
AW ; AL (Vol.1) : Bab 3 - Memahami Teritorial
Terima kasih sudah berkunjung.
Selamat membaca, semoga terhibur~!
Saat sarapan berlangsung, aku tidak terlalu banyak bicara. Aku hanya ingin menikmati hidangan yang telah disajikan oleh para pelayan. Terlebih, menu sarapannya berhasil meningkatkan selera makanku.
Aku mengenali hidangan ini. Ini adalah sup jagung dengan irisan daging.
Menyajikan masakan sederhana seperti ini memang bisa menjadi alternatif untuk sarapan. Selain ringan, menu ini juga cukup mengenyangkan.
Lembutnya sup jagung dengan irisan daging ini membuat ketagihan. Rasanya yang gurih di lidah, cocok dinikmati selagi hangat, dan membuatku menjadi sangat bersemangat untuk menikmatinya.
Di samping itu, aku juga merasa tenang, karena ekspresi yang terlukis di wajah kedua orang tuaku benar-benar melegakan. Tentunya terlihat lebih baik daripada hari kemarin.
Seperti menegaskan, ‘Tidak perlu khawatir, Fryde akan baik-baik saja.’ Kira-kira seperti itulah, saat ayah dan ibu menatapku sambil tersenyum lembut.
Aku tidak memasukkan Ilya dalam hitunganku. Dia justru menempel terus padaku, bahkan sampai menyuapiku dan mengesampingkan sarapannya sendiri.
Aku ini bukan anak kecil lagi, tahu!
Meskipun batinku menggerutu, itu tidak ada gunanya. Lagi pula, tubuhku ini tetaplah tubuh seorang bocah berusia 10 tahun. Jadi, aku hanya pasrah menerima perlakuan kakak perempuanku yang kegirangan memanjakanku.
Ilya benar-benar mencurahkan perhatiannya untukku. Aku bahkan mengambil kesimpulanku sendiri tentang sifat lain dari kakak perempuanku ini. Mungkin, dia adalah tipikal seorang kakak yang terlalu menyayangi adiknya!
✦✦✦
Setelah sarapan selesai, aku berkeliling ke seluruh penjuru di kediaman ini. Rumah iniーbukan, tetapi mansion, memiliki ukuran yang sangat besar dan luas. Tidak mengherankan jikalau perabotan dan ornamen yang ada di dalamnya terlihat mewah.
Saat aku memberanikan diri untuk memasuki salah satu ruangan, ruangan ini ternyata kantor tempat ayahku bekerja. Sontak mataku berkeliling mengamati sekitar. Pandanganku kemudian berhenti ketika melihat ada sebuah buku arsip diletakkan di atas meja kerja.
Entah memang sengaja diletakkan di sana, atau mungkin lupa untuk menyimpannya kembali ke tempat yang seharusnya. Namun, jikalau memang demikian, ayah termasuk tipikal orang yang pelupa atau mungkin masa bodoh.
Aku tidak mempermasalahkannya juga. Lagi pula, menurutku, memiliki sifat masa bodoh itu sangat mengesankan. Ayah mungkin berpikir tidak masalah selagi masih dalam teritorialnya. Perihal ini, tentu saja kantor tempat ia menghabiskan waktunya untuk bekerja.
Kembali pada diriku. Buku arsip tersebut mengundang rasa penasaranku untuk muncul ke permukaan, lalu menggerakkan tubuhku untuk mengambil dan mengetahui isi yang tertulis di dalamnya.
Mungkin saja aku akan mendapatkan informasi yang cukup berguna dari buku arsip ini?ーpikirku.
Awalnya, kukira aku tidak akan bisa membaca tulisan yang ada di dunia ini. Akan tetapi, ternyata itu baik-baik saja. Dengan sendirinya aku bisa mengenali semua huruf yang ada, dan tentu saja lancar untuk membacanya.
Terima kasihku pada anak itu, karena dia belajar dengan baik. Terlebih, membaca dan berhitung merupakan dua hal yang sangat penting. Kau akan mengalami kesulitan untuk menjalani kehidupan tanpa kemampuan dasar tersebut.
Setelah kubaca dengan seksama isi dari buku arsip yang kupegang ini, pengamatanku sebelumnya tidaklah meleset. Ayahku, Rydra de Lumière, merupakan seorang bangsawanーtidak, lebih tepatnya adalah mantan bangsawan, karena sekarang ia sudah tidak lagi menyandang gelar tersebut.
Alasan kenapa gelar kebangsawanannya dicabut, aku masih belum mengetahuinya, karena tidak ada catatan yang menyinggung terkait detail hal tersebut di buku arsip ini.
Namun, di sini hanya menjelaskan jikalau peristiwa tersebut ada sangkut pautnya dengan seorang wanita. Fotonya bahkan terpampang jelas di lembar halaman ini, di samping foto ayahku. Nama dari wanita yang dimaksud adalah Artesia Riemora, yang kini telah berubah menjadi Artesia Lumière. Wanita yang bersangkutan ini, ternyata ia adalah ibuku.
Meski aku mengetahui fakta seperti ini sekalipun, aku tidak penasaran atau merasa ingin menggali lebih dalam lagi terkait hal tersebut. Bagaimana mengatakannya, ya? Itu terlalu merepotkan.
Setelah cukup lama aku membaca beberapa halaman, lantas aku menyudahinya dengan menutup buku arsip ini dan meletakkannya kembali di tempat posisi awal saat aku mengambilnya. Berhubung sudah tidak ada lagi catatan penting yang berguna untukku.
Aku pun segera ke luar dari kantor kerja ayahku, kemudian melanjutkan berkeliling ke area mansion yang lain.
Beberapa waktu berlalu. Aku sudah selesai memetakan seluruh area mansion ini di dalam kepalaku. Aku bahkan menemukan jalan bawah tanah rahasia di halaman belakang, yang mungkin saja tidak diketahui oleh semua orang di mansion.
Entah jalan rahasia itu menuju ke mana, aku tidak tahu. Yang jelas, lokasi tersebut segera kutandai. Setelahnya, aku bergegas kembali masuk ke dalam mansion dan mencari ayahku.
Ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada ayah. Bukan tentang jalan bawah tanah rahasia yang sebelumnya aku temukan, tetapi hal lain yang lebih penting daripada itu.
Aku kembali memeriksa kantor kerja ayahku, tetapi ia tidak berada di sana. Jadi, bisa kupastikan ia berada di ruang keluarga. Aku pun segera menuju ke sana.
Setibanya aku di depan pintu masuk ruangan yang kutuju, seorang wanita menegurku.
“Ah, Tuan muda Fryde!”
Aku menoleh ke arah sumber suara dari sebelah kiriku. Wanita itu adalah salah satu pelayan di kediaman ini. Dari pengamatanku, usianya mungkin sekitar 20 tahun, karena dia terlihat masih muda. Namun, terkait siapa namanya, aku tidak tahu.
Pelayan itu juga sedang membawa troli saji atau meja dorong pengantar makanan. Terdapat banyak camilan manis beserta peralatan untuk minum teh. Melihat itu, aku menjadi sangat yakin jikalau kedua orang tuaku dan tentunya Ilya, pasti berada di dalam.
“Tuan muda ingin masuk ke dalam juga, kan?” Dia bertanya setelah berada di dekatku.
Aku mengangguk dan kedua mataku sontak dibuat fokus pada sosoknya.
Kenapa demikian? Setelah aku mengamati dia lebih dekat, ternyata dia memiliki paras yang ‘bisa kukatakan’ cukup cantik untuk seorang pelayan. Kecantikannya sendiri tidak kalah jikalau harus disandingkan dengan para gadis bangsawan seusianya. Aku meyakini dan berani menjamin itu.
Mata besar dengan bulu mata yang panjang. Hidung kecil dan batang hidungnya yang mancung. Bibir yang indah itu bahkan memberikan senyum yang menawan. Semua komponen tersebut diatur sedemikian sempurna di wajah mungilnya.
Tubuhnya pun cukup berisi ketika aku memperhatikan terkait ini. Meski dia tidak selangsing seperti kebanyakan wanita model yang cukup ketat menjaga proporsi tubuh ideal mereka. Selain itu, rambut panjangnya yang sedikit bergelombang tetapi lembut berwarna cerah itu, entah kenapa justru meningkatkan keseksiannya.
Akan tetapi, terlepas dari penampilan sosoknya, sungguh misterius mengenai dirinya yang ternyata hanyalah seorang pelayan di kediaman ini.
“Tuan muda, kenapa menatap saya seperti itu? Apakah ada yang salah dengan penampilan saya?” Dia bertanya dengan hati-hati.
Sekali lagi aku segera menatap tepat pada matanya tanpa memberikan jawabanku.
“Anu … Tuan muda …?”
Dia mulai merasa khawatir. Ekspresinya tampak bermasalah.
“Ah, maafーtidak ada yang salah dengan penampilanmu.”
“Be-Begitu, ya ....”
“Um. Aku hanya tidak menyangka, ternyata di kediaman ini masih ada perempuan cantik lainnya selain ibu dan kakakku.”
“Eh?” Dia membeku sejenak mencerna perkataanku. “Ca-Ca-Ca-Cantik …?! Maksudnya saya …?!!”
Woah … bukankah reaksinya terlalu heboh?
Bukan berarti aku berniat menggodanya. Aku hanya mengutarakan pengamatanku. Aku sendiri tidak menyangka, sepertinya perkataanku barusan berlebihan, ya?
Aku sedikit menyeringai melihat dampak tidak terduga seperti itu. Terlintas begitu saja di pikiranku untuk mengusilinya lagi.
“Um. Memangnya ada perempuan lain di sini yang berbicara denganku selain kamu?”
“Ini tidak bohong, kan? Aku … cantik? Tuan muda Fryde mengatakan kalau aku cantik? Tuan muda Fryde memujikuー”
Eehhh ...?!
Aku harus menjaga mulutku mengatakan sesuatu yang sakral. Benar-benar mengejutkanku. Dia justru mengabaikanku. Terlebih, kenapa padangannya menjadi kosong dan malah mengeluarkan aura suram seperti itu?
Bukankah seharusnya dia lebih percaya diri dengan sosoknya?
Maafkan aku yang malah mengusilimu berlebihan. Pikiran nakal dari pria seusiaku tidak ingin melewatkan kesempatan bagus ini, meski akan terlihat aneh jikalau aku menggoda wanita dengan ukuran tubuhku dan usiaku yang sekarang di depan publik.
Aku harus berhati-hati, ya.
Aku tersenyum kecut selagi menahan ekspresi wajah bersalahku.
“Anu … kamu tidak apa-apa, kan?” tanyaku memastikan.
“Ah!ー”
Kesadaran dia kembali mendengar teguranku. Kepolosan yang dia perlihatkan di wajahnya kini, bahkan lebih imut.
“Maafkan saya, Tuan muda. Tiba-tiba saja saya kehilangan akal sehat saya.”
“Ahaha … ti-tidak apa-apa. Tidak perlu meminta maaf.”
“Uhuk~! Baiklah. Jadi, Tuan muda ingin masuk ke dalam, bukan? Biar saya yang membukakan pintunya.”
“Um. Terima kasih. Hmm ....”
“Vyschie Renalia. Itu adalah nama saya. Tuan muda bisa memanggil saya Vy atau Chie.”
Aku mengangguk lagi untuk merespon perkataan Vy. Dia tersenyum.
Vy menangkap gelagatku dan langsung memperkenalkan dirinya. Aku berterima kasih atas kepekaannya itu, mengingat peranan yang kumainkan saat ini sebagai karakter seorang bocah yang sedang mengalami kondisi hilang ingatan. Dengan begitu, aku berhasil mengetahui nama satu orang lainnya di kediaman ini.
Sebelum membuka pintu ruangan, Vy mengetuk pintu terlebih dahulu sambil berkata dengan sopan, “Permisi, saya membawakan camilan dan teh.”
“Masuklah.”
Suara ibu terdengar dari dalam.
Mendengar respon ibu, Vy membuka pintu dan segera bersiap masuk ke dalam ruangan.
“Oh, ternyata Vy.”
“Iya, Nyonya. Saya juga bersama Tuan muda.”
“Fryde? Di mana dia?”
“Tepat di belakang saya.”
Sepertinya ibu linglung karena tidak melihatku. Tepat seperti yang Vy katakan, aku mengintili di belakangnya.
“Kenapa kamu sembunyi-sembunyi, Fryde?”
“Aku tidak sembunyi, tapi mengikuti Vy di belakangnya,” jawabku menunjukkan diriku pada semua orang di ruangan, lalu berjalan menuju sofa.
“Kamu ini, ada-ada saja.”
Ibu tertawa kecil karena tingkahku itu.
“Sudah berkelilingnya?” Ayah bertanya ketika aku hendak duduk di sofa.
“Um. Aku sudah mengingat denah mansion ini,” jawabku setelah aku duduk bersebrangan dari posisi ayah.
“Heh ... ingatanmu itu memang tajam. Baguslah kalau begitu.”
“Maksud Ayah?”
“Seperti yang kukatakan barusan. Di antara kau dan Ilya, daya ingatmulah yang paling tinggi.”
“Begitu, ya.”
Tidak kusangka, anak itu ternyata memiliki daya ingat yang sangat baik, ya. Pantas saja aku dengan mudah mengingat seluruh area mansion ini.
“Tidak usah terburu-buru, Fryde. Lakukan saja dengan perlahan.”
“Terima kasih, Ayah.”
Ayah dan ibu tersenyum lembut padaku.
Kesampingkan obrolan ini. Di mana Ilya? Aku tidak melihatnya ada di ruangan ini sedari awal aku memasuki ruang keluarga. Mungkin lebih baik kutanyakan saja.
“Kak Ilya, tidak di sini?”
Ibu hanya terkekeh dengan pertanyaanku. Kemudian ia menunjuk ke arah belakangku.
Saat aku hendak menoleh ke belakang, mataku justru langsung ditutupi oleh dua telapak tangan dari arah belakangku.
“Kamu tidak akan menemukan Kakakmu. Fufufu~”
Sudah pasti akan seperti ini. Kakak perempuanku benar-benar bersemangat ketika dia ingin mengusiliku.
“Hmm … begitu, ya. Lagi pula, meski Kakakku hilang sekalipun, aku juga tidak akan mencarinya.”
Mendengar perkataanku yang dingin, Ilya langsung mengangkat kedua tangannya. Dia bergegas duduk di sebelahku untuk menggerutu.
“Apa maksudmu berkata ‘kalau aku hilang, kamu tidak akan mencariku?’”
“Mencarimu justru merepotkan, Kak. Lebih baik kuserahkan tugas itu pada yang lebih berpengalaman.”
Ilya menggembungkan pipinya karena tidak puas dengan perkataanku. Dia justru mencubit kedua pipiku sambil menggerutu tidak jelas. Sedangkan, aku hanya seperti biasa, pasrah dan tentu saja tidak ingin memperkeruh keadaan.
Kenapa demikian? Karena kakak perempuanku ini benar-benar merepotkan.
“Nona dan Tuan muda benar-benar akrab, ya.”
“Bukankah mereka berdua memang seperti itu? Meski sekarang Fryde mengalami kehilangan ingatannya sekalipun, tidak menjadi masalah bagi kedekatan mereka.”
“Anda benar, Nyonya. Saya berharap, semoga ingatan Tuan muda kembali seutuhnya.”
“Itu juga adalah yang kami berdua harapkan sebagai orang tuanya, Vy. Terima kasih sudah mendukung Putraku.”
“Tidak perlu berterima kasih, Nyonya. Sudah sewajarnya bagi saya untuk mendukung Tuan muda Fryde, karena saya adalah pelayan pribadinya.”
“Ya, kamu benar.”
✦✦✦
Saat kami semua sedang menikmati waktu ini, aku yang tidak melupakan niatanku sebelumnya terkait kenapa aku mencari ayahku, segera melontarkan pertanyaan padanya.
“Ayah, ada yang ingin kutanyakan.”
“Hmm … apa itu?”
“Apakah Ayah memiliki peta wilayah ini?”
“Eh?”
Ayah agak terkejut dengan pertanyaanku. Ia bahkan langsung berhenti ketika ingin menyesap teh dari gelas miliknya.
“Peta, ya ....”
“Ya, Ayah. Aku membutuhkan itu.”
Melihat ekspresi wajahku yang serius, ayah berkata, “Aku tidak akan bertanya kenapa kau membutuhkan peta wilayah ini. Akan segera kuambilkan.”
“Terima kasih, Ayah.”
Ayah meletakkan kembali gelasnya di atas meja, lalu ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju lemari kaca berukuran besar yang berada di ujung ruangan keluarga ini. Kemudian ayah mengambil barang yang kuinginkan dari dalam lemari kaca tersebut.
Saat kuperhatikan dari tempatku, lemari kaca itu sepertinya memang diperuntukkan sebagai tempat untuk menyimpan banyak sekali barang-barang penting. Akan tetapi, kenapa lemarinya tidak dikunci, ya? Aku bahkan bertanya-tanya, ‘Apakah tidak masalah membiarkannya mudah dibuka oleh siapa pun begitu saja?’
Lupakan. Untuk apa juga aku memikirkan hal tidak penting itu? Aku langsung menggelengkan kepalaku dengan cepat.
Bagaimanapun, terkait peta wilayah ini, aku memang membutuhkannya. Aku harus mengetahui di mana letak tempat tinggalku ini?
Apakah ada desa atau bahkan kota yang menghapit?
Selain itu, bagaimana dengan kondisi geografis sekitar?
Semua itu akan segera terjawab sebentar lagi. Dengan begitu, secara perlahan aku bisa mempelajari dan menambah wawasanku tentang dunia ini.
Ayah kembali dengan membawa peta di tangannya. Ia lalu duduk di sofa dan meletakkan peta tersebut di atas meja.
“Peta yang kau inginkan, Fryde.”
“Terima kasih, Ayah.”
Dengan semangat aku mengambil peta tersebut.
Kecuali ayah, ketiga orang lainnya di sini memperhatikanku dengan heran. Ibu, Ilya, dan Vyschie, seperti sangat penasaran. Aku tidak bisa mengabaikan tatapan mereka bertiga yang seperti itu. Seolah menyiratkan, ‘Apa yang ingin kamu lakukan dengan peta itu? Cepat beritahu kami!’
Tak berselang lama, Ilya-lah yang bertanya dengan tampang polosnya, “Apa yang kamu rencanakan dengan peta itu, Fryde?”
Nah. Benar, kan?
Meski begitu, pertanyaan yang Ilya lontarkan padaku mewakili rasa penasaran semuanya.
“Hmm? Bukan hal yang spesial,” jawabku.
“Bukan hal yang spesial?”
“Ya. Anggap saja seperti ingin mengetahui isi perut ikan dengan cara membedahnya.”
Ilya sedikit memiringkan kepalanya.
“Perumpamaan macam apa itu? Katakan dengan kalimat yang mudah dimengerti.”
“Ahahaha ....”
Tidak hanya Ilya, Ibu dan Vyschie bahkan merasa kebingungan dengan perumpamaan yang kukatakan. Mereka berdua sampai saling pandang dan turut memiringkan kepala mereka.
“Aku penasaran, tahu!”
Ilya menjadi bersemangat.
“Seharusnya itu menjadi kalimatku, Kak.”
“Eh?”
Aku menghela napas.
“Jadi, saat aku berada di balkon di lantai atas ....”
Aku pun akhirnya menjelaskan sambil melebarkan peta tersebut di atas meja.
“Karena itulah, aku meminjam peta ini untuk memuaskan rasa penasaranku.”
“Ternyata begitu, ya. Aku mengerti.”
Ilya cukup puas setelah mendengar penjelasanku. Ibu dan Vyschie tampak mengerti dengan maksudku. Akan tetapi, tidak bagi ayah.
Ekspresi wajahnya itu tampak seperti sedang memikirkan sesuatu. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya, siapa peduli. Lagi pula, aku juga tidak ingin tahu.
Menerka apa yang sedang dipikirkan oleh orang tuamu itu tidak sopan menurutku. Biarkan saja mereka tenggelam dengan pemikirannya, selagi itu bukanlah memikirkan hal yang buruk.
Aku segera menggulung kembali peta tersebut karena sudah selesai digunakan. Setelahnya, aku berikan kembali pada ayah.
“Terima kasih sudah meminjamkan peta ini padaku, Ayah.”
“Eh? Ya.”
Sepertinya ayah semakin tenggelam dalam pikirannya itu. Responnya menanggapiku barusan agak lambat. Apakah ia baik-baik saja?
Entahlah … yang jelas, akan kuanggap tidak ada masalah.
Setelah itu, aku memutuskan untuk kembali ke kamarku, karena ada hal menarik lainnya yang ingin aku ketahui, yaitu suatu kekuatan yang dinamakan sihir.
To be continued …
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
