A Stolen Heart (21+) - BAB 3 - BAB 4

23
0
Deskripsi

WARNING 21++ !!
(Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca.)

*****

Sasha tak pernah ingin menjalin hubungan dengan pria. Ia tegar dan mandiri. Baginya, pria hanyalah beban. Namun, semua tak terjadi begitu saja. Masa lalunya yang kelam mengubah ia menjadi Sasha yang selalu menutup diri dari pria. 
Ia berusaha memegang teguh pendiriannya. Tetap menjadi Sasha yang supel dan mencoba bahagia dengan...

BAB 3

“Ada apa ini?” tanya Ted kaget melihat kamar hotel yang berantakan.

“Aku tidak bisa, Ted. Aku tidak bisa menikah dengannya,” ucap wanita itu sambil menangis kencang di pinggir tempat tidur.

“Kamu sudah memutuskannya, Na. Kamu tidak bisa mundur sekarang,” jelas Ted berusaha tenang sambil melangkah mendekat.

“Tapi bagaimana denganmu?” tanya Na sedih. Ted duduk di samping Na yang menatapnya dengan tatapan ragu bercampur sedih.

“Kenapa denganku? Aku baik-baik saja, kamu tahu itu. Aku baik-baik saja,” ucap Ted lembut sebelum memeluk Na erat.

“Aku baik-baik saja, Na. Kamu tidak perlu khawatir,” ulang Ted seraya mengusap punggung Na, mencoba menenangkan. Tetapi tangisan Na semakin kuat, membuat perasaan Ted sangat terluka.

“Kamu mencintaiku. Dan ... sepertinya aku membodohi diriku selama ini, Ted. Aku ... aku juga mencintaimu. Aku tidak bisa menikah dengan Rico. Ini semua salahku!” jelas Na kesal dan geram pada dirinya sendiri.

Ted terdiam mendengar ucapan Na. Ia tidak tahu apa yang Na pikirkan, namun ungkapan perasaan itu malah membuat Ted semakin terluka. Ia mencintai Na sejak lama. Na adalah cinta pertamanya. Ia pernah memberanikan diri mengungkapkan perasaannya beberapa tahun lalu, tetapi Na menolaknya karena hanya menganggapnya sebagai seorang kakak.

Perasaannya hancur saat itu, tetapi tidak sehancur saat ia mendengar bahwa Na menerima lamaran Rico. Beberapa kali ia masih mencoba melamar Na. Bahkan bulan lalu saat Na mengantarkan undangan padanya, Ted mencoba peruntungannya sekali lagi, tetapi tetap saja Na lebih memilih Rico. Ted tidak mengerti apa yang membuat Na lebih memilih Rico, padahal ia dan Rico sama-sama memiliki kekayaan yang melimpah. Ted juga merasa bahwa rasa cintanya pada Na lebih besar daripada Rico. 

Perlahan-lahan, ia berusaha menerima dan mencoba merelakan Na. Namun saat ini, saat di mana ia mulai bisa mengubur perasaan itu, Na malah mengungkapkan perasaan padanya. Kenapa baru sekarang? batin Ted bingung.

“Aku mencintaimu, Ted. Aku tidak bisa hidup tanpamu,” ungkap Na lirih. Ted hanya terdiam sementara pikirannya melayang entah ke mana.

“Ted,” rengek Na seperti seorang anak kecil yang manja, “aku mencintaimu. Kamu dengar? Aku mencintaimu dan tidak mau menikah dengan Rico.”

Ted melepaskan pelukannya dan menatap Na dalam-dalam.

“Mengapa kamu baru mengatakannya sekarang, Na?” tanya Ted sedikit tegas sambil terus mengunci mata Na yang berlinangan air mata.

“Aku tidak bisa hidup tanpamu, Ted. Aku takut ... hanya kamu yang bisa mengerti aku. A-aku mencintaimu. Aku tidak ingin kamu pergi dari hidupku,” jelas Na sedikit gelagapan. Ted beranjak dari tempat tidur dan menatap Na yang bingung melihat reaksinya

“Ted,” panggil Na pelan.

“Kamu tidak mencintaiku, Na. Kamu mencintai Rico,” ucap Ted tegas.

“Tapi aku benar-benar mencintaimu, Ted,” jelas Na dengan nada memohon. Ted menggeleng, mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku mencintaimu melebihi diriku sendiri. Namun, saat aku mulai bisa merelakanmu, kamu malah berniat menarikku kembali. Aku tidak ingin merasakan sakit itu lagi, Na. Aku sudah cukup terpuruk akan penolakanmu dan sekarang aku sadar bahwa mencintai bukan harus memiliki. Aku memang mencintaimu, tapi aku sudah merelakanmu.

“Aku tahu apa yang kamu rasakan saat ini, Na. Kamu tidak mencintaiku, kamu hanya takut kehilanganku. Takut kehilangan perhatian dan cintaku. Aku mengerti itu, Na, tapi percayalah kalau kamu tidak akan kehilangan diriku. Aku akan tetap hadir dalam hidupmu, memerhatikan dan menyayangimu seperti dulu. 

“Kamu bisa menemuiku kapan pun kamu membutuhkanku dan aku akan selalu ada untukmu. Jadi, berhentilah berpikir untuk mundur dari pernikahan ini, karena aku tahu betapa besar cintamu pada Rico. Menikahlah dengannya, Na. Aku sudah merelakanmu,” jelas Ted tenang dan mengakhiri penjelasannya dengan senyuman.

Ia tidak tahu mengapa bisa merasa lega setelah mengungkapkan perasaannya, seakan-akan sebuah beban berat baru diangkat darinya. Ia memerhatikan wajah terkejut Na yang perlahan-lahan berubah menjadi senyuman kecil. Wajah itu kembali bersinar, begitu cantik dan memesona. Wajah yang begitu ia cintai dan sayangi. Na beranjak dari tempat tidur dan memeluknya erat.

“Terima kasih karena kamu sudah mau menjadi seseorang yang selalu bisa aku andalkan. Aku mencintaimu, Ted,” ucap Na pelan.

“Aku juga mencintaimu, Na,” balas Ted tenang. Mereka berpelukan sesaat sebelum akhirnya Na melepaskan pelukan dan tersenyum lembut.

“Kamar ini seperti kapal pecah,” celetuk Ted santai.

“He-he-he, maafkan aku. Mau membantuku membereskannya?” tanya Na dengan seringai manja.

*****

Sasha tidak bisa tidur. Mimpi buruk akan kejadian di masa lalu membuatnya terbangun dengan napas terengah-engah. Ia masuk ke kamar mandi, membasuh wajah dan menatap ruam merah di pipinya dari cermin. Tamparan itu sangat kuat, ia tahu itu. Sisi lainnya tidak pernah main-main jika menghukum dirinya.

Setiap kali ia mulai lemah karena pesona pria, sisi lainnya seakan menolak dan menghukumnya. Ia menyadari semua itu karena setiap kali ia terbangun dengan lebam di wajah atau tangan, berarti sisi lainnya berusaha menyiksa dan menyadarkannya dari kebodohan yang ia lakukan. Setidaknya Sasha bersyukur karena dengan begitu ia bisa terus membentengi dirinya dari pria agar tidak terjatuh lagi ke dalam lubang yang sama.

Selama ini, kedua sahabatnya selalu menganggapnya sebagai wanita penakluk yang mampu menghancurkan harapan pria dalam sekejap. Tetapi semua itu ia lakukan demi menjaga dirinya. Ia tidak ingin merasakan luka yang sama. Ia tidak ingin jatuh cinta lagi. 

Sasha selalu berusaha menutup diri dan menunjukkan bahwa tak ada seorang pun yang mampu menaklukkannya. Tetapi kejadian di lift membuat pertahanannya runtuh seketika. Kehangatan dan kelembutan bibir Ted membuat Sasha meleleh bagaikan bongkahan batu es yang terpapar panas sinar matahari.

Pesona Ted seakan-akan menariknya kembali ke sosok Sasha yang dulu dan berusaha meruntuhkan tembok besar yang selama ini ia bangun untuk membentengi dirinya dari kehangatan dan perhatian seorang pria. Sasha mengelus pipinya yang memerah, sementara tatapan tajam itu menguncinya.

Kau tidak boleh melakukan hal itu lagi! Kau ingat itu! Kau lemah, dan hanya aku yang bisa membuatmu kuat. Jangan melawanku atau kau akan menerima sesuatu yang mungkin akan kau sesali. Ingat itu!

Sasha memejamkan mata sejenak, berusaha mengendalikan dirinya. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Setelah cukup tenang, ia keluar dari kamar mandi menuju tempat tidur. Cukup lama ia berbaring, tetapi ia tidak merasakan kantuk sedikit pun. Ia pejamkan mata, mencoba untuk menenangkan pikiran dan hatinya. Beberapa saat kemudian, ia pun tertidur.

*****

Alarm di ponselnya mulai berbunyi. Mata Sasha terasa begitu berat, ingin sekali ia mematikan alarm dan menarik selimutnya. Tetapi ini adalah hari pernikahan sepupunya. Dengan terpaksa, ia bangkit, duduk bersandar di tempat tidur, lalu mematikan alarm. Kepalanya terasa pening karena ia hanya tidur selama beberapa jam setelah terbangun semalam. Ia turun dari tempat tidur, melangkah menuju kamar mandi dengan langkah malas, dan mandi dengan cepat.

Setelah mengeringkan tubuh dan berpakaian, Sasha mulai merias wajahnya. Ia memerhatikan penampilannya yang mengenakan kemeja lengan panjang biru langit dengan rok hitam dan sepatu heels berwarna senada. Ia membiarkan rambut panjangnya tergerai dan menyemprotkan parfum sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar, lalu melangkah menuju lift.

Pintu lift segera terbuka dan ia pun masuk lalu menekan tombol 12. Pintu lift kembali terbuka saat tiba di lantai yang ia tuju. Sasha langsung menuju pintu kamar sepupunya dan menekan bel. Pintu terbuka, seorang wanita mempersilakannya masuk. Sasha memerhatikan beberapa orang yang sibuk melakukan tugas masing-masing.

Morning, Rico. Are you ready?” tanya Sasha santai.

I am,” jawab Rico cepat. Pria itu berdiri tegap di depan cermin, terlihat tampan dan sempurna. Rico adalah pria yang mapan, kaya, dan cukup terpandang. Wanita yang mampu menaklukkan hati Rico adalah orang yang beruntung.

“Baiklah. Apa kalian sudah selesai dengan Rico?” tanya Sasha pada dua orang yang sedang sibuk membereskan peralatan make up.

“Sudah, Mbak Sasha,” sahut wanita itu cepat.

“Baiklah. Kalian bisa meninggalkan kami berdua dan lanjut ke kamar yang lain,” perintah Sasha, “usahakan semua cepat dan tepat waktu sesuai dengan yang saya jadwalkan. Jangan sampai ada yang terlewatkan sedikit pun.” 

Kedua wanita itu mengangguk sebelum melangkah menuju pintu kamar. “Sasha,” panggil Rico lembut, “terima kasih, ya. Kamu sudah mau membantuku mengurus semuanya.”

It’s my job. Kau membayarku dan aku akan melakukan yang terbaik,” balas Sasha sambil tersenyum. Tatapannya kembali ke arah buku catatan, mengecek dan memastikan semua sesuai keinginannya.

“Apa kau membawa pasanganmu ke sini?” tanya Rico sambil lalu.

“Itu bukanlah prioritas utamaku,” sahut Sasha singkat. 

“Kuharap kau bisa menemukan cinta sejatimu di sini,” ucap Rico tulus.

Thank you,” jawab Sasha santai.

“Aku akan ke bawah untuk memastikan semuanya,” kata Sasha sambil berjalan keluar dari ruangan itu, “kau jaga staminamu. Ini adalah hari yang panjang dan melelahkan. Sampai ketemu nanti jam tujuh.”

Sasha pun beranjak pergi dari ruangan itu menuju pintu lift. Ia melihat Ted yang berdiri membelakanginya. Sasha berusaha tenang dan berdiri di samping pria itu sampai pintu lift terbuka. Ted melangkah ke dalam lift tanpa sepatah kata pun, tampak kusut dan lelah. Ingin rasanya ia menunggu hingga lift berikutnya, tetapi ia harus menemui para vendor yang sudah tiba di bawah.

Akhirnya, ia terpaksa masuk lift. Sebagian dari dirinya ingin menyapa pria itu, namun sebagiannya lagi berusaha keras untuk tetap diam. Sasha memutuskan untuk diam dan berusaha untuk tidak mengingat kembali betapa lembut bibir itu saat menciumnya.

Pintu lift terbuka saat tiba di lantai dasar dan Sasha segera keluar dari lift. Ia menoleh setelah beberapa langkah dan melihat Ted yang sama sekali tidak bergerak ataupun melihat ke arahnya. Pintu lift menutup otomatis membawa Ted menghilang dari pandangannya. Ia berusaha tidak memedulikan hal itu dan mencoba kembali fokus pada pekerjaannya.

*****

Kedua pengantin berjalan santai di tengah-tengah tamu yang sedang asyik menikmati hidangan makan siang. Prosesi janji setia yang berlangsung selama dua jam tadi pagi, yang dilaksanakan di sebuah ruangan ballroom hotel, akhirnya berjalan lancar. Rico meminta agar resepsi diadakan satu hari penuh, dan Sasha mengabulkan permintaan itu.

Sasha berdiri di salah satu pojok yang berada tak jauh dari meja prasmanan sambil memerhatikan jalannya acara serta kesigapan para vendor terutama katering, musik, dan dokumentasi. Semua orang tampak bahagia. Sasha memerhatikan pandangan Rico yang menatap si pengantin wanita dengan tatapan terpesona dan penuh cinta. Ia bisa merasakan aura kebahagiaan yang terasa kental di acara itu. Sasha senang sekali karena resepsi pertama berjalan lancar, sukses, dan sempurna.

Tanpa sengaja, pandangan Sasha tertuju pada sosok pria yang ia kenal. Ted. Pria itu berdiri tak jauh darinya, terlihat rapi dengan balutan tuksedo yang melekat sempurna di tubuh atletis itu. Namun, raut Ted tampak murung seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal di hati.

Ingin sekali ia menghampiri Ted, tetapi sisi lain dirinya memaksa untuk tetap menjauh. Ted menatap ke pelaminan, tampak kosong dan hampa, tidak seperti Ted yang ia kenal. Sasha memalingkan pandangan dari Ted ke arah barisan meja prasmanan dan memastikan setiap tamu tidak kekurangan makanan. Setelah itu, ia menghampiri kedua pengantin yang baru saja duduk di pelaminan dan berbincang sejenak mengenai urutan acara berikutnya.

Rico berterima kasih padanya, begitu juga dengan si pengantin wanita. Sasha kembali ke tempatnya dan mengamati jalannya acara yang berlangsung hingga pukul 15.00. Tamu undangan satu per satu mulai kembali ke kamar mereka masing-masing, begitu juga dengan pasangan pengantin. 

Para vendor dan pihak hotel mulai bekerja sama merapikan tempat itu sebelum didekorasi ulang untuk kegiatan makan malam. Sasha berjalan menuju salah satu kursi pantai, berniat mengistirahatkan kakinya sejenak. Cahaya matahari sudah tidak terlalu menyengat, saat yang tepat untuk merebahkan diri dan bersantai sejenak sebelum kembali melakukan pekerjaannya. 

Sasha meletakkan buku catatan serta ponsel di meja kecil yang ada di samping kursi pantai. Ia merebahkan tubuhnya dan mulai menikmati debur ombak yang menenangkan. Baru saja ia ingin memejamkan mata, indra penciumannya menghirup aroma yang ia kenal. 

“Lelah?” tanya Ted yang tiba-tiba muncul di belakang kursinya.

“Selalu muncul tiba-tiba,” gerutu Sasha sambil menengadahkan wajah untuk melihat Ted. Pria itu melangkah ke kursi yang kosong dengan raut datar tak terbaca.

“Apakah—“

“Silakan duduk,” jawab Sasha sebelum pria itu selesai berbicara. Ted tersenyum kecil, lalu duduk di kursi yang kosong. Sasha tidak berbicara sedikit pun, hanya memandangi keindahan laut.

Ia sangat menyukai suara debur ombak dan kicauan burung di langit yang membuat perasaannya damai dan tenang. Membuatnya lupa akan segala kepenatan dan beban pekerjaannya. Ted terlihat lebih pendiam dari sebelumnya. Pandangan pria itu menatap lurus ke depan seperti menyimpan sebuah beban yang cukup berat.

“Sha,” panggil Ted lembut. 

“Hmmm,” gumam Sasha.

“Pernah merasa lelah dengan kehidupanmu?” tanya Ted datar, tatapan lurus ke depan. 

“Pernah merasa kalau apa yang kamu lakukan ternyata sia-sia?” tanya Ted lagi. Sasha menoleh, memerhatikan Ted yang murung.

Are you OK?” tanya Sasha khawatir. Ted mengangguk pelan. Sasha tidak percaya, tentu saja, namun ia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut karena mereka tidak memiliki hubungan lebih. Ya, mereka memang sudah pernah berciuman, tapi bukan berarti Sasha berhak ikut campur masalah Ted. Ponselnya berdering dan ia segera menjawab panggilan tersebut. 

“Halo,” jawabnya, “baiklah, saya akan ke sana sekarang.” 

“Aku  pergi  dulu, ya.  Aku  harus kembali  ke pekerjaanku sebentar,” ucap Sasha bersikap sopan, “kalau kamu masih di sini, kita bisa melanjutkan pembicaraan tadi. OK.” 

Ted hanya mengangguk dan ia pun bergegas menuju lokasi resepsi. Setelah beberapa langkah, Sasha menoleh ke belakang dan memerhatikan Ted yang masih berbaring di kursi pantai.

*****

 

BAB 4

It is done. Na sudah menikah dan menjadi milik Rico. Ini jalan terbaik untuk semuanya, batin Ted sambil memandangi hamparan laut. Sejak pertama kali Na memperkenalkan Rico kepadanya, ia sadar kalau ia tidak akan pernah memiliki Na. Wanita itu jatuh cinta dan tergila-gila pada Rico, bahkan terlihat sangat bersemangat setiap kali bercerita tentang pria itu.

Terluka? Tentu saja. Ia dan Na tumbuh besar bersama, bahkan orangtua mereka berniat menjodohkan, tetapi Ted menolak. Meskipun ia memiliki perasaan pada Na, ia tidak ingin Na menikah karena terpaksa. Ted percaya bahwa kedekatan yang mereka miliki sejak kecil bisa menumbuhkan rasa cinta itu sendiri. Namun, saat Na memberi tahu tentang perasaannya pada Rico, saat itu pula harapan Ted hancur berkeping-keping.

Dan semalam, saat Na menyatakan cinta kepadanya, ia tersadar. Na memang sangat membutuhkannya dan tidak dapat jauh darinya, tetapi bukan sebagai pasangan, melainkan sebagai saudara. Hari ini, ketika ia melihat Na berdampingan dengan Rico di pelaminan, ia merasa bahagia meskipun tak mampu menepis rasa sakit karena harus melepaskan wanita yang ia cintai. Na sudah bahagia dan itulah yang terpenting.

“Kukira kamu sudah pergi.”

Suara Sasha yang ringan membuatnya menoleh cepat. Sejujurnya, ia tertarik pada Sasha. Selama menginap di sini, pandangannya tak pernah lepas dari wanita itu dan entah mengapa ia senang berada di dekat Sasha. Kehadiran Sasha seakan-akan membangkitkan semangatnya yang sudah lama hilang.

“Aku menunggumu. Kamu tahu itu, kan?” sahut Ted tenang.

Nope,” jawab Sasha cepat, duduk di kursi pantai yang kosong.

“Lalu, kenapa kamu ke sini?” tanya Ted penasaran.

Just curious,” jawab Sasha santai. Rambut hitam pekat itu terlihat bersinar di bawah sinar matahari yang mulai meredup.

“Padaku?” tanya Ted iseng.

“Bukan, tapi sama pertanyaanmu tadi,” jawab Sasha tenang sebelum merebahkan tubuh dan menatap hamparan laut. Sasha benar-benar menarik, membuatnya gemas ingin merasakan bibir indah itu lagi. Jantungnya berdebar cepat ketika mengingat ciuman mereka di lift. Ia tahu kalau mereka baru mengenal selama beberapa hari, namun Sasha terasa begitu tepat dalam pelukannya.

Ted memerhatikan wajah Sasha yang cantik dengan mata hitam pekat, bibir indah merekah, serta hidung mancung yang menggemaskan. Ia yakin Sasha mampu menaklukkan pria dalam sekejap. Tetapi saat mengetahui kalau Sasha tidak ingin menjalin hubungan romantis dengan pria, ia pun jadi penasaran.

Ia merasa ada rahasia besar yang berusaha Sasha tutupi, terutama saat wanita itu berdiri di balkon dengan raut wajah aneh. Tampak seperti bukan Sasha yang ia kenal.

“Sudahlah, tidak perlu bahas lagi,” kata Ted datar, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Great! Kalau begitu, aku punya waktu lebih untuk istirahat dan menikmati sunset. Hari ini cukup melelahkan. Kakiku rasanya mau copot,” keluh Sasha sambil mengembuskan napas panjang tanpa menoleh sedikit pun padanya.

Matanya mulai memerhatikan setiap jengkal tubuh Sasha. Ingin sekali ia berpaling, tapi tidak bisa. Tubuh itu begitu sempurna, tidak kurus bagaikan tengkorak hidup dan juga tidak terlalu gemuk dengan payudara yang tidak terlalu besar. Kulit putih mulus yang sedikit menggelap karena sinar matahari pun tak menghilangkan aura cantik yang terpancar jelas.

Stop looking at me like that!” tegur Sasha tiba-tiba dengan pandangan lurus ke depan, membuat Ted tersentak kaget.

Like what?” jawab Ted salah tingkah. Sasha menyunggingkan senyum tipis, lalu menoleh menatap Ted. 

“Sudahlah. Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Ted. Aku terbiasa dengan tatapan itu,” jelas Sasha santai.

“Tapi kamu benar-benar cantik,” puji Ted membela diri sebelum mengalihkan pandangan ke lautan.

I don’t care,” balas Sasha cuek. Ted kagum dengan jawaban itu. Sasha berbeda dari wanita-wanita yang pernah ia kenal, membuat Ted semakin penasaran.

Matahari perlahan-lahan mulai terbenam. Cahaya lampu-lampu kuning hangat membuat suasana sore itu semakin indah. Ted menutup mata dan entah mengapa wajah Na kembali muncul. Ia segera membuka mata dan memutuskan bangkit dari kursi, lalu mengulurkan tangan ke Sasha. 

“Mau makan malam denganku?” ajak Ted tersenyum lembut, mencoba menyembunyikan perasaannya yang hancur.

“Aku tidak bisa, sorry. Tugasku belum selesai, masih ada makan malam pengantin yang harus aku awasi dan ... acara itu akan berlangsung dua jam dari sekarang,” jelas Sasha sambil melihat ke jam tangan.

May I help you?” tanya Ted lagi. Sasha mengangkat salah satu alis mata, tampak curiga padanya. 

“OK. Tapi kamu harus menuruti semua perintahku,” jawab Sasha dengan gaya memerintah yang menggemaskan.

“Baik, Tuan putri,” sahut Ted patuh. Sasha tersenyum tipis mendengar jawabannya. Banyak hal yang ia sukai dari Sasha, termasuk senyuman itu.

“Lebih baik kita ganti pakaian dan bersiap-siap untuk kegiatan selanjutnya,” perintah Sasha seraya beranjak dari kursi. Mereka pun berjalan berdampingan menuju hotel.

*****

Sasha berdiri di tengah puluhan kursi dan meja bundar yang sudah tersusun rapi. Meja dan kursi pengantin yang ada di atas panggung kecil tampak menawan dan indah. Ia bersyukur pihak hotel dan vendor bisa bekerja sama dengan baik demi kelancaran acara hari ini.

Pandangan Sasha tertuju pada lampu-lampu hias di sekitar lokasi, sangat indah dan sempurna. Band yang bertugas sedang bersiap-siap di sisi lain panggung. Sasha juga bersyukur dengan kehadiran Ted yang sangat membantu, bahkan memberikan beberapa masukan yang tidak sempat terpikirkan olehnya.

Pandangannya tertuju pada Ted yang asyik berbicara dengan salah satu pemain musik. Pria itu terlihat tampan di balik kemeja biru dan celana bahan hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Rambut yang tersisir rapi serta wajah bersih membuat Ted terlihat segar dan menarik. 

Tak sengaja tatapan mereka saling bertemu. Ted melayangkan senyuman, tetapi ia tidak membalasnya. Ia berusaha menjaga agar semua berada dalam batas aman. Ia tidak berharap kejadian di lift terulang kembali.

Sasha membuka buku catatan, mengalihkan pandangannya dari Ted, lalu berbalik dan melangkah menuju meja prasmanan. Semua makanan sudah tersaji. Beberapa tamu mulai berdatangan dan waktu semakin dekat dengan acara makan malam. Setelah memastikan semua siap, Sasha segera menghampiri Ted.

“Aku akan ke kamar pengantin. Tolong awasi tempat ini, ya,” pinta Sasha pada Ted.

“Baik, Tuan putri,” sahut Ted patuh.

And, stop calling me that,” tegur Sasha sebelum berbalik dan pergi dari hadapan Ted. Ia berusaha tidak memedulikan tawa kecil Ted di belakangnya.

Sasha segera masuk lift saat pintu terbuka, menekan tombol ke lantai yang ia tuju. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka. Sasha melangkah cepat menuju kamar pengantin. Setibanya di depan pintu kamar yang sudah terbuka lebar, Sasha melihat sedikit kegaduhan di dalam sana. 

“Kalian sudah siap?” tanya Sasha cepat.

“Sebentar lagi, Mbak,” jawab salah satu penata rias. Sasha melihat jarum jam tangannya dan seketika itu pula raut wajahnya berubah.

“Bisa lebih cepat?” tanya Sasha lagi, sedikit menekan nada suaranya. Tidak ada seorang pun berani menjawab pertanyaan Sasha. Rico, yang sudah siap, mulai menghampiri dan menyunggingkan senyum kecil, berusaha meredam amarah Sasha.

“Kalau kalian tidak bisa menyelesaikannya sekarang, aku tidak akan membayar kalian sepeser pun!” ancam Sasha tegas.

“Kami sudah siap!” jawab salah satu perias itu, sedikit berteriak. Akhirnya, si pengantin wanita berjalan dan berhenti di samping Rico. Riasan wajah dan rambut yang sempurna, serta gaun malam yang indah membuat wanita itu terlihat semakin memesona.

Are you ready, Babe?” tanya Rico pada istrinya.

I’m ready, Rico,” jawab wanita itu, semringah.

Rico mengecup lembut bibir wanita itu sebelum melangkah mengikuti Sasha menuju pintu lift. Dengan cepat lift membawa mereka ke lantai dasar. Sasha bergegas keluar diikuti oleh sepasang pengantin menuju lokasi makan malam. Tempat itu sudah dipenuhi oleh para tamu undangan.

Sasha mengarahkan sepasang pengantin agar berdiri di bawah rangkaian bunga yang dibentuk seperti gerbang masuk. Ia memberikan aba-aba ke MC yang langsung membuka acara malam itu. Para tamu berdiri menyambut kedatangan pengantin yang melangkah di karpet merah.

Iringan lagu ‘Wonderful Tonight’ dari Eric Clapton membuat suasana semakin romantis. Para tamu dipersilakan duduk saat pengantin duduk di pelaminan. Acara pun dimulai. Sasha mulai mengitari tempat itu, memerhatikan jalannya acara sambil sesekali mencari keberadaan Ted. Setengah jam ia mencari pria itu, tetapi tidak ketemu.

“Kamu mencariku?” tanya Ted, tiba-tiba muncul di belakang Sasha. Ia berjingkat sedikit karena terkejut, lalu berbalik dan menatap Ted yang berada sangat dekat dengannya. 

“Merindukanku?” goda Ted sambil menyeringai.

In your dream,” sahut Sasha kesal, “dari mana saja, sih?” 

“Toilet,” jawab Ted singkat. Sasha segera berbalik memerhatikan kembali acara yang sedang berlangsung. Saat ini, pengantin sedang berdansa. Rico melingkarkan tangan di pinggang wanita itu dan menatap dengan hangat dan penuh cinta, begitu juga sebaliknya. Tatapan yang menunjukkan betapa bersyukurnya mereka karena sudah menemukan belahan jiwa.

Ingin rasanya ia merasakan hal yang sama, namun seketika itu pula tubuhnya menegang karena sisi lain dari dirinya tidak menyukai apa yang ia inginkan. Percikan menggelitik dalam dada membuat tubuh Sasha kaku. Senyum kecil terukir di ujung bibirnya saat menyaksikan kemesraan itu, sementara air mata mulai menggenang dan menetes begitu saja. 

Kau tidak akan bisa merasakan itu, Sasha! Tidak akan bisa!

*****

Ted berdiri di samping Sasha. Ia menoleh dan melihat air mata Sasha menetes sementara tatapan wanita itu tertuju ke pengantin yang berdansa. Tak ada isak tangis yang mengiringi. Tatapan Sasha begitu tajam dan raut wajahnya tampak kaku. Tanpa pikir panjang, Ted memutar tubuh Sasha menghadap dirinya dan menatap mata itu dalam-dalam, lalu mendaratkan ciuman di bibir Sasha. Air mata Sasha mengalir semakin deras, tetap tanpa isak tangis.

Ia melumat bibir Sasha, memancing agar wanita itu menyambutnya. Namun, bibir serta tubuh itu tetap diam membeku. Ted melepaskan ciumannya dan kembali mengunci tatapan Sasha yang kosong. Raut wajah itu masih kaku seperti sebelumnya.

Akhirnya, ia memutuskan menarik Sasha menjauh dari tempat itu menuju salah satu sisi tepi pantai yang cukup jauh dari keramaian. Alunan musik masih terdengar, namun tak ada seorang pun yang bisa melihat keberadaan mereka. Ted mendudukkan wanita itu di sebuah batang kayu besar yang tampaknya memang disediakan untuk diduduki.

Angin pantai berembus lembut dan debur ombak di malam hari terdengar begitu keras. Ted mengamati Sasha yang terdiam. Ia menunggu selama beberapa saat hingga akhirnya kesabarannya pun menguap. Ted berlutut di hadapan Sasha, menggenggam kedua tangan itu dan menatap dalam-dalam. 

“Sasha, kamu bisa bicara denganku kalau kamu mau,” bujuk Ted lembut bercampur khawatir, karena yang wanita itu lakukan hanya diam sementara air mata terus mengalir. Ia kembali menunggu jawaban Sasha.

“Menangislah,” ucap Ted beberapa detik kemudian, “menangislah sekuat mungkin, anggap aku tidak ada di sini.”

Tangisan Sasha meledak. Ted mempererat genggamannya sambil sesekali mengusap air mata tanpa berusaha menghentikan tangisan itu. Ia tahu kalau saat ini hanya menangis yang dibutuhkan Sasha. Ia tidak tahu apa yang sudah Sasha alami, namun ia yakin setelah menangis setidaknya perasaan wanita itu akan sedikit lebih baik.

Ted mengecup punggung tangan Sasha dengan lembut, mencoba menenangkan. Tangisan itu perlahan-lahan mulai mereda. Ia membelai lembut dan menangkup wajah Sasha, lalu menatap mata itu dalam-dalam. Ia tidak tahu mengapa ia melakukan hal ini, ia hanya merasa bahwa Sasha membutuhkannya. 

“Sudah puas, Tuan putri?” tanya Ted lembut.

Tiba-tiba, Sasha memeluknya erat dan ia membalas pelukan itu. Pelukan Sasha semakin erat saat wanita itu menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan. Ted mengelus punggung Sasha dan perlahan-lahan ia bisa merasakan tubuh itu mulai tenang. Cukup lama mereka berpelukan hingga akhirnya Sasha melepaskannya.

Ted bangkit dari posisi berlutut dan duduk di samping Sasha. Pandangan Sasha tertumpu pada gelapnya hamparan laut malam. Gelombang ombak bergulung bergantian menuju bibir pantai. Terdengar dentuman musik yang berubah menjadi lebih cepat. 

“Maaf tadi aku menciummu tiba-tiba,” ucap Ted menyesal, masih terus menatap ke depan.

It’s OK. I like it,” jawab Sasha ringan dan centil, malah terdengar seperti sedang menggodanya. Ted terkejut mendengar gaya bicara Sasha yang berbeda dari biasa. Ia menoleh dan melihat senyuman miring di wajah Sasha.

“Sasha?” panggil Ted lembut seraya menggenggam tangan Sasha. Wanita itu menoleh membalas tatapannya. Raut wajah dan cara wanita itu menatapnya benar-benar berubah drastis. Tatapan dingin dengan senyum tipis. 

Oh, I love when you kiss me, Ted,” ucap Sasha liar.

*****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
A Stolen Heart
Selanjutnya A Stolen Heart (21+) - BAB 5 - BAB 6
27
0
WARNING 21++ !! (Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca.)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan