Villain Me Not | Chapter 1 & 2

23
24
Deskripsi

Chapter 1 - Gadis Belia di Dalam Sel

Berbeda dari budak manusia kebanyakan, kulitnya terlampau putih dan mungkin halus jika diraba. Terlalu bersih. Siapa gadis ini? Kaisar tua bangka itu tidak pernah mengambil gadis kecil untuk dijadikan budak dalam gladiator.

Sial. Kerongkongan Loux mendadak lebih kering dari biasanya.

Chapter 2 – Topeng Lain Loux

“Dia masih belia, Yang Mulia,” kata Loux lagi. Padahal, ia sama sekali tidak berniat untuk menyelamatkan si gadis belia. “Anda tidak bisa—”

Netra abu kebiruan...

Chapter 1 – Gadis Belia di Dalam Sel

Matanya terbuka cepat saat kereta kuda tiba-tiba berguncang. Loux lantas memeriksa situasi di luar jendela. Ia menghela napas lega. Ternyata hanya karena kereta kuda sedang melintasi jalur bebatuan.

Setelahnya, Loux menoleh ke arah sang kembaran yang masih terlelap. Pasti sangat sulit bagi Petra untuk melakukan ini ketika tubuhnya sedang tidak masif. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Gladiator tetap harus berjalan, apalagi hari ini cukup berbeda.

“Adik, semua baik-baik saja? Kau terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”

“Kau sudah bangun, Kak.” Loux menyoroti iris abu kebiruan senada miliknya itu agak sendu. Ia merapat ke hadapan kembarannya sebentar untuk meraba kening Petra. Masih panas, pikirnya saat itu juga.

Petra balas menatap Loux dengan pandangan rumit. “Aku sudah baik,” katanya pelan. Tepat Loux sudah kembali duduk sempurna di jok kereta, ia meneruskan, “Tetapi kau tidak.”

Loux tersenyum tipis. “Apa maksudmu? Aku baik-baik saja.” Secara fisik, iya.

Sang kembaran mengembuskan napas berat. “Jangan khawatirkan aku,” gumamnya, terselip kegetiran di sana. “Khawatirkan dirimu sendiri, Adik. Sudah kubilang, bukan? Pergilah jauh dari Quillen. Kau masih bisa lepas dari cengkeraman Papa, bahkan tanpa bantuanku.”

Senyum tipis Loux meredup. Air muka datarnya menandakan jika ia tidak pernah menginginkan topik tersebut itu ada. “Kita tidak akan membicarakan ini lagi, Kak,” ujarnya tak menerima bantahan. “Dan jangan panggil bajingan itu dengan ‘Papa’. Ayah mana yang rela memecut anak-anaknya seperti binatang?”

Hah … aku sebenarnya ingin mendebatmu, Adik, tetapi kita sudah sampai.” 

Petra melempar pandang ke luar jendela kereta kuda. Binar matanya tampak lebih sendu daripada sebelumnya—dan Loux menyesal untuk itu. 

“Ayo bersiap. Mereka sudah datang.”

Tepat Petra mengatakan itu, pintu kereta kuda mereka pun terbuka dari luar. Loux dan Petra segera meraba sisi jok yang kosong, mengambil topeng ‘pesta’ milik masing-masing. Pangeran Kedua Quorbior keluar paling pertama, disusul dengan Petra, Putra Mahkota Pertama.

Saat keduanya telah menjejak di luar kereta, pandangan mereka langsung disuguhi fasad sebuah amfiteater. Semakin hari, bangunan megah berbentuk bulat tanpa atap itu semakin tidak terpelihara. Walau tidak digunakan setiap hari, aroma darah di sini teramat kental. Angin selalu mengembuskan bau anyir.

Jelas tidak sedap, tetapi entah bagaimana banyak sekali kaum mereka yang terpikat.

“Yang Mulia Putra Mahkota.”

Loux beralih dari fasad amfiteater kepada seorang prajurit yang membuka pintu. Tatapannya sepintas melirik ke arah Petra. Sang kembaran tidak bereaksi apa-apa.

“Mari, hari ini Anda akan memilih,” ujar prajurit itu santun. Ia berbalik memunggungi kedua Pangeran Quorbior untuk menggiring mereka ke amfiteater.

Saat sampai di fasad amfiteater, prajurit itu meraba beberapa bagian dinding, kemudian mendorongnya pelan. Tekanan itu cukup membuat celah di antara dinding. Sampai celah tersebut bergeser dengan sendirinya, kemudian tangga menuju arah turun mulai terlihat.

Kali ini, prajurit itu tidak mendahului jalan kedua Pangeran. Ia menepi sebentar dan membiarkan Loux serta Petra turun lebih dulu. Prajurit itu baru menggeser dinding ke semula saat ketiganya sudah berada di dalam.

Bau anyir semakin menguat seiring undakan kian rendah. Loux menggosok rongga hidung dengan telunjuknya. Ia tidak sensitif dengan bau darah, tetapi lebih baik apabila tidak mencium itu sama sekali.

Setiba mereka di undakan terbawah, ada sebuah lorong yang akan mengusung mereka ke sel-sel budak. Samar-samar Loux dapat mendengar suara jerit tangis. Itu jelas bukan berasal dari manusia maupun undeity, lebih kepada milik roh-roh yang mati.

Mendengarnya membuat kepala Loux menjadi sakit. Jadi, Loux segera menulikan indra pendengarnya dari suara-suara itu. Ia terus melangkah melintasi dinding bebatuan yang penuh bekas darah. Mereka selalu menjadi saksi mata dari siksaan yang diarahkan kepada para budak Kekaisaran.

Dug.

Langkah Loux terhenti di udara. Ia buru-buru menoleh ke belakang dan menghampiri Petra yang kini menopang pada dinding.

“Kak, kau baik-baik saja?” bisik Loux selagi melingkarkan sebelah tangan Petra ke pundaknya. Tak sengaja ia menyentuh tengkuk kembarannya dan terbelalak. “Sial, kau semakin panas.”

“A-Aku … baik ....”

Loux menghela napas. Ia menoleh ke arah prajurit di belakang mereka. “Tolong bawa adikku langsung ke amfiteater saja,” titahnya.

“T-Tetapi, Yang Mulia, bagaimana dengan Anda? Saya harus menjaga Anda.”

Di rangkulannya, Petra mengangguk setuju. “I-Iya … prajurit itu benar. Mereka … bisa melukaimu.”

“Para makhluk rendahan itu mustahil melukaiku,” balas Loux tenang. Ia mulai mengoper rangkulan Petra kepada prajurit utusan Kaisar. “Sekarang, bawa dia istirahat.”

“B-Baik, Yang Mulia.”

Seperginya kedua deity itu dari pandangan Loux, ia lanjut meneruskan perjalanan hingga masuk ke belokan lorong. Pria bersurai perak itu langsung bisa melihat barisan sel budak pada kedua sisi lorong. Kali ini bau tidak sedapnya semakin menjadi-jadi—campuran pengap, keringat, darah, dan luka membusuk.

Loux menahan napas lama. Ia hanya sesekali menarik udara sekitar. 

Lorong sel beberapa meter di depan sana masih hening. Hanya ada rintihan atau isak tertahan dari para penghuni di dalamnya. Sampai ia tiba di barisan kanan sel pertama, sang penghuni telah mengembuskan napas terakhir.

Sepertinya baru mati semalam jika dilihat dari bintik merah kebiruan yang melebar di bagian paha. Kedua pergelangan tangan masih dalam posisi terikat rantai pada dinding. Sekujur tubuh telanjang manusia itu pucat dan penuh luka lebar. Bagian terparah berada di intinya yang masih mengalirkan darah basah.

Para binatang itu, geram Loux. Tangannya meremas kuat kepalannya sendiri.

Loux tidak mau menatap manusia malang itu terlalu lama. Jadi, ia pun beralih atensi menuju sel pertama di barisan kiri. Mendadak, Loux lupa cara untuk bernapas. Ia tanpa sadar melangkah ke depan sel itu. Suara derap alas kakinya berhasil membuat penghuni di dalam sana mendongak.

Deg. Ia bersumpah jantungnya tidak pernah se-mencelus ini.

Iris hitam yang kini ditatap Loux memperlihatkan ketakutan yang amat kental. “Ka—kak, tolong …,” lirih gadis itu tersekat.

Demi Ibu Dewi, batinnya saat itu juga. 

Ia tidak bisa melakukan apa-apa. Sama halnya sekujur tubuh polos gadis belia itu dibelenggu dengan rantai, Loux juga. Hanya saja, rantai milik pria itu tidak kasatmata. Dan bukan berarti, ada kata ‘siapa’ yang lebih menderita.

Tangan Loux meremas kuat jeruji sel. Ia menahan cukup lama tatapannya pada gadis belia itu. Ada pikiran liar melintas secara memalukan di benak Loux. Tentang tubuh si penghuni sel yang luar biasa indah.

Berbeda dari budak manusia kebanyakan, kulitnya terlampau putih dan mungkin halus jika diraba. Terlalu bersih. Siapa gadis ini? Kaisar tua bangka itu tidak pernah mengambil gadis kecil untuk dijadikan budak dalam gladiator.

Sial. Kerongkongan Loux mendadak lebih kering dari biasanya.

Tolong ….” 

Tiba-tiba, suara halus si gadis belia kembali terdengar. Loux lekas menyadari deru napasnya kini tersengal-sengal. 

Ia menyugar surai peraknya sejenak untuk mengembalikan utuh kewarasan pria itu. Alih-alih, Loux semakin dibuat tidak berdaya karena penampilan berantakan si gadis belia—terutama surai cokelat kayu manisnya—justru berhasil membangkitkan bagian terliarnya.

Ia hampir kehilangan akal sehat dengan membuka kuncian sel. Namun, sebelum sempat melakukannya, gadis belia itu kembali mengatakan sesuatu yang membuat hati Loux teriris.

“Kakak tidak seperti orang-orang itu, kan …?”

“… orang-orang yang hanya akan membuka kunci untuk melepas pakaian mereka dan membuat kami menjerit tanpa henti?”[]

Chapter 2 – Topeng Lain Loux

“Nak, kau tidak bisa memilih dia.”

Loux menegang saat suara Kaisar Erran XIII merebak dari lorong tempatnya datang tadi. Pria itu lekas berbalik menghadap pemilik suara. Ia tidak lagi memperhatikan si gadis belia walau ekor netranya mengkhianati Loux.

Dapat ia temukan gadis belia itu mulai menggeliat gelisah. Suara rantai yang beradu dengan dinding semakin keras. Tampaknya ia kini sedang meronta-ronta. Loux belum mencerna apa-apa, sekadar menoleh pun tidak. Pria itu hanya berusaha menahan pandangan kepada si tua bangka, tidak lain adalah ayah mereka.

Binar netra putih kebiruan itu … Loux tidak pernah menyukainya.

Tanpa sadar, tangan Loux terkepal kuat di sisi tubuhnya. Ia menunduk rendah saat sang kaisar membuka kuncian sel si gadis belia. 

Jauh,” lirih gadis itu beberapa kali, “pergi … PERGI!”

Loux melirik ke balik bulu netranya. Ia mengamati tiap langkah santai Kaisar Erran XIII. Bahkan orang tua itu tampak tidak cukup memiliki hati dan otak sekadar berhenti untuk menuruti kata-kata gadis belia.

“Yang Mulia, mohon maaf, tetapi dia meminta Anda untuk berhenti,” ujar Loux tanpa dapat ia kendalikan. 

Tangan pria itu semakin mengepal kuat sampai kuku-kukunya menembus daging di kulit. Darah pun mencuat dari sana, menitik ke permukaan lantai yang juga penuh oleh darah.

“Dia masih belia, Yang Mulia,” kata Loux lagi. Padahal, ia sama sekali tidak berniat untuk menyelamatkan si gadis belia. “Anda tidak bisa—”

Netra abu kebiruan Loux membeliak. Sesuatu berbentuk sabit putih melintasi pelipisnya dengan kecepatan melebihi satu kedipan. 

Pria itu lekas menunduk semakin rendah. “Mohon maaf, saya menyesal. Anda bisa melakukan apa pun kepadanya,” lirih Loux parau. “Luangkan waktu Anda. Saya akan menuju sel budak lainnya.”

Jadi, saat Kaisar Erran XIII tidak lagi mengatakan apa-apa, Loux mengejar langkahnya menyisiri sel-sel lain. Ia agak tersekat saat mendengar suara merintih dari belakangnya. Tak lain bersumber dari sel milik gadis belia. Entah kebejatan apa yang sedang dilakukan oleh sang kaisar kepadanya.

Loux berusaha menulikan telinganya dari alunan mengagumkan berbalut tangisan deras itu. Ia mulai bertukar tatap pada satu per satu penghuni sel. Tiap pandangannya direspons oleh pandangan ketakutan yang sangat ia benci. 

Pria itu tahu ia harus memilih budak untuk diadu dalam gladiator. Salah satu syaratnya, mereka harus masih sehat. Berani memandanginya dengan sorot ketakutan itu selalu menjadi standarisasi ‘sehat’ bagi Loux. Jadi, ia memilih delapan belas budak pemberani, mencatat tiap nomor sel terpilih di benaknya.

Sampai Loux tiba di sel paling ujung. Sel ini berhadapan dengan sel yang sudah kosong. Loux menemukan seorang wanita bertubuh memar dan penuh luka duduk di dipan besi. Ada bekas-bekas gigitan sangar yang merobek tengkuknya. Namun, Loux tidak pernah melihat binar mata itu dari sosok yang pernah digauli paksa seseorang.

Binar penuh intimidasi, tetapi hangat pada waktu yang sama.

Fakta Loux mengenali wanita ini, membuat Loux sebisa mungkin menatap ke mana pun kecuali dia. “Bibi … harusnya kau tidak pernah berhubungan dengan makhluk rendahan itu,” Loux tertawa berat, “lihat dirimu. Hanya kau yang terlihat paling murni di neraka ini.”

“Petra.”

Loux mendongak menyoroti Adrasteia. Wanita itu mengulaskan senyum tipis. “Kau tidak perlu menggunakan topengmu.”

Pria itu melepas topengnya meski tak paham.

“Maksudku, topengmu yang lain ... yang tidak terlihat.” Adrasteia menggerakkan kedua tangannya untuk menyentuh area hatinya. “Tidak apa. Semua akan baik-baik saja untukmu.”

“Hiburlah dirimu sendiri, Bibi.” Loux memasang kembali topengnya dengan jemari yang gemetaran. “Sebentar lagi, kau akan mati … di tanganku.”

“Masuklah kemari sebelum aku mati.”

“Apakah ini caramu menggodaku?” tanya Loux tak suka. “Aku tidak tertarik dengan tante-tante bertelanjang.”

Adrasteia tertawa pelan. Ia menyoroti Loux yang mulai membuka kunci sel.

Loux duduk canggung di sisi Adrasteia. Perlahan-lahan, ia rasakan tangan wanita itu terulur untuk meraup pipinya.

“Lepaskan topengmu sebentar, Loux.”

Raga Loux mendadak menegang. “Sepertinya detik-detik terakhir sebelum mati membuatmu lupa ingatan, Bibi,” gumamnya seraya menjauhkan tangan Adrasteia dari pipi. “Semua orang memanggilku Petra.”

“Tetapi saat ini, kau adalah Loux. Bukan Petra.”

“Loux kembaranku.”

“Petra juga kembaranmu.” Adrasteia meremas lembut kedua tangan Loux. “Namun, ini bukan tentang dia. Tetapi Petra, bagian dari topengmu yang lain. Yang menyimpan semua perasaannya sendiri, mungkin? Yang kaku. Yang suka sekali berpura-pura kalau semua berjalan baik-baik saja.”

Loux menghela napas. “Bibi, kau hanya pernah merawat kami beberapa bulan saat kecil. Kau tidak tahu apa-apa tentangku atau kembaranku.”

“Perbedaannya sangat kentara antara kau dan dia.” Adrasteia menatap lurus dinding bebatuan di hadapan mereka. “Aku bisa merasakannya.”

“Aku tidak paham dengan perbedaan yang kaumaksud. Tetapi, kurasa aku harus pergi.”

“Tunggu.” Adrasteia menangkap pergelangan Loux sebelum pria itu berdiri. “Putriku di ujung sana … apa yang terjadi?”

Kedua alis Loux bertaut. “Putri Bibi?”

“Gadis kecil lima tahun di bawahmu,” ujar Adrasteia. Pandangannya kembali menerawang. “Kau mungkin sudah melihatnya tadi. Ia sangat cantik—dan mungkin saja kau akan menyukainya dalam sekali lihat.”

“Maksudmu, gadis bersurai cokelat kayu manis itu?”

Adrasteia tersentak. Untuk pertama kalinya, Loux melihat ekspresi lain di sana.

“Ternyata benar, dia ada di sini. Berarti ayahnya sudah tertangkap.”

“Kau tidak tahu putrimu ada di sini?” Pria itu tertawa parau. “Kau sangat sial, ya, Bibi.”

Wanita itu mengukir senyum kecut. Ia mendongak menatap iris abu kebiruan lawan bicaranya. “Putriku akan melewati masa yang sulit,” bisik Adrasteia parau. “Jika suatu saat kau mampu, bisakah kutitipkan putriku padamu?”

Loux mengangkat satu alisnya. “Mampu?”

“Mengubah seluruh kegilaan ini.” Kegilaan Kaisar Erran XIII, maksudnya.

Walaupun ragu, Loux tetap mengangguk. Wanita itu telah meminta Loux untuk melepaskan topengnya. Ia tidak harus berpura-pura lagi di hadapan mantan pengasuhnya dulu itu, bukan? Jadi, Loux berlutut di hadapan Adrasteia. Ia mengambil kedua tangan wanita itu, mengecup punggung tangannya yang penuh goresan luka kering.

“Setelah ini, istirahatlah dengan tenang, Bibi. Perriloux Erran di sini untuk membalas seluruh kebaikan Bibi kepada kami. Dan maaf ….”

“… maaf karena aku masih belum cukup kuat melindungi putrimu untuk saat ini.”

Adrasteia mengulaskan senyum teduh. “Yang terpenting dariku adalah,” jeda beberapa detik, “jangan pernah bosan menjadi sosok paling baik di keluargamu, Loux.”

Tidak ada yang aneh dari kalimat itu. Namun entah mengapa, Loux merasa ada pesan lain yang tidak tersampaikan jelas olehnya.

Saat Loux berniat untuk merespons, tiba-tiba ada suara berisik dari luar sel. Loux melihat beberapa penjaga mulai mendatangi sel Adrasteia. Pria itu menatap bibinya sekali lagi sebelum beranjak keluar. Ia memberi anggukan santun untuk kali terakhir sebagai Loux.

Begitu ia telah kembali sebagai Petra, pria itu bertitah, “Bawa wanita rendahan itu ke amfiteater. Sebagian dari kalian, ikut aku untuk mengambil makhluk rendahan lainnya.”

Kemudian, ditinggalkannya sel Adrasteia dengan hati yang kosong.[]

Permisi, aku mau merekomendasikan salah satu cerita keren nih dari Kak Inez (@TheEod). 

Judul: Reputasi

Spoiler: Berkisah tentang Satya yang nama baiknya dirusak orang misterius karena telah membunuh salah satu teman kencannya setelah pesta, padahal Satya tidak pernah membunuh siapa pun. Satya mencari pelakunya dan minta bantuan Sarah si mantan kekasih. Apa Satya berhasil memulihkan nama baik sekaligus menyelamatkan nyawanya dan Sarah dari ancaman berbahaya? 

Seru banget plis! Jangan lupa mampir, ya!

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Villain Me Not | Chapter 3 & 4
24
25
Chapter 3 – Binatang Tak Berotak “Jangan lihat ….”“Kau tidak bisa memerintahkan kami sesukanya,” balas Loux tak suka. “Terkadang, larangan ada untuk dilanggar, gadis.”Chapter 4 – Memang PenjahatNetra hitam Aelris menjumpai milik Loux, hampir memelas. Akan tetapi, pria itu menatapnya balik seperti gadis belia itu hanya seorang rendahan.“Kau terlihat lebih cocok tanpa mengenakan apa-apa, gadis.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan