Hujan, Indomie Goreng, dan Kesialan Malam Itu. #CeritadanRasaIndomie

5
0
Deskripsi

#CeritadanRasaIndomie

Malam itu sudah terlalu larut, namun tubuh masih terjaga mengerjakan segala tugas kuliah yang menumpuk. Rasa lapar tak dapat ditahan lagi, hujan masih mengguyur kota ni sejak sore tadi, yang membuatku malas melangkah keluar rumah kos yang aku tinggali. Untungnya, ada Indomie goreng stok terakhir bulan ini, namun kejadian yang tak terduga datang, membuat apa yang dibayangkan tak sesuai dengan realita yang terjadi. 

Selamat membaca, cerita pendek hidupku dengan Indomie. 

Free Story

Jangan lupa tinggalkan like dan komennya ya :)

                Pengalaman paling berkesan yang tak bisa aku lupakan dengan indomie adalah saat aku kuliah dulu. Waktu itu aku ingat,  pukul dua belas malam ditemani rintik hujan yang sedari sore telah mengguyur kota Semarang, membuatku semakin betah berlama-lama di depan laptop dengan sejuta tugas kuliah yang menumpuk. Dalam hati “ah, mantap sekali, malam, hujan dan indomie, sangat sempurna jika dihadirkan saat ini” gumamku. Suara dari dalam perut semakin nyaring, aku segera bergegas mengambil indomie goreng dan pergi ke dapur yang tersedia di ruang belakang rumah kos.

             Selagi menunggu mie yang sedang direbus, seperti biasa bumbu ku tuang ke dalam piring, tak bisa dipungkiri aroma bumbu dan minyak gorengnya benar-benar semerbak menyelimuti seluruh ruangan dan semakin membuat rasa lapar ku menjadi-jadi. Saat aku alihkan kembali pandanganku ke arah mie, terlihat api kompor yang semakin lama menyala semakin redup dan benar saja api kompor hilang sama sekali diiringi suara “brebetbrebet!! “

 “Sial, gasnya habis?! Padahal belum matang, Ya Allah..!!” keluhku ingin menangis dalam hati.

 Pikirku sudah terlalu malam, untuk membeli gas di warung, pasti sudah tutup. Terbesit ide untuk tetap merebusnya dengan menutup panci, berharap mie akan  matang meski hasilnya tidak sempurna, yah mau bagaimana lagi, rasa lapar semakin kuat aku rasakan. Konsentrasiku mulai melemah, kesadaran mulai terganggu, maklum anak kos di akhir bulan dan belum mendapat kiriman uang, isi dompet sudah menipis. Menunggu mie matang rasanya waktu berjalan sangat pelan kesabaranku seperti sedang diuji.

           Akhirnya kuputuskan untuk menyudahi penderitaan ini, ku buka tutup panci ku lihat mie sudah cukup matang. Senyumku mengembang lebar, terbayang sebentar lagi akan ku nikmati sepiring Indomie  goreng ayam bawang dengan rasa yang khas. Kuangkat panci dan kutiriskan, setelah itu dengan gesit mie kumasukan kedalam piring lalu ku aduk-aduk sambil menelan ludah beberapa kali, aku benar-benar sudah tak sabar untuk menikmatinya.

          Seperti biasa setelah selesai ritual masak sebelum menyantap hidangan aku selalu membersihkan dapur agar kembali rapi, apalagi ini adalah dapur bersama yang menjadi tanggungjawab bersama. Piring aku letakan di sebelah kiri dekat kompor. Dengan semangat aku membersihkan meja dapur menggunakan kain lap, tiba-tiba saja, tanpa permisi ada sesuatu yang menyambar ke arah muka dengan sangat cepat membuat aku kaget dan sontak menghindar dengan menggeser badan ke sebelah kiri. Reflek alami tangan kiriku berusaha menjauhkan binatang yang ternyata adalah kecoa terbang. Lalu terdengar suara keras piring jatuh, sial piring mie yang aku letakkan di sebelah kiri tadi jatuh ke lantai, piring pecah dan mie goreng siap santap, berserakan di lantai.

                “Astaaagaaaa!!!” sontak aku berteriak kencang, penuh keputusasaan.

              Terkejut, marah, sedih, kesal, dan lapar, semua bercampur menjadi satu melihat indomie goreng yang penuh perjuangan kubuat dan tinggal melahapnya saja sampai habis justru sekarang berserakan di lantai gara-gara kecoa, rasanya hancur sudah hati ini.

           Aku masih terduduk lemas, meratapi nasib sial yang baru saja menimpaku. Ingin sekali aku teriak dan menangis tapi cukuplah didalam hati saja karena aku tak mau mengganggu waktu istirahat teman-teman yang lain. Segera aku bersihkan kekacauan yang sudah terjadi, mie yang kubuat dengan perjuangan kini berakhir di tempat sampah bersama dengan pecahan piring.

 “Dasar kecoa sialan, itu adalah mie goreng stok terakhir bulan ini” Ucapku kesal dalam hati.

 Kepala rasanya pusing, perut sudah terlanjur lapar, realita yang terjadi tak sesuai ekspektasi, tak mungkin aku bisa tidur nyenyak dalam keadaan seperti ini, aku harus segera melampiaskan semua.

Dengan tergesa-gesa aku masuk kembali ke kamar, mengambil kunci motor dan mantel hujan. Segera ku berlari ke parkiran, kunyalakan motor bebek merahku, tanpa menunggu lama lagi kutarik gas motor, kini aku melaju dengan cepat menerabas hujan malam itu.

 Tak jauh dari rumah kost ada warkop langganan nongkrong anak-anak kost yang buka 24 jam, Sesampainya di warkop tanpa basa-basi langsung ku pesan indomie goreng yang sebelumnya gagal ku nikmati

     “Bang, indomie goreng 3 pedas tanpa telur, cepet, gak pakai lama ya!!” pintaku, sembari duduk di kursi. Jas hujan aku letakkan di sebelahku, kebetulan warkop sepi malam itu.

      “Dibungkus semua bang? apa makan sini?, pakai telur semua nggak?”  tanya penjaga warkop

     “Makan sini bang, kan sudah dibilang tidak pakai telur, masa kurang jelas?” balas ku dengan nafas yang masih berantakan

      “hahahaha, galak amat Mas, laper ya? ini tiga bungkus jadi satu piring?” saut abang warkop sambil meledekku.

      “Iya, Bang, buruan deh, jangan ngeledek terus” jawabku tegas

      “Oke, Bang” balas Abang warkop dengan raut muka penuh keheranan, Tak menunggu lama, tiga bungkus indomie goreng, dalam satu piring yang lebar, dihadirkan  di depan mata. Dengan sisa-sisa amarah, kunikmati mie goreng dengan suka cita, rasanya nikmat sekali.

     “Akhirnya Ya Allah bisa makan indomie goreng juga, nikmat sekali rasanya, terima kasih sudah menciptakan makanan seenak ini” gumamku dalam hati sambil terus mengunyah .

      Dalam beberapa menit saja piring yang tadinya penuh sesak berdesakan dengan mie dan cabai pedas di depanku kosong kembali. Mie goreng kali ini terasa lebih nikmat dibanding sebelum-sebelumnya, ucapku dalam hati sambil tangan kananku mengambil dompet di dalam saku celana. Berkali-kali aku mencoba mencari dompet di setiap sela saku pakaianku, hasilnya sama. Aku tak bisa menemukannya. Rasa kenyang dan lega berganti kembali dengan rasa panik.

     “Bang, mau bayar...’ ucapku dengan penuh frustasi

     “15,000 aja Mas, kayak biasanya” jawab Abang penjaga warkop.

     “Anuu, dompet saya ketinggalan tadi, ngutang dulu yaaaaa???” ucapku sambil memasang muka memelas

     “Haaaalaaah, MODUUUUSS!!!” ucap Abang penjaga warkop kesal.

         Pengalaman ini aku simpan lama, kini aku sudah bekerja di Ibu Kota dengan gaji yang cukup, rasanya ingin kembali lagi ke masa itu, menyebalkan tapi merindukan.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cerita Hidup
Selanjutnya Oyot Mimang | Part 7: Harapan yang Semakin Pudar
2
0
“Mas Min sedang pergi, mencari desa terdekat, mencari Mushola terdekat, dari situ kita bisa tahu lokasinya Mas...“ Belum juga Aldi selesai menjelaskan, terdengar suara teriakan dari Mbak Siwi.  “MELBU MAS!!! GUNG MELBU!!! CEPETAN KALIAN MASUK, MASUK,MASUK!!!” teriak Mbak Siwi menandakan ada hal yang tidak beres terjadi.  “Ada apa to Mbak kok teriak-teriak?” tanyaku penasaran. “Gak usah kakean takon, gak usah banyak tanya, MASUUUK KATAKU...!!” Mbak Siwi kembali berteriak, sembari berlari ke sisi kiri Mobil, dan masuk ke dalamnya.Telepon terpaksa aku matikan, penjelasan Aldi terputus begitu saja, aku tidak tahu lagi apa yang dia katakan, perhatianku terpecah oleh Mbak Siwi, kini aku dan Anna berlari menuju tempat kami masing-masing.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan