ONCE UPON A SIN | CHAPTER 1 – Kisah Anak Miskin

17
15
Deskripsi

“Aku ini Putra Mahkota, tahu? Sekarang kau sedang mendapatkan kebaikan dari seorang Putra Mahkota Altrucan. Jadi, bersyukur saja. Jarang ada orang kaya yang baik sepertiku.” 

— Dein Cadigan, Putra Mahkota Altrucan.

“Oi, miskin. Kok masih hidup saja?”

Tak. Batu seukuran kelereng mendarat di pelipis seorang anak berkaus kutang dengan luaran kumal. Ia masih duduk di lantai sambil memeluk lututnya, tidak berkelit walau batu tadi masih bisa ia hindari jika ingin. Anak itu merasa mereka tidak akan berhenti, kecuali ketika mereka puas dengan mainannya. Bagi para anak dari keluarga mampu, anak miskin sepertinya tentu dianggap lelucon semata.

Biasa mereka akan berpuas-puas memainkannya hingga berdarah-darah. Baru meninggalkan si anak miskin setelah jatuh tengkurap. Itu bisa menghabiskan lima belas sampai dua puluh menit lamanya—dan ini baru satu menit pertama. Masih ada sekian menit yang harus ditempuh oleh anak miskin itu dengan siksaan-siksaan. Kali ini, ia tidak hanya melawan siksaan mereka, tetapi juga melawan siksaan internalnya.

Ia cuman ingin makan. Kelaparan sudah membuat seluruh tubuh si anak miskin bergetar. Adakalanya ia beruntung jika ketiga berandal cilik itu datang dengan makanan seperti apel busuk, tofu kedaluwarsa, brokoli berulat, atau apa pun yang setidaknya bisa ia lahap. Walaupun mereka tidak menyerahkan makanan secara etis, tetapi ia tidak masalah. Asal lapar di perutnya bisa terpuaskan.

Iuh, kalian lihat kaki itu?” Salah satu dari mereka bertanya ke sesama kawannya sambil menunjuk kaki si anak miskin. Ia berada di paling tengah.

Kepala anak miskin itu tertunduk untuk melihat kakinya sendiri. Sekujur tungkainya penuh oleh koreng. Sebagian ia mendapatkannya dari gigitan serangga. Karena kelewat gatal, jadi ia harus menggaruknya sepanjang hari. Terutama saat tengah malam, di mana para serangga bisa dengan mudah mencari darah di daging-daging manusia. Kain tipis yang menyelimuti tubuh ringkih anak itu saat tidur pun tak banyak membantu.

Selain gigitan serangga, sisanya tentu hasil dari perbuatan mereka bertiga. Entah itu luka yang timbul karena lemparan batu atau peluru pistol mainan. Akan tetapi, kini ketiga anak kaya tersebut menatap kakinya seolah-olah itu tidak pernah menjadi bagian dari kebrutalan mereka.

“Aku lihat, aku lihat! Sungguh menjijikkan!” Tatapan salah satunya—anak di sisi kiri—menyorot jijik si anak miskin. “Aku bisa melihat belatung bergerak-gerak di sana.”

Yang paling kanan tidak lupa untuk menimpali, “Jangan lupakan juga lalat-lalat yang beterbangan di sekitar kaki dia.”

Ketiga anak itu bergidik serentak sambil mengusap-usap lengan atas mereka, tetapi tidak berlangsung lama. Si anak paling tengah merogoh saku celananya. Gelagat itu berhasil memancing seberkas sinar harapan di mata sang anak miskin. Berbeda dengan reaksi anak itu, justru mata ketiganya mulai mengilatkan kelicikan. Yang paling tengah menatap bergantian kedua kawannya.

“Karena kami baik, jadi kami akan membantu.”

Si anak miskin terdiam sesaat. Mata sayu itu semakin memancarkan harapan. Semoga di balik saku celana lawan bicaranya, terdapat kudapan yang bisa ia lahap. “Membantu … apa?” tanyanya dengan suara pelan dan tidak bertenaga.

“Tentu saja membantu para lalat dan belatung untuk semakin bisa menggigit bangkaimu, tolol! Hahaha ….”

Mata si anak miskin membelalak. Alih-alih makanan, mereka justru mengeluarkan batu-batu berjumlah sekepalan. Satu demi satu batu terlempar padanya. Anak miskin itu mulai memegang kepala agar setidaknya bagian itu harus paling terlindungi. Sebuah batu kemudian memelesat melintasi perlindungannya dan mendarat ke sudut mata. Untunglah tidak sampai mengenai tepat pada maniknya.

Cairan merah menitik keluar dari sudut mata anak itu. Ia berbalik memunggungi ketiga anak sambil tetap menjaga kepalanya dari batu. Punggung si anak miskin menggeliat tidak tenang sepanjang batu-batu itu menghantamnya bertalu-talu. Luaran yang ia pakai bahkan sudah berlubang-lubang karena tergerus oleh batu keras nan kasar. Mereka seolah-olah tidak ada habisnya.

Sampai batu terakhir menyasar di tengkuk si anak miskin. Sensasi perih yang sedari tadi ia rasakan seolah-olah bukan lagi bagian dari dirinya. Anak itu menjadi mati rasa. Ia hanya menyeka darah yang mengalir dari tengkuk. Telapaknya kini sudah tercemong oleh debu lantai dan darah. Ia lalu menggosokkan tangannya ke kaus kutang yang ia pakai. Warna putih bebercak debu dan tanah itu langsung tercoreng-moreng oleh merah darah.

“Hei, miskin. Lihat sini!”

Yang dipanggil bergeming sejenak. Ia ragu untuk berbalik, takut jika ada sesuatu yang menunggunya lebih parah dari ini. Namun samar-samar, ia mendengar suara apel yang digigit. Anak miskin itu sangat mengenali bunyinya saking ia jarang mencicipi makanan itu. Akhirnya, ia berbalik menoleh. Di tangan si anak paling tengah sudah ada sebuah apel yang seperempatnya telah digigit.

“A-Apel—”

Anak miskin itu merangkak mendekati ketiganya. Tiba-tiba, apel itu digelindingkan dari tangan dan jatuh di dekat si anak miskin. Baru tangannya siap menjamah, buah tersebut sudah diinjak-injak oleh kaki anak kaya sebelah kiri. Dengan tangan masih menggantung di udara, mata si anak miskin menatap hampa apel yang telah hancur lebur. Kondisi buah itu sudah tidak layak lagi untuk dimakan.

Ia mendongak dengan binar penuh amarah. “Kenapa kalian … selalu menyia-nyiakan makanan?”

Ho? Kami tidak menyia-nyiakan makanan, kok!” Si anak kaya paling kanan tahu-tahu saja sudah berdiri di belakang anak miskin itu. Ia menyentak kepala korban perundungan mereka ke arah sari-sari hancuran apel yang sudah penuh oleh lalat. “Kau kan, bisa menjilatnya. Kau lapar, bukan? Ayo, dimakan!”

Anak miskin itu menahan kuat kedua telapaknya di permukaan lantai. Ia masih tidak seputus asa itu untuk sampai menjilat buah hasil injakan mereka. Dengan mata tertutup dan bibir bergetar menahan isak tangis, ia mulai berdoa agar mereka segera pergi. Sesak di dadanya membuat anak miskin itu berusaha menarik udara di sekitaran. Namun, yang tercium masuk ke hidungnya adalah bau sampah dari bekas injakan. 

Tidak lama, dorongan di kepala si anak miskin berhenti. Ia mulai lega meski belum bisa sepenuhnya. Ketiga berandal cilik itu masih di sini, maka ia tidak benar-benar mampu dikatakan ‘aman’. Benar saja dugaan si anak miskin, tiba-tiba rambutnya ditarik paksa oleh anak kaya di belakangnya. Sentakan itu terasa kuat sekali, barangkali bisa sampai merobek kulit kepalanya. Kali ini, ia tidak sanggup lagi untuk tidak menjerit kesakitan. 

Di tengah jeritan, sesuatu yang besarnya melebihi kapasitas mulut anak itu tiba-tiba didorong bulat-bulat memasuki mulutnya.

“Bercanda, kami membawa apel lebih, kok! Kau mau apel ini, kan? Jadi nikmatilah, hahaha!”

Bisa ia rasakan tulang rahangnya mulai bergeser dari peraduan. Suara kertak mengisi indra pendengar si anak miskin di tengah-tengah gelak tawa ketiga anak kaya itu. Bulir air mata mencuat dari sudut mata si anak miskin. Ia menyoroti punggung ketiga pelaku yang mulai mengecil dimakan jarak dengan pancaran kebencian, pasrah, dan menyalahkan. 

Pada menit pertama, ia masih berusaha menemukan celah bagi dua jarinya untuk mengorek keluar apel dari dalam mulut. Menit kedua, ia mulai kesulitan bernapas dan air liurnya mengental menyumbat alur pernapasan. Tangannya tidak lagi sibuk mengeluarkan apel, melainkan ia gunakan untuk menghantam dadanya yang sesak dan kesakitan. Berjalan ke menit ketiga, ia tidak sanggup lagi menopang tubuhnya. 

Anak itu jatuh meringkuk dengan luaran terlucut dari pundak, menampakkan tulang humerus berlapis kulit tipis yang naik turun begitu cepat. 

Tolooong ….” Ia berusaha melontarkan suaranya itu, tetapi tersumbat oleh apel dan napas yang mulai habis.

Kaki-kaki jangkung memapasinya tanpa ada satu pun yang berminat mengarahkan kaki mereka untuk menolong anak itu dari kematian. Tidak apa, dengan begini ia menjadi tahu jika itulah cara dunia para orang kaya bersikap. Mereka tidak lebih dari sekelompok orang tanpa hati, apatis, dan tak mengedepankan apa pun selain kepuasan pribadi. Niscaya kepuasan itu terwujud ketika melihat penderitaan kaum dari kalangan bawah.

Perlahan ia rasakan kaki-kaki itu melebur dalam warna hitam. Kebisingan di sekitar trotoar dan jalan lebar redam termakan oleh dengung berkepanjangan. Sampai akhirnya, sepasang mata itu terpejam rapat. Ia meregang nyawa dengan mulut menganga dan sebuah apel tersangkut di dalam sana. 

Anak miskin itu tidak pernah tahu jika keesokan harinya, surat kabar dan media massa memuat informasi tentang kematiannya. Bahkan, itu sudah tersebar hingga ke belahan dunia. Tidak ada duka atau belasungkawa, dunia masih berjalan baik meski tanpa kehadirannya. Lebih daripada itu, masih ada yang jauh lebih tidak memanusiakan; informasi dapat dengan mudah dibelokkan kepada mereka yang memiliki kekuatan.

Sebab dalam pemberitaan, ia dinyatakan meninggal dengan motif … bunuh diri.

*

Meong,” Dein mengimitasi suara kucing. Barangkali salah nada, si gumpal bernoda lumpur itu tiba-tiba menerjang punggung tangannya dengan cakar tajam. “Wow, wow, kau mencakarku, kucing bodoh!”

Peduli amat ia akan semakin menakuti si kucing, Dein meraih paksa ketiak hewan berkumis itu hingga keempat kakinya meronta-ronta di udara. “Kau ini sangat tidak tahu untung, ya?” ketus pemuda itu sambil berjalan naik dari kubangan lumpur. Setelah berdiri di dataran, ia menunduk dan mendapati alas kakinya luar biasa kotor.

Ah, Sir Bernard pasti akan mengomelinya lagi. 

“Ini semua karenamu, kucing bodoh. Sudah tahu kecil, malah bermain di lumpur. Jadi terjebak, kan?”

Nyala di mata kucing itu meredup. Ia lebih tenang dari sebelumnya. “Meong ….”  

“Jangan memberiku mata anjingmu, kau bukan anjing.” Dein menaruh si kucing kembali ke permukaan tanah. Ia mengeluarkan saputangan dari sakunya, lalu membersihkan sisa-sisa lumpur yang tertinggal di bulu gembul kucing itu. “Apa? Jangan meminta makanan padaku. Kau sudah berisi, tahu? Banyak kawan satu spesiesmu yang masih cekin—argh, kubilang jangan melihatku seperti anjing!”

Walau mulut mengomel, tetapi itu tidak sejalan dengan tindakan si pemuda. Dein tetap mengeluarkan sebungkus remah roti dan menuangkannya ke telapak tangan. Ia kemudian menggeser telapaknya ke depan mulut si kucing. 

“Cepat, jangan lama! Aku tidak punya lebih dari dua puluh empat jam cuman untuk menunggumu makan,” titahnya. “Aku ini Putra Mahkota, tahu? Sekarang kau sedang mendapatkan kebaikan dari seorang Putra Mahkota Altrucan. Jadi, bersyukur saja. Jarang ada orang kaya yang baik sepertiku.”

Kucing itu mengeong membalas kesombongan Dein. Diam-diam, Dein meloloskan helaan di selipan senyum tipisnya. Ia mengamati bagaimana si kucing begitu lahap memakan remah roti dari telapaknya. Lidah kecil itu bertekstur seperti ampelas saat mengenai kulitnya, membuat ingatan Dein jadi terlempar kembali ke kehidupan sebelum ini.

Dulu, ia hanya seorang anak miskin. Hari-harinya di trotoar hanya ditemani oleh Timo, si kucing liar yang juga ikut mencicipi remah roti berjamur bersama anak itu. Entah terlalu baik atau bodoh, ia membagi roti berjamurnya menjadi dua; setengah untuk Dein dan sisanya ia remas untuk Timo. Padahal itu adalah kudapan pertama yang bisa ia konsumsi setelah lima hari tidak mendapat makan.

Timo memiliki cerita cukup panjang bersama Dein. Namun sayang, kucing itu mati tertabrak kendaraan saat ia mengejar tikus ke jalan raya agar Dein bisa makan.

Pemuda itu menghela napas. Ia berharap Timo bisa ‘terlahir kembali’, sama seperti Dein.

Meong ….”

Dein terhenyak. Ia mulai menumpahkan sisa remah roti dari bungkusan ke selembar daun. Kucing itu lanjut melahap remah-remah roti tersebut. Kepala si kucing sesekali mendongak menatap sepasang mata hijau Dein. “Ya, ya, ini semua untukmu. Cuman kalau kau punya hati, sekalian panggil kawan-kawanmu untuk makan bersama,” ujar pemuda itu. Ia kemudian beranjak berdiri. “Ingat ya, jangan pelit-pelit. Masih ada yang lebih butuh ini daripada kau.” 

Pemuda bermata hijau itu lalu mengacungkan telunjuk ke arah si kucing. “Tetapi jika kau memang benar-benar lapar, habiskan saja! Jangan sampai mati! Awas, lho, kalau kau mati. Aku akan menggentayangimu ke alam baka!”

Jika kucing itu bisa berbahasa manusia, barangkali ia akan mengatai Dein ‘labil’ dan ‘gila’. 

“Sudah dulu, ya. Orang kaya ini mau pergi. Sampai jumpa, kucing bodoh. Semoga semakin gendut.”[]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya ONCE UPON A SIN | CHAPTER 2 – Ditugaskan Merantau
8
10
Dein terpaksa berdiri tegap. Raut tengil itu sirna digantikan oleh tatapan lurus dan penuh perhatian. Berandal enam belas tahun itu kini terlihat seperti orang berbeda. Alis rapinya menegas dan tulang hidungnya lebih terlihat bangir dari biasa. Dengan peralihan sikap yang saling bertolak, Dein lebih terkesan agung. Atau barangkali, ia memang akan dilahirkan seperti ini jika tidak diizinkan untuk mengingat nasib buruk di kehidupan lamanya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan