Dewi saling terpaku, merasa bingung melihat tingkah laku Mei. Katanya ingin mengajak kami ke rumahnya, tapi kenapa malah mengajak naik ke mobil, bukan mengajak masuk ke dalam ruko. Bukankah rumahnya ada di sini?
"Kok malah bingung? Ayo cepat naik," teriaknya dari balik kemudi mobil merah itu.
Aku dan Dewi saling bersitatap, sama-sama merasa kebingungan.
"Ayo! Kok malah diem aja?"
Aku celingak-celinguk, antara melihat Mei dan ruko yang ada di belakangku. Kemudian, Mei turun kembali dari mobilnya dan mendekat menghampiri kami.
"Ayo! Bapak sama ibu sudah nungguin kita di rumah, lho," ucapnya menjelaskan.
"Tapi, ini." Aku menunjuk ke arah ruko yang dipenuhi oleh berbagai macam corak warna pakaian itu.
"Oh, ini rukonya Bapak untuk jualan aja. Kami tidak tinggal di sini. Kami tinggal di kompleks."
"Oh, gitu ya." Aku baru paham.
"Iya." Mei tersenyum melihat kebodohan kami. Aku kira tadi, mereka tinggal di ruko ini.
"Sengaja Mei suruh Abang nunggu di sini supaya nyari alamatnya gampang. Kalau nyari alamat langsung ke kompleks agak ribet. Harus lapor dulu sama securiti kalau mau masuk."
"Oh, gitu ya. Abang kira tadi Mei tinggal di sini."
Dia kembali tersenyum. Ih, senyumannya itu, sungguh sangat-sangat menggemaskan. Jadi pengen tak cubit tuh pipi tembemnya.
"Kakak di depan aja sama Mei," ucap Mei sebelum masuk ke dalam mobil kembali.
Sedangkan aku, langsung mengambil tempat untuk duduk di belakang. Sengaja aku memilih duduk di sebelah kiri agar Dewi tidak cemberut lagi. Pasti cemburu tuh, makanya raut wajahnya kecut terus seperti itu.Ternyata, susah juga kalau punya istri yang terlalu sensitif seperti Dewi. Terlalu gampang cemburu buta.
"Kenapa kakak tidak naik, Bang?" tanya Mei kepadaku setelah menunggu beberapa saat, namun Dewi tak kunjung masuk ke dalam mobil. Dewi hanya berdiri di luar saja. Celingak-celinguk seperti orang oon.
Aku hanya menggeleng. Merasa ikut bingung dengan kelakuan anak itu. Aneh-aneh saja.
"Apakah Kakak merajuk lagi?" tanya Mei kembali. Mungkin merasa tidak enak juga, mengingat bagaimana sikap Dewi selama ini setelah mendengar ceritaku tempo lalu.
Aku kembali menggeleng. Tak mengerti.
"Coba Abang tanya dulu!" pinta Mei padaku.
Aku mendengus kesal, sembari keluar dari mobil.
"Kenapa tidak masuk? Apa kamu tidak ingin ikut, ha?" tanyaku geram dengan intonasi suara meninggi, namun sedikit tertahan karena takut di dengar orang.
Kulihat Dewi menunduk, raut wajahnya kini terlihat gelap. Dia memain-mainkan jari-jemarinya seperti anak kecil.
"Hei!" hardikku kesal sembari menepis sedikit lengannya agar dia merespon pertanyaanku.
"Pintunya nggak bisa di buka," ucapnya pelan, seperti sungkan untuk menatap wajahku.
Segera ku buka pintu itu, dan..., creeekkk. Terbuka.
Dewi langsung masuk tanpa menoleh sedikitpun padaku lagi.
Setelah aku duduk, barulah Mei menghidupkan mesin mobil. Selang beberapa menit kemudian kami telah meluncur ke badan jalan yang disesaki oleh berbagai macam jenis kuda besi. Berlalu lalang kian ke sana kian kemari. Ramai.
Di sela-sela keramaian itu, terlihat pula Mei begitu lihai dibelakang setir kemudi, menyalip dari celah-celah badan jalan yang berongga, melewati tiga sampai empat kendaraan yang saling berkejar-kejaran untuk saling mendahului. Berlomba-lomba mengikuti keinginan tuannya, kemana dia akan diantar pergi.
Melihat kelihaiannya itu, aku semakin takjub dibuatnya. Tak lepas pandanganku tertuju kearah Mei, melihat bagaimana dia melakukannya. Sesekali, tatapan mata kami saling bertemu, melalui kaca spion yang ada di depannya.
Dan tatapannya itu, begitu menggetarkan kalbu.
*****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
