They're in Love

49
2
Deskripsi

Pada suatu hari di masa Mora dan Ian masih SMA, Om Tegar ikut serta saat mereka nonton pertandingan basket sekolah. 

“Om boleh ikut, kan, Yan?”

“Boleh banget dong, Om! Malah kayaknya lebih seru nonton sama Om daripada sama Mora,” Ian memamerkan sederet giginya yang putih dan rapi. Om Tegar terkekeh, menepuk pundak Ian. Mora yang berdiri di belakang Papanya itu menggerutu.

“Gue kan mau ambil andil mendukung sekolah kita, Yaaan!”

Ian mengerucutkan bibirnya, mencibir Mora. “Iya, iya. Terserah lo dah.”

“Jam berapa pertandingannya?” Om Tegar berusaha menengahi dua remaja SMA itu.

“Jam 7 malam, Om. Mending kita berangkat sekarang—” Ian memeriksa layar ponselnya yang menunjukkan jam digital besar. “Keburu macet. Nanti parkirnya susah. Rame juga, karena ini pertandingan semifinal,”

“Ya udah. Yuk!”

Ian tersenyum dan mengangguk. Tapi dia melempar pandangan tak suka pada Mora. “Lo… beneran ikut?”

Mora memutar bola mata. “Iyalah!”

Ada kalimat yang tampaknya ingin sekali disampaikan Ian. Tapi dia berusaha menahan diri untuk tidak mengatakannya. Mungkin karena bingung. Mungkin karena tidak enak hati pada Om Tegar. Pada akhirnya, dia hanya membuang napas pendek. “Oke.”

***

“Kenapa lo ingin banget nonton basket?” Ian mendesis di telinga Mora ketika mereka sudah duduk di tribun penonton. Mora menaikkan satu alis, menatap Ian heran.

Om Tegar sedang berbincang dengan guru olahraga mereka, Pak Ali, yang ternyata adalah kawan sekolah beliau saat SMA. Mora dan Ian memutuskan untuk duduk lebih dulu di tribun, membiarkan kedua kawan lama itu berbincang sebelum pertandingan dimulai.

“Emangnya kenapa, sih?” Mora balas bertanya dengan nada sengit. “Emangnya cuma cowok yang boleh nonton? Liat tuh—” Mora menunjuk tiga baris di depan mereka, “isinya cewek semua kalau lo nggak bisa ngeliat,”

Ian mendesah pelan. “Gue tau, Mor. Gue nggak ngelarang lo nonton basket atau apapun. Gue cuma nanya alasan lo?”

“Kan gue udah bilang gue pengin mendukung sekolah kita!”

“Yakin?”

“Yan—” Mora menatap Ian sebal, “lo kenapa sih? Nggak percaya banget, padahal gue beneran jujur ini. Lo ada masalah? Lo pikir gue punya alasan apa lagi?”

Banyak. Ada banyak alasan. Salah satunya mungkin cowok dengan nomor punggung 22 yang sedang duduk di bench pemain sekolah mereka.

Ian berkali-kali melihat cowok itu mendekati Mora. Meskipun Mora menanggapinya dengan biasa-biasa saja, tapi tetap saja Ian tidak tau apa yang sedang dipikirkan sahabatnya ini.

Belum lagi hari ini…. Gila. Ian tau kalau Mora ini cantik. Dia tidak sebuta itu meski dia sudah berteman lama dengan Mora. Dia tetap bisa melihat kalau Mora lebih cantik dibanding cewek-cewek kebanyakan. Tapi hari ini? Gila. Ian rasanya ingin membakar sundress yang dipakai sahabatnya itu.

Tidak ada yang salah dengan sundress selutut itu. Apalagi Mora masih mengenakan cardigan yang menutup lengan dan bahunya. Tapi Ian bisa dicap sebagai pembohong kalau Ian bilang Mora kelihatan jelek dengan pakaian ini. Mora justru terlihat seratus kali lebih cantik dari yang Ian tau.

Bayangkan betapa kesalnya Ian saat melihat Mora terlihat secantik ini dan membayangkan bahwa dia berpenampilan begini demi cowok bernomor 22 itu. Betapa Ian ingin sekali meminta Mora untuk mengganti pakaiannya dengan celana training dan hoodie yang mereka beli bersama sewaktu mereka diajak ke pusat [perbelanjaan bersama kedua Mama mereka kala itu.

Tapi Ian tidak punya wewenang untuk itu. Om Tegar saja tidak mempermasalahkan penampilan Mora. Karena memang tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah adalah isi kepalanya yang begitu penuh amarah karena alasan yang terdengar tidak masuk akal. Untuk apa juga dia semarah ini karena Mora ingin kelihatan cantik di depan cowok?

Ian membuang napasnya, kasar. Ia melepas jaket yang ia kenakan, lalu dia sampirkan ke pangkuan Mora. “Kita di atas,” hanya itu yang Ian katakan, seolah Mora akan bisa memahami apa yang dia maksud.

Ian tidak salah. Mora memang langsung bisa menangkap maksud sahabatnya itu. “Thanks,” Mora berkata lirih. Lalu tak ada lagi kata-kata di antara mereka berdua sampai pertandingan dimulai.

***

“Tadi itu kakak kelas kamu, Dek?”

“Iya, Pa.”

“Cakep. Anaknya juga sopan,”

Mora terkekeh singkat. “Tapi sia-sia dong ya, dia udah pakai baju basket ternyata duduk melulu di bangku cadangan. Mana akhirnya sekolahku kalah. Nggak bisa main lagi, deh!”

“Tahun depan kan bisa?”

“Dia udah kelas XII, Pa. Ini kesempatan terakhir,”

“Oooh…,” ada jeda sunyi sesaat. Hanya suara mesin mobil dan deru angin malam. Om Tegar mengarahkan pandangannya pada Ian yang duduk di sampingnya. “Kamu nggak ikut basket, Yan?”

“Nggak, Om.”

“Coba ada ekskul bulutangkis ya, Yan. Kamu mungkin bisa jadi jagoannya, tuh!” ujar lelaki itu dengan tawa kecil. Ian hanya menanggapi dengan senyum kecil.

“Ian mana suka berbaur sama orang, Pa. Kayaknya meski ada ekskul bulutangkis dia tetep milih nggak ikutan, deh,” ledek Mora.

“Iya. Emang. Nggak ada keren-kerennya. Beda sama lo yang paling aktif dan berprestasi di segala bidang,”

“Apa sih? Kok jadi gue?”

“Ya lo barusan ngatain gue?”

“Gue nggak ngatain lo!”

“Iya terserah lo. Emang lo yang paling bener.”

“Heeey. Sudah dong.” Om Tegar melerai karena pertikaian mereka yang tak kunjung reda.

“Maaf ya, Om.” ujar Ian.

Om Tegar terkekeh kecil. “Nggak apa-apa. Kalau Om sih udah biasa denger kalian bertengkar. Om malah takut kalau kalian diem-dieman.”

Perjalanan pulang mereka kembali diisi dengan celoteh Mora yang menyayangkan kekalahan sekolah. Cerita Ian tentang ekskul sepakbola yang tidak pernah ia datangi. Cerita Om Tegar dan Pak Ali di masa SMA dulu.

Tidak ada cerita tentang alasan Mora sebenarnya datang ke pertandingan basket ini: karena dia melihat Miranda ‘mengundang’ Ian untuk datang. Dna dia kesal luar biasa.

Tidak ada cerita tentang kekesalan Ian pada Mora karena kakak kelas bernama Juan itu tadi menghampiri mereka dan memperkenalkan diri pada Om Tegar.

***

“Libur kan, Yan?”

Iya, Om,”

“Bulutangkis, yuk?”

“.....”

“Yan?”

Maaf Om, Ian ada janji sama temen dari minggu lalu. Minggu depan boleh, Om?”

“Nggak, nggak apa-apa. Santai aja. Kamu juga lama nggak ketemu temen di Jakarta, ya? Ya udah main-main aja. Minggu depan Om dinas ke Manokwari, Yan.”

Maaf, Om….,”

“Iya, Yan, nggak apa-apa. Ya udah Om berangkat sendiri. Kalau sempat nanti pulang main ke rumah, dong! Kamu lama banget nggak kelihatan di rumah!”

Nanti kalau sempat Ian mampir ya, Om.”

“Hati-hati, ya. Kamu masih lama kan, balik Malang?”

Belum tau, Om. Kayaknya nggak lama lagi balik. Temen satu kontrakan Ian agak rewel kalau ditinggal lama,”

“Waaah. Sesekali ajak pulang ke Jakarta, dong. Kenalin sama Om. Anaknya baik, kan?”

Baik kok, Om.”

“Syukurlah. Ya udah, Om siap-siap dulu, ya. Jaga kesehatan, Yan!”

Iya Om, siap.”

Tapi sosok Adrian tak pernah terlihat di rumah itu untuk sekian lama. Suaranya lewat telepon pun tidak sering terdengar lagi. Putri bungsunya banyak mengurung diri.

Dan Tegar merasa kehilangan.

***

“Mora punya pacar, Mah?” Tegar sedang mengeringkan kepalanya dengan handuk seusia mandi saat ia melihat Mora berpamitan dengan riang.

“Hah? Mana ada, Pah?!” Dinda menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari adonan roti dan tumpukan pisang kukus yang siap dipotong.

“Anak kamu semringah banget berangkat kuliahnya. Itu tadi dijemput pacarnya, kan?” Tegar mencomot satu pisang, namun tangan itu buru-buru ditepis lembut oleh istrinya. Laki-laki itu terkekeh tanpa dosa.

“Kebiasaan deh! Ambil yang di meja makan! Jangan ganggu yang ada di meja kerja aku, dong!” dumal sang istri.

“Jawab dulu, Mah. Itu tadi Mora dijemput pacarnya?”

Dinda mencibir. “Pacar dari Hongkong. Anak kamu itu mana bisa pacar-pacaran. Dari dulu kalau ada yang deketin selalu dimentahin sama dia,” Dinda mulai melepaskan whisk dari mixer dan mengeluarkan adonan roti ke meja kerja. “Itu tadi Ian, kok.”

“Ian? Bawa mobil siapa?”

“Mobil dia, lah. Baru beli beberapa hari lalu. Terus karena dia lagi cuti kuliah, jadi dia yang nganter Mora kuliah.”

“Oh.”

Ya. Hanya ‘oh’.

Ian yang baru kembali dari Belgia beberapa minggu lalu. Ian yang kembali ke rumah ini, dengan menyembunyikan luka yang terlihat jelas di sorot matanya. Tegar memaklumi. Anak itu masih terluka. Kehilangan ayah yang selama ini begitu ia benci, mungkin membuatnya bingung harus berduka atau bergembira. Tegar hanya bisa bertekad, untuk selalu ada membersamainya.

Di sisi lain, dia senang Ian menampakkan dirinya lagi. Entah apa yang terjadi di antara kedua anaknya itu, yang jelas Tegar senang Ian kembali ke sini. Ke rumah ini.

Tegar senang dia punya teman bermain bulutangkis lagi.

Tapi dia lebih senang melihat putri bungsunya kembali dengan senyum cerahnya setiap pagi.

Tegar senang, rasa yang ada di antara kedua anak itu, nyatanya tak pernah pergi.

Tegar akan menanti. Tugas dia hanya menanti.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya After Wedding
27
2
Adrian dan Amora's new normal.**Rating: Mature / 18+CW // heavy makeout , kissing , brief mention of first night** Hello. Part ini aku repost dan aku kunci karena mengandung konten dewasa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan