
Apem Gosong
"Bang! Matiin lampunya!" Perintah Istriku ketika aku baru saja selesai menunaikan ibadah wajib yang mesti dikerjakan lima waktu sehari.
"Kenapa, Yang?" tanyaku bingung.
"Malu."
"Kenapa harus malu. Bukankah cuma ada kita berdua."
"Hem. Malu." Desisnya manja yang membuatku semakin gemes. Ingin mencubit pipinya yang bersemu kemerahan.
Malam ini adalah malam ketiga kami pasca nikahan. Malam pertama dan malam kedua, aku gagal mengeksekusi istriku. Ada-ada saja alasan yang dia ciptakan agar kami...
25,803 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
APEM GOSONG 2(SELF REMINDER)
0
0
Self Reminder
Note: Cerbung ini merupakan season lanjutan dari Apem Gosong.
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Dan hari berganti bulan.
Begitulah waktu yang terus saja berjalan. Tanpa pernah menoleh lagi kebelakang. Bagi mereka-mereka yang berpikiran maju, waktu adalah uang. Sangat berbeda dengan diriku yang justru terjebak dalam waktu itu.
Hidup ini serasa hampa dan begitu-begitu saja. Siang menjadi malam, dan malam menjadi siang. Begitulah hari-hari yang kujalani beberapa waktu terakhir ini.
Dan seperti hari ini misalnya, walau matahari telah menyinsing naik dari peraduannya, aku masih terkurung di dalam selimut yang tebal. Meringkuk, kedinginan.
Ger! Woi Roger! Assalamualaikum. Ryan berkunjung datang ke rumahku. Membangunkanku yang sedang bermimpi indah. Mana pulak mimpinya pas sedang enak-enaknya, datanglah pulak dia mengganggu. Pantek juga anak itu.
Dengan enggan aku bangun. Lalu membukakan pintu untuknya.
Apa? tanyaku dengan malas. Malas melihat mukanya yang begitu-begitu saja. Tak pernah berubah dari hari ke hari. Kadang bajunya pun nggak ganti-ganti. Itu-itu aja.
Ada kerjaan ini! Mau kau?
Kerja apa?
Bangunan lah. Kerja apa lagi?
Ya, cuma itu saja kerjaan yang bisa kami kerjakan. Mau kerja apa lagi?
Dimana?
Helvetia.
Dari siapa kau dapat info?
Ini ada di grup. Nyari Tukang sekalian kenek juga. Dia menyodorkan ponselnya padaku. Menunjukkan sumber informasi yang dia peroleh.
Berapa gaji satu hari?
Tukang cepek dua puluh. Kalau kenek cepek.
Bujang. Makin turun gaji. Bukan makin naik. Yang biasa gaji cepek lima puluh saja pun awak lepas. Ini, makin parah. Mana lokasinya jauh pulak itu.
Ah, kau ajalah. Kecil kali gajinya. Aku enggan menerima tawaran darinya. Bagusan awak dirumah, iyakan. Kerja nggak kerja, makan juga. Bisa lagi bangun sukak-sukak hati.
Nggak bosan kau nganggur, Ger? Aku aja udah besakitan ini badanku, udah lama nggak kerja.
Minum tuak lah. Kan kau yang bilang tuak itu obat sakit pinggang. Aku membalikkan ucapannya. Dulu, asik dirayunya aja aku supaya mau minum tuak itu. Waktu masih lajang sama baru-baru nikah waktu itu.
Ini, Ger! Kau tes aja dulu. Obat sakit pinggang ini. Kalau udah kenak tuak ini nanti, terus main sama orang rumahmu, nggak ada capeknya. Sampai pagi pun tahan kau nonstop menggoyang terus. Katanya waktu itu. Padahal, nggak ada buktinya sama sekali. Kalau nggak pandai-pandai mengontrol emosi, belum lima menit udah selesai juga si Ucok.
Mau minum tuak pun, udah nggak ada lagi modal aku, Ger. Ini aja udah lama aku nggak ke warung Buk Iyos. Udah numpuk utangku disitu.
Pantaslah ditanyainya aja kau. Kupikir ada janji kau sama dia. Mana tau, udah nggak sanggup lagi Wak Selow melayani dia, iya kan. Mau minta bantuan dia sama kau.
Kimbek lah kau, Ger. Gini-gini aku pilih-pilih juga kalau perkara cewek. Mana mau aku sembarang cewek, apalagi cewek jadi-jadian kek Buk Iyos. Cuih, nengok bibirnya aja udah nggak selera aku.
Alah, itukan cakap kau. Kalau udah dibukakannya lebar-lebar lahan gambutnya itu, haram kalau kau bisa menolak.
Ah, kalau aku nggak lah. Atau jangan-jangan kau nanti yang naksir sama dia, Ger? Ayo jujur kau! Jujur kau!
Sudah nuduh, maksa pulak itu agar awak mau mengaku. Pas lah kek kerjaan si Kawan itu. Yang biasa pakai baju coklat.
Nggak lah. Dari pada sama dia, bagus aku buang ke lobang toilet.
Berarti kau sering kek gitu, ya?
Alah, kek kau nggak aja.
Tak lama, ibu pulang dari kedai.
Bah, ada kau Ryan? sapa ibu padanya.
Iya, Buk.
Nggak kerja kau?
Ini lah mau kerja.
Kerja apa?
Biasalah, Buk. Kerja bangunan. Jadi, mau kerja apa lagi yang mau nerima kami-kami yang nggak punya izajah ini.
Itupun, jadi lah. Asal ditekuni. Tengok Bapak si Roy. Dari dulu itu ajanya kerjanya. Bisa juganya dia buatin rumah untuk ibuk.
Itukan karena zaman dulu, Buk. Zaman sekarang mana lagi bisa. Aku memotong pembicaraan mereka. Tau lah kelen ibukku itu kek mana. Terus panjang nanti itu ceritanya, menghujat anak sendiri.
Apa pulak nggak bisa. Yang penting sabar dan rajin. Ini pulak tidak. Sehari kerja seminggu libur. Apa yang dapat.
Kan betul kubilang. Panjang lah itu merepetnya.
Kalau ada kerjaan, kau bawa aja si Roy ini Ryan. Pening ibuk udah nengok dia dirumah terus.
Itulah tujuanku datang ke sini, Buk. Cuma nggak mau si Roy katanya.
Jauh pulak. Gajinya pun cuma cepek. Sanggahku lagi.
Dimana rupanya?
Di Helvet.
Udah. Pigi aja kau, Roy! Perintah ibu dengan nada memaksa.
Jauh, Buk. Gajinya, untuk uang minyak aja pun nggak cukup nanti.
Udah. Ini ibuk kasi uang minyak untuk kau. Pokoknya pigi kau dari rumah ini. Malu ibuk nengok kau berkurung aja di rumah. Kek nggak ada tanggung jawab aja kau.
Ibu mengeluarkan selembar uang biru dari dompetnya, lalu menyerahkannya padaku.
Nah! Cepat pigi kau dari rumah ini. Jangan lagi kutengok kau ada disini.
Amak Jang. Kenak usir lagi aku, Bah!
Nasib jadi orang pengangguran. Gini lah kalau awak nggak ada duit. Usir sana usir sini. Coba kalau aku kaya, semua lah nanti ngaku saudara.
Ayok, Ger! Berangkat kita. Ajak Ryan dengan tersenyum. Semangat kali dia pas menengok aku kenak usir.
Tunggu lah. Mandi aku dulu.
Mandi lah pulak aku dulu, iya kan. Biar sekalian menuntaskan urusanku sama si Ucok. Tadi pas sedang enak-enaknya datang pulak gangguan. Maulah nanti merusuh aja si Ucok kalau nggak di selesaikan secepatnya hajat dia itu. Ngamuk dia nanti minta makan di jalan, kan repot aku. Tau lah kelen kek mana rewelnya dia kalau sudah berdiri. Mana mau tidur sebelum di keloni dulu.
Ucok! Ucok. Mati aja kau udah. Kerjanya cuma ngerepotin aku aja. Bukan ada gunanya lagi.
*
Kami pun meluncur, membelah ibu kota Sumatera Utara dengan berboncengan. Tau lah kek mana kalau membawa si Ryan, iya kan. Kampungan kali jadi orang. Pantang nengok cewek gacor sikit, langsung lah di perli-perli sama dia. Di suit-suitnya, padahal cewek itu pakai helem. Mana dengar dia. Kampung-kampung.
Sebenarnya banyak orang yang sudah menegurku agar jangan berteman sama si Ryan ini. Apalagi ketika seluruh kampung tau bahwa kehidupan rumah tanggaku dengan si Yuni sedang tidak baik-baik saja. Sedikit banyak, mereka menyalahkan si Ryan juga. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kau Yan! Jangan kau pengaruhi lagi si Roger itu. Kau lajang, dia sudah menikah. Tapi kau ajak-ajak dia minum tuak. Apa nggak pisah dia sama istrinya. Kata mereka mencibir si Ryan.
Cuma yang namanya si Ryan itu biasa saja. Tak pala marah dia digituin orang itu. Orang dia nggak merasa bahwa dia yang mempengaruhi aku. Tugas dia kan cuma mensupport dan mendukung aku aja. Kalau pas dia ada duit, difasilitasinya juga aku. Di traktirnya minum tuak.
Kalau mempengaruhi, memang tak pernah dia lakukan. Melarang pun tidak juga. Semua yang kulakukan itu kan memang mutlak pulak kemauanku sendiri. Bukan ada yang memaksa dan mempengaruhi. Tapi yang namanya si Ryan cukup sabar dalam menghadapi cobaan yang orang-orang tuduhkan padanya.
Dia tau bahwa aku sedang terpukul dan dalam masa keterpurukan. Walau dimata orang lain dia itu salah, namun dia tetap tak mau pergi meninggalkanku sendirian. Berkat dia juga lah aku masih bisa bertahan sampai saat ini. Kelen pikir nggak hancur kali hidupku ketika pisah sama istriku itu, iya? Kelen pikir enak kali menyandang status duda ini? Iya kalau Duren, masih mendingan. Aku mah, malah Durex. Abis pakai dibuang.
Semakin hari, semakin hancur pula hatiku. Apalagi aku tau bahwa putri kami mulai tumbuh. Kata ibu dia sudah mulai bisa merangkak dan sedang dalam lucu-lucunya. Kadang aku pengen datang ke sana, namun tidak dibolehin oleh si Yuni.
Memang kejam kali lah dia sama aku. Tak nyangka aku kalau dia bisa sekejam itu.
Ger! Udah nyampek kita. Kok malah kelewatan pulak kau. Ryan menegurku dari belakang.
Oh, yang sudah sampainya? Kok cepat?
*****Self Reminder (2)
Betul ini tempatnya, Yan? tanyaku pada Ryan, memastikan.
Menurut alamat yang dia serlok, pas ini titiknya Ger. Tapi tak tau juga lah aku kalau gugel mapsnya nipu. Kadang gugel maps ini pun bukan bisa kali dipercaya.
Kalau begitu, cok lah dulu kau hubungi lagi yang nawarin kerja itu. Nanti dia tipu-tipu pulak.
Tau lah zaman sekarang ini, yang banyakan orang suka iseng, ngerjain orang lain. Apalagi dari facebook iya kan. Nenek-nenek aja pun bisa jadi anak gadis.
Tunggulah. Si Ryan menelepon orang yang bersangkutan. Kalau aku memang tak tau pala. Dari lajang, menikah, sampai berpisah sama istriku, tak belum juga aku mampu beli hape Android itu. Asal ada duit sedikit, habis. Asal tekumpul sedikit, habis. Gitu-gitu aja. Begitu lah kalau belum ada jodoh, iya kan.
Halo! Pak! Kami udah di depan ini.
Iya. Perumahan Lingkar Sejati, kan?
Oh, iya. Iya. Jadi masuk lah kami ini ya!
Dia mematikan ponselnya.
Betul ini lokasinya, Yan?
Betul. Yok lah ondewe kita kedalam.
Alhamdulillah. Rezeki anak soleh. Ternyata orang yang nyari anggota kerja itu amanah. Mudah-mudahan cocoklah nanti kerjanya.
Kami pun masuk ke kompleks perumahan itu. Masih banyak lahan yang kosong bekas timbunan. Kalau memang berjodoh dan betah kerja di sini, mau lima tahun belum selesai proyek ini nampaknya. Tak payah lagi awak jadi pengangguran lima tahun kedepan. Kalau bisa dihemat-hemat, selesai kerjaan ini udah bisa lah kawin lagi.
Cobak dulu kelen hitungkan. Seratus ribu satu hari kali lima tahun berapa itu duitnya? Potong hari minggu sama hari libur nasional ya!
Nanti kalau udah dapat, tolong kasi tau sama aku. Biar bisa aku bayang-bayangkan kira-kira cewek mana yang bakalan aku pinang dengan bajet segitu.
Ger! Ger! Itu dia mungkin, Ger. Ryan menunjuk pada seseorang yang sedang berdiri. Sepertinya dia memang sedang menunggu kami.
Aku mengarahkan kemudi, menuju tempat itu.
Assalamualaikum, Bos! Ryan turun dari motor dan menyapa Bapak itu.
Waalaikum salam. Ryan ya? tanya dia sembari bersalaman.
Iya, Pak.
Oh. Ini lah yang mau kita kerjakan. Dia menunjuk deretan bangunan yang masih banyak berbentuk rangka doang. Di sana, di kejauhan sudah banyak orang yang kerja. Kami memang datang agak siang, bahkan sudah hampir tengah hari. Aku kira nggak jadi kelen datang. Dari tadi ditungguin nggak nongol-nongol. Kata bos itu lagi.
Oh, iya Pak. Maaf, rumah kami agak jauh dari sini. Kata Ryan.
Emangnya, dimana tinggal, Bang? tanya Bos itu lagi.
Daerah Deli tua, Pak.
Oh, jauh juga ya. Rencananya, mau tinggal di sini atau pulang pergi?
Ryan menatapku.
Kalau cocok kerjanya, tinggal di sini aja, Pak. Biar hemat bensin. Aku yang menjawab. Tekor juga lah minyak kalau sampai pepe, iya kan. Lagian si Jalu mana sanggup bolak balik Deli tua ke Helvetia ini. Maulah nanti teruk-teruk dijalan dia.
Oh iya. Motor aku namanya si Jalu. Tau kan si Jalu. Jalu itu singkatan dari Jaman Dulu.
Bawa KTP kan? tanya Bos itu lagi.
Oh, ada Pak. Aku dan Ryan menyerahkan kartu tanda pengenal itu padanya.
Lalu, dia memeriksa, mencocokkan gambar yang terpampang di sana dengan aslinya.
Ya udah. Kalau begitu kelen ikut sama aku, menghadap ke Bos yang punya proyek ini.
Aku dan Ryan kembali saling menoleh. Ternyata dia bukan pemborongnya. Jadi tugas dia ini apa? Pakaiannya terlihat rapi. Kalah setelan Pak PM. Mandor lama yang memecat kami tempo hari. Mandor Bujang juga dia itu. Masih dendam aku sama dia.
Lalu orang tadi menunggang motor Klx Kawasaki, dan meninggalkan tempat itu.
Bah! Kemana pulak dia mau membawa kami? Bukankah lokasi kerjanya ada di sini?
Ayok, Ger! Kita ikuti saja dia.
Kamipun berangkat, mengekor orang tadi dari belakang. Hingga sampai kesebuah rumah berbentuk Villa yang terletak di bagian ujung.
Sebenarnya pintu utamanya ada disini. Yang jalan di sana tadi merupakan gerbang belakang. Bapak tadi menjelaskan.
Oh, begitu. Pantas bangunan di sana masih kosong, iya Pak?
Iya.
Itu mau dibuat perumahan juga atau tanah kosong begitu aja, Pak? tanyaku lagi.
Agak-agak sok akrab lah pulak awak sikit, iya kan. Biar kesannya ramah, biar senang dia memakai jasa kami.
Mau dibangun semua. Nanti ini dari ujung ke ujung, kita buat perumahan minimalis. Yang di depan-depannya buat ruko. Dia menjelaskan sembari berjalan menuju rumah itu.
Ini rumah anak Bos yang punya proyek ini. Sekalian sebagai kantor pemasaran, kata Bapak itu lagi.
Kami hanya mengangguk-angguk. Padahal nggak terlalu penting juga untuk kami.
Di depan rumah itu terparkir sebuah mobil merek Mazda, yang bak belakangnya terbuka. Keren sih. Tapi keren lagi si Jalu.
Si Jalu, mana ada lawan. Si Yuni aja dulu betah kali naik si Jalu itu. Hampir tiap malam dia ngajak keluar, jalan-jalan. Cuma, nggak tiap malam juga lah aku turuti. Kok tiba-tiba rindu pula lah aku memboncengnya lagi ya! Jalan-jalan sore sembari bawa anak. Pasti sangat membahagiakan.
Sttt. Tiba-tiba Bapak tadi mundur, dengan memberi kode pada kami agar jangan ribut.
Kenapa? tanya Ryan berbisik.
Dia menunjuk-nunjuk ke arah rumah itu dengan hati-hati.
Mak! Apanya masa?
Ayo kita menjauh. Bisiknya lagi, mengajak kami untuk menjauh dari tempat itu.
Kenapa? tanyaku penasaran.
Bos itu lagi bercocok tanam.
Ha? Siang-siang begini?
Biasa itu. Memang itu aja kerjanya. Doyan kali selingkuh, gonta ganti pasangan. Kata Bapak itu.
Lho, kenapa nggak digerebek? tanyaku lagi.
Siapa yang berani menggerebeknya? Sedangkan istrinya aja pernah menggrebek langsung, masih diulanginya lagi, kok. Kalau awak, mana urusan kita itu, iya kan. Kita kan cuma orang kerja. Pokoknya asal gaji lancar, ya udah kita kerja aja.
Bapak apanya dia rupanya?
Aku, ya nggak apa-apa dia. Cuma kenal aja, terus dia minta tolong sama aku untuk memantau orang kerja di proyeknya. Ya udah, itu aja.
Berarti, Mandor lah iya, Pak?
Ya, bisa dikatakan begitu lah.
Sudah lama Bapak ikut sama dia?
Wah, sudah lama banget. Lima belas tahun sudah ada.
Oh, begitu ya. Aku manggut-manggut.
Eh, kok sepi? Si Ryan tadi mana? Kok gak ada suaranya?
Aku celingak-celinguk mencari keberadaan si Ryan.
Eh, kawan kau tadi mana? tanya Bapak itu.
Itu lah yang aku nggak tau, Pak. Tadi dia berjalan dibelakang aku.
Apa dia balik kesana lagi? Kata bapak itu lagi.
Mungkin juga.
Kami berbalik, kembali ketempat semula. Dari kejauhan, tampak si Ryan sedang berusaha keras, mencari celah, mengintip dari jendela kaca.
Kimbek juga anak itu. Healing gak ngajak-ngajak. Aku juga mau. Udah lama kan nggak melihat gunung kembar lagi. Rindu juga aku ingin melihat bentuknya seperti apa.
Kalau si Ucok, udah lah. Udah di kasi jatah pun tadi pagi, masih mau juga dia. Nggak ada puas-puasnya.
Serakah kali jadi orang.
*****Self Reminder(3)
Dengan sangat hati-hati kami mendekat kembali ke rumah itu. Rasanya ngeri-ngeri sedap, karena takut ketauan. Kalau si Ryan, selow aja dia. Kek nggak ada takut-takutnya sama sekali.
Ryan! Ngapain kau? tanyaku padanya dengan berbisik. Segan juga awak, iya kan sama Pak Mandor ini. Masak kami orang baru udah berani ngeten Bos-nya. Sedangkan Pak Mandor aja tadi ngajak mundur supaya si Bos nggak terganggu.
Tapi yang namanya Ryan mana open dia. Tetap selow dia seperti tidak ada orang dibelakangnya.
Woi! Ryan! Aku menyentuh pundaknya.
Sana dulu kau, Ger! Lagi seru-serunya ini. Jangan dulu mengganggu.
Mak, tak ditergenya lagi cakap awak, Jang.
Karena melihat reaksi mandor tadi juga ikut kepo, aku pun sama juga lah. Rugi juga nanti kalau tidak ikut menengok sekalian. Sudah lama juga kan mata aku puasa, nggak menengok bentuk yang demikian.
Akhirnya kami bertiga sama-sama melihat dari celah yang berbeda-beda.
Tak lama, suara ponsel berbunyi yang membuat kami semua kaget. Aku sangka yang bunyi itu adalah hapenya Ryan. Ternyata tidak. Ternyata suara itu datang dari dalam ruangan.
Sedangkan kedua sejoli tadi masih asik melanjutkan adegannya. Mereka main berdiri karena di ruangan itu hanya ada meja kerja dan juga kursi saja. Memang setan juga anak Bos ini. Sudah dibuatkan Bapaknya usaha, malah dikotorinya pula dengan berbuat maksiat seperti ini. Apa nggak bahaya nanti. Kena azab baru tau dia.
Karena suara ponselnya terus berbunyi, akhirnya mereka berhenti. Si Laki-laki mengangkat telepon itu dan bicara dengan nada tinggi. Marah-marah.
Iya lah. Orang belum selesai mungkin. Malah datang gangguan.
Aku pun dulu pernah juga kek gitu. Pas lagi enak-enaknya terpaksa dicabut karena ada tetangga rumah yang datang mengganggu.
Yuni! Yuni! Hoiii.... teriaknya waktu itu sambil menggedor pintu. Awalnya kami abaikan saja. Kami tetap melanjutkan permainan. Kebetulan hari libur, iyakan. Jadi agak santai lah sedikit.
Kemananya orangnya ini? Apa belum bangun orang itu? Yuni! Oi, Yuni? Masih tidur kelen? Suara seseibuk itu kembali terdengar. Dia menggedor-gedor daun pintu dan daun jendela kuat-kuat. Sehingga mau tak mau kami harus menghentikan aktifitas kami itu.
Dengan jengkel, Yuni terpaksa menyahut dan membukakan pintu untuknya.
Enak kelen ya, tidur sampai siang! Nggak payah masak, nanti sebentar lagi datang mertuamu ngantar makanan. Kata ibu itu setelah pintu terbuka.
Iya. Alhamdulillah dapat mertua baik. Kata istriku. Aku tersenyum. Senang aku mendengar alasannya kala itu.
Jadi begini, Yuni. Aku mau pinjam lah uangmu dulu. Ayah si Butet belum gajian kemarin. Jadi tak ada belanja kami hari ini. Minta tolonglah dulu aku sama kau ya! Suara ibu itu terdengar memelas.
Wah, sebenarnya saya memang ada uang, Buk. Tapi rencananya mau disimpan buat biaya lahiran nanti. Kata istriku waktu itu.
Kan masih lama kau lahiran, Dek. Nanti kalau Bapak si Butet udah gajian, langsungnya aku bayar sama kau, Yuni. Kau tolonglah dulu aku ya. Mertua kau baik kali itu sama aku. Sudah lama kami berteman. Jadi, jangan pala takut kau tak kubayar. Pasti kubayar itu nanti kalau aku sudah ada uang. Katanya lagi merayu istriku. Lumayan lama juga mereka ngobrol diluar.
Ya udahlah. Tunggu Yuni tanya sama Bang Roy dulu. Kata istriku.
Tak pala kau tanya sama dia. Kalau sudah dikasinya sama kau, mana ada lagi haknya di situ. Sudah menjadi uang kau itu Yuni. Terserah mau kau kemana-in. Mana lagi ada urusan sama lakimu.
Ayyamak. Pandainya lah moncong dalam merayu. Hebatnya lagi kudengar.
Yuni masuk ke kamar dengan wajah yang cemberut.
Kenapa, Dek? tanyaku padanya.
Ntah itu. Mau pinjam duit katanya.
Berapa?
Dua ratus.
Kasi cepek aja. Bilang aja cuma ada segitu. Jangan kasi semua. Takutnya payah bayarnya. Usulku pada Yuni.
Yuni kembali keluar kamar, menemui ibu yang tadi. Dia masih menunggu di depan, entah ruang tamu atau depan pintu aku nggak tau. Karena aku tidak ikut keluar. Malu lah, aku kan masih polosan. Orang tadi healing kami belum selesai. Si Yuni kala itu minta main santai. Dia mau lama katanya. Tunggu dia keluar dulu, baru aku menyusul.
Cuma ada cepek, Buk. Terdengar suara Yuni lagi.
Dua ratus nggak ada ya?
Nggak ada.
Kemana lah kucari yang seratus lagi, ya? Atau coba dulu kau tanyakan sama lakimu Yuni, mana tau dia ada uang, mau dia menolong ibuk.
Memang nggak ada otak ibuk itu lama-lama kudengar. Bikin aku emosi aja. Udah di kasi pinjaman, malah maksa dan nggak mau pulang.
Dia masih tidur, Buk. Nggak berani Yuni membangunkan. Kata Yuni beralasan. Padahal dari tadi suara istriku itu sudah tidak enak di dengar.
Ya udah lah. Pergilah aku dulu ketempat mertuamu. Mana tau dia ada uang, mau minjamin sama aku. Oh iya, Yuni. Kutitiplah dulu si Butet di sini ya. Jahat kali dia. Suka kali minta jajan.
Lho, kok disini sih, Buk? Bapaknya mana?
Bapak si Butet kalau hari libur begini mana bisa dibangunin cepat-cepat. Tengah hari nanti belum tentu bangun dia. Kalau udah tidur, gempa pun nggak sadar dia lagi.
Lho, tapi Yuni juga masih banyak kerjaan, Buk.
Sebentarnya aku. Paling lama cuma sepuluh menit. Lagi pula, bukan susah kali ngurus si Butet ini.
Akhirnya, ibuk itu pergi dan anaknya jadi ditinggal.
Eh, tak lama ibuk itu pergi, si Butet malah nangis kejer karena ditinggal Yuni masuk kembali ke dalam kamar setelah menyalakan tivi.
Udah Bang, biarkan aja. Ayok kita lanjutkan lagi. Anggap aja suaranya, suara radio rusak.
Kami melanjutkan permainan kembali, walau dengan perasaan tak menentu. Takut kalau tiba-tiba ibu si Butet muncul lagi.
Ah, betapa indah jika mengingat masa-masa itu kembali. Setiap bangun tidur, ada istri di sampingku. Makan dihidangkan, kopi dibuatkan, dan kemauan si Ucok dituruti.
Entah kapan aku bisa merasakan kebahagian seperti itu lagi. Punya istri, punya anak, dan tinggal di rumah sendiri. Walaupun hanya sebatas rumah kontrakan.
Apa lagi kau nelpon-nelpon aku? Kan udah aku bilang aku nginap di proyek. Kenapa sibuk kali kau.
Aku tersentak ketika mendengar suara Bos yang tadi. Jauh kali rupanya pikiranku melayang, jalan-jalan ke masa lalu.
Bapak pulang dulu lah. Tengok dulu rumah! Apa nggak bisa kali rupanya proyek itu ditinggalkan sebentar? Tak kalah sengit dengan si Bapak, lawan bicaranya dalam hape ternyata juga keras. Kemungkinan, yang menelepon itu adalah istrinya.
Nggak bisa. Ini bentar lagi mau masuk bahan material. Kalau nggak ada aku, siapa nanti yang menghitungnya?
Kan bisa suruh yang lain.
Nggak bisa. Mau Wali Kota, Gubernur, bahkan Presiden sekalipun kau suruh, tetap nggak bisa orang itu menghitung ini. Cuma aku yang ahli takaran-takaran bahannya supaya bangunan itu kokoh, kuat dan tahan lama.
Bujang! Kerja main perempuan aja, banyak kali cakapnya. Pengen kali rasanya aku lempar kaca villanya itu.
Udah, Woi! Ayok mundur kita. Nampak pulak nanti dia, kita menguping pembicaraannya. Pak Mandor tadi mengajak kami kembali menjauh dari tempat itu.
Ayok, Yan! Sudah selesai orang itu. Ajakku pada Ryan yang masih mengintip, enggan beranjak dari tempat itu sembari menarik lengannya.
Takutnya, jebol pulak nanti tembok villa itu dibantai si Ucoknya dia, iyakan.
Mantap kali ceweknya, Ger! Masih muda. Lagi enak-enaknya itu.
Iya. Tapi kasihan juga. Masih muda, sudah harus melayani Om-Om. Timpal Pak Mandor, menjawab komentar si Ryan tadi.
Kalau si Ryan, mana pulak ke sana pikirannya. Bagi dia yang penting enak. Itu saja yang ada di otaknya.
Emang cewek itu siapa, Pak? tanyaku pada Pak Mandor, kepo.
Salah satu Admin disini. Tapi, ya gitulah. Kalau mau kerja, harus mau melayani si Aji itu.
Aji nama Bos itu?
Iya. Martaji.
Kami terus berjalan, menuju tempat motor terparkir, yang agak jauh dari lokasi Villa itu. Sepertinya Pak Mandor ini memang sudah menduga sebelumnya bahwa kejadian tadi sedang terjadi. Kalau tidak, ngapain juga parkir motor jauh-jauh begini.
Jadi kita kemana ini, Pak?
Balik lagi lah, ke proyek sana.
Tak lama, hapenya berbunyi.
Halo, Bos! jawabnya setelah mengangkat panggilan.
Halo Pak Arif. Bisa kemari sebentar.
Siap, Bos. Saya segera meluncur. Oh, iya Bos. Ini ada anak baru dua orang mau kerja. Apa aku bawa ke sana sekalian?
Kapan mereka masuk?
Pagi tadi, Bos.
Padahal kami datang sudah agak siangan. Belum juga kerja.
Ya udah. Bawa aja kesini.
Oke. Siap.
Pak Mandor menutup teleponnya.
Kita ke sana lagi, Pak? tanyaku pada pak Mandor yang baru aku ketahui bernama Arif. Kebetulan kami belum beranjak dari tempat dimana motor kami terparkir.
Nanti aja. Tunggu lima menit lagi. Nanti heran dia, kok baru ditelepon udah sampai.
Setelah aku amati, sepertinya ilmu mandor ini tinggi juga.
Mudah-mudahan ilmunya hanya dia pakai untuk mengakali si Bos saja. Jangan sampai mengakali kami, para pekerja. Kalau sampai dia melakukannya juga pada kami. Mati lah. Pantas anggotanya pada kabur semua.
*****Self Reminder(4)
Sembari menunggu lima sampai sepuluh menit, kami merokok dulu. Santai-santai. Pak Arif pun bercerita tentang si Bos tadi kembali.
Kadang manusia itu, ya. Sudah dikasi yang halal, masih suka nyari yang haram. Katanya membuka percakapan.
Maksudnya, Pak?
Seperti Pak Aji itu. Sudah punya istri, malah cari perempuan lain. Padahal istrinya cantik, sudah punya anak juga. Tapi masih doyan selingkuh. Jelasnya lagi.
Yah, begitulah laki-laki. Tidak pernah puas dengan satu wanita saja. Mereka ingin merasai semua bentuk, warna dan juga rupa yang bermacam-macam itu. Tapi, setelah nanti istrinya pergi meninggalkannya, baru sadar dan menyesal. Seperti diriku kini. Tak punya istri, rasanya kesepian.
Kalau laki-laki, biasa itu Pak. Apalagi banyak duit. Tinggal pilih mau pakai yang mana. Nggak guna heran lah. Sahut Ryan, menanggapi komentar Pak Arif tadi dengan nada sinis.
Sepertinya, dia membela si Bos tadi. Mungkin juga karena dia merasa tersindir dengan kata-kata Pak Arif barusan karena sifatnya juga sama. Suka gonta-ganti pasangan. Bedanya, dia belum menikah, tak punya istri, dan juga kere.
Ya udah lah. Yok berangkat kita! Ajak Pak Arif, tak menanggapi lagi komentar si Ryan tadi.
Kami sampai di depan Villa. Lalu Pak Arif menelepon si Bos tadi karena pintu Villa masih tertutup rapat. Jangan-jangan mereka masih melanjutkan aksinya di dalam sana. Main kuda-kudaan lagi. Mana tau udah nanggung, iya kan.
Tak lama, perempuan yang tadi membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk.
Penampilannya sudah rapi, tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Mantap. Cantik main dia.
Silahkan masuk, Pak! Pak Aji tadi nyuruh nunggu sebentar, ucap gadis itu ramah.
Iya, Mbak. Kata Pak Arif.
Kami masuk, dan duduk di kursi yang disediakan khusus untuk tamu.
Mau minum kopi, Pak? tanya gadis itu lagi.
Oh, tidak usah. Pak Arif menolak.
Tak lama, Bos tadi datang. Kelihatannya dia baru saja mandi.
Gini Pak Arif.
Iya, Bos.
Saya minta tolong sama Pak Arif, tolong bawa dulu anggota ke rumah. Kata istriku sudah dua hari ini toilet mampet. Tolong dulu diperbaiki.
Perlu berapa orang itu, Pak? tanya Pak Arif lagi.
Terserah Pak Arif aja. Nanti apa yang diperlukan beli aja sekalian. Rin! Kasi uang dulu untuk Pak Arif. Dia bicara pada gadis tadi.
Berapa, Pak?
Kasi aja satu juta. Cukupkan Pak Arif? tanya Bos itu pada Pak Arif.
Cukup, Pak. Nanti kalau pun kurang, biar pakai uang saya aja dulu.
Ya udah. Pak Arif pegang ini dulu. Nanti kalau kurang, besok saya tambahi. Dia menyerahkan amplop berwarna coklat pada pak Arif.
Oke, Pak.
Oh, iya Pak Arif. Ada satu lagi yang ingin saya sampaikan pada kamu.
Siap, Pak.
Nanti, kalau istriku nanya, kamu bilang aku masih sibuk. Banyak pekerjaan yang nggak bisa ditinggalkan. Oke.
Siap, Pak!
Ya udah. Pokoknya kalau dia nanya, kamu cari alsan yang bagus aja.
Oke, Pak! Aman itu.
Kami pamit, lalu pergi menuju ke rumah utama Bos tadi.
Jauh Pak rumahnya? tanyaku Pada Pak Arif.
Lumayan lah. Kira-kira setengah jam dari sini. Lumayan juga.
Setelah menunggang motor, kami langsung tancap gas mengikuti arah yang dituju oleh Pak Mandor. Mengekor dari belakang.
Jadi, kita disuruh ngapain ini, Ger? tanya Ryan padaku.
Tadi kan kau denger si Bos itu bilang apa.
Nggak dengar aku. Aku fokus sama cewek itu. Seksi kali dia, ya?
Ah, kau lagi. Rusak kali udah otak kau itu. Cocoknya di bedah aja dulu, dicuci otaknya pakai bensin, biar bersih kembali. sanggahku pada Ryan yang tak menyimak pembicaraan kami.
Coba kalau dipancing cerita Apem. Pasti semangat kali dia. Ilang terus ngantuknya.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, kami memasuki suatu komplek perumahan elit. Desain perumahan di sini bergaya Eropa. Memiliki beberapa taman untuk bermain atau pun berolah raga.
Kompleks ini punya orang tua si Aji itu juga. Kata Pak Arif, menjelaskan dari motornya.
Semua, Pak?
Dulu iya. Tapi sekarang sudah banyak yang laku terjual.
Anak Sultan juga dia, ya? sambung Ryan.
Wah, kalau di Medan, salah satu crazy rich juga lah.
Wah, mantap kali itu. Asal jangan ngikutin jejak pendahulunya aja lah. Udah bangga jadi Crazy Rich asal kota Medan. Seorang filantropi yang suka bagi-bagi rezeki juga. Eh, akhirnya malah terciduk karena modusnya terbongkar. Ternyata hanya seorang penipu. Kan bikin malu kota Medan aja itu.
Pak Arif berhenti di depan salah satu rumah, yang bentuk dan gaya rumah itu telah direnovasi sedemikian rupa. Tidak seperti yang lain. Bentuk rumah ini lebih mewah dan lebih besar dari pada bangunan yang lain.
Pak Arif turun dari motornya, lalu menekan bel hingga beberapa kali.
Tak lama, seorang wanita keluar dari dalam sana, dengan setengah berlari. Rambutnya terjurai, ajak-ajakan. Dia mengenakan kaus biru lengan pendek, dan celana pendek di atas lutut. Sehingga kulit paha wanita itu bisa terlihat dengan jelas. Putih, mulus.
Dia membukakan gembok pagar dengan tergesa-gesa. Sesekali, aku memberanikan diri untuk melirik wajah gadis itu. Wajahnya tidak begitu asing di mataku. Sepertinya, aku pernah melihat gadis itu sebelumnya. Mirip. Agak mirip dengan seseorang yang dulu pernah aku kagumi ketika duduk di bangku sekolah.
Amelia. Dia sangat mirip seperti Amelia. Raut wajahnya, kulitnya. Dan yang paling sulit untuk dilupakan adalah tatapan matanya yang redup. Matanya sipit dan indah. Sehingga enak untuk dipandang. Apalagi ketika dia tersenyum, maka keindahan mata itu akan lebih terpancar auranya.
Namun, wanita yang ada di hadapanku kini tak memiliki senyum di bibirnya. Wajahnya letih, rambutnya acak-acakan. Dan dia tampak kelelahan, sehingga tampak lebih tua dari Amelia-ku dulu.
Aku menghela napas dalam.
Pak Aji mana, Pak? tanya dia pada Pak Arif.
Masih di lokasi, Buk.
Dia nggak ikut pulang?
Tidak, Buk.
Selama dia tidak pulang, apa pernah dia keluyuran, Pak?
Wah, kalau masalah itu saya kurang tau, Buk. Setau saya Pak Aji di lokasi aja. Jarang keluar. Entah lah ketika kami sudah pulang ke rumah masing-masing.
Masih sering dia bawa cewek lain ke Villa?
Itu juga saya kurang tau. Setau saya cuma ada Admin atau tamu yang ingin melihat rumah contoh aja.
Wanita itu menghela napas.
Ya udahlah. Itu wc-nya mampet. Tolong diperbaiki.
Dia berbalik, lalu kami ikut masuk, mengikutinya.
Dari gaya, suara dan juga gerak-geriknya sangat persis seperti Amelia, yang biasa kami panggil Amel. Akan tetapi, jika dia benar-benar Amelia, kenapa dia tidak menyapaku? Tidak bicara sepatah katapun terhadapku. Lupa kah dia bahwa aku adalah sahabatnya? Orang yang pernah mencintainya, sampai kini. Apakah dia tidak pernah merasakan detakan jantung yang begitu mendebarkan, ketika kami bertemu kembali?
Ataukah perasaan ini hanya aku seorang saja yang merasakannya?
Ah, haha. Ternyata baru kusadari bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan.
Nasib! Nasib!
Nasibku tak ubah seperti sebuah pribahasa.
Gara-gara mengharap hujan turun dari langit, air di tempayan ditumpahkan.
Ya, itulah aku. Orang yang selalu berharap akan cinta dari wanita ini, dan sekarang dia bahkan tidak mengenaliku sama sekali. Dia sudah kaya sekarang. Suaminya seorang pengusaha muda dan anak dari seorang pengusaha senior juga. Punya banyak property yang menyebar di segala penjuru Kota Medan. Punya rumah pribadi yang megah dan mewah. Punya kendaraan roda empat yang bagus, yang jika kehujanan dijalan, tidak berefek sama sekali. Tidak basah. Tak perlu berteduh menunggu hujan reda.
Aku menghela napas kembali. Mengusir rasa kecewa dalam hati. Entah kenapa, aku merasa kecewa padanya, karena dia tak mengenaliku lagi.
Apakah dia benar-benar Amelia, atau bukan sih?
*****Self Reminder(5)
Wanita tadi masuk ke dalam kamar pribadinya. Seketika itu pula, langkah Pak Arif terhenti, begitu juga dengan langkahku dan juga Ryan. Kami terdiam di ruang tamu.
Masuk aja, Pak! WC-nya ada di dalam. Teriak Amel dari dalam sana.
Dengan hati-hati kami masuk. Untung tadi datang bertiga. Andai cuma aku sendiri yang datang ke sini, mungkin aku akan pingsan atau mati mendadak karena terkena serangan jantung. Ini saja, dadaku berdebar-debar tak karu-karuan.
Aku kembali melirik Amel, yang kini sedang rebahan di ranjang. Bermain dengan anaknya yang masih kecil.
Maaf, Pak. Ada kotorannya. Udah dua hari mampet, belum dibetulin. Katanya sungkan.
Nggak apa-apa, Mbak. Ini memang tugas kami. Boleh kami cek dulu? Kata Pak Arif, minta izin.
Silahkan, Pak.
Kami pun masuk kedalam toilet yang masih satu ruangan dengan kamar utama Amelia. Seketika, aroma menyengat menguar dari dalam sana.
Bujang! Cantik-cantik, taiknya bau juga ternyata. Aku saja sampai pengen muntah. Perutku terasa mual.
Kira-kira apa_nya ini yang bermasalah? Apa septic tanknya kepenuhan, ya? gumam Pak Arif.
Eh, kau! Siapa tadi namamu? tanya dia lagi, menegurku.
Roy, Pak.
Oh, iya. Tolong dulu kau siram air banyak-banyak. Biar aku sama si Ryan mengecek ke septic tanknya.
Si Pantek ini lagi. Malah awak pulak yang disuruhnya tinggal di sini. Sedangkan dia pergi keluar. Tinggi betul ilmunya.
Oke, Pak.
Mau nggak mau, harus dikerjakan juga lah iya kan. Namanya juga kuli. Makanya, jangan mau kelen miskin. Nggak enak lho jadi orang miskin itu. Gini lah, kerjaannya entah apa-apa saja.
Mbak! Septic tanknya ada disebelah mana ya? tanya Pak Arif ke Amel.
Aku sebut aja Amel ya. Soalnya wajahnya emang mirip banget sama Amel teman sekolahku dulu.
Ada di sebelah belakang, Pak. Kalau tidak salah. Amel pun kurang tau, jawabnya menyahuti pertanyaan Pak Arif tadi.
Eh, beneran, ternyata dia Amel! Detak jantungku semakin kuat. Jedag jedug seperti musik Tiktok.
Oh. Coba kami cek dulu kebelakang. Kata Pak Mandor. Lalu, mereka pun pergi keluar.
Lama lah itu. Santai dulu orang itu di sana, merokok satu batang. Baru balik lagi ke sini. Bujang! Bujang! Tau kali lah aku jiwa-jiwa orang yang kek gitu.
Sedangkan aku mulai menyiram closet yang tumpat tadi sesuai dengan yang diperintah oleh Pak Arif dengan air banyak-banyak, sehingga isi dalam lobang itu keluar, meluber-luber dari jalur.
Anjay, Jorok banget. Bau pulak itu. Gimana suaminya mau betah tinggal di rumah, orang taiknya aja bauk banget kek gini.
Berkali-kali aku terpaksa membuang ludah dan menahan napas. Ternyata istri dari Pak Aji ini merupakan tipe istri super jorok, seperti yang pernah viral di grup facebook waktu itu, karena ada yang plagiat novelnya. Malah lebih jorok lagi yang ini.
Untungnya, di dalam kamar mandi tersedia ember besar, untuk menyiram lantai keramik yang kececeran kotoran berwarna kuning kecoklatan itu. Kalau tidak, bisa hajab juga aku. Sempat nyiramnya pakai gayung, iya kan. Kapan siapnya?
Kau Roy, bukan? Tiba-tiba saja terdengar suara Amelia dari arah belakangku, yang membuat jantungku berhenti berdetak sejenak.
Eh! Aku memegangi dadaku yang dari tadi bergejolak. Be_benar, Buk. Ibuk Amelia, bukan? jawabku dengan terbata, serta bertanya balik padanya. Untuk memastikan kebenaran sesungguhnya. Mumpung dia lagi ngajak aku ngobrol.
Iya, jawabnya, pula. Pantas tadi pas aku melihat kamu, seperti pernah kenal. Tapi lupa kenal dimana. Ternyata beneran bahwa kamu si Roy. Katanya lagi meneruskan ucapannya.
Kamu sekarang tinggal di mana, Roy? tanya dia ramah.
Deli tua, Buk.
Kok manggil Ibuk, sih? Apa aku terlalu tua di mata kamu, Roy? Amelia terlihat tidak senang atas gelar yang aku sematkan padanya barusan.
Eh, jadi mau manggil apa? Aku semakin salah tingkah dibuatnya. Sebab dari dulu kami memang nyaris tidak pernah bicara. Mulutku akan tertutup rapat ketika dia menyapaku, padahal dia hanya menagih uang buku atau uang kas sekolah waktu itu. Dia merupakan bendahara, atau sekretaris dikelas kami. Pokoknya, setiap tahun dia pasti terpilih menjadi salah satu petugas atau penanggung jawab kelas.
Panggil nama aja.
Tapi nggak enak sama Bapak, Buk. Eh. Spontan aku menutup mulutku kembali. Keceplosan.
Kamu udah lama kerja sama dia, Roy?
Belum sempat menjawab, suara Pak Arif dan Ryan terdengar dari arah ruang tamu. Tak lama, kepala mereka sudah nongol di ambang pintu, yang membuat Amelia menyingkir, kembali ke atas ranjangnya.
Septic tank-nya aman, Roy. Nggak ada masalah. Berarti mampetnya di pipanya ini. Coba dulu kau sodok, Roy! Perintah Mandor itu lagi.
Pakai apa nyoloknya, Pak? Apa mau pakai gigi? sahutku kesal. Asal ngomong aja dia. Peralatan bukan dia sediakan sebelumnya.
Oh, iya. Berarti harus beli juga ini ya. Pakai pipa bisa nggak itu kira-kira? Pak Arif garuk-garuk kepala.
Sudah dikasi satu juta buat pegangan, masak perkara beli pipa aja udah gatal kepalanya. Nampak kali jiwa koruptornya itu ya.
Bisa, Pak. Tapi kalau ada, lebih bagus pakai Rotan. Batangnya lebih lentur dan tidak mudah patah.
Dimana ada jual Rotan?
Wah, kalau itu saya tidak tau, Pak. Tapi kalau jual Holat saya tau.
Apa itu Holat? tanya dia bingung.
Holat itu adalah rumah makan yang menjual sayur masak berbahan campuran tunas Rotan, atau umbut Rotan yang sangat muda.
Jadi, apa hubungannya sama ini? Dia terlihat tambah bingung.
Udah hampir jam dua belas ini, Pak. Nanti Bapak keluar, pergi ke rumah makan Holat, tanya sama mereka dari mana dapat umbut Rotan. Terus, sekalian beli nasi untuk makan siang kita.
Oh, begitu maksudnya. Dia melirik arloji yang melingkar di lengannya. Kalau nggak ada Rotan, aku beli pipa aja, ya.
Terserah Bapak aja. Kalau nggak ada Rumah Makan Holat, beli nasinya di Rumah Makan Padang aja, Pak.
Kalau kau, ya. Kerja aja belum, sudah minta makan. Dia geleng-geleng kepala, melirikku.
Sudah waktunya ini, Pak. Orang memang adanya tadi uang di kasi suami si Amel sama dia, iya kan. Hak awak juga itu. Harus segera diminta. Nanti keenakan dia, pura-pura lupa. Padahal yang kerja kotor-kotoran kan, awak. Masak dia yang mau enak sendirian. Mana bisa.
Ayok lah, Ryan. Kawanin aku dulu mencari pipa itu.
Mereka kembali pergi. Ibuk mau titip nasi sekalian? tanya Pak Arif pada Amel.
Nggak usah, Pak. Sebentar lagi katering langganan saya datang, jawabnya.
Pas Pak Arif yang memanggil dia dengan sebutan Ibuk, diam aja dia. Pas awak yang bilang ibuk, langsung marah. Maksudnya apa itu? Padahal kan Pak Arif lebih tua dari aku. Dasar aneh.
Oh.
Mereka benar-benar sudah pergi. Aku melanjutkan pekerjaanku, kembali menyiram kloset setelah airnya sedikit berkurang. Biar jangan jorok kali nanti. Walaupun isinya malah nyebar kemana-mana kembali.
Roy! Suara Amelia kembali memanggilku.
Eh, aku menoleh. Mengintip dari dalam kamar mandi.
Sudah lama kamu kerja sama Bang Aji? tanya dia lagi.
Baru hari ini, Buk. Eh, ibuk lagi.
Kok manggil ibuk lagi sih, Roy? Kamu itu nyebelin tau nggak sih. Dia kembali protes.
Wajahnya yang tadi kusut, kini tambah cemberut.
Apa sampai segitunya jika perempuan itu disebut ibu? Kan dia memang sudah ibu-ibu. Kok nggak mau nerima kenyataan kalau dia sudah tua, sih?
Eh, maaf. Jadi saya harus panggil kamu apa tadi? Aku lupa, dia tadi nyuruh aku manggil dia apa. Otakku nggak bisa fokus sih.
Panggil Amel aja, napa! Kan kita masih sebaya, Roy. Malah tua-an kamu lagi. Ini aja penampilan kamu sudah seperti kakek-kakek.
Waduh. Kalau ini bukan cuma merendahkan lagi. Tapi juga sudah menghina gue. Sialan juga ini anak. Pantas lakinya malas pulang.
Ngomong-ngomong, kamu udah nikah apa belum sih, Roy? tanya dia lagi. Kali ini dia kembali datang mendekatiku. Membawa sebuah kursi dan duduk di dekat pintu kamar mandi. Seperti sedang memandori aktifitasku.
Sudah, Mbak. Eh, Buk. Eh, Aku kembali menutup mulut. Bingung sih harus manggil dia apa. Soalnya nggak enak banget jika harus memanggil nama. Kesannya jadi sok akrab dan sok sebaya juga.
Memang secara umur kami masih sebaya. Akan tetapi secara derajat kan aku sudah sangat jauh dibawah dia. Rumah dia aja gedenya minta ampun. Sudah kek istana aja saking mewahnya. Sedangkan aku. Aku ini siapa lah? Cuma kuli bangunan yang bekerja di proyek suaminya. Nggak selevel banget sama dia, bukan?
Ah, segitu mindernya kah aku. Sehingga aku selalu merasa rendah diri dimata orang lain. Atau karena ini merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang, dimana diriku selalu direndahkan oleh orang-orang di sekitarku sehingga aku merasa selalu tidak pantas dibandingkan dengan orang lain. Aku merasa tidak percaya diri, rendah dan juga hina.
Dah lah, Roy. Nggak asik pun ngomong sama kamu. Nyebelin banget. Padahal aku mau curhat tadi.
*****Self Reminder(6) Dah lah, Roy. Nggak asik pun ngomong sama kamu. Nyebelin banget. Padahal aku mau curhat tadi.
Dia kembali pergi, menghampiri anaknya yang menangis.
Cuma kalau dipikir-pikir, kenapa rumah dia begitu sepi. Nggak ada orang sama sekali. Yang ada hanya suara tivi yang menyala, walaupun tidak ada yang menontonnya.
Kamu udah punya anak juga, Roy? tanya dia lagi dari sana. Setengah berteriak. Aku nggak tau dia sedang ngapain. Soalnya nggak terlihat dari dalam sini. Mau ngintip, takut pas dia sedang menyusui anaknya. Soalnya kan tadi anaknya sedang menangis. Sekarang sudah diam, anteng. Mungkin mulutnya udah disumpal pakai pentil_asi.
Takutnya, si Ucok malah ngerecokin pulak nanti. Kan gawat jika sampai si Ucok ikut-ikutan minta dikeloni sama dia. Tau lah kelen betapa manjanya si Ucokku ini kan.
Sudah, Mbak. Kata Mbaknya sengaja aku pelanin, agar dia tidak dengar.
Anak kamu sudah berapa?
Satu aja.
Cewek, apa cowok?
Cewek, Mbak.
Mbak lagi. Mbak lagi. Dia kembali protes. Namun aku tersenyum. Lucu melihat dia marah.
Neng Nong! Suara bel berbunyi. Nyaring hingga menggema di ruangan pribadi Amel. Ternyata pengeras suaranya ada di sini. Pantas dia langsung dengar jika ada orang yang datang menekan bel itu.
Roy, tolong tengok-in Aci dulu ya! Aku mau ke depan sebentar. Mungkin itu kateringan aku yang datang.
Aku mengintip ke arah ranjang, tempat Amel bicara. Posisinya sedang duduk membenahi bagian dadanya yang belum tertutup seutuhnya. Sehingga tampaklah sebuah gunung Indah sedang terbuka. Putih, mulus yang masih menjulur.
Oih, Mak. Sampai gemetaran lutut aku, Bah.
Sebelum dia melihat ke sini, aku kembali sembunyi.
Roy! Tolong kau tengok kan dulu anak aku ya! Suaranya semakin dekat. Lalu tiba-tiba sudah berada di belakangku.
Iya, Buk.
Iya, Buk. Iya, Buk. Ibuk kepala kau lah, Roy.
Aduh. Ternyata dia galak juga. Sama seperti Yuni dulu.
Setelah Amel pergi, anaknya nangis lagi. Malah nangisnya kencang pula. Dengan terpaksa, aku membasuh tangan, lalu mendekati anak itu. Kulitnya putih bersih mirip dengan ibunya. Maka seketika itu pula, teringat lah aku pada Vania, putri semata wayangku itu. Usianya kini sudah hampir satu tahun. Dulu, ketika aku tinggalkan dia masih sangat kecil. Belum genap dua bulan. Kulitnya juga putih bersih. Tapi kata orang, kulit anak bayi itu bisa berubah-ubah.
Kalau sekarang, aku tak tau lagi keadaannya entah seperti apa. Kata ibuku, dia sudah mulai bisa merangkak, entah merayap, entah pun sudah berjalan.
Sebenarnya aku sangat-sangat ingin turut andil dalam merawatnya, mendampingi tumbuh kembangnya. Namun sampai saat ini belum diijinkan oleh Yuni. Bahkan dia sampai mengancam ibuku, jika sampai aku berani menyentuh anaknya, atau menampakkan batang hidung di rumah orang tuanya, maka dia tidak akan mengijinkan ibu untuk menjenguk Vania lagi.
Makanya, ibu sudah tidak pernah membahas masalah rumah tangga kami lagi. Mungkin pun ibu sudah tau penyebab kami berpisah. Haha. Berpisah karena hal sepele saja. Sungguh memalukan.
Aku menggendong bayi mungil berjenis kelamin perempuan itu. Rambutnya belum tumbuh sempurna. Hanya ada dibeberapa bagian saja yang ditumbuhi bulu halus. Perkara usia, aku tidak tau. Walaupun sudah punya anak, namun aku tidak bisa menerka-nerka usianya.
Ibunya lama banget pula. Untung, ketika berada didalam gendonganku, dia diam tak bersuara lagi. Apakah anak ini membutuhkan kasih sayang seorang ayah?
Eh, mau dia sama kau ya, Roy! Lagi-lagi suara Amel mengagetkanku.
Iya, nih. Tadi dia nangis.
Iya. Aku dengar. Oh, iya Roy. Anak kamu udah umur berapa bulan?
Amel menaruh makanan tadi di atas meja disudut ruangan. Lalu cuci tangan di westafel yang masih satu ruangan di dalam kamar besar ini.
Kok rada-rada aneh sih. Kok kamarnya ada dapurnya. Begitu juga dengan Kulkas. Kok pada numpuk di sini semua.
Kurang tau aku, Mel. Soalnya anak aku istri yang rawat. Sedangkan kami udah berpisah.
Lho. Kau duda, Roy? tanya dia lagi.
Ya, begitulah. Cuman, surat cerainya belum ada.
Sudah lama kalian pisah?
Sudah hampir satu tahun.
Kenapa pisah?
Aku menghela napas berat. Sampai saat ini, ketika ada orang yang bertanya tentang penyebab kandasnya bahtera rumah tangga kami sehingga aku dan Yuni sampai berpisah, tak pernah bisa kujawab. Aku mau ngomong apa, coba?
Ingin jujur, aku malu. Ingin bohong, aku tak pandai.
Entah lah. Mungkin sudah habis jodohnya. Hanya kata-kata itu yang bisa terlontar dari mulutku.
Amel tertegun. Menatap sendu padaku. Dari dulu, tatapan matanya itu yang paling aku suka. Bahkan, tatapan mata itu yang selalu mengganggu pikiranku. Selalu mengingatkanku pada dirinya.
Tiba-tiba saja, Amel berjalan, menuju ke arahku. Dia mendekat, lalu berdiri persis di depanku. Matanya menatap mataku lekat.
Jantungku kembali berdetak kencang. Aliran darahku berdesir kuat. Nyes....
Roy! Apa kamu kesepian? bisik Amel di dekatku.
Aku gugup. Bahkan tak sanggup lagi untuk bersuara. Tiba-tiba saja, bibirku serasa terkunci. Tak sanggup untuk berkata-kata lagi.
Amel semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku. Lalu, mencoba untuk meraih bibirku dengan bibirnya. Anehnya, aku hanya diam, pasrah dengan apa yang dia perbuat. Tak menolak sedikitpun sentuhannya. Aku menikmati setiap kecupan yang dia ciptakan. Lama, hingga beberapa menit lamanya.
Rasanya seperti mimpi. Ya, aku serasa melayang diangkasa.
Aku sering melakukannya dengan Yuni, namun sensasinya tak seperti hari ini.
Kecupan Amel sangat berbeda. Entahpun rasa itu muncul karena aku sudah lama memendam perasaan terhadapnya.
Amel melepas bibirnya, lalu kembali berbisik.
Roy! Apakah kau bisa membawaku pergi dari sini?
Taulah aku bahwa keadaannya saat ini sedang tertekan. Tidak bahagia. Dan juga kesepian.
Roy! bisiknya sekali lagi. Dengan bibir yang agak terbuka. Rambutnya sedikit acak-acakan walaupun sudah diikat dengan ikat rambut karet gelang. Bibirnya berwarna pink. Saat ini dia sedang tidak memakai riasan. Bibir itu merupakan warna kulit aslinya.
Kau tau Ger, bagaimana cara melihat warna Apem seseorang itu dari luar? Teringatlah aku pertanyaan si Ryan beberapa bulan yang lalu, ketika kami masih bekerja ditempat yang lama. Ketika itu aku sedang bahagia-bahagianya.
Nggak tau. Kek mana rupanya? tanyaku kala itu.
Kau lihat aja warna bibirnya. Kalau bibirnya warna hitam, berarti dalemannya juga hitam. Kalau bibirnya pink, berarti dalemannya juga pink. Kalau bibirnya pucat, berarti dalemannya juga pucat.
Opo iyo? Aku tak percaya.
Iya. Kalau kau nggak percaya, tanya aja sama aku, ucapnya bangga.
Iya lah. Orang Cucu kakek Sugiono. Pasti hapal lah diluar nikah.
Walaupun sampai saat ini aku belum dapat membuktikan ucapan si Ryan itu. Benar atau cuma karangan dia saja. Sebab sampai saat ini, hanya Apem milik si Yuni saja yang pernah aku teliti, sampai sedetail mungkin.
Aku menghela napas, untuk yang kesekian kalinya. Entah kenapa, tiba-tiba saja jiwa Scientist_ku kembali bergejolak. Ingin melakukan sebuah penelitian lebih dalam terhadap wanita ini. Terutama penelitian tentang Apem miliknya itu.
Wanita yang dari dulu sangat aku kagumi.
*****Self Reminder(7)
Roy! bisik Amel sekali lagi.
Sebelum dia sempat bicara, aku langsung melibas bibirnya yang berwarna pink itu. Rasanya, aku tak sanggup menahan diri lebih lama untuk tidak menyentuhnya. Dari jauh hari sebelum hari ini, aku sangat mendambakan Amelia. Kalian tau itu.
Dimana hampir setiap malam aku memikirkannya, berharap kami berdua bisa bersatu, memadu kasih melepas rindu di atas ranjang seperti saat ini. Rasa-rasanya seperti sebuah mimpi yang telah menjadi kenyataan.
Bentuk bibir Amel dan Yuni cukup jauh berbeda. Kalau bibir Yuni hitam dan tebal, sedangkan bibir Amel merah jambu dan tipis. Bibir Amel terasa lebih lembut. Sedangkan bibir Yuni terasa lebih kenyal.
Masalah kehangatan, baik Yuni maupun Amel sama-sama hangat, apalagi ketika dalam keadaan haus-hausnya seperti ini. Tapi bukan haus karena kekurangan cairan, melainkan haus karena jarang mendapat sentuhan.
Aku meletakkan bayi mungil Amel kembali ke atas ranjang. Lalu, menarik tubuh Amel yang aduhai molek itu untuk ikut duduk bersamaku. Di luar dugaan, Amel malah menindih tubuhku hingga aku telentang. Lalu, dengan beringas, dia kembali mencumbuiku.
Ckckckck. Sampai bunyi-bunyi.
Ternyata, Amel liar juga. Layaknya seperti seekor Serigala yang sedang kelaparan.
Kalau sudah begini, sama seperti yang sudah-sudah yang biasa aku lakukan dengan Yuni tempo dulu. Jari jemariku pun tak tinggal diam, langsung piknik bergerilya kemana-mana. Tak terkontrol lagi.
Apa yang mau ditakutkan, iya kan. Orang statusku aja seorang duda. Sedangkan Amel sendiri adalah seorang istri yang jarang dibelai. Kalau dia sampai hamil, kan dia punya suami. Jadi wajar dong kalau dia hamil. Seumpama kelak suaminya tidak mau bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya, ya sudah, biar aku saja yang menanggung jawabinya. Lumayan, dapat istri yang gratisan.
Tekadku semakin bulat, tatkala mengingat kejadian pagi tadi di Villa proyek itu. Aku melihat langsung dengan mata kepalaku sendiri bahwa suami Amel juga selingkuh.
Jadi, apa yang aku lakukan saat ini anggap saja sebagai karma atas perbuatannya yang telah melakukan sebuah kecurangan dibelakang istrinya. Dan aku juga ingin membantu Amel untuk mengatasi masalahnya. Karena aku tau betul bagaimana rasanya kalau sedang kepengen namun tak dapat tersalurkan keinginan itu dengan baik. Rasanya kesal, marah, jengkel dan bawaannya selalu emosi dan juga stres. Karena berhubungan intim itu merupakan salah satu kebutuhan yang mesti dipenuhi. Sama halnya ketika seseorang sedang lapar, maka dia harus makan untuk mengobati rasa laparnya itu.
Mungkin Amel memang sedang membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari seorang laki-laki sebagai pengganti suaminya. Dan aku siap untuk hal itu. Kapan pun dan di manapun. Aku siap melayani dua puluh empat jam, nonstop. Hanya demi dia.
Neng Nong! Neng Nong!
Belum sempat membuka semuanya, tiba-tiba suara bel kembali berbunyi. Tentu saja aku dan Amel merasa panik. Kami sampai lupa bahwa ada Pak Arif dan Ryan yang sedang keluar tadi dan akan kembali lagi ke sini.
Setelah merapikan pakaiannya, Amel menyuruhku kembali masuk ke kamar mandi. Sedangkan dia, keluar dari kamar untuk membukakan pintu pagar agar Pak Arif dan juga Ryan bisa masuk kedalam.
Untung pagar rumah tadi di kunci oleh Amel. Jika tidak, kami sudah ketahuan.
Walaupun agak kesal, tapi aku juga merasa bersyukur atas pulangnya mereka. Sebab jika mereka tidak pulang, kemungkinan besar aku telah berzina, dengan istri bosku sendiri. Gila. Benar-benar gila. Mengapa Amel sampai nekat melakukan hal hina serendah itu. Apakah dia benar-benar frustasi dan butuh hiburan? Atau dia memang ingin balas dendam pada suaminya.
Tunggu dulu. Kalau nggak salah ingat, tadi Amel sempat mengucapkan sesuatu padaku. Tapi apa? Kata-kata apa tadi yang dia bisikkan itu?
Aku mencoba mengingat-ingat kembali kata-kata Amel tadi. Namun aku benar-benar lupa.
Ah, payahnya otakku ini. Masih muda kok sudah pikun. Pantas Amel tadi mengataiku dengan mengatakan bahwa diriku seperti kakek-kakek. Bukan cuma fisik, namun daya ingatku juga sudah usang sebelum waktunya.
Roy! Makan aja kita dulu. Suara Pak Arif memanggilku dari luar.
Mendengar panggilannya, aku segera mencuci tangan, kaki dan juga muka. Lalu menyetel wajah lelah karena capek dan juga lapar. Begitu keluar dari kamar mandi, aku melihat Amel sudah berada di atas ranjangnya kembali.
Roy, tutup aja pintu kamar mandinya. Perintahnya padaku.
Aku mengangguk, lalu menutup pintu itu agar bau menyengat tidak keluar dari sana.
Roy! Kalau di depan orang, kamu pura-pura nggak kenal aja ya sama aku. Jangan sampai ada yang tau bahwa kita saling kenal. Apalagi Pak Arif, bisik Amel sebelum aku keluar dari kamarnya.
Aku kembali mengangguk.
Kami makan di teras rumah. Sedangkan Amel makan di kamarnya. Baru aku tau bahwa dia tahan bau seperti itu. Entah pun karena hidungnya sudah kebal, sehingga nggak terlalu peka lagi.
Ngapain aja kelen di rumah tadi, Ger? tanya Ryan padaku. Dengan setengah berbisik.
Ngapain pulak. Ya nyiram itu lah.
Ngapain kau siram-siram. Orang mampet kek gitu.
Supaya jangan tebal kali.
Ryan diam. Namun aku tau jika otaknya pasti berpikiran yang macam-macam tentangku.
Abis ini kita gerak terus ya. Soalnya Pak Aji udah nelponin dari tadi. Kata Pak Arif.
Iya, Pak.
Di sela-sela makan, aku kembali memikirkan tentang ucapan Amel tadi. Mencoba untuk mengingat-ingatnya kembali. Apa ya?
Roy! Apakah kamu kesepian?
Ya, kalau tidak salah Amel mengucapkan kata-kata itu sebelum melibas bibirku.
Roy! Bisakah kau membawaku keluar dari tempat ini?
Keluar atau pergi tadi ya? Hemmm....
Entahlah. Intinya Amel tidak merasa bahagia di rumah ini. Aku yakin itu. Tapi kenapa dia tidak pergi saja dari rumah ini jika dia tidak betah tinggal di sini. Kenapa harus bertahan.
Pak! Kenapa rumah ini sepi? Kok nggak ada orang sama sekali. Apakah istri Pak Aji tinggal sendirian? tanyaku pada Pak Arif dengan berbisik agar Amel tidak mendengar obrolan kami.
Iya. Dia tinggal sendirian, Jawab Pak Arif, acuh tak acuh. Tampaknya dia tidak tertarik dengan pertanyaanku barusan.
Kenapa?
Pak Aji doyan selingkuh. Dulu pernah punya pembantu, eh malah diselingkuhinya juga di rumah ini. Ketahuannya, ya ketika Buk Amel sedang hamil besar.
Walaupun terkesan cuek, dia masih mau menjawab pertanyaanku. Oh, ada baiknya jika aku pancing aja lagi. Mana tau dia mau bercerita tentang misteri rumah ini agar aku bisa mendapat sedikit gambaran tentang biduk rumah tangga Amel dengan suaminya.
Oh, begitu. Kenapa dia tidak minta dicerai, Pak?
Wah, kalau itu saya tidak tau. Saya juga tidak terlalu ikut campur dengan urusan rumah tangga mereka.
Oh, iya ya. Jadi malu aku sama Pak Arif, karena terlalu ikut campur dengan urusan pribadi orang lain. Padahal kami baru kenal.
Dah lah, nggak kutanya lagi. Takutnya Pak Arif malah curiga sama aku nanti.
Selesai makan, kami langsung bergerak untuk mengeksekusi wc yang mampet tadi.
Sat set sat set. Selesai.
Setelah di siram dengan air yang banyak, ternyata alirannya sudah lancar. Syukurlah. Nggak perlu mesti dibongkar-bongkar segala. Kalau tidak, jadi kerjaan juga itu.
Lalu, kami permisi pulang. Sengaja aku keluar agak belakangan, berharap Amel masih mau bicara padaku. Barang sepatah kata pun jadi lah.
Pulang sekarang kelen, Roy? tanya dia setelah situasi aman. Hanya ada kami berdua dikamarnya.
Iya.
Nomor whatsapp kamu berapa? tanya dia lagi.
Aku nggak punya, jawabku sembari nyengir.
Kamu nggak punya Wahatsapp?
Aku menggeleng.
Lho, kok bisa?
Aku nggak punya hape.
Oh.
Untuk mengurangi rasa curiga Ryan dan Pak Arif, aku pun bergegas keluar.
Padahal aku mau cerita banyak sama kamu, Roy.
Langkahku terhenti, lalu berbalik, kembali menoleh ke arahnya.
Apa? Dia mau bercerita banyak padaku? Apa dia serius?
*****Self Reminder(8)
Apa? Dia mau bercerita banyak padaku? Apa dia serius?
Andai tidak memikirkan Pak Arif dan Ryan ada diluar, aku akan duduk, mendengarkan keluh kesah Amel, sembari membelai rambutnya. Menyandarkan kepalanya ke bahuku. Lalu menghibur dan menguatkan hatinya agar tidak rapuh. Dan akan senantiasa berusaha membuatnya ceria sepanjang hari.
Kalau begitu, aku minta nomor kamu aja. Kata-kata itu spontan keluar dari mulutku. Padahal, aku tidak punya hape. Bagaimana cara aku menghubunginya. Nggak mungkin lah aku pinjam hape Ryan. Yang ada hubungan kami akan ketahuan sama dia. Taulah Ryan, kan. Detektif juga itu.
Oh iya. Tunggu sebentar. Amel kembali berlari ke kamarnya. Tak lama kemudian, dia balik lagi. Nah, Roy. Untuk kamu aja. Aku baru ingat ada hape tidak terpakai di laci. Di situ ada nomor aku juga. Nanti langsung hubungi aku ya.
Aku menerima benda pipih pemberiannya. Lalu memasukkannya kedalam saku celanaku.
Aku cabut, ya! Aku pamit padanya.
Belum juga dimasukin, Roy, jawabnya dengan nada menggoda.
Waduh. Bahaya juga ini cewek.
Aku menatap wajahnya sekali lagi. Ingin memastikan apakah dia serius atau cuma bercanda.
Amelia mengulum senyum, sembari melirikku. Dia tampak bahagia karena berhasil mempermainkanku. Dengan sifatnya yang opensif, setidaknya, aku tak begitu canggung lagi terhadapnya.
Kalau si Ucok jangan pala kelen tanya. Langsung tersentak lah dia. Bangun dari tidurnya. Apalagi tadi dia gagal mengeksekusi, iya kan. Pasti pening kali itu kepala otaknya.
Ya udah. Aku pamit.
Ya.
Eh, kok cuma iya doang. Nggak minta dicium gitu?
Aku keluar, yang diikuti oleh Amel dari belakang, mengantar hingga ke pintu pagar.
Bahagianya jika punya istri dan rumah semewah ini. Andai aku jadi suaminya, mungkin aku akan betah berlama-lama tinggal di rumah. Main sama anak dan juga istri.
Aku menghela napas. Heran sama yang namanya laki-laki. Kenapa mereka tak pernah merasa puas dengan satu orang perempuan. Kenapa harus mencari, mencari dan mencari lagi.
Apem pink? Menurut analisaku, Si Amel punya itu.
*
Aku curiga sama kau, Ger. Jangan-jangan ada main kau sama istri Bos itu. Tuding Ryan ketika dalam perjalanan, kembali ke proyek bangunan.
Maksudnya? Pura-pura lugu ajalah awak, iya kan.
Kau sama istri Bos itu. Ngapain lagi kau di dalam lama-lama berdua sama dia. Jangan-jangan ada Udang dibalik bakwan kelen ini.
Ah, kau Yan. Jelek kali pemikiran kau terhadapku. Jangan kau samakan semua orang persis seperti dirimu. Karena tidak semua orang itu sama sifatnya seperti dirimu. Udah. Paham kau itu? ucapku padanya, menegaskan bahwa aku bukanlah dia.
Agak sok-sok bijaklah awak sedikit, iya kan. Dari pada dia semakin curiga dan terus bertanya. Takutnya malah bocor rahasia negara nanti.
Sempat bocor, apa nggak nyawa itu taruhannya. Soalnya, yang awak mainkan ini bukan istri orang sembarangan pula.
Kami sampai di proyek, berkenalan dengan para pekerja yang lain. Lalu kembali menemui Pak Aji di kantornya.
Mau kerja sudah tanggung. Kata Pak Arif besok aja kami baru masuk. Hari ini santai aja dulu. Sudah cair kok dua ratus ribu, satu orang. Lumayan lah. Apalagi aku tadi dikasi bonus ciuman dan juga hape, iya kan. Udah untung banyak aku itu.
Gimana Pak Arif? Apa sudah beres toiletnya? tanya Pak Aji begitu kami sampai di kantornya.
Kantor dan Villa sebenarnya sama aja. Masih satu ruangan sama yang kami datangi pagi tadi. Bedanya, sekarang Pak Aji sudah sendirian. Cewek yang tadi sudah tidak ada disini lagi. Entahlah pulak dia sembunyi dalam kamar ya.
Sudah, Pak.
Oh. Tadi Amel ada ngomong sesuatu sama Pak Arif? tanya dia lagi.
Nggak ada, Pak. Cuma nanya kok Pak Aji tidak ikut pulang. Gitu aja.
Terus, Pak Arif bilang apa?
Saya bilang sedang sibuk aja, Pak.
Oh. Dia manggut-manggut.
Kelen, siapa tadi namanya? Dia beralih kepada kami.
Saya Ryan, Pak.
Saya Roy, Pak.
Tinggal dimana?
Deli tua.
Jauh.
Iya, Pak.
Sudah berkeluarga?
Saya belum, Pak, jawab Ryan.
Saya sudah, Pak. Tapi udah pisah.
Kenapa pisah?
Biasa, Pak. Masalah ekonomi.
Oh. Jadi rencananya gimana? Apa kelen pulang pergi dari sana ke sini?
Rencananya, mau mandah ke sini aja sih, Pak. Itu pun kalau Bapak ijinkan.
Ya boleh-boleh aja. Malah lebih bagus. Dari pada pulang pergi, capek-capek di jalan. Apalagi kelen naik kereta. Apa nggak capek setiap hari?
Capek sih, Pak.
Inipun karena ibuku yang maksa tadi pagi. Kalau dia tidak memaksa dan mengusirku dari rumah, mana mungkin aku bisa bertemu dengan Amel kembali. Betul Lah, naluri seorang ibu itu sangat kuat pada anaknya.
Oh, iya. Kira-kira kelen ada kenalan cewek cantik nggak di sana?
Aku dan Ryan saling menoleh. Lalu, sama-sama menggeleng.
Mana ada cewek cantik yang mau kenalan sama kami. Apa yang ingin mereka harapkan dari kami ini, coba? Goodloking, nggak. Tajir juga enggak. Yang ada cuma nyusahin dan jadi beban keluarga saja.
Bukannya ingin merendahkan diri sendiri. Tapi cukup sadar diri ajalah. Sebelum orang lain yang mengingatkannya.
Oh, iya. Pernah nggak kelen ditegur orang seperti itu?
Kalau aku dulu sering. Bahkan guru aku sendiri pernah negur aku ketika ribut dikelas.
Dia bilang gini. Roy! Memang kau nggak bisa diam ya. Sudah jelek, miskin, bapaknya kang bangunan. Entah apa yang mau kau sombong kan.
Jleb. Seketika mental langsung jatuh dari langit ketujuh sampai ke bumi. Serasa, harga diri terinjak-injak.
Setelah itu, malah diketawain sama teman satu kelas dan mereka juga ikut-ikutan mengejekku. Sedih, nggak?
Nanti kalau kelen tau ada cewek cantik, bilang sama aku ya. Biar kita booking. Kalau aku booking cewek, kelen mau makai juga, nggak?
Aku melirik ke Pak Arif. Agak segan ngomongin hal kek gini di depan orang tua itu.
Kalau aku mau-mau saja. Asal ceweknya cantik. Kata Ryan. Dasar cucu Sugiono. Tak pandang bulu dan tempat. Asal ada celah, mau aja dia.
Bah, kalau cewekku mana ada yang jelek. Nggak percaya tanya sama Pak Arif. Kata Pak Aji lagi.
Pak Aji ini sebenarnya masih muda. Cuma, karena bentuk tubuhnya yang tegap berisi, dan juga berwibawa, jadi terkesan terlihat agak tua. Walaupun aku tak dapat menebak berapa umur pastinya. Entah pun masih seumuran sama aku juga.
Aku dan Ryan menoleh pada pak Arif. Tua-tua keladi juga rupanya si Kawan ini.
Pak Arif mengangguk, sembari tersenyum.
Oh, iya Pak Arif. Wine kemarin masih ada di Kulkas. Coba dulu keluarkan untuk minum orang ini. Perintahnya pada orang itu.
Mau kelen minum Wine? Bir juga ada. Kata pak Arif pada kami. Menawari.
Kalau ada, mau aja Pak. Kata Ryan.
Hancur. Hancur. Kok bisa jumpa lagi orang yang kek gini. Maulah tambah gelap masa depan. Bagaimana tidak. Kerjaan cuma mabuk-mabukan sama main perempuan.
Kalau di sini jangan pala malu-malu kelen. Kalau mau, gas aja terus. Kalau kurang, nanti kita beli lagi. Kata Pak Aji itu, menawari minumannya.
Parah memang. Kok mau lah si Amel dulu sama dia. Laki-laki nggak beres kek gini dinikahi. Bagusan si Amel dulu sama aku aja. Pasti hidupnya sudah bahagia sekarang.
*
Jam sepuluh malam kami baru sampai di rumah. Agak cocok pulak cakap dia sama si Ryan tadi. Jadi lama lah kami pulangnya. Padahal udah gelisah kali aku mau pulang. Mau lah sudah menunggui si Amel itu di rumahnya. Menunggu kabar dariku.
Aku mengeluarkan hape pemberian Amel dari dalam tasku. Selama di kantor Pak Aji, aku tak mengeluarkannya sama sekali. Takut kalau-kalau dia mengenali barang milik istrinya. Maka dari itu, cepat-cepat aku sembunyikan kedalam tas sandang yang kubawa bersama dengan pakaian kerja. Biar aman. Dan Ryan juga tidak melihatnya.
Setelah menekan tombol on/off. Maka layar pun menyala. Aku mulai berselancar di dalam benda pipih itu. Tapi sayang, ternyata isinya cuma ada nomor kontak Amel saja. Sedangkan aplikasi yang lain belum ada. Termasuk aplikasi WhatsApp. Harus download dulu.
Aku langsung menuju Play Store. Eh, ternyata paket internetnya juga tidak ada. Harus beli Kuota dulu.
Bujang! Niat nggak si Amel itu ngasi ini sama aku. Sedekah kok tanggung-tanggung. Sekalian kek, diisikan kuotanya, biar lancar kami komunikasi.
Ini, terpaksalah keluar lagi buat beli Kuota, sekalian nanti beli casing baru biar hapenya nanti tidak bisa dikenali sama Pak Aji lagi.
Banyak juga itu modalnya. Habislah uang pencarian satu hari ini.
Nasib. Nasib.
*****Self Reminder(9)
Mbak! Beli kuota!
Mau tidak mau, aku keluar juga. Sebenarnya malas, mengingat counter paketan internet lumayan jauh dari rumah. Namun demi Amelia, aku rela berkorban waktu, tenaga dan juga uang.
Begitulah Cinta. Kadang kita sampai lupa diri hanya demi memperjuangkan sebuah Cinta. Namun nyatanya apa? Cinta itu hanya membodohiku saja.
Apalagi ketika mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkan si Yuni. Taulah kelen, kan. Aku rela habis-habisan hanya demi dia. Hutang sana sini juga hanya untuk dia. Nyatanya apa? Aku ditinggalkan dengan begitu saja. Tak ada sedikitpun rasa empatinya dengan memberiku sedikit kesempatan untuk memperbaiki semuanya.
Sungguh kejam sekali dia. Bahkan sampai detik ini, dia tak memberiku ijin untuk menemui anakku sendiri. Darah dagingku masih mengalir ditubuh anak itu. Bagaimana perjuangan kami dulu untuk mendapatkannya. Harus bercucuran keringat dan air mata. Air ludah maksudnya. Tapi, begitu anak itu lahir. Aku dibuang begitu saja.
Pengalaman itu sedikit mencederai hatiku. Aku sudah tidak begitu percaya lagi dengan yang namanya wanita. Alangkah lebih baik jika hidup sendiri seperti Ryan. Bebas kemana mana tak ada yang melarang.
Namun semua itu berlaku ketika aku belum bertemu dengan Amelia. Dia datang diwaktu yang tepat, ketika bunga di hatiku sudah mulai layu dan hampir mati. Amelia datang bagaikan air hujan yang curah dari langit. Detik itu juga, api amarah yang membakar jiwaku kini telah padam. Dan bunga-bunga cinta di hatiku kembali bermekaran.
Kartu apa Voucher tadi, Bang? sahut gadis itu sehingga membuyarkan pikiranku.
Voucher aja.
Berapa Giga, Bang?
Kasi dulu Tri yang dua puluh dua giga.
Ini, Bang. Cewek yang jaga counter tersebut menyodorkan selembaran kertas kecil padaku. Ada lagi yang mau dibeli, Bang? tanya dia lagi. Aku menggeleng.
Berapa, Mbak?
Tujuh puluh, Bang.
Aku merogoh kocek, lalu mengeluarkan sejumlah uang yang dia pinta.
Oh, iya. Kasi lah dulu casingnya sekalian. Ada yang cocok sama hp ini, nggak? Aku menyodorkan hp pemberian Amel.
Cewek tadi menerimanya, lalu mencari-cari casing yang sesuai. Cantik juga cewek ini kalau diperhatikan dari belakang. Bentuk pinggulnya bulat seperti buah semangka. Pinggangnya langsing seperti gitar spanyol. Dan bagian dadanya padat berisi seperti buah mangga yang telah mateng.
Begitulah wanita dimata laki-laki. Jika diperhatikan dari belakang, maka dia layaknya seperti Setan yang selalu menggoda. Jika diperhatikan dari depan, maka dia layaknya seperti Iblis yang selalu merayu. Benar gak sih?
Cuma ini yang ada, Bang. Cewek tadi membawa beberapa contoh casing yang sesuai dengan hp yang kupakai. Aku memilah-milih, lalu mengambil secara asal. Bukan pala penting untukku modelnya itu. Yang penting bagiku, bentuk hp ini tak terlalu dikenali oleh si Aji aja nanti.
Berapa harganya, Dek?
Dua puluh lima ribu, Bang.
Oh, iya. Sekalian sama chargernya ya!
Baru ingat aku bahwa si Amel juga nggak ada ngasi Charger.
Cewek tadi kembali mengambilkan pesananku.
Berapa semuanya?
Tujuh puluh lima, Bang.
Aku membayar lunas. Lalu cepat-cepat pulang ke rumah. Sudah tidak sabar ingin berbicara dengan Amel. Syukur-syukur suaminya tidak pulang lagi malam ini.
*
'Pink.'
Aku mengirim pesan, setelah mendownload aplikasi si hijau terlebih dahulu. Lalu mendaftarkan nomorku. Nomor bawaannya masih aktif, hingga beberapa tahun ke depan. Sepertinya hape pemberian Amel ini cukup sering digunakan. Apakah ini merupakan hape pribadinya?
'Iya, Roy. Ada apa?'
Lho. Kok balasannya cuma begitu? Bukankah dia sedang menunggu kabar dariku?
'Halo, Amel. Apa Pak Aji ada di rumah?'
'Nggak ada, Roy. Emangnya kenapa?'
'Oh. Nggak ada apa-apa. Kalau begitu, ya sudah lah.'
'Iya.'
Ingin rasanya membanting benda pipih pemberiannya ini. Untuk apa dia ngasi ini ke aku kalau cuma buat php-in doang. Mana tadi aku udah ngisi paketan, beli charger dan sekalian casingnya pulak itu. Kalau tau begini, bagusan aku main ke Warung Buk Iyos. Main kartu. Mana tau menang, bisa kaya mendadak aku.
Ini, apa? Balik modal aja pun tidak.
Ah, dari pada suntuk di rumah, lebih baik aku cabut aja. Pergi ke warung Buk Iyos. Mana tau ada si Ryan di sana, nanti utang dulu aku sama dia buat beli kopi.
Mau kemana lagi kau, Roy? tanya ibuku ketika aku sudah bersiap-siap ingin pergi.
Keluar bentar, Buk.
Sudah malam ini. Tapi kau bilang mau kerja besok.
Iya. Sebentar saja. Paling cuma lima belas menit.
Aku pun berangkat dengan membawa hp pemberian Amel. Sekalian ingin belajar sama si Ryan. Sebab aku belum begitu mahir pakai hape jenis Android seperti ini.
Hape punya si Yuni dulu, nggak secanggih Hape yang ini, maupun Hape milik si Ryan yang pernah dia gadai padaku. Cuma ada aplikasi WhatsApp sama Facebook doang di dalamnya. Kalau ditambah aplikasi yang lain, biasanya suka error. Itupun mode ungu tiap hari. Mana nampak gambar ciwi-ciwi bahenol lewat dari berandanya. Cuma gelap, sama kek Apemnya.
Dari mana kau dapat Hape, Ger? tanya Ryan ketika aku mengeluarkan hape baruku.
Kok dapat pulak. Ya beli lah.
Tumben kau ada duit?
Sepele kali kau jadi orang. Kau pikir mentang-mentang aku pengangguran, aku nggak ada duit, gitu?
Biasanya kan begitu.
Iya juga sih.
Udah lah. Nggak perlu kau tau aku dapat duit dari mana. Yang penting hape ini bukan barang curian. Pokoknya aman selama pemakaian sewajarnya saja. Yang penting itu, tolong dulu kau ajari aku kek mana cara membuka situs filim Kakek Sugiono. Udah rindu kali aku sama cucu-cucunya.
Sini hape kau. Biar kuajari caranya. Tapi jangan kau kasi tau sama orang lain ya.
Kenapa rupanya?
Bah, dosa besar ini. Ada hukum UU-nya juga. Sempat ada yang keberatan dan membuat pengaduan, apa nggak kasus kita.
Ya udah lah. Kalau begitu, coba dulu kau bisikkan ke aku.
Sini! Sini! Dekat kau sini. Ryan menyuruhku merapat. Lalu dia mulai mengetikkan sesuatu pada kolom mesin pencarian. Setelah itu keluarlah suatu situs yang dia cari. Tinggal klik. Lalu ketik lagi apa yang ingin kita cari. Namun pastikan dulu sebelumnya telah menyetel pengaturan untuk membuka setelan aman dengan menonaktifkannya.
Setelah mengklik sekali lagi, maka terbukalah dia. Situs yang aku cari.
Ternyata caranya mudah, meskipun sudah banyak situs yang diblokir oleh pemerintah. Ada aja yang masih lolos dan bisa diakses dengan sangat mudah. Mudah banget malah, jika tau cara membukanya bagaimana. Sama halnya seperti pertama kali buka Apem. Awalnya aja yang sulit, tapi kalau sudah kena celahnya, jadi mudah.
Yang penasaran dengan caranya bagaimana, inbox. Jangan lupa, syarat dan ketentuan berlaku.
Nah! Tinggal kau cari-cari, kau mau filim yang bagaimana.
Yang kemarin kau putar itu, yang mana?
Bah, mana lah pulak ingat-ingat aku. Kau cari ajalah di situ.
Mau minum apa kau, Ger? Tuak ada. Baru masuk sore tadi itu. Buk Iyos menawariku untuk minum. Dari tadi aku memang belum memesan minuman di warungnya.
Kasi Cappucino aja, Buk.
Tumben kau nggak minum Tuak?
Iya. Udah tobat aku.
Tobat apa. Baru tadi sore si Roger minum, Buk. Minuman mahal pulak itu. Mana lagi selera dia sama Tuak.
Minuman apa rupanya?
Bah, banyak. Ada Wine, Anggur, Whisky. Vodka. Infus. Entah apa-apa saja yang disebutinnya.
Iya, rupanya. Minum dimana kelen?
Di sana. Di tempat kerjaan baru. Mulai besok, kami nggak tinggal di sini lagi.
Lho. Jadi utang kau macam mana ini, Ryan?
Tenang saja, Ibuk. Begitu gajian langsung kulunasi semua. Berapa kali lah uang segitu.
Ayyamak. Hebat kali cakapnya. Kadang-kadang itu yang membuat awak sepele sama dia. Banyak cakap tapi nggak ada bukti dan tak sesuai dengan keadaan.
Kalau orang yang nggak kenal sama dia, bisalah dikelabuinya seperti Pak Aji dan Pak Arif. Tapi kalau aku, mana mempan lagi. Tiap hari awak jumpa sama dia. Maaf cakapnya, sedangkan si Ucok dia saja, yang dia tutup-tutupi itu sering aku lihat tiap hari. Apalagi waktu pas kerja. Kalau sudah kebelet, tinggal cus dari atas, selesai.
Itulah enaknya jadi laki-laki. Tinggal cus cus aja. Tak pakai ribet. Beda sama perempuan. Ribet dan susah ditebak.
*****Self Reminder(10)
Aku pulang hingga larut malam. Kulihat ibu masih menonton televisi di ruang tamu. Mungkin dia belum tidur karena sengaja menungguku, memastikan anaknya telah masuk ke rumah.
Begitulah dia setiap malam, selama aku kembali tinggal di rumahnya. Makanya ibu sangat berharap jika aku kembali balikan lagi sama si Yuni. Biar nggak susah hatinya melihat tingkah lakuku yang susah dinasehati. Pulang larut malam, mabuk-mabukan dan malas bekerja bangun pagi.
Kalau aku sebenarnya mau aja jika si Yuni mau rujuk. Rindu juga aku sama kehangatan keluargaku dulu. Apalagi sudah ada anak, iya kan. Pasti rumah kami akan ramai.
Tapi, apalah daya. Sudah begitu kemauannya. Mana bisa awak paksa. Asal ditanya ke dia, disuruhnya pulak awak cari perempuan yang ngantri-ngantri itu untuk dinikahi. Kemana pulak mau dicari, orang yang aku sebutin dulu itu cuma fiktif belaka buat manas-manasin dia saja. Kok malah dia percaya.
Kau bilang lima belas menit. Ini sudah hampir jam satu. Kemananya kau, Roy? Mabuk lagi kau, iya? tanya ibu begitu aku masuk ke rumah.
Nggak ah. Cuma ngopi aja aku di tempat Buk Iyos.
Jadi kok lama kali pulang? Tapi kau bilang besok mau kerja. Jadinya kau kerja itu? Biar ibu bangunin besok pagi.
Jadi lah. Kenapa pulak tidak. Mulai besok, aku sama si Ryan tinggal di sana aja. Tak payah pepe bolak balik ke sini.
Ada rupanya kawan kelen yang tinggal di situ?
Banyak.
Ya udah lah. Elok-elok kerja sama orang. Tangan itu di jaga, jangan suka mencuri. Kadang-kadang, tokeh-tokeh itu cuma mau ngetes anggotanya saja. Jangan mentang-mentang nampak kau ada barang terletak, lantas kau ambil. Kau jual. Jangan. Kasus kau nanti.
Taunya aku, Buk. Tak pala lagi ibu ajari. Aku memotong omelan ibu. Mau nanti sampai pagi itu merepetnya. Nggak bisa awak tidur.
Begitu meletakkan badan, rebahan diatas kasur, tiba tiba hapeku berbunyi.
Tring!
'Roy! Kamu sudah tidur?' Masuk pesan dari Amel.
'Belum. Ini baru mau tidur.' Cepat aku membalas.
'Oh. Kira-kira aku mengganggu, tidak ya?' Balas dia lagi.
'Nggak. Emangnya ada apa?'
'Nggak ada. Mau curhat aja. Boleh?'
Aku menghela napas. Rasa kantuk yang tadi melanda jiwa, kini hilang seketika.
'Ya boleh, dong.'
'Ya udah. Aku video call_ya.'
Tak lama, panggilan masuk telah tertera dilayar ponselku.
Cepat-cepat aku mencari handset dari laci hias si Yuni. Biasa dia taruh di situ. Itupun kalau tidak dia bawa pulang ke rumah ibunya.
Ternyata ada. Aku segera memakai benda itu, lalu mengangkat panggilan dari Amel yang masih berdering.
Halo!
Halo, Roy. Tampak Amel menyapa dari sana. Wajahnya tampak kusut, mungkin baru bangun tidur. Tapi tetap cantik di mataku. Tadi kamu ada chat aku ya, Roy? tanya dia lagi.
Iya. Tapikan sudah kamu balas.
Nggak sadar aku itu, Roy. Dari tadi aku nungguin pesan dari kamu terus, tapi nggak masuk-masuk. Terus aku kelonin Aci biar tidur, nggak taunya aku ikut ketiduran.
Oh, begitu.
Iya. Padahal aku nungguin kamu dari sore, lho. Kenapa nggak langsung ngasi kabar ke aku?
Kami pulangnya agak kemalaman. Di ajak Pak Aji minum-minum dulu. Segan awak menolak.
Bang Aji? Ada bawa cewek dia ke Villa? tanya dia lagi.
Nggak ada. Cuma dia sendiri aja.
Gitulah dia. Maunya senang-senang sendiri. Tiap hari minum-minum terus. Mabuk-mabukan, nyabu juga. Bukan ada dipikirinnya anak dan istrinya di rumah. Amel terlihat kesal.
Emangnya kenapa, sih? Ada masalah apa kamu sama dia? tanyaku penasaran.
Rasanya beda ngomong melalui hape dengan ngomong langsung sama orangnya.
Entah kenapa, bicara melalui hape ini rasanya lancar aja. Nggak ada canggung-canggungnya sama sekali. Tapi ketika bicara dengan Amel langsung, aku sering gugup dan pikiran blank. Nggak tau apa yang mau aku omongkan.
Ceritanya panjang, Roy. Kalau aku ceritain malam ini, sampai besok belum tentu selesai. Lagi pula, aku lagi malas ngomongin tentang dia. Bagusan nggak usah aja deh. Bikin darah tinggi aja.
Ya udah. Kalau kamu nggak mau ngomong, ya nggak usah dipaksakan. Aku niatnya hanya ingin dengerin kamu aja. Mana tau mau berbagi kisah sama aku. Yah, hitung-hitung buat ngurangin beban kamu lah.
Cara ngomong aku kok berubah, sih? Kok sok ngomong orang kaya gitu ya? Apa menular dari Amel ini, ya?
Roy!
Hem.
Kamu kok pisah sama istri kamu?
Oh, itu. Cuma masalah ekonomi aja sih, Mel. Emangnya kenapa?
Nggak. Cuma mau tau aja. Apa kamu sudah resmi bercerai dengan dia?
Belum sih. Dia nggak ada melakukan gugatan. Pas diajak balikan juga dia nggak mau, Mel.
Oh, begitu ya. Berarti status kalian masih suami istri, dong?
Wah, kalau itu saya kurang tau, Mel. Di bilang suami istri, sudah lama tidak berkomunikasi lagi. Di bilang sudah bercerai, tapi belum ada gugatannya. Aku juga bingung status kami ini apa, Mel.
Berarti, rumit lah ya?
Ya. Begitulah kira-kira.
Kami terdiam. Saling tatap melalui layar ponsel. Terlihat Amel tersenyum dengan mata tak berkedip, menatap padaku. Aku pun begitu, melakukan hal yang sama dengannya.
Roy!
Hem.
Kamu tau nggak? Ketika sekolah dulu, aku begitu mengagumimu.
Ha! Dia mengagumiku? Masa sih. Kok aku nggak sadar. Aku sampai terdiam, tak sanggup untuk berkata-kata lagi. Jantungku tiba-tiba kambuh kembali. Berdetak tak menentu.
Aku hanya menggeleng, menjawab ucapannya. Walaupun sebenarnya aku juga curiga bahwa diam-diam Amel memperhatikanku tempo dulu. Tak jarang, ketika aku memandangnya lama, sesekali Amel menoleh padaku dari tempat duduknya.
Amel duduk di barisan paling pinggir dari arah pintu masuk dengan meja nomor urut dua dari depan. Sedangkan aku duduk di barisan ke tiga dari pintu ruangan kelas dengan meja nomor urut empat. Dari tempatku duduk, sangat mudah menatap ke arah Amel, walaupun yang terlihat hanya lekukan punggungnya yang dibalut tali Beha. Itupun kalau dia sedang tidak pakai Tanktop.
Hampir setiap hari aku mengamatinya dari belakang. Membayangkan jika suatu saat nanti aku bisa melucuti pakaian itu, dan menikmati isi dalamnya.
Tapi, anak laki-laki yang melakukan itu bukan cuma aku sendiri. Melainkan, banyak diantara kami yang mengagumi kecantikan Amelia. Bahkan ada juga yang dari kakak kelas yang sempat jadi pacarnya. Yang pasti bukan Pak Aji, suaminya saat ini.
Amel merupakan salah satu wanita primadona pada masanya. Selain cantik, dia juga pintar dan kaya. Sudah barang tentu menjadi incaran para kaum laki-laki.
Namun ketika dulu, Amel sangat jaim. Tak banyak kaum pria yang berani menegurnya, apalagi mendekatinya yang semakin membuat kami para anak laki-laki remaja kala itu merasa tertantang.
Namun, takdir berkata lain. Sejak lulus dari Sekolah Menengah Atas itu, aku tak pernah lagi bertemu dengan Amelia. Yang tertinggal hanya sebuah memori masa lalu yang masih melekat erat di otakku, kenangan ketika masih berseragam putih abu-abu.
Dan tentu saja, kenangan akan namanya, manis senyumnya, putih kulitnya, dan tatapan matanya yang menusuk hingga kalbu. Bak umpama busur panah yang menancap.
Ya, dulu aku sangat menyukai lagu Roman Picisan yang sempat dipopulerkan oleh grup band Dewa 19, yang khusus aku persembahkan untuk Amelia.
Walaupun menyanyikannya hanya dalam hati, sih.
Mana berani aku bernyanyi di depan dia. Maulah nanti dia menertawakanku. Suara awak jelek.
Malu aku....
*****
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan