DINODAI SUAMI SENDIRI(TAMAT)

47
28
Terkunci
Deskripsi

DINODAI SUAMI SENDIRI(Part1)

"Ingat ya. Kamu itu aku bayar buat jadi suami bohongan. Jadi nggak usah nuntut ini itu. Aku nggak sudi tidur bareng sama kamu," ucapku tegas kepada laki-laki yang tadi pagi baru saja mengucapkan ijab kabul di hadapan Ayahku.

"Iya, Tyas. Aku mengerti," sahutnya dengan lembut.

"Kalau begitu, malam ini kamu tidur di sofa. Nanti kalau kita pindah ke rumah baru, baru tidur di kamar masing-masing."

"Iya, iya. Aku ngerti. Aku juga tau diri untuk nggak macam-macam sama kamu."

"Bagus...

51,293 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
520
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Mereka Tak Tahu Aku Istri Majikannya(TAMAT)
11
3
(1) Nggak Nyangka Pokoknya Ayu nggak mau, Buk. Ini kan jaman modern. Mana ada lagi jodoh-jodohan, sungutku pada Ibu dan Bapak yang kini duduk di hadapan.Mau jaman apa pun itu, tetap aja anak nggak boleh ngelawan sama orang tua! tegas Ibu.Aku terdiam. Memang seperti itulah Ibu. Tak ingin dibantah sama sekali. Aku memandang ke arah Bapak. Mencoba memelas. Namun rasa takut Bapak sama Ibu membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.Ayu sudah punya pacar, Buk.Memangnya siapa yang ngijinin kamu pacaran? Kan Ibu sudah bilang. Kelak kamu akan menikah sama Aryo. Anak juragan ayam. Titik!Hish...Aku bangkit dan melangkah dengan mengentakkan kaki menuju kamar. Merasa kesal dengan keputusan Ibu dan Bapak yang tiba-tiba memaksaku menikah secepatnya.Dulu memang sayup-sayup terdengar, bahwa orang tuaku dan orang tua Mas Aryo akan menjadi besan. Hal itu karena Bapak dan Om Triman_Ayahnya Mas Aryo_adalah sahabat lama.Tapi itu dulu. Dulu sekali. Yang aku dengar pun pernikahan akan dilangsungkan setelah aku wisuda dan mendapatkan gelar sarjana seperti cita-cita Ibu dan Bapak. Tapi sekarang, kenapa malah mendadak dangdut begini?Bahkan aku dan Mas Aryo sudah bertahun-tahun lamanya tidak pernah bertemu lagi. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rupanya. Yang kuingat dulu, kulitnya gelap dan rambutnya kusam. Padahal dia cukup berada, di kampung kami.Om Triman punya beberapa lapak jualan ayam potong di pasar. Bahkan katanya punya kandang sendiri..Cie... yang mau jadi mantu juragan ayam, ledek Sari, sahabatku.Ish, nggak banget deh, Sar. Aku nggak mau, sahutku kesal.Lho, kenapa? Mas Aryo kan ganteng, Yu.Dih, ganteng apaan. Dekil gitu. Namanya tukang ayam.Lho, emangnya kamu belum pernah ketemu sama Mas Aryo yang sekarang?Belum lah. Terakhir waktu dia nyari belut di sawah Bapak. Badannya penuh lumpur semua. Kekanakan banget nggak sih? Sari terkikik.Hem? Kamu belum tau aja Mas Aryo yang sekarang. Aku aja hampir naksir..Masa sih Mas Aryo anak juragan ayam itu sekarang jadi tampan. Menurut Sari, tiga tahun yang lalu dia juga pindah ke kota. Tepatnya setelah aku juga pindah untuk kuliah.Tapi yang namanya juragan ayam, ya pasti kerjanya juga tidak jauh-jauh dari ayam. Apa lagi  yang kudengar, setelah lulus SMA dia tidak melanjutkan kuliah. Padahal cita-citaku punya suami kerja kantoran.Apalagi sebulan ini aku baru menerima cinta Fandi. Senior kampusku yang baru saja diwisuda, dan mendapat gelar sarjana. Mungkin sebentar lagi akan dapat kerjaan.Minggu ini keluarganya Aryo datang. Kamu harus pulang.Tapi, Buk....Kalau kamu menolak, berenti kuliah! .Akhirnya acara lamaran itu datang juga. Mas Aryo datang dengan rapi. Benar kata Sari. Dia terlihat lebih tampan sekarang. Kulitnya juga jauh lebih putih. Rambutnya lurus dan rapi. Kok bisa begitu, ya. Apa karena dulu dia suka panas-panasan?Ah, terserahlah. Bagaimanapun keadaannya sekarang, aku tidak boleh mengkhianati Fandi. Aku harus membuat Mas Aryo membatalkan pernikahan. Lagi pula, aku ini kan calon sarjana. Mana mungkin menikah dengan seorang tukang ayam.Fandi merupakan kriteria ideal suami idamanku. Sarjana, dan calon pegawai kantoran. Aku harus jadi istrinya..Mas Aryo tinggal di mana sekarang? Kok tiap Ayu pulang, nggak pernah keliatan. Aku pura-pura perhatian.Iya. Mas buka usaha di kota, sahutnya dengan senyum merekah.Usaha ayam? tebakku. Dia mengangguk.Sudah kuduga. Tak perlu lagi kutanyakan seperti apa dan bagaimana pekerjaannya. Bisa kubayangkan, dengan kaos putih bercipratan darah, dia mencincang ayam dan menjualnya di pasar. Persis seperti Bapaknya.Dan aku nggak mau berakhir berdiri di sampingnya sambil memasukkan ayam-ayam itu, ke kantong plastik seperti Ibunya. Aku mau kerja di kantor. Titik.Gimana kuliah kamu? Lancar?Lancar dong. Tahun depan Ayu bakalan jadi sarjana.Alhamdulillah, ucapnya.Dih, senang. Pasti dia merasa bangga tahu akan menikahi gadis tak biasa. Bukan seperti gadis-gadis lain di kampung ini yang kebanyakan hanya lulus SMA. Bahkan ada juga yang hanya sebatas SMP. Sari misalnya. Sepertinya sahabat baikku itu gadis yang lebih cocok untuk Mas Aryo.Apa lagi, Sari juga sempat naksir laki-laki di sampingku ini. Jadi tidak ada salahnya kalau aku menjodohkan mereka..Siang ini aku menunggu di depan kampus. Mas Aryo akan datang berkunjung ke kota untuk mengajakku membeli cincin. Aku tak bisa menolaknya. Kebetulan hari ini, adalah hari pertama Fandi bekerja. Jadi dia tak akan tahu kalau aku pergi dengan siapa.Aku sengaja tidak mengatakan apa pun padanya. Karena tahu, pernikahanku dan Mas Aryo tidak akan mungkin terjadi.Sekarang Fandi menjadi admin di sebuah restoran mewah di depan kampusku. Tempat makannya anak-anak orang kaya. Bahkan selama pendekatan dan mulai pacaran, tak sekali pun dia mengajakku makan di situ.Ah biarlah. Nanti kalau dia sudah punya uang, dia juga akan mengajakku ke sana.  Sudah lama? tanya Mas Aryo yang sudah berdiri di depan sebuah mobil sedan.Halah. Paling juga mobil rental. Setahuku mereka cuman punya pick up untuk membawa keranjang-keranjang berisi ayam ke pasar. Tapi tak apa lah. Yang penting tidak kepanasan di jalan. Seperti saat bepergian dengan Fandi naik motor.Aku celingak-celinguk salah tingkah. Menunggu Sari yang katanya juga mau datang. Ini satu-satunya kesempatanku. Bulan depan kami sudah harus menikah. Dan Mas Aryo harus ikhlas memilih Sari sebagai calon istrinya.Sebentar ya, Mas. Lagi nunggu teman, sahutku yang mulai gelisah.Dia mengagguk, masih dengan senyum manisnya. Meski pun tak semanis senyum Fandi.[Kamu di mana, Sar? Masih mau nggak sama Mas Aryo?] Aku mengirim pesan dengan emoticon kesal.[Angkotnya mogok, Yu. Semua penumpang diturunin. Sepertinya sore baru sampai.]Oh, ya ampun! Aku memukul kening sendiri. Merasa semua rencanaku sia-sia.Ada apa, Yu? Mas Aryo tampak mengernyit.Aku tak bisa lagi berdiam diri. Mas Aryo harus mengerti posisiku. Aku tidak mungkin menikah dengannya. Ada Fandi, laki-laki yang saat ini kucintai. Aku harus jujur, apa pun yang terjadi.Kalau sampai Ibu dan Bapak marah, aku bisa mencari pekerjaan untuk membiayai kuliah dan uang wisudaku sendiri.Mas Aryo?Iya. Kenapa, Yu?Ayu mau ngomong hal penting sama Mas Aryo.Iya, boleh. Ngomong aja. Tapi kita beli cincin dulu ya.Nggak bisa, Mas.Tentu saja aku harus menolak. Untuk apa lagi membeli cincin, jika pernikahan akan segera dibatalkan. Toh juga Sari tidak mungkin mau menerima cincin yang khusus dibeli Mas Aryo. untukku.Kenapa?Ini hal penting. Ayu nggak mau nunda-nunda lagi.Oh, ya udah. Kita ngobrolnya sambil makan aja, ya. Mas lapar. Kebetulan ini udah jam makan siang. Dia melirik arlojinya.Tidak masalah. Aku jadi tidak khawatir kalau-kalau dia akan pingsan setelah mendengar pengakuanku.Kita makan di sana, ya. Dia menunjuk tepat di restoran impianku, tepat di depan kampus.Kebetulan Fandi juga bekerja di sana. Walaupun ditempatkan di gedung kantor yang lain. Tak apa. Ini akan menjadi yang pertama dan terakhir kalinya Mas Aryo mengajakku ke sana.Dua porsi nasi ayam bakar sudah terhidang di meja. Membuat air liurku hampir menetes. Tanpa menjaga image Mas Aryo makan dengan lahap.Nanti saja ngomongnya. Mas laper, serunya dengan mulut penuh terisi.Aku pun tak ketinggalan. Aroma ayam bakar dan nasi uduk membuatku melupakan sejenak apa yang ingin kuutarakan. Dan akhirnya semua hidangan selesai kami eksekusi.Gimana? Enak? tanyanya sembari mengelap mulut dengan tisu.Enak, Mas. Ini kan restoran mewah. Walaupun hidangannya sama seperti warung ayam bakar di pinggir jalan. Pasti mas Aryo harus bayar mahal.Nggak kok. Kamunya aja yang nggak pernah masuk ke sini.Duh, ketahuan deh. Boro-boro makan di sini, akhir bulan bisa makan nasi saja sudah bagus.Namanya juga tau diri, Mas. Kan kasihan Ibuk sama Bapak. Harus nyiapin uang kuliah dan uang jajan bulanan buat Ayu. Makanya harus hemat, ucapku dengan jujur.Hem? Baiknya calon istri Mas ini. Ternyata Mas nggak salah pilih.Ya ampun. Kenapa dia bicara seperti itu. Membuatku merasa tidak enak saja.Lain kali kalau mau makan, tinggal pesan aja ya, Yu. Ini juga akan jadi milik kamu kok.Aku yang sedang menyeruput jus jeruk mendadak tersedak.Kamu nggak papa, Yu? tanyanya khawatir.Maksud Mas Aryo apa? Aku memukul-mukul dadaku yang terasa sakit.Oh, itu. Mas lupa bilang. Restoran ayam ini adalah usaha Mas. Salah satu dari empat cabang yang ada di kota ini.Eh? Sejenak mataku mengelilingi setiap sudut ruangan. Semua ornamen berhubungan dengan ayam. Menunya pun rata-rata olahan daging ayam. Dan nama restoran ini, disesuaikan dengan nama daerahnya.Restoran Ayam Kampus.Aku tercengang. Mendapati hal yang begitu mengejutkan. Bukan hanya mendapatkan suami yang kerja kantoran, tapi seseorang yang mampu menggaji pegawai kantoran.Ayu? panggilnya.Iya, Mas? jawabku yang baru tersadar dari lamunan.Tadi mau ngomong apa?                        ******** (2)  Langsung Nikah  Ayu? Sekali lagi dia memanggil.Kali ini aku sengaja tak menyahut. Bingung harus mengatakan apa. Tiba-tiba rasanya hatiku tak rela menolak laki-laki sepersepuluhnya sultan ini. Begitu bodohnya jika sampai aku menyia-nyiakan kesempatan langka ini.Ternyata tak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya. Pilihan mereka tetap yang terbaik.Aku masih memandangnya dalam diam. Menatap wajahnya lamat-lamat. Aroma bumbu ayam di penjuru ruangan ini semakin menambah kadar ketampanan wajahnya. Kenapa aku tak menyadari hal itu sebelumnya.Lalu sebuah notifikasi whatsapp membuatku tersentak.[Ayu, yang sabar ya. Aku udah dapet tumpangan. Sebentar lagi aku sampai. Kamu di mana?]Tiba-tiba saja pesan dari Sari membuatku merasa sedang berada dalam masalah.[Nggak jadi, Yu. Rencana kita batal,] balasku dengan cepat.[Kamu balik lagi aja. Mas Aryo nggak bisa berpindah ke lain hati katanya.][Maaf, ya, Sar.]Aku langsung menutup ponsel ke atas meja. Tak ada satu pun balasan yang masuk, meski tadi kulihat semua pesanku berwarna biru.Siapa? tanya Mas Aryo.Sari.Sari, anak Pak Wito?Dih, langsung kenal.Kenal dong. Kan teman sekampung juga.Akrab?Nggak terlalu sih.Oh, syukurlah.Tadi mau ngomong apa?Eh, itu, anu, Ayu.... Aku kembali terdiam.Kenapa anunya?Eh? Hish... Dia tertawa melihatku kebingungan.Maaf. Cuman bercanda, ucapnya merasa sungkan.Mendadak senyumnya mengaburkan pikiranku pada Fandi. Cepat sekali hati ini berpaling. Apa karena baru satu bulan ini kami pacaran? Tapi, bukankah sudah hampir setengah tahun juga Fandi mendekatiku?Aduh, bagaimana ini?Kok bingung sih. Jadi ngomong nggak? Atau....Atau apa?Atau jangan-jangan, kamu mau menolak lamaran Mas kemarin ya?Lho, kok merasa sih. Terlalu peka jadi orang.Kalau kamu nggak suka sama Mas, jujur aja. Siapa tau kamu sudah punya pacar.Kan, kan. Betul lagi tebakannya. Tidak bisa. Mas Aryo tidak boleh tahu soal Fandi. Aku akan bilang terus terang sama Fandi, ini adalah keinginan orang tuaku yang tidak mungkin bisa aku tolak.Enggak kok, Mas. Ayu nggak punya pacar. Kan dari kecil, Ayu udah dijodohin sama Mas Aryo.Alasan yang masuk akal, bukan?Terus, tadi mau ngomong apa?Ayu... Ayu udah nggak sabar jadi istrinya Mas.Plak! Ingin sekali aku menampar wajah sendiri. Merasa malu karena terlihat begitu agresif. Pergi ke mana harga diriku selama ini.Kulihat Mas Aryo tertawa. Menampakkan gigi putihnya yang berderet rapi seperti kandang ayam.Alhamdulillah.... ucapnya sembari mengelus dada.Fiuhh... Aku selamat.  .Tega kamu, Yu. Kita baru aja jadian. Tapi kamu bilang mau menikah, cecar Fandi, saat berkunjung ke kost-kostanku.Maaf, Fan. Aku nggak bisa membantah keinginan Bapak sama Ibuk, sahutku membela diri.Kamu kan masih kuliah, Yu. Sebentar lagi akan wisuda. Apa nggak sayang?Aku masih kuliah, kok, Fan.Kamu benar-benar tega, Yu. Selama ini kamu tau sendiri gimana susahnya aku buat dapetin kamu.Benar juga sih. Fandi sangat baik dan perhatian orangnya. Sering antar jemput aku ke kampus. Sering bayarin makanan kalau akhir bulan. Bahkan selalu membantuku mengerjakan tugas. Dia berjanji akan segera melamarku setelah cita-citaku tercapai menjadi seorang sarjana.Duh, bagaimana ini? Hatiku kembali bimbang. Pilih Fandi, atau Mas Aryo?  .Akhirnya aku dan Mas Aryo menikah. Tentu saja setelah meminta beberapa persyaratan. Mas Aryo sangat baik rupanya. Langsung mengiyakan syarat dariku. Kupikir dia akan menolak, tapi  nyatanya dia mengerti dan menyanggupi.Makasih, ya, Mas, ucapku saat kami berada di dalam kamar pengantin.Nggak usah berterima kasih. Kamu senang, Mas jauh lebih senang.Duh, kata-kata Mas Aryo bikin hatiku jadi meleleh. Ingin langsung memeluk dan berterimakasih.Ibuk, Bapak. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik buat Ayu.Yu?Iya, Mas?Ibadah yuk?.Setelah beberapa hari menikah, Mas Aryo langsung memboyongku ke kediamannya. Tak disangka, selama ini kami tinggal di kota yang sama. Bahkan salah satu usahanya berada sangat dekat dengan tempatku menimba ilmu.Sebuah kebetulan yang sangat banyak. Andai dari dulu aku tahu, pasti hidupku tidak akan sesulit selama ini. Setidaknya Bapak dan Ibu membiarkanku bekerja di restoran itu.Selama ini mereka melarangku bekerja. Alasannya karena harus fokus kuliah. Padahal aku tahu sendiri, uang yang dihasilkan mereka jumlahnya sangat sedikit.Entah bagaimana cara mereka memenuhi biaya kuliahku, tanpa terlambat sedikit pun.Ini rumah Mas Aryo? Aku berdecak kagum.Ternyata rumah yang ditempati Mas Aryo begitu bagus dan mewah. Rumah bergaya modern dan bertingkat dua.Bukan, sahutnya santai.Eh? Jadi rumah siapa?Ini rumah kita, lanjutnya lagi sambil merangkulku untuk masuk.Alhamdulillah.... beruntungnya aku. Sama sekali tidak menyangka kalau Mas Aryo sudah mempersiapkan semuanya seperti ini. Aku tak perlu lagi merintis hidup berumah tangga dari nol. Hanya tinggal menikmati apa yang sudah dipersiapkan oleh suamiku.Kami masuk, dan Mas Aryo memperkenalkan Mbok Nah sebagai asisten rumah tangga. Aku menyalami dan mencium punggung tangan Mbok Nah.Eh, jangan non. Tangan si Mbok bauk, ucapnya sembari menarik tangannya kembali.Nggak papa, Mbok. Kata Ibuk, Ayu harus menghormati yang lebih tua.Iya, non. Makasih. Kulihat Mas Aryo tersenyum sembari kembali merangkulku untuk naik ke lantai dua.Ini kamar kita, Yu. Gimana? Suka?Bukan suka lagi, Mas. Ini seperti sebuah mimpi. Bahkan mimpi pun belum pernah aku memiliki kamar sebagus ini.Kamarnya bagus. Ayu suka. Makasih ya Mas.Makasih-makasih terus.Namanya senang. Mas Aryo baik, pujiku, dengan pipi yang terasa panas.Yu?Apa, Mas? Ibadah lagi?                         *******(3) Nyamar Pembantu Mas, pulang kuliah, Ayu kerja di restoran, ya? pintaku saat kami bersantai di balkon kamar.  Ngapain kerja, Yu. Kalau mau apa-apa bilang aja sama, Mas, sahutnya dengan lembut.  Biar nggak bosan, Mas. Dari dulu Ayu ingin sekali bekerja bantu Ibu sama Bapak. Tapi nggak pernah di ijinin. Itu kan karena kamu harus fokus kuliah dulu. Lho, Mas kok tau? Tau dong. Semua orang tua kan inginnya begitu. Boleh ya, Mas? Belum ada lowongan yang kosong, Yu. Lagian kan kamu kuliahnya pagi. Gimana mau kerja di kantor? Kenapa sih Mas Aryo selalu peka. Selalu tahu tentang keinginan dan cita-citaku bekerja sebagai pegawai kantor.  Ayu kan belum jadi sarjana, Mas. Mana mungkin Ayu minta posisi di kantor. Lagi pula mana mungkin aku berani, sedangkan aku tahu bahwa Fandi sudah duluan bekerja di kantor mereka. Aku tidak mungkin bertemu dengannya. Apa lagi membiarkan Mas Aryo sampai tahu kalau kami pernah pacaran.  Boleh ya, Mas? Aku kembali merengek.  Dia diam sejenak, lalu tersenyum mengangguk.  Nanti Mas bilang sama SPV nya, ya. Biar dia yang nentuin kamu di posisi mana. Makasih ya, Mas. Aku memeluknya dengan erat.  Oh iya, Mas. Boleh minta sesuatu lagi nggak? Apa lagi, Yu? Jangan bilang, kalau Ayu istrinya Mas Aryo, ya?. Sepulang kuliah aku langsung menuju restoran. Menemui seorang wanita muda yang tak lain adalah SPV yang disebut Mas Aryo semalam.  Untuk saat ini posisi yang lain masih full. Jadi sementara ini, kamu kerjanya jadi 'joker' dulu, ucap wanita berkulit kuning langsat itu.  Joker? Apa itu?  Setahuku joker adalah badut psikopat di film Batman. Apa maksudnya saat ini aku menjadi tukang potong dan mencincang ayam laksana seorang psikopat? Ish, apa-apaan ini. Padahal bayangan menyentuh ayam kemarin sudah terbang bersama angin, begitu aku tahu kalau suamiku adalah Bos 'ayam kampus'. Masa aku harus bekerja seperti itu lagi.  Ada hasrat tuk mengurungkan niat. Ternyata meniti karir di awal bekerja itu memang sulit. Apa lagi tanpa ijazah sarjana. Semua orang pasti memandang rendah dan sepele dengan kemampuan kita.  Bagaimana? Bersedia? Maaf, Bu. Saya tidak bisa memotong ayam. Biasanya kalau ke pasar minta dibersihkan dan dipotong sekalian sama penjualnya, sahutku penuh sesal.  Yang nyuruh kamu motong ayam siapa? Kulihat matanya menyipit memandangku.  Apa aku salah?  Jadi, joker itu apa, Bu? Joker itu istilah untuk karyawan yang kerjanya ke sana kemari. Kadang jadi waittress, kadang menggantikan kasir, kadang yang menyambut tamu sebagai greeter. Sudah mengerti? Oh, begitu. Jadi istilah itu seperti pada permainan kartu. Lambang joker bisa masuk ke permainan mana saja, tanpa harus menunggu lambang yang sama dengan lambang yang lain.  Haish, apa sih. Kenapa harus memakai filosofis segala. Bilang saja kalau posisiku sekarang sebagai pesuruh atau jongos. Kenapa harus memakai istilah yang mengerikan. Tapi ya sudahlah. Tak ada salahnya mencoba. Kalau mau sukses kan harus mulai dari bawah dulu. Sembari menunggu Ijazah sarjanaku tahun depan.  Iya, Bu. Saya bersedia. Baguslah. Satu lagi, ya. Nama kamu Ayu, kan? Iya, Bu. Saya Ayu. Jangan panggil saya Ibu. Panggil aja Mbak Sinta. Saya masih singel. Ouh... Tidak penting!. Hari ini aku mulai bekerja, setelah melakukan Interview kemarin. Tak apa menjadi pesuruh, yang penting di rumah Mas Aryo tetap memperlakukanku seperti nyonya Bos.  Ayu, tolong lap meja delapan, ya! Ayu, angkat piring kotor di lesehan, ya! Ayu, meja nomor dua puluh minta bill! Ayu, antar minuman ini ke ruang VIP. Ayu! Ayu! Ayu! Huft... Aku terduduk lemas di sudut dapur tempat cuci piring, setelah mengantarkan setumpuk piring kotor. Ternyata ini tidak mudah. Tapi sudah terlanjur malu sama Mas Aryo.  Kemarin dia sudah memperingatkan. Namun aku tetap bersikeras dan meyakinkan bahwa aku ini seorang pekerja keras. Gengsi dong kalau harus menarik ucapanku kembali karena masalah sepele seperti ini.  Baru juga beberapa hari. Lama-kelamaan aku pasti terbiasa. . Capek, Yu? tanya Mas Aryo sembari memijat kakiku yang sedang rebahan di atas ranjang.  Aku mengangguk dengan bibir mengerucut. Dia tertawa. Dicubitnya pipiku dengan gemas.  Ya udah. Nggak usah kerja. Nanti kalau butuh apa-apa tinggal bilang sama Mas. Ayu nggak papa, Mas. Pekerjaan kek gitu gampang. Ayu udah biasa kok ngerjain pekerjaan rumah kaya gitu. Cuman jumlahnya lebih banyak aja, sanggahku dengan menggerakkan bola mata ke atas.  Lagi-lagi Mas Aryo tertawa.  Ish, istri Mas ini makin hari makin nggemesin aja. Lucu, ucapnya lagi. Kali ini dengan menarik hidungku.  Lama-lama juga terbiasa kok. Mas Aryo tenang aja. Ayu kuat. Pokoknya Mas Aryo jangan khawatir. Ayu profesional. Meskipun Ayu istri Bos Ayam, tapi ayu tetap nurut kaya anak ayam. Dia tak henti-hentinya tertawa.  Ya, aku harus kuat. Kasihan Ibu dan Bapak kalau terus-terusan memberikan uang padaku. Eh, tapi setelah menikah, Ibu dan Bapak masih mengirim uang tidak, ya? Terus, uang kuliah siapa yang bayar? Mana mungkin kutanyakan hal ini pada suamiku. Bisa-bisa dia benar-benar menganggapku matrealistis. Walaupun itu benar. Tapi kan tidak harus ditunjukkan sekarang juga. Aku harus benar-benar membuat Mas Aryo bangga dan tidak sia-sia memperistri wanita sepertiku. . Semakin hari semakin terbiasa. Di hari ke tujuh aku bekerja, sudah bisa menyesuaikan diri. Karyawan lain banyak yang membantu. Kecuali seseembak yang tidak mau dipanggil Ibu.  Semuanya berjalan lancar-lancar saja. Bahkan saat berpapasan dengan suami sendiri. Kami pura-pura tidak saling mengenal. Walaupun terkadang Mas Aryo nakal dengan mencolek daguku saat bersisian.  Duh, kalau dilihat orang bagaimana? Apa lagi terkadang aku juga ikut-ikutan nakal dengan mencubit perutnya sambil lalu. Eh!  Tapi untungnya semua tidak terjadi masalah. Meski aku dan Fandi bekerja pada Bos yang sama, tapi kami tidak pernah bertemu sekali pun.  Dia hanya bertugas di kantor pusat. Tak pernah terjun langsung ke Restoran. Jadi semuanya aman-aman saja. Fandi tidak akan tahu aku bekerja di sini. Dan Mas Aryo pun juga tidak akan menyadari kalau sebelum menikah dengannya, aku masih punya pacar yang sekarang ini juga menjadi anak buahnya.  Lagi pula, setelah percakapan aku dan Fandi malam itu, dia langsung memblokir nomorku. Mungkin sangat sakit hati dan tak ingin lagi berhubungan denganku.  Sejak saat itu kami putus kontak. Dan kurasa memang itu lah jalan yang terbaik.  Perhatian semuanya. Si Mbak yang tidak mau dipanggil Ibu itu mulai memulai pengumuman. Sore ini seluruh kru mengadakan briefing.  Kita kedatangan menejer baru. Mulai sekarang, kalian harus menjaga sikap. Mengerti? Kami semua mengangguk.  Tak lama muncullah dua orang pria berpostur yang hampir sama tinggi. Mereka berjalan dari arah kantor sang pemilik. Dan aku mengenal keduanya. Apakah salah satu dari mereka adalah menejer baru yang disebutkan Mbak Supervisor tadi?  Ya, dua orang laki-laki yang kini berdiri dihadapan kami adalah Mas Aryo_suamiku_dan juga....Fandi.                             ********(4)Satu Kerjaan Sama Mantan Oh, ya ampun! Bagaimana ini? Kenapa Fandi bisa ada di sini? Bukannya kemarin dia bertugas di kantor pusat? Kenapa tiba-tiba pindah ke tempatku?Dia mulai menyapa kami satu persatu dengan senyuman. Sampai pada akhirnya ia sampai ke arahku. Raut keterkejutan terlihat di wajahnya. Sejurus kemudian mata kami saling beradu.Aku langsung menunduk, menjatuhkan pandangan ke lantai. Apa-apaan ini. Kenapa dia harus berada di tempat ini. Kalau ketahuan sama Mas Aryo kami pernah pacaran, bagaimana? Bukan hanya dia yang terancam dipecat. Tapi juga posisiku sebagai Nyonya Bos Ayam, atau bahkan di hatinya.Aku harus apa? Atau aku saja yang resign dari tempat ini? Tapi aku baru saja beradaptasi. Atau sebaiknya aku jujur saja, agar Mas Aryo mengembalikan Fandi ke habitatnya semula di kantor pusat.Ah, tidak. Iya kalau Mas Aryo mengerti dan mengembalikannya baik-baik. Kalau ternyata dia marah dan cemburu, merasa dibohongi, dan akhirnya memecat Fandi, bagaimana?Kasihan juga Fandi. Kehidupannya juga tidak berbeda jauh dariku. Hanya seorang anak tukang jahit yang mati-matian belajar agar dapat beasiswa demi bisa menjadi seorang sarjana. Aku tidak boleh egois. Fandi harus tetap mendapatkan pekerjaannya..Acara perkenalan selesai. Semua kembali pada pekerjaan masing-masing. Aku berdiri di pojok ruangan sembari mengumpulkan piring dan memisahkannya dari sisa makanan. Lalu menumpuk piring-piring kotor itu agar mudah dibawa ke dapur.Kamu kerja di sini, Yu? Sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku.Fandi? Aku sedikit memelankan suara.Bukannya kamu sudah menikah? Kenapa malah kerja di sini?Sssttt.... Aku menempelkan jari telunjuk ke mulutku. Menyuruhnya untuk ikut memelankan suara.Jangan keras-keras, Fan. Aku celingak-celinguk memastikan tidak ada yang melihat kami.Kenapa? Dia terlihat khawatir.Enggak, kok. Aku kerja part time di sini. Nggak ada yang tahu kalau aku sudah menikah.Suami kamu mana? Kenapa dia biarin kamu kerja kek gini? Kalau belum bisa ngasi nafkah anak orang, jangan nikah! Dia terlihat marah.Ya, ampun, Fandi. Kamu salah paham. Jangankan nafkahi aku. Seluruh penghuni gedung ini juga dia yang nafkahi.Udah deh, Fan. Ini keinginanku sendiri, kok.Aku cuman khawatir, Yu. Kalau kamu nikah sama aku, aku nggak akan mungkin biarin kamu kerja berat seperti ini.Dih, apaan sih. Ini nggak berat kok. Lagian kenapa kamu khawatir kek gitu. Kita kan udah nggak ada apa-apa, Fan.Dia terdiam. Mungkin merasa kalau ucapanku benar adanya.Maaf, kalau selama kita kenal, aku belum pernah bawa kamu makan ke restoran ini, Yu. Apa karena itu kamu bekerja di sini?Halah, makin ngaco aja. Ya nggak mungkin lah.Lagi pula aku juga sudah pernah makan di sini bersamaku suamiku.Maaf. Aku cuman nggak rela kamu kerja sebagai pelayan. Bukannya dari dulu cita-cita kita jadi pegawai kantoran, Yu? Masa kamu mau kerja kek gini.Nggak papa kali, Fan. Kan aku belum jadi sarjana. Nanti kalau udah wisuda, baru aku cari kerja yang lain.Dia kembali terdiam. Seperti merasa iba melihat penampilanku saat ini. Menjadi karyawan training dengan seragam hitam putih.Ya, udah. Aku balik dulu, ya. Kalau ada apa-apa, kamu bilang aja sama aku. Dia berbalik dan hendak melangkah.Fan? panggilku, sebelum dia sempat melangkah.Hem? Ia kembali menoleh.Jangan sampai ada yang tahu kalau kita pernah pacaran, ya?Kenapa, Yu? Kan suami kamu nggak ada di sini.Ada, Fan. Ada! Cuman rahasia. Kalau dia sampai tahu, kamu dan aku pasti tamat. The end. Alias harus out dari sini.Terserah kamu aja lah! Dia langsung berlalu dengan wajah kecewa, setelah melihatku hanya diam, seraya memandangnya dengan wajah memelas.Fiuh, aku selamat. Semua kembali aman. Mas Aryo tidak akan tahu kalau Fandi adalah mantan pacarku. Dan Fandi juga tidak akan tahu kalau Mas Aryo suamiku. Aku jadi bisa bekerja dengan tenang.Lagi pula, dengan berbaur dengan para pekerja, aku jadi bisa tahu apa-apa saja yang mereka bicarakan tentang restoran ini. Yah, hitung-hitung mendengar apa saja kelebihan dan kekurangan selama bekerja di perusahaan milik suamiku. .Capek, Yu?Lagi-lagi Mas Aryo hendak memijat kakiku. Dengan cepat aku menolak dan langsung membenarkan posisi duduk.Jangan, Mas. Mas Aryo kan juga bekerja. Ayu udah mulai terbiasa, kok. Nggak capek lagi. Kata Ibuk, Ayu harus melayani suami, bukan malah Mas Aryo yang melayani Ayu.  Mas nggak merasa keberatan, kok. Kerjaan Mas kan cuma duduk-duduk aja. Nggak jalan ke sana kemari.Iya, tapi hari ini Ayu benar-benar nggak capek lagi. Makin lama kerjaan Ayu makin ringan. Ayu jadi tambah semangat kerjanya.Kenapa? Matanya seperti seorang detektive yang sedang menyelidiki.Ya, karena udah biasa aja.Oh, gitu. Mas pikir karena ada alasan lain.Dih, Mas Aryo. Emang alasan apa lagi? Karena setiap hari kerja bareng suami, gitu? Geer deh.Emangnya enggak? godanya. Aku tertawa kecil.Mas Aryo kan di kantor terus. Nggak keliatan. Gimana Ayu mau semangat liat suami. Aku bersikap manja.Oh, berarti karena ada cowok yang baru masuk tadi, ya?Deg!Kok Mas Aryo tiba-tiba bicara seperti itu. Apa tadi dia melihat aku dan Fandi sedang berbicara? Tapi aku yakin, tidak ada siapa-siapa di sana. Ah, mungkin dia hanya ingin menggodaku saja.Dih, Mas Aryo. Becandanya nggak lucu deh. Cowok yang mana? Aku pura-pura tak mengerti.Itu, menejer baru. Ganteng, nggak?Tuh, kan. Pasti sedang membahas mantanku itu.Oh, Fandi. Enggak kok. Biasa aja. Gantengan juga suami Ayu. Aku mencoba merayu.Fandi? Dia mengulangi ucapanku.Duh, salah sebut lagi. Karena terbiasa, aku jadi seenaknya menyebut nama Fandi.Eh, maksud Ayu, Pak Fandi. Aku mengusap tengkukku, salah tingkah.Oh, Mas pikir kalian udah akrab.Ish...peka sekali sih jadi orang. Selalu saja menebak semuanya dengan benar. Seolah-olah bisa membaca pikiran orang.Akrab dari mana? kilahku.Dia juga dulu alumni di kampus kamu. Masa nggak tau?Eh? Kok tahu? Kan, kan. Pertanyaan menjebak ini. Aku harus bersikap bagaimana? Kalau tiba-tiba ternyata mereka teman akrab, bisa gawat. Bisa ketahuan kalau aku berbohong saat itu.Ayu? panggilnya lagi, saat aku tak menjawab.Iya, Mas?Kenal nggak?                              ********(5)Pertanyaan yang Sulit Lagi-lagi Mas Aryo mempertanyakan hal-hal yang seharusnya tak perlu kujawab. Kupikir semuanya sudah berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Menikahi pengusaha muda merupakan hal keberuntungan buatku. Kenapa harus terusik karena masalah dengan Fandi?Ayu lupa, Mas. Mahasiswa di sana kan banyak. Mana bisa Ayu tandai satu persatu. Apa lagi bukan teman seangkatan. Ayu kan jarang bergaul. Aku terpaksa berdusta demi kebaikanku dan juga Fandi.Oh, ya udah kalau nggak kenal. Mas Aryo tersenyum memandangku.Tapi kali ini senyumnya terkesan datar. Bibirnya tak sampai membentuk bulan sabit seperti biasa.Mas Aryo mau Ayu pijat? bujukku, mengalihkan perhatian.Nggak usah, Yu. Mas nggak capek kok. Kita tidur aja, yuk.Oh, ya udah, Ayu juga udah ngantuk kok. .Aku kembali mengangkat piring kotor bekas santapan gerombolan ibu-ibu arisan. Bayangkan, berapa banyak tisu yang mereka habiskan dan berserakan di atas meja. Air-air dalam gelas bertumpahan membasahi benda berbahan kayu tersebut. Membuatku merasa kesal atas sikap mereka.Sudah berumah tangga pun masih bersikap seperti ABG. Membuat pekerjaanku jadi bertambah banyak saja. Usai membersihkan semua pekerjaan, aku kembali berdiri menanti perintah selanjutnya.Sudah menjadi kebiasaan di restoran ini, meskipun sedang tak ada tamu kami harus stay berdiri. Tak boleh bersantai atau sekedar duduk-duduk dan mengobrol.Namun terkadang ada juga yang sering abai dan melanggar peraturan saat tak ada yang mengawasi. Seperti saat ini misalnya. Beberapa karyawati sedang mengobrol dengan suara agak pelan. Pastilah itu sedang menggibahi seseorang.Jiwa kepoku meronta-ronta. Indera pendengaranku tak bisa diajak kompromi lagi. Bahan gibahan mereka sepertinya mencium aroma-aroma busuk seorang pelakor. Aku pun mengendap-endap bergeser secara horizontal. Melangkah sedikit demi sedikit layaknya menari poco-poco. Hingga sampailah aku berdiri di samping mereka.Iya tuh. Padahal kan Pak Aryo sudah menikah. Tapi Mbak Sinta tetap aja keganjenan kalau di depan Pak Aryo, ucap salah satu dari mereka.Tiba-tiba saja jantungku terasa panas. Jadi selama ini Mbak supervisor itu naksir sama Mas Aryo? Atau jangan-jangan selama ini mereka pernah pacaran. Kenapa Mas Aryo tidak berterus terang?Pak Aryo juga aneh. Menikah kok diam-diam. Mana nggak ngundang-ngundang lagi. Istrinya jelek kali, ya. Makanya Pak Aryo malu. Mereka cekikikan. Aku yang menguping semakin hareudang sembari memegangi wajahku yang mereka bilang jelek.Denger-denger sih dijodohin. Makanya Pak Aryo terpaksa menikah. Dengan gadis kampung pula. Pasti Pak Aryo nggak bisa menolak tuh. Padahalkan banyak gadis-gadis kaya dan mahasiswa di kampus depan yang juga naksir sama Pak Aryo, timpal yang satunya lagi.Waduh. Rasanya ingin sekali buka baju dan berendam di air mancur halaman saking panasnya. Jadi, Mas Aryo juga terpaksa menerima perjodohan ini?Ternyata aku salah besar. Bukan aku korbannya, yang dengan senang hati menerima pernikahan ini. jadi, selama ini dia hanya pura-pura bahagia, karena menuruti keinginan orang tua saja?Detik berikutnya mereka kembali berbisik-bisik dan langsung bubar. Kulihat ke arah mana tadi mereka melirik. Dan benar saja, Mas Aryo jalan beriringan dengan Mbak Super, entah dari mana.Jangan-jangan tadi habis bermesraan di kantor Mas Aryo. Ish, bikin kesal saja. Mas Aryo jadi tidak seperti apa yang aku pikirkan selama ini. Jahat.Kok melamun? Suara itu mengejutkanku.Eh, Fandi. Eh, maksudnya, Pak Fandi. Aku sedikit sungkan.Biasa aja lagi, Yu. Kan lagi nggak ada orang. Kita kaya biasa aja, sahutnya dengan ramah.Hilang sudah amarah dan kebenciannya waktu itu. Seperti tak ada dendam dan berniat membalas perlakuanku waktu itu. Harusnya dengan jabatan kami yang berbeda jauh ini, dia bisa saja membuatku lebih sulit. Tapi dengan berbaik hati dia malah bersikap ramah dan masih perhatian.Nggak bisa gitu dong, Pak. Kita kan sama-sama pekerja. Harus bersikap profesional.Iya, iya. Aku tau. Kan aku cuma nanyak? Sebagai menejer, boleh dong negur karyawannya yang kerja nggak becus?Nggak becus gimana? Semua pekerjaan udah beres kok.Ya, seperti melamun kaya tadi, sindirnya.Aku tertawa malu. Sedikit merasa terhibur setelah mengalami down dengan yang aku dengar dari rekan-rekanku tadi.Aku nggak melamun kok.Oh jadi yang tadi itu apa?Aku kembali terdiam. Kata-kata mereka tadi memang membuatku syok dan merasa sedikit... cemburu.Ya, kurasa aku mulai merasakan perasaan itu pada suamiku saat ini. Merasa takut kalau-kalau apa yang mereka katakan tadi benar. Benar-benar merasa takut kalau Mas Aryo sampai berpaling dan memilih wanita lain.Udah deh, Fan. Godain terus. Kerja gih! seruku kemudian.Ayu! tegur seseembak tiba-tiba. Punya sopan santun nggak sama atasan? ucapnya dengan nada tidak suka.Aku dan Fandi saling menoleh. Tak menyangka kalau supervisor itu mendengar ucapanku barusan. Entah sejak kapan dia berada di sana dan mendengarkan percakapan kami.Eh, iya Mbak. Maaf.Sebaiknya kamu bisa menjaga sikap. Jangan sok akrab sama atasan. Bisa?Iya, Mbak. Bisa kok.Lagian anak baru berani-beraninya bertingkah. Dilarang tebar pesona di sini ya. Di sini tempat anak baik-baik. Mau jadi ayam kampus beneran, ya?Deg! Pedas sekali kata-katanya. Lebih pedas dari sambal ayam geprek level sepuluh.Maaf, Mbak Sinta. Saya tadi cuman bertanya apa pekerjaannya sudah selesai. Ayu nggak ada bersikap lancang kok. Fandi ikut buka suara membelaku.Wah, wah, wah. Kayaknya ada yang lagi pedekate nih. Main bela-belaan segala. Di sini nggak boleh ada yang pacaran ya. Semua harus bekerja secara profesional. Boleh sih pacaran. Tapi harus di luar. Jelas?Ada apa ini? Kembali suara seseorang muncul di tengah-tengah percakapan kami. Suara bariton yang tak kusangka keluar dari mulut orang itu.Siapa yang sedang pacaran? tegasnya lagi.                                *******(6) Dituduh Cinlok Kenapa tiba-tiba Mas Aryo bertanya hal seperti itu? Apa karena dia mendengarkan ucapan Mbak super tadi? Kenapa aku sampai tak menyadari kehadirannya.Ini, Mas. Sepertinya ada yang cinlok, sahutnya sok imut.Bersikap sangat manis dan lemah lembut. Tak seperti saat menegur kami barusan.Sebentar-sebentar. Mas? Dia memanggil suamiku dengan sebutan Mas? Bukannya dia sendiri yang memarahiku barusan karena memanggil dan menyebut nama Fandi?Jadi benar, ternyata selama ini hubungan mereka memang sedekat itu. Ternyata selama ini aku memang belum mengenal Mas Aryo seutuhnya. Ternyata meskipun sudah menikah, Mas Aryo belum sepenuhnya menjadi milikku. Masih ada banyak rahasia dan kehidupannya yang belum kuketahui.Siapa? selidik Mas Aryo.Sama-sama anak baru dong, Mas. Mereka cocok juga, ya?Mas Aryo langsung melirik ke arahku. Lalu kembali menoleh ke arah Mbak super.Kenapa kamu bisa menyimpulkan kalau mereka terlibat cinta lokasi? Apa yang mereka lakukan?Seketika aku langsung menoleh ke arahnya. Ingin menyaksikan sendiri bagaimana ekspresi wajah suamiku. Ucapannya terlihat tegas dan berwibawa. Sangat berbeda sekali dengan cara bicaranya saat bersamaku. Apakah ini memang karakter aslinya?Mereka cuma terlihat akrab kok, Mas. Kalau sampai mereka berbuat yang enggak-enggak, aku pasti udah langsung kasi sangsi sama mereka. Emang begitu peraturannya, kan?Sepertinya anda salah paham, Mbak Sinta. Saya dan Ayu tidak mungkin selancang itu. Apalagi kami sama-sama karyawan baru. Mana mungkin berani bertingkah yang tidak masuk di akal. Sebaiknya Mbak Sinta jangan asal memfitnah. Ucapan Fandi tak kalah tegas.Benar juga. Meskipun Mbak super lebih dulu bekerja di sini, namun jabatan Fandi lebih tinggi darinya. Seharusnya dia juga ikut menghargai dan menghormati Fandi sebagai atasan. Bukan malah memperlakukan Fandi layaknya karyawan training sepertiku.Fandi terdengar tak terima dengan tuduhan yang memang tak pernah kami lakukan. Hubunganku dan Fandi sudah berakhir. Meski kurasakan masih ada perhatiannya padaku.Eh, begini. Maksud saya....Saya harap Mbak Sinta dan Pak Aryo tidak salah paham lagi. Saya hanya berusaha menegur Ayu yang kedapatan sedang melamun saat sedang bekerja. Apa itu salah?Mereka berdua terdiam. Begitu pun aku yang tak sanggup lagi mengatakan apa pun. Entah apa yang ada dalam benakku saat ini. Rasanya ingin menangis saja. Entah karena perihal yang mana. Apakah karena kedekatan Mas Aryo dan Mbak yang tidak mau dipanggil Ibu, atau karena tuduhan dan kecurigaan Mas Aryo padaku.Maaf, saya yang salah. Saya minta maaf. Lain kali saya tidak akan berbuat lancang dan tidak sembarangan lagi bersikap tidak sopan pada atasan.Aku langsung pamit dan berlari ke toilet. Menghidupkan keran air sekencang-kencangnya agar tak ada yang mendengar suara perutku yang dari tadi memang mulas. Tentu saja sambil menangis. .Seperti malam-malam sebelumnya, supir pribadi yang bekerja pada Mas Aryo menjemputku untuk segera pulang. Sengaja Mas Aryo menyiapkan sebuah mobil, lengkap dengan supirnya untuk mengantar jemput. Seandainya orang lain bertanya, aku bisa saja mengatakan kalau itu adalah taksi online.Mereka tak akan mungkin memperhatikan secara detil, bahwa yang mengantarku mobilnya itu-itu saja.Mas cuman mau kamu merasa nyaman jadi istri Mas. Mas nggak suka kalau nanti ada karyawan lain yang nawarin diri buat ngantar kamu pulang. Apa lagi karyawan cowok, ucapnya kala itu.Kata-kata yang saat itu membuatku merasa diperhatikan. Merasa kalau Mas Aryo benar-benar sayang dan takut kehilanganku. Tapi kenyataannya sekarang apa? Dia malah terlihat berbeda dari yang kukenal selama ini.Capek, Yu? Seperti biasa, dia yang sudah bersantai memakai piyama sedang menungguku di tempat tidur.Mas Aryo memang selalu pulang lebih dulu. Tentu saja karena dia pemiliknya. Sementara karyawan yang lain harus pulang hingga restoran tutup sesuai shift kerja.Iya, capek banget! ketusku. Lalu mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi.Setelah selesai, aku membaringkan diri ke sampingnya yang tengah duduk di sisi ranjang.Kok langsung tidur? Capek banget, ya? Dia menyentuh dan mulai memijat betisku.Dengan sigap aku menarik diri dan bergerak agak menjauh. Masih tetap dalam mode diam.Kenapa, Yu? Kamu nggak suka lagi kalau Mas nyentuh kamu?Lagi-lagi aku diam, dan mencoba memejamkan mata. Kata-katanya kembali seperti Mas Aryo yang kukenal sebagai suamiku. Lembut dan perhatian. Bukan lagi pria tegas dan berwibawa seperti Bos Ayam Kampus di restoran sore tadi.Yu? Ada apa? Bukannya seharusnya Mas yang marah atas sikap kamu? Dia mulai membahas masalah tadi.Kenapa diam aja? Mas salah apa? Mas percaya dan tidak mempermasalahkan ucapan Sinta. Bukannya seharusnya kamu mengucapkan sesuatu sama Mas? Seperti terima kasih misalnya.Aku masih terdiam. Ada yang terasa perih di hati ini. Mataku mulai menghangat.Yu? Dia mencoba menyentuh bahuku. Namun lagi-lagi aku mengelak dan semakin menjauh.Kamu benar-benar udah nggak mau bersentuhan lagi dengan Mas? Atau sekarang kamu sedang membayangkan menejer baru itu yang seharusnya ada bersama kamu saat ini?Mas! Aku langsung berbalik dan membentaknya.Dengan air mata yang sudah membasahi pipi tentunya. Merasa sakit karena akhirnya dia juga termakan dengan ucapan Mbak super.Ayu? Dia tampak terkejut dengan wajahku yang kini basah oleh air mata. Dia bahkan tak tahu kalau aku sedang menangis.Mas jahat! Tega-teganya Mas nuduh Ayu kek gitu. Padahal Mas sendiri yang pacaran sama Mbak super itu. Iya, kan?Mbak super? Dahinya mengernyit. Super apa?Supervisor! tegasku. Mas Aryo pacaran sama dia kan? Kalau Mas yang selingkuh, kenapa pake nuduh-nuduh Ayu segala? Kalau memang Mas Aryo nggak suka dengan perjodohan ini, seharusnya Mas Aryo bilang. Nggak usah sok baik dan sok mesra sama Ayu. Ayu benci sama Mas. Mas Aryo jahat! Aku kembali menangis sembari menutup wajahku dengan telapak tangan.Ayu...? Siapa yang udah ngomong kek gitu? tanyanya dengan lembut. Mencoba meraih tangan yang menutupi wajahku.Semua karyawan Ayam Kampus tau kalau Mas Aryo dan Mbak super pacaran. Mau nyangkal apa lagi? Sampai kapan Mas mau bohongin Ayu?Itu, nggak benar, Yu. Mas nggak ada hubungan apa-apa dengan Sinta.Kalau nggak ada apa-apa, kenapa dia lancang sekali berani manggil Mas Aryo dengan sebutan Mas juga? Kenapa nggak manggil Bapak kayak yang lain? Tadi sore ngapain di kantor berduaan? Apa sebenarnya Mbak super itu juga istrinya Mas Aryo?Kulihat dia menelan saliva dengan pertanyaan beruntun dariku.Jawab, Mas! Kenapa diam?                      ************(7)Bucin Sejurus dia menatapku dalam. Kemudian sedikit menahan tawa. Seolah apa yang aku katakan tadi adalah sebuah lawakan untuk menghiburnya.Kamu cemburu? tanyanya tiba-tiba.Cemburu? Dia sedang bertanya apa aku merasa cemburu? Pertanyaan macam apa itu. Jelas-jelas seorang istri harus bertanya tentang kedekatan suaminya bersama wanita lain yang sama sekali belum di ketahuinya.Apalagi aku dan Mas Aryo menikah karena perjodohan. Pastilah di awal-awal pernikahan merupakan waktu yang tepat tuk saling mengenal satu sama lain. Dan juga mengenalkan orang-orang terdekat mereka.Kenapa, Mas? Apa Ayu nggak punya hak untuk bertanya? Atau memang Ayu nggak boleh tahu apa pun tentang kehidupan Mas Aryo sebelum menikah sama Ayu?Mas cuman nanyak. Sebagai istri Mas, kamu cemburu nggak?Ayu nggak tau. Ayu juga nggak tau gimana perasaan kita. Mas Aryo juga belum pasti langsung jatuh cinta sama Ayu secepat itu, kan?  Bisa aja Mas Aryo nikahin Ayu karena nggak mau ngelawan perintah orang tua. Benar, kan? Aku mengusap air mata dengan punggung tangan.Dia kembali menatap wajahku. Mengangkat satu tangannya untuk membantu menyeka air mataku. Namun rasa sakit dan kesal membuatku kembali menghindar dan memalingkan wajah.Dia terlihat kecewa, namun tak tampak ingin memaksa. Dijatuhkannya pelan tangan itu, untuk kembali ke posisi semula.Sekarang Mas jawab aja. Ayu ini istri ke berapa? tegasku,  yang kembali berani menantang matanya.Ia kembali tersenyum. Melembutkan sedikit wajahnya yang tadi tampak tegang.Ayu? Kamu pikir, Mas ini laki-laki macam apa?Ayu nggak tau! Mas Aryo berubah. Sikap Mas berbeda saat di sana tadi. Mas Aryo seperti orang yang lain.Ayu, Ayu. Jelas sikap Mas harus berbeda. Bagaimanapun, Mas harus menunjukkan sikap wibawa di depan para karyawan. Walaupun Mas bukan ingin menjaga jarak. Tapi Mas harus bisa membuat mereka bersikap hormat. Itu aja. Kamu keberatan? Aku terdiam.Memangnya kamu mau, Mas memperlakukan kamu seperti Mas memperlakukan karyawan lain? Atau Mas memperlakukan karyawan lain seperti Mas memperlakukan kamu dengan mesra?Enggak! Jawabku spontan.Aku langsung menutup mulut dengan tangan. Aku keceplosan. Tak terima kalau dia ingin memperlakukan wanita lain dengan mesra, sama sepertiku. Kulihat ia langsung menyunggingkan senyum ke arahku.Yang Mas Aryo sebutkan tadi tidak sepenuhnya salah. Jelas aku ingin diperlakukan berbeda dari karyawan lainnya. Mana mungkin aku akan membiarkannya bersikap mesra atau perhatian pada semua orang. Apa lagi pada karyawan wanita.Cemburu? Lagi-lagi dia bersikeras ingin tahu isi hatiku.Jawab aja pertanyaan Ayu tadi, sahutku tak mau mengalah.Dia menarik napas, seolah menyerah meminta jawaban dariku.Ayu istri ke berapa?Pertama dan satu-satunya, sayang.Terus hubungan Mas sama Mbak super apa?Ngggak ada.Kok mesra?Enggak kok.Kok nggak manggil Bapak kayak karyawan yang lain?Mungkin karena udah terbiasa, Yu.Terbiasa? Dahiku mengernyit.Ternyata benar, mereka sudah akrab sejak awal. Tapi di mana?Iya, Sinta itu adiknya Sandi. Teman Mas yang mengurusi kandang ayam sebagai pengawas. Saat Mas memutuskan membuka restoran, dia minta pekerjaan. Tentu saja Mas langsung menerimanya. Karena pada waktu itu memang restoran sedang membutuhkan banyak karyawan.Kandang ayam? Kandang ayam apa? Mas Aryo punya peternakan sendiri? Dia mengangguk.Bukan beli ayam di pasar seperti warung-warung di pinggir jalan itu? Ia mengangguk.Luar biasa. Ternyata suamiku memang bukan orang sembarangan. Keren sekali. Pantas saja banyak gadis-gadis yang mengincarnya. Kalau begitu keputusanku untuk tak mengakuinya sebagai suami di restoran kemarin memang tepat.Aku jadi leluasa mengawasi gadis-gadis mana saja yang bertingkah tak wajar saat melihatnya, tanpa mereka sadar. Ini tidak bisa dibiarkan. Mas Aryo tidak boleh berpaling pada mereka. Apa lagi kalau sampai menjadi lebih dekat dengan Mbak super itu.Udah jelas, kan? Masih marah? tanyanya lagi.Aku kembali terdiam dan tak ingin menjawab.Mas Aryo suka sama Mbak super? selidikku. Masih belum percaya sepenuhnya.Kalau Mas naksir, udah dari dulu dong Mas nikahin dia. Usianya juga lebih tua dari kamu. Udah lama sarjana pula. Senyumnya menyeringai seperti sedang menyindirku.Tiba-tiba saja jadi teringat, bahwa dulu aku sering berkata bahwa aku tak ingin menikah sebelum menyandang gelar Sarjana. Hingga ibu dan bapak tak lagi memaksaku. Lalu aku terlupa bahwa sedari kecil aku sudah dijodohkan dan malah asik pacaran sama Fandi.Tapi, ya begitu. Ini yang dinamakan jodoh dan takdir. Belum sempat lama menjalin hubungan, malah langsung dilamar dan dinikahkan. Seolah aku memang tidak diizinkan untuk berpacaran. Padahal ibu atau pun bapak tak pernah sekali pun kukenalkan pada Fandi.Ya, bisa aja kan, karena Mas Aryo udah dijodohkan sama Ayu. Mas Aryo nggak mau bikin orang tua Mas Aryo kecewa. Padahal Mas Aryo udah cinta setengah mati pada Mbak super, tudingku kembali.Dih, emangnya kamu?Eh? Kapan Ayu begitu?Ish, lagi-lagi Mas Aryo ini benar kalau sedang keceplosan. Seolah memiliki indera ke enam saja. Tapi tentu saja aku tak boleh terpancing. Pasti seperti waktu itu. Dia hanya asal bicara dan suka menebak-nebak.Ayu nggak gitu kok. Ayu dari awal juga udah langsung setuju menikah dengan Mas Aryo, dustaku.Iya, kan Mas udah bilang kalau Mas percaya. Jadi, sekarang kamu udah nggak marah lagi sama Mas, kan? tanyanya dengan nada merayu.Aku kembali terdiam, lima detik kemudian mengangguk, masih dengan bibir yang mengerucut. Dia kembali tersenyum. Merasa kalau perselisihan kami malam ini telah selesai.Jangan nangis lagi ya, Yu. Mas nggak suka kalau lihat kamu sedih. Apa lagi sampai sakit hati sama Mas.Ya, ampun. Benarkah ini Mas Aryo yang sesungguhnya? Selalu bersikap manis dan terlihat begitu perhatian padaku.Ya, tak ada salahnya kali ini aku percaya. Toh aku juga bisa mengawasi gerak-geriknya dan Mbak Super di restoran. Awas saja kalau sampai ketahuan. Aku tidak akan segan-segan melaporkannya pada orang tua kami. Tidak boleh ada celah untuk pelakor dalam kisah rumah tanggaku.Dia mulai berani kembali menyentuh pipiku. Mencoba menyeka sisa-sisa air mata. Aku mulai menerima, dan tak lagi mengelak. Membiarkan saja tangannya mulai menjelajah.Duh, senangnya bisa nyentuh kamu lagi, godanya dengan bibir tersungging.Hem.... sahutku cuek.Nyentuh yang lain boleh, Yu? Mataku melotot ke arahnya. Mulai ngelunjak rupanya.Yu?Apa lagi, Mas?Malam jumat ini, Yu. Ibadah, yuk?Yah, sudahlah. Hitung-hitung mengurangi dosa habis marah-marah tadi sama suami.Dengan senyum kecil aku mengangguk..Seperti biasa sepulang kuliah aku kembali bekerja. Mengganti pakaian di ruangan loker. Kulihat dua nama sudah dicopot dari pintu loker di sampingku. Dalam hati bertanya-tanya. Ada apakah gerangan?Win, Silvi sama Arin lagi libur, ya? Kok dari tadi nggak kelihatan? tanyaku pada Wina, perihal kedua gadis yang kemarin bergosip tentang Mas Aryo dan Mbak Super.Oh, kamu belum tau ya? Mereka kan tadi pagi dipindahkan ke cabang lain, Yu.Lho, kok mendadak? tanyaku heran. Gadis yang bertugas sebagai kasir itu langsung mengangkat bahu.Ada apa lagi ini?                              ********(8)Mutasi  Aku masih heran dengan apa yang Wina katakan barusan. Kenapa tiba-tiba dua karyawan itu menghilang? Ingin bertanya pada Mas Aryo, tapi tak bisa. Peraturan di sini, tak boleh memegang ponsel saat jam operasional  berlangsung. Semua alat komunikasi itu dikumpulkan, dan hanya boleh diambil saat jam istirahat dan pulang kerja.  Jadi, aku harus bertanya pada siapa lagi? Mbak super? Boro-boro dia mau jawab. Menyahut sapaanku pun belum tentu sudi. Kenapa bukan dia saja yang dipindahkan ke cabang lain. Kalau perlu, ke luar negeri sekalian. Biar tidak menggoda suami orang lagi. Tidak ada jalan lain, aku harus bertanya pada Fandi. Hanya dia satu-satunya orang yang punya jawaban atas pertanyaanku saat ini. Aku jadi curiga, jangan-jangan ini perbuatan Mas Aryo. Mungkin dia takut kalau aku akan kembali terpengaruh dengan pembicaraan mereka yang suka bergosip. Atau, agar supaya aku tak lagi mendengar dan tahu apa pun tentangnya yang tak boleh kuketahui. Ish... hal ini membuatku semakin pusing saja. Apa benar Mas Aryo sekejam itu? Bertindak semena-mena hanya karena masalah sepele? Kamu kenapa, Yu? Kok uring-uringan gitu? Tiba-tiba saja Fandi kembali menghampiri. Wah kebetulan. Orang yang aku cari tiba-tiba muncul. Aku kembali celingak-celinguk melihat ke arah lain. Agar tak ada yang memperhatikan kami. Untungnya jawaban Fandi kemarin cukup membuat Mas Aryo yakin dan percaya. Bahwa hubungan kami hanya sebatas atasan dan bawahan saja. Tak pernah saling mengenal sebelumnya. Apa lagi sampai berpacaran. Fan, aku mau nanyak sesuatu nih, ucapku setengah berbisik. Ada apa, Yu? Dia juga ikut memelankan suara. Silvi sama Arin kenapa dipindahin? Oh, itu wewenangnya supervisor. Aku nggak ada ikut campur. Katanya mereka sering kedapatan mengobrol saat jam kerja. Masa sih? Cuma karena itu? Aku juga nggak ngerti, Yu. Aku aja yang baru satu bulan kerja udah di mutasi ke sini. Mungkin memang seperti itu aturannya. Emangnya kamu juga suka ngobrol sambil kerja? Matanya melotot memandangku. Ada banyak alasan untuk  dimutasi, Yu. Memangnya sejak kapan kamu kenal aku sebagai tukang gosip? Dia terlihat kesal dan tidak terima. Aku jadi terkikik geli melihat raut wajahnya. Benar juga sih. Fandi juga tiba-tiba saja pindah, dan langsung menjabat sebagai menejer. Padahal belum lama dia bekerja dengan Mas Aryo. Memangnya kamu nggak tau, kenapa tiba-tiba kamu dipindahin ke Ayam Kampus? Bukannya kemarin kamu melamar di kantor sebagai admin? Aku nggak melamar, Yu. Tapi dilamar, tegasnya. Dilamar? Maksud kamu apa, Fan? tanyaku heran. Sejak kapan perusahaan seperti ini mengadakan lamaran untuk merekrut karyawan? Bukannya biasanya hanya membuat iklan saja. Lagi pula, Fandi juga belum punya banyak pengalaman. Tak ada yang istimewa dari kinerjanya. Beruntung sekali mantanku ini. Iya, Yu. Tiba-tiba aja ada pesan yang masuk ke email aku. Nawarin kerja sebagai admin keuangan di Ayam Kampus. Padahal aku baru melamar di beberapa perusahaan. Karena tempat ini udah nggak asing lagi buat para mahasiswa, ya aku terima aja. Lagi pula jaraknya juga dekat kan sama kampus. Jadi, aku pikir waktu itu masih bisa dekat sama kamu meskipun udah sedang bekerja. Walaupun akhirnya aku ditempatkan di kantor pusat. Oh, gitu ya. Aneh juga sih. Nah, giliran kamu udah nikah baru akunya dipindahin ke sini, lanjutnya lagi dengan nada kecewa. Biasa aja kali, Fan. Namanya juga nggak jodoh, ucapku mencoba untuk tak terbawa suasana. Tapi aku senang kok, Yu. Karena akhirnya kita bisa satu kerjaan dan dekat lagi seperti ini. Apaan sih, Fan. Udah deh. Kamu nggak boleh lagi ngomong kek gitu. Sengaja ya, mau bikin aku merasa bersalah? Dia terdiam. Dari tatapannya, sangat jelas terlihat kalau dia masih merasa kecewa atas keputusanku waktu itu. Ya udah, Yu. Kamu kerjanya jangan terlalu capek, ya. Nanti nggak fokus sama pelajaran. Dia pun berlalu pergi meninggalkanku dalam rasa bersalah. Aku jadi merasa tidak enak kalau dia terus-terusan bersikap seperti itu. Selalu saja perhatian meski aku tak lagi membalasnya. Akan lebih baik jika dia marah dan membenciku saja. Setidaknya kami tidak akan saling bicara lagi seperti ini.. Ayu, kalau sudah selesai, temui Pak Aryo ke kantor, ya! seru Mbak super saat aku sedang membersihkan meja.  Iya, Mbak, sahutku. Hati-hati aja kamu. Jarang-jarang lho Pak Aryo manggil karyawan ke kantor. Jangan-jangan, kamu mau dipindahin juga. Makanya kerja yang becus. Jangan pacaran terus. Dia berujar sinis. Membuat darahku seketika mendidih. Aku memutar bola mata ke atas dengan tetap memunggunginya. Merasa kesal atas kata-katanya barusan. Setelah selesai, aku langsung naik ke lantai tiga, di mana kantor Mas Aryo berada. Kebetulan sekali. Aku jadi punya alasan untuk bertemu dengannya.  Masuk! Suara seseorang dari dalam memberi perintah setelah aku mengetuk pintu. Aku masuk dengan senyum Mas Aryo menyambut kedatanganku. Membuat perasaan hatiku jadi merasa senang. Mas Aryo manggil Ayu? Ada apa? Kangen aja. Dih, gombal. Mas Aryo bisa aja. Lho, kenapa? Nggak boleh? Boleh. Tapi tumben aja manggil Ayu ke sini. Biasanya juga nggak pernah. Kepalaku berputar mengelilingi setiap sudut ruangan. Kagum akan kemewahan ruang kerja suamiku. Ini lebih dari kantor yang aku idam-idamkan selama ini. Suka? Mas Aryo tiba-tiba saja sudah berada di hadapanku. Aku tersenyum malu. Kantor Mas Aryo bagus banget. Pantesan jarang keluar buat nemuin Ayu, rajukku dengan bibir mengerucut. Dih, ngambek. Mas Aryo menggawil hidungku. Justru Mas sengaja manggil kamu ke sini. Biar kamu tau tempat Mas bekerja selama ini. Oh, kirain mau mindahin Ayu juga ke tempat lain, sindirku. Kenapa? Dahinya mengernyit. Soal Silvi sama Arin.... Aku menghentikan kata-kataku. Kenapa, Yu? Kok mereka dipindahin? Mas Aryo punya rahasia lain ya, yang mereka ketahui? Biar Ayu nggak bisa dengar dari mereka lagi. Ayu, Ayu. Dia menyentuh dan memegangi kedua bahuku. Masih juga belum percaya sepenuhnya sama Mas? Yuk, kita keluar. Biar Mas kasi pengumuman, bahwa sebenarnya Mas ini suami kamu. Dia bergerak sambil merangkul bahuku. Eh, jangan, jangan. Bukan seperti itu maksud Ayu. Aku menarik tangannya untuk tak melanjutkan langkahnya. Kenapa? Mas hanya ingin kamu percaya sepenuhnya sama Mas. Iya, Ayu percaya, kok. Ayu kan cuman nanyak aja. Bukan nuduh Mas yang macam-macam. Aku jadi merasa tidak enak. Sebenarnya Mas ingin memindahkan Sinta. Agar kamu nggak merasa terganggu lagi dengan keberadaan dia di sini. Tapi dia bersikeras dan memohon. Berjanji bahwa tidak akan ada yang bergosip lagi tentang Mas dan dia. Benarkah? Mas lakukan itu demi Ayu? Iya, Yu. Mas sendiri nggak tau kalau dia mengambil keputusan seperti itu. Karena selama ini memang tugas Sinta untuk bertanggung jawab mengurus karyawan. Mas nggak pernah ikut campur. Terus, Mas Aryo masih tetap ngijinin Mbak Super di sini? Dia tertawa kecil mendengar pertanyaanku. Entah apanya yang lucu. Terserah kamu aja, Yu. Kalau kamu minta Mas untuk membuat dia jauh dari kamu, akan Mas lakukan sekarang juga. Biar Sinta Mas pindahkan ke kantor pusat atau cabang lain. Duh, kok Mas Aryo baik banget sih. Aku jadi merasa tidak enak sudah menuduhnya macam-macam. Kira-kira aku harus bagaimana, ya? Haruskah aku bersikap egois dan meminta Mbak super pergi? Ataukah tetap bekerja secara profesional, karena sedari awal dia ikut merintis dan membantu suamiku membesarkan restoran ini, seperti yang Mas Aryo ceritakan malam itu?                        ************(9)Masih Memaafkan  Apa yang harus aku jawab? Sejenak aku bepikir. Tak ada gunanya aku bersikap egois pada orang lain. Aku yang notabenenya baru saja kenal dan memasuki kehidupan Mas Aryo, tak boleh gegabah dalam bertindak. Tak bisa begitu saja menyingkirkan orang-orang di kehidupan Mas Aryo sebelum mengenalku. Aku tak tahu berapa banyak pengorbanan orang-orang di sekitarnya, guna membuat kehidupan suamiku jadi seperti sekarang ini. Dan aku tiba-tiba saja datang dan bisa menikmati semuanya. Gimana, Yu? Apa Mas harus memindahkan Sinta? tegur Mas Aryo, dengan tangan yang tidak terlepas dari bahuku. Sejenak aku menatap manik matanya. Ada sebuah ketulusan di dalam sana. Tak pantas rasanya aku bersikap meragukan dan sama sekali tak percaya padanya. Nggak usah, Mas. Ayu percaya kok. Mas Aryo nggak akan berbuat macam-macam di belakang Ayu. Aku mengungkapkan keputusanku. Betulkah? Kamu nggak marah?  Enggak kok, Mas. Maafin Ayu, ya. Ayu udah salah sangka dan nuduh Mas Aryo macam-macam. Iya, Yu. Mas juga minta maaf karena udah bikin kamu salah paham, dan nangis karena Mas. Maafin Mas juga, ya? Aku mengangguk, melihat sikapnya yang sungguh-sungguh.. Usai mengobrol dan melihat-lihat ruangan Mas Aryo, aku pun pamit untuk kembali bekerja. Tak lupa kudaratkan sebuah kecupan mesra di pipi suamiku. Hal itu cukup untuk membuat kami berbaikan kembali dan saling menghilangkan rasa curiga. Aku langsung menuju lantai satu untuk berdiri di posisiku semula. Hei, Ayu! Ngapain tadi lama-lama di kantor Pak Aryo? tegur Mbak super dengan nada sinis. Ia langsung memanggilku ke sudut bawah tangga yang sepi sesaat aku baru keluar dari kantor Mas Aryo. Memangnya kenapa, Mbak? tanyaku tak suka. Itu bahkan bukan urusan dia. Lho, kok kamu malah balik nanya? Pasti kamu mau dipindahin, kan? Atau malah dipecat? Makanya kalau kerja yang becus. Jangan pacaran terus. Nggak kok, Mbak. Mas Ar...eh, maksud saya, Pak Aryo baik kok. Dia hanya mengucapkan selamat datang di perusahaan, dan memberi semangat agar saya betah menjadi karyawannya. Aku mengarang bebas. Eh, ngarang aja kamu. Mas Aryo nggak pernah melakukan hal itu sama karyawan mana pun. Dia bersikap seolah tak percaya. Namun bisa kulihat dari raut wajahnya, bahwa ia terlihat marah dan tidak terima. Tak mungkin dirasanya aku mengarang cerita tak penting seperti itu. Tapi Pak Aryo memang berkata seperti itu, Mbak. Kalau nggak percaya, tanya aja sama beliau. Aku semakin berani memanasinya. Rasakan! Memangnya enak merasakan cemburu? Jelas-jelas dia menyukai suami orang. Malah berani marah-marah sama istri sahnya. Dasar bibit pelakor.  Awas saja kalau masih berani menggoda suamiku lagi. Aku sendiri nanti yang akan bikin kamu cemburu dan angkat kaki dari tempat ini. Teringat saat di dalam tadi Mas Aryo mengatakan kalau Mbak super sudah tidak berani memanggilnya sembarangan lagi. Mas Aryo sudah memberi teguran, kalau dia harus bersikap sopan dengan tidak memanggil Mas padanya. Meskipun hanya di depan karyawan lain saja. Karena nyatanya, Mas Aryo bilang saat tak ada orang, dia tetap memanggil Mas karena sudah terbiasa. Dan itu cukup menenangkan bagiku. Itu artinya Mas Aryo masih menghargaiku sebagai istrinya.   Udah deh. Saya nggak percaya sama kamu. Geer banget jadi orang. Awas aja ya kalau sampai bohong. Saya pecat kamu nanti. Dia pun meninggalkanku dengan wajah kesal. Dih, kenapa dia jadi nyolot begitu. Apa sekarang dia mulai merasa kalau aku adalah saingannya? Peka sekali dia jadi wanita. Pasti sekarang dia akan langsung menuju ke kantor Mas Aryo untuk mencari tahu.. Malam ini sepulang kerja, aku sengaja berjalan hendak menuju ke kampus. Setelah membuat kesepakatan bahwa aku akan pulang bersama Mas Aryo. Tak akan ada yang curiga kalau aku pulang bersamanya jika aku menunggu di luar area restoran. Namun di tengah jalan, saat belum lagi sampai, suara klakson sepeda motor menyapaku. Ayu. Kok jalan sendirian? Aku antar, ya? ucap Fandi menghentikan langkahku. Eh, nggak usah, Fan. Aku dijemput, kok. Kamu duluan aja. Aku menolak tawarannya dengan sopan. Sama suami kamu? Aku mengangguk. Seolah dia membutuhkan jawaban lain. Berharap orang lain lah yang akan menjemputku. Kulihat wajahnya kembali kecewa. Belum bisakah dia menerima keadaan kami sekarang ini? Membuatku kembali merasa bersalah. Ya udah. Aku temani, ya. Sekalian aku mau kenalan sama laki-laki yang dijodohin sama kamu itu. Nggak usah Fan. Aku sendirian aja. Kamu duluan aja. Sebentar lagi dia datang kok. Kenapa dia nggak jemput kamu di restoran aja, Yu? tanyanya heran. Kenapa musti di tempat gelap seperti ini. Kalau ada apa-apa gimana? Duh, Fandi kenapa sih. Bukannya langsung pergi saja. Kalau kepergok Mas Aryo, kan bisa gawat. Bisa-bisa terjadi salah paham lagi. Aku nggak papa, Fan. Kamu pulang aja. Aku nggak enak nanti kalau suamiku ngeliat kamu. Kamu nggak bahagia dengan pernikahan kamu ya, Yu? Apa suami kamu kejam dan memperlakukan kamu dengan tidak baik? Ya enggak lah, Fan. Kok kamu kepikiran kek gitu sih? Buktinya baru aja menikah, dia udah berani nyuruh kamu kerja. Padahal kamu bilang sendiri waktu itu, bahwa orang tua kamu aja melarang, biar fokus sama kuliah kamu dulu. Kenapa sekarang malah dia nyuruh kamu kerja? Aku kembali melirik jam di pergelangan tangan. Sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Memang Mas Aryo tadi pulang lebih awal seperti biasa, kemudian kembali datang untuk menyusulku. Udah deh, Fan. Kamu pulang aja. Tolong jangan ikut campur urusanku. Ini rumah tanggaku. Kamu nggak berhak lagi nanya-nanya kek gitu, ucapku tegas. Wajahnya berubah pias. Merasa terkejut karena sebelumnya aku tak pernah bicara dengan nada sekasar itu padanya. Aku sedikit merasa bersalah. Namun hal itu terpaksa kulakukan agar dia tahu bagaimana posisinya sekarang. Selain itu, dia juga harus segera pergi dari sini, agar Mas Aryo tak sampai bertemu dengannya. Lagi-lagi dia tampak kecewa. Namun sedikit menganggukkan kepala, sembari menatapku. Ya. Aku minta maaf, Yu. Aku sudah lancang mencampuri urusan kamu. Aku pamit. Lalu melajukan motor maticnya dan meninggalkanku dengan wajah yang tak lagi bersahaja seperti biasanya. Hufft...akhirnya aku bisa bebas juga. Ada baiknya Mas Aryo datang terlambat. Jadi aku bisa merasa bebas untuk tak repot-repot lagi menjelaskan apa pun. Dan lagi-lagi kali ini aku selamat.   Tak lama mobil Mas Aryo muncul di hadapanku. Hanya selang tak sampai satu menit setelah motor Fandi menghilang dan tak nampak lagi. Fiuhh... nyaris saja.  Aku langsung masuk setelah Mas Aryo membuka kaca jendela dan tersenyum manis melihatku. Kok lama, Mas? tanyaku pura-pura kecewa. Padahal dalam hati aku merasa bersyukur atas keterlambatannya. Oh, tadi agak macet di jalan, Yu. Maaf, ya. Alhamdulillah.... ucapku begitu saja. Tanpa sadar kalau kini wajah Mas Aryo tampak heran memandangku. Waduh, keceplosan lagi.                     ************* (10)Salah Lagi Lho, kok Alhamdulillah, Yu? tanyanya heran. Eh, maksud Ayu, Alhamdulillah karena cuman kena macet, Mas. Ayu tadi cemas,  takutnya Mas Aryo  kenapa-napa. Untung cuman kena macet, doang. Lagi-lagi aku beralasan. Dan ini entah untuk yang ke berapa kalinya. Terkadang aku merasa bersalah juga. Selalu berusaha menutup-nutupi dan menyembunyikan masa laluku dari suami sendiri. Hal ini aku lakukan karena belum sepenuhnya mengenal suamiku saat ini. Belum tahu bagaimana perangainya jika tahu aku punya pacar sedang dalam masa perjodohan dengannya. Tidakkah itu artinya aku sudah berselingkuh, meskipun aku sempat lupa kalau ternyata kami telah dijodohkan? Aku juga takut kalau-kalau dia tidak terima dan menjadikannya alasan untuk menceraikan aku. Bagaimanapun juga, aku masih belum yakin dengan perasaan Mas Aryo padaku. Tugasku saat ini adalah membuat Mas Aryo jatuh cinta dan tidak berniat meninggalkanku. Setelah itu, baru aku akan berterus terang dan meminta maaf karena telah membohonginya. Oh, Mas pikir kedatangan Mas malah mengganggu kamu. Mengganggu apa sih. Kan dari tadi Ayu sendirian di sini. Kirain ada yang nemenin, godanya. Membuatku kembali merasa bersalah. Dan anehnya, candaan Mas Aryo untuk menggodaku selalu saja tepat. Untungnya aku sudah mulai terbiasa dan tidak panik saat menjawab. Mas Aryo benar-benar tidak sedang mencurigaiku. Dia hanya ingin membuat suasana kami lebih terlihat akrab dan tidak tegang. Maafin Ayu ya, Mas. . Mas Aryo sedang asik berbaring menungguku. Dia langsung melempar senyum saat aku baru keluar dari kamar mandi dengan handuk masih di kepala. Wah, harumnya istri Mas, pujinya. Sini duduk! Ia menepuk tempat di sebelahnya. Iya dong, kan sabun yang Mas Aryo beli sabun mahal. Bukan sabun yang biasa Ayu pakek, sahutku berterus terang. Lagi-lagi dia tertawa. Apa dia sedang menertawakan sikapku yang kampungan ini? Duh, salah bicara lagi. Seharusnya aku bisa lebih menyeimbangkan diri. Biar Mas Aryo tidak malu memiliki istri udik sepertiku.  Seperti yang kemarin Silvi dan Arin bilang, mungkin Mas Aryo tidak mau mengundang para karyawan Ayam Kampus karena malu punya istri jelek dan kampungan sepertiku. Yah, walupun kata teman-teman aku tidak jelek-jelek amat, sih. Kenapa ketawa, Mas? tanyaku. Kamu itu lucu. Kalau ngomong apa adanya. Mas jadi berpikiran, kalau wanita seperti kamu itu pasti nggak pernah bohong. Apa lagi bohongin suami sendiri. Bener, kan? sahutnya dengan senyum yang penuh ketulusan. Kan, kan. Lagi-lagi aku semakin merasa bersalah dengan sikapnya. Padahal sejak awal bertemu aku sudah melakukan banyak kebohongan. Lalu tanpa sadar aku mendekatkan diri dan memeluknya dengan erat. Dih, dih. Ada apa ini? Manja banget. Mau ngajak ibadah, ya godanya, sembari mengusap bahuku. Ish, Mas Aryo ibadah mulu, rajukku sembari mencubit perut sixpacknya.  Terdengar suara tawanya pecah. Kemudian, tangannya menjalar menarik lilitan handuk di kepalaku. Dan kurasakan udara dari hidungnya mengendus aroma shampo serta membelai lembut rambutku yang masih basah. Kenapa, Yu? Kok tiba-tiba meluk? Ada yang ingin kamu ceritain? Dia benar-benar tampak seperti seorang cenayang yang selalu tepat dalam menebak isi pikiranku. Tapi tidak. Tidak sekarang. Tunggu sampai aku benar-benar yakin. Enggak kok, Mas. Ayu cuman pengen tau aja. Mas Aryo sayang nggak sama Ayu? Ya sayang lah, Yu. Masa enggak. Kenapa? Mbak super kamu itu bikin ulah lagi? Atau dia tadi ngomong yang macam-macam lagi? Enggak, Mas. Ayu cuma pengen tau aja. Kalau kamu sendiri gimana? Cinta nggak sama Mas? Ya cinta dong, Mas. Justru Ayu takut kalau Mas Aryo ninggalin Ayu. Nggak mungkin lah, sayang. Apa pun yang terjadi, Mas nggak akan pernah ninggalin kamu. Alhamdulillah... ada sedikit harapan untuk berkata jujur. Setidaknya, aku bisa memegang ucapannya malam ini. Untuk berjaga-jaga kalau nanti dia marah atas pengakuanku. Oh iya, Yu. Mas liat jadwal off, besok giliran kamu libur, ya? Iya, Mas. Barusan Ayu mau bilang. Besok Mas mau ke kandang ayam. Ikut? Kandang ayam? Duh, paling malas kalau berurusan dengan yang kotor-kotor. Kenapa sih Mas Aryo harus turun tangan juga ngurusin ayam. Bukannya duduk manis aja di kantor menikmati hasil. Sudah seharian aku ngurusin meja dan piring kotor, malah diajak ke kandang ayam. Bukannya diajak jalan-jalan gitu. Gimana, Yu? Mau? Ya kali aku menolak. Mau tidak mau aku harus menurut dan ikut dengannya. Demi mencari perhatian dan menambah kadar kasih sayangnya yang saat ini entah masih berapa persen. Yang jelas, saat ini posisiku masih dalam bahaya dan belum aman. Mau, Mas. Besok pulang kuliah, Mas jemput Ayu, ya! Nah gitu, dong. Itu baru nyonya bos. Mau turun langsung ke lapangan. Iya, Bos. Bos ayam, ledekku. Dan lagi-lagi dia tertawa. Duh manis sekali. Jadi kepikiran buat keramas lagi setelah ini.. Sepulang kuliah aku menunggu suamiku untuk menjemput. Begitu pesan whatsapp masuk darinya, aku segera keluar dan menemuinya. Berdadah-dadah manja dengan beberapa teman yang sedari tadi ikut duduk bersamaku di bawah pohon. Tak ada satu pun dari mereka yang tahu bahwa kini aku sudah menikah. Yang mereka tahu, bahwa aku masih berpacaran dengan senior mereka dulu. Dan aku tak mau membahas apa pun jua karena Fandi sudah tak kuliah di sini lagi. Mas Aryo rapi banget, cuman ke kandang ayam doang, sindirku yang hanya mengenakan blus lengan pendek dan celana jins belel. Karena memang seperti itu lah gaya berpakaianku sehari-hari. Selain tak pernah pergi ke mana-mana, aku juga jarang membeli pakaian untuk sekadar berhemat. Kasihan Bapak dan ibu jika harus mengeluarkan bajet tambahan hanya untuk mengubah gaya penampilanku. Sangat kontras dengan penampakan Mas Aryo saat ini. Meski terlihat lebih santai, namun gayanya tak ubah seperti hendak ke kantor.  Iya, dong. Biar Mas selalu terlihat ganteng di mata istri. Dia senyum-senyum sendiri. Ish, Mas Aryo genit. Ganteng, nggak? Ih... Mas Aryo norak. Pake nanyak lagi. Jangankan dandanan serapi ini, nggak pake baju juga Mas Aryo tetep ganteng, godaku sembari menutup mulut cekikikan. Hem... pinter banget ngerayu, ya?' ledeknya. Aku semakin tersipu. Emang ganteng, kok. Beneran? Iya. Buktinya Mas Aryo punya banyak ayam kampus.'' Lagi-lagi dia tertawa. Dan aku semakin menyukai sikapnya yang selalu ceria sehingga membuatku semakin merasa nyaman. Suka banget ngatain Mas ayam ya. Awas kamu, ya. Dia berani nakal dengan menggelitikiku. Aku tertawa geli sambil meminta ampun.. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mobil berbelok ke sebuah tempat dengan pagar yang cukup tinggi. Dari luar terlihat banyak orang yang berlalu lalang. Halamannya saja cukup luas, untuk sampai ke beberapa buah bangunan yang saling berdampingan. Aku terperangah takjub dengan apa yang sedang aku lihat. Tidak mugkin. Aku pasti salah lihat. Atau mungkin Mas Aryo yang salah tempat. Aku langsung mengucek mata untuk kembali memastikan. Merasa kagum dengan pemandangan di depan mata. Benarkah tempat ini yang Mas Aryo sebut sebagai kandang ayam?                        ************Yang pengen lanjut silahkan buka kuncinya dulu ya! Dijamin sampai tamatโ€ฆ.    
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan