
Hampir semua orang berharap bumi menelan Nona Shin karena sikapnya yang menjengkelkan, termasuk Sonia. Semua gosip hangat penghuni gang selalu berhasil ditangkap Nona Shin. Kupingnya seperti bak besar yang bisa menampung rahasia ajaib penghuni gang. Sayangnya, rahasia-rahasia itu malah meletus dari bibirnya dan menimbulkan kegaduhan.
Halo, Kakak yang budiman. Tolong suscribe cerita saya dan tinggalkan jejak dengan berkomentar ya. Semoga jatuh cinta!
Halo, Kakak yang budiman. Tolong subscribe dan tinggalkan jejak dengan berkomentar ya. Semoga jatuh cinta!
“Itu dia. Nona Shin. Aku harap seseorang mencuri mulutnya agar dia berhenti membicarakan keburukan orang lain.” Laki-laki berpakaian hansip itu berkata sambil menunjuk ke satu arah.
Sonia mengangkat wajah. Memandang sesosok wanita keturunan sedang berkacak pinggang memarahi seorang anak laki-laki gemuk bercelana pangsi. Suara wanita itu seperti kaleng kosong. Keras, melengking dan mencemari udara. Telunjuknya menari-nari di udara ketika ia bicara.
“Dia pemilik warung sebelah ya? Warung apa sih, Pak?”
Hansip itu mengangguk. “Kelontongan. Warung serba ada sih kalau dia bilang.”
“Saya mau beli jarum sama benang.” Mata Sonia melirik wanita yang sedang marah-marah itu. Terus terang, ia enggan mendekati api yang saat ini sedang menyembur-nyembur dari bibir wanita yang dipanggil Nona Shin itu.
Baru tadi malam Sonia pindah kostan ke Gang Murah. Gang itu terletak agak jauh dari kampusnya. Namun karena harganya miring, Sonia bersemangat menjalani hari-hari barunya di tempat ini.
“Kalau perlu banget, samperin, Neng. Tetapi kalau bisa, ditunda aja.” Hansip itu tertawa kecil. Urat syarafnya korslet, membuat sebagian wajahnya berkedut-kedut liar ketika ia melebarkan bibirnya.
Sonia menangkap sebuah larangan halus. Perlahan, ia mengusap uang dua puluh ribu yang sejak tadi meringkuk dalam kepalan tangannya.
“Kalau penghuni sini mau belanja ke warung sih biasanya tunggu dia reda.” Hansip itu menjelaskan.
“Dia nggak akan marah sama pembeli, ‘kan?” Tatapan Sonia melintasi dinding setinggi dada yang membatasi area kostnya dengan warung. Keningnya berkerut melihat wanita yang dipanggil Nona Shin itu melemparkan ember kosong kepada anak laki-laki yang sedang dimarahinya.
“Paling ikut kesemprot.” Hansip itu berlalu setelah melambaikan tangan pada Sonia.
Sonia diam. Keraguan berenang dalam benaknya. Ia tak ingin paginya dirusak oleh kemarahan Nona Shin tetapi tak bisa juga menunggu lama seperti yang hansip tadi bilang. Kapan marah perempuan itu reda? Mungkin bisa sejam, dua jam atau seharian. Waduh!
Kebutuhannya tak bisa menunggu lama. Kancing paling atas jas almamaternya lepas dan Sonia harus segera menjahitnya karena siang nanti ada acara kemahasiswaan di kampus. Kakinya terasa diganduli sekarung beras ketika ia berjalan keluar pagar kostan, menuju warung Nona Shin.
Warung Nona Shin tak punya tandingan di Gang Murah. Hanya satu-satunya dan katanya menyediakan semua kebutuhan penghuni. Warung itu menghadap ke jalan gang. Dari pekarangan kostan, Sonia bisa melihat bagian belakang warung. Terdapat drum-drum minyak goreng, jeriken, botol bekas dan setumpuk kerumitan di sana.
Kini, Sonia berada di depan warung Nona Shin. Ia berdiri mematung memandangi warung yang pintunya baru terbuka sedikit karena hari masih pagi.
Bangunan warung itu terlihat sederhana. Jendelanya terbuat dari papan kayu yang berbaris seperti penjaga berbaju biru. Lantainya dari semen yang permukaannya telah mengilat karena sering dipel. Di badan pintu, Sonia melihat tulisan huruf sambung: ‘Warung Nona Shin. Warung Serba Ada.’
Sonia melangkah menjauhi lampu pijar kuning yang berada di atas kepalanya. Bola lampu itu mendesis dan berkedip-kedip seperti sedang menghadapi masa sakaratul maut. Belasan tali rami tergantung pada hampir setiap baris kusen kayu atap. Tiga bungkus kerupuk kadaluwarsa sudah mengisi gantungan tali itu.
“Permisi!” Sonia mengeluarkan suaranya.
Tak ada jawaban. Namun ia mendengar suara seorang wanita sedang mengomel dari dalam warung. Sonia tersenyum. Rupanya Nona Shin belum menamatkan kemarahannya pada anak laki-laki tadi.
“Beli!” Sonia mengencangkan panggilannya.
Terdengar langkah kaki mendekat. Seseorang menarik gagang pintu.
“Warung belum buka! Kamu orang nggak lihat tulisan yang di situ?” Seorang wanita berambut ikal, membentaknya. Dia, Nona Shin. Wanita itu berdiri di ambang pintu sambil menunjuk ke samping kanan Sonia.
Sonia terkejut. Ia menoleh ke arah yang ditunjukkan Nona Shin. Sebuah triplek bercat hitam bertuliskan “Tutup” terkulai miring di antara kayu-kayu tempat menggelar sayuran. Sungguh, tadi ia tidak melihatnya.
“Maaf, Bu!”
Nona Shin mendengkus sambil membuang muka. Namun dua detik kemudian, ia menoleh pada Sonia. “Nona, bukan ibu! Mau beli apa?”
“Tadinya kalau warung ibu sudah buka saya mau beli …”
“Panggil saya Nona!”
Sonia menelan ludahnya. “Tadinya kalau warung sudah buka, saya mau beli benang sama jarum.” Ia sengaja mengubah kata-katanya.
Nona Shin terdiam sejenak. Lalu berkata, “Tunggu sebentar!”
Sonia menghembuskan napas lega mendengar ucapan Nona Shin. Ia melihat wanita berusia empat puluh tahunan itu berbalik dan masuk ke dalam warung. Kasihan, punggungnya bungkuk seperti udang, Sonia berkata dalam hati.
“Beli berapa banyak?” Nona Shin kembali dengan membawa satu kotak plastik berisi beberapa kelos benang, beberapa set jarum dalam berbagai ukuran, satu lusin peniti, catut kuku dan jepit-jepit yang terbuat dari besi tipis. Ia mengulurkan kotak plastik itu ke depan Sonia.
“Saya beli benang satu kelos sama jarum satu biji aja, Bu.” Sonia menyentuh kelosan benang-benang yang tumpang tindih dengan barang-barang lain.
“Nona, bukan ibu!” cetus Nona Shin, cepat. Ia mengangkat alisnya. Kacamata tebal yang dipakainya, ikut terangkat.
Sonia mengangguk. “Oh iya, Nona. Maaf,” ralatnya.
“Warna apa?” Nona Shin menggerak-gerakkan benang-benang itu dengan telunjuknya, menunggu jawaban Sonia.
“Saya mau benang biru dan jarum ukuran sedang.” Sonia memandang punggung tangan Nona Shin yang berwarna kuning pucat penuh bintik. Kulitnya terlihat mirip adonan kue yang baru saja kena tumpahan chips coklat.
“Ini dia!” Nona Shin mengulurkan barang yang diminta Sonia. “Jarumnya cukup seukuran gini?”
Sonia memandang kedua benda itu lalu mengangguk. “Saya rasa itu sudah cukup.”
Nona Shin tak berkomentar. Ia masuk lagi ke dalam warungnya, dan kembali dengan sebuah kertas dan plastik bening. “Tusukkan jarumnya pada kertas ini agar tak membuat tanganmu luka.”
Sonia mengikuti perkataan wanita itu. Ia menusukkan jarum pada kertas lalu memasukkannya ke dalam plastik bening. “Jadi berapa semuanya?”
“Dua belas ribu.”
Sonia mengulurkan uangnya pada Nona Shin.
Nona Shin menoleh ke dalam warung sambil berteriak, “Chun-chun, ambil kembalian delapan ribu!”
Seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh belas tahun keluar dari dalam warung dengan tergopoh-gopoh. Badannya subur oleh lemak. Derap langkahnya penuh dan berat seakan-akan ia menancapkan seluruh telapak kakinya ketika sedang berjalan.
“Ini kembaliannya. Senang bisa melayani. Datang kembali ya!” ucap anak laki-laki itu. Wajahnya terlihat berseri-seri ketika tangannya mengulurkan uang kembalian pada Sonia.
“Terima kasih.” Sonia tersenyum padanya lalu melirik Nona Shin yang sibuk menurunkan papan-papan berwarna biru. Nampaknya warung akan segera dibuka.
Anak itu membungkukkan punggungnya lalu menjawab, “Terima kasih kembali.” Setelah itu, dia masuk kembali ke dalam warung dan keluar lagi dengan memeluk setumpuk sayuran. Aroma cuka mengitari seluruh tubuhnya. Terbawa angin, mampir ke hidung Sonia.
Sonia membalikkan badan, menahan mual. Aroma itu hampir membuatnya pingsan. Cepat-cepat ia berlalu dengan pikiran penuh.
Setelah menjahit kancing baju, ia harus segera mandi dan berangkat ke kampus. Hanya ada empat kamar mandi di tempat kostnya. Jumlah itu tak seimbang melawan kebutuhan dua puluh penghuni kamar kost yang rata-rata beraktifitas di pagi hari. Tak heran, beberapa penghuni yang enggan antri, ikut ke kamar mandi masjid atau malah tak mandi sekalian!
“Kamu orang anak kost?” Tiba-tiba Nona Shin menoleh. Ia telah selesai menurunkan papan-papan dan menumpuknya dalam tiga bagian di ujung warung.
Langkah Sonia terhenti. Ia menoleh lalu mengangguk. “Iya. Saya kost di sebelah. Pondok Intan.”
“Oh Tuhan.” Nona Shin mengeluh. Ia memejamkan matanya yang sipit sejenak. Lalu membukanya cepat, kemudian dengan setengah melotot, bibir carutnya bertanya, ”Sudah kenal sama yang namanya Ira di situ? Banyak yang bilang, dia pelakor!”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
