
Mbah antusias. Aku tau alasannya, selain Leo fans fanatik wajik buatan mbah, juga karena wajik berwarna pink tua rasa cocopandan itu adalah usulan Leo. Walaupun saat itu ia tidak serius menganggapnya sebuah usulan, hanya bercerita pada mbah Puteri bahwa es doger rasa cocopandan di depan sekolah sangat laris, pasti enak kalau wajik juga dibuat dengan rasa yang sama. Akhirnya mbah Puteri dan mbah Nani semangat bereksperimen, hasilnya tidak mengecewakan, banyak yang suka walaupun belum bisa mengalahkan permintaan wajik original, gula merah.
Tepat saat aku memasuki rumah mbah Puteri, lonceng jam dinding di ruang tengah berdentang lima kali, menunjukkan tidak lama lagi hari akan gelap. Walaupun rumah beraksitektur belanda ini tampak sepi, dapat kutebak dimana penghuninya berada. Aku segera menuju ruangan paling ujung yang penuh dengan tungku terbuat dari tanah liat. Terdapat tujuh tungku yang ukurannya tidak bisa dibilang kecil, berjejer sepanjang sisi tembok, berjarak sekitar satu meter dari tembok batas akhir rumah. Setiap tungku terdiri dari dua bagian, jumlah seluruhnya empat belas tungku.
Di sisi kanan seberang deretan tungku terdapat dua bathtup berbahan stainless steel untuk merendam beras ketan. Sementara sisi kirinya terdapat kitchen set lengkap dengan kran pencuci piring di salah satu sudutnya, total panjangnya enam meter, permukaannya dilapisi keramik berwarna hijau tua, bagian bawahnya berfungsi sebagai lemari untuk menyimpan berbagai perkakas, satu meter di atasnya dipasang lemari-lemari gantung yang catnya sudah kusam, berfungsi menyimpan aneka bahan makanan. Furniture yang sangat sederhana, buatan bapak Tua tetangga sebelah.
Seberang tungku, bersebelahan dengan kosen tanpa daun pintu, terdapat lincak besar yang warnanya sudah menjadi coklat matang mengkilat, seperti habis di plitur. Menandakan seberapa sering terkena asap dapur, seberapa sering diduduki, dan seberapa sering dilap dengan kain basah saat dibersihkan. Intinya, si lincak sudah uzur. Sebelah lincak terdapat sebuah mesin pemarut kelapa dan tumpukan sak beras ketan, entah berapa jumlahnya, selalu menggunung dan panjang barisannya hampir menyentuh bathup di sampingnya.
Setiap pukul tujuh malam, di atas tungku dipasang dandang-dandang besar berdiameter 60 cm, mengukus beras ketan. Asap mengepul menjadikan tembok belakang tungku menghitam. Setelah ketan matang, posisi dandang digantikan dengan kuali-kuali besar untuk proses lanjutan, yaitu mencampur ketan dengan santan, gula dan bahan-bahan lain. Biasanya, usai maghrib, ibu-ibu tetangga sekitar atau anggaplah ‘karyawan’ mulai berdatangan.
Aku memasuki ruangan itu dan langsung menghambur ke arah mbah Puteri, ku benamkan hidungku pada pipinya yang kriput, halus, dan wangi, ritual sejak kecil bila aku berkunjung. Aku sangat merindukannya. Mbah Puteri tersenyum berbinar.
“Lama ndak pulang, piye skripsimu? Wis rampung?” Mbah meletakkan seikat daun pandan ke talam di lincak lalu beranjak mencuci tangan.
Aku menyalimi mbah Nani yang sedang menimbang gula merah di sampingnya, teman mbah Puteri yang dulu bersama-sama merintis usaha ini. Kue Wajik dengan brand ‘Wajikkoe’. Sebelum akhirnya, delapan tahun lalu, atas usul bulek Nur –adik ayah- mbah menambah brand dengan mengikut sertakan namaku ‘Wajik Lintang’. Harapannya agar usaha ini senantiasa bersinar, seperti bintang.
Wajik Lintang khusus mengembangkan varian wajik modern, dengan aneka rasa, topping dan packing kekinian. Dibawah menejemen bulek Nur, putri bungsu mbah Putri, si Lintang telah memiliki 12 outlet. Outlet terakhir berupa cafe semi outdoor, berada di ujung selatan kota, menghadap langsung kanal besar di kota kami. Bila hari cerah, suasana sore di sana mirip-mirip di Brugres, Belgia. Ramailah cafe Lintang ini, tujuan pengunjung tidak hanya menikmati wajik aneka rasa, tapi juga untuk memenuhi Instagram dan sosial media mereka dengan foto wisata kuliner yang epic. Bulek Nur terjun langsung dalam mengelola outlet cafe yang baru berumur baru lima bulan itu.
“Sudah dong, tinggal nunggu jadwal ujian. Aku pulang buat minta doa, Mbah.” Aku mengambil sepotong wajik warna pink tuayang ada di tatakan di atas lincak. Wajik favoritku, rasa cocopandan. Sensasi saat mengunyahnya selalu sama, membuat dadaku sesak. Bukan karena rasa atau teksturnya. Sudah pasti rasanya sangat lezat, legit, gurih, dan lembut.
“Pintar memang putuku.” Mbah Puteri tertawa, aku juga tertawa sambil terus mengunyah wajik dengan perasaan tak nyaman.
Setiap mengatakan pintar, mbah selalu tertawa. Karena dulu, aku selalu marah saat dibilang pintar. Aku pernah tidak naik ke kelas sembilan saat SMP, tidak bisa masuk sekolah selama hampir satu semester gegara sakit tipus, sehingga aku harus istirahat total dan tidak bisa mengikuti ujian akhir. Aku mengulang kelas 8 secara penuh. Tapi mungkin, ada penyebab lain yang membuatku sensi dengan istilah pintar. Aku juga heran kenapa dulu bisa segitu sewotnya dengan sinonim kata pandai itu.
“Ini dari kampus atau dari rumah, Nduk?” lanjutnya.
“Dari kampus, Mbah. Langsung ke sini. Aku nginep semalem aja ya, besok sore dijemput Ayah.”
“Kok sebentar?”
“Awalnya malah mau dijemput pagi, tapi aku masih mau ke Bulek Nur besok siang, ada janji sama teman. Pengen tau cafe yang di selatan katanya.”
“Teman siapa? Ana tah?” Mbah menyebut nama temanku yang biasa aku ajak pulang dan sangat doyan wajik.
“Bukan, Mbah mungkin lupa, teman SMP dulu, yang pulang ke Tiongkok pas mau naik kelas delapan. Mbah ingat? Leo.” Aku tertahan menyebut namanya.
“Sing ndi kui, Nduk?” Mbah mengernyit. “Oh.. yang sipit dan suka wajik gulo abang itu? Kapan dia ke Indonesia? Sudah lama? Kok ndak mbok ajak rene tho.” Mbah antusias. Aku tau alasannya, selain Leo fans fanatik wajik buatan mbah, juga karena wajik berwarna pink tua rasa cocopandan itu adalah usulan Leo. Walaupun saat itu ia tidak serius menganggapnya sebuah usulan, hanya bercerita pada mbah Puteri bahwa es doger rasa cocopandan di depan sekolah sangat laris, pasti enak kalau wajik juga dibuat dengan rasa yang sama. Akhirnya mbah Puteri dan mbah Nani semangat bereksperimen, hasilnya tidak mengecewakan, banyak yang suka walaupun belum bisa mengalahkan permintaan wajik original, gula merah.
“Aku aja belum pernah bertemu lagi, Mbah, ndak tau mulai kapan dia datang ke Indonesia.”
“Oh…. kalau dia tinggal di sini lama, ajak ke sini ya? Mbah juga pengen ketemu, pasti tambah ganteng lan pinter bocah kae. Ndak koyok awakmu, tambah gedhe kok tambah kemprus.” Kembali mbah Puteri tertawa, aku juga, setuju. Kali ini yang dikatakannya memang benar.
“Ya sudah, aku mandi dulu, biar cantik, biar ga kemprus.” Derai tawa mbah Puteri semakin nyaring saat aku beranjak dari dapur.
Seperti biasa, ku tidak pergi mandi, tetapi merebahkan badan di kamar mbah Puteri. Baru saja sistem tubuhku mengaktifkan horizontal mode, ponselku berbunyi, bulek Nur menelepon. Ia memastikan jam berapa aku datang ke outlet cafe, aku bilang kalau aku akan berangkat sangat pagi agar bisa lama cerita dan ngobrol bareng bulek tersayang. Rencananya aku akan ikut mobil box saat mendistribusikan wajik ke seluruh outlet Wajik Lintang besok pagi-pagi sekali.
Semua proses pembuatan wajik dilakukan di rumah mbah Puteri pada malam hari. Paginya, setelah semua wajik siap, barulah di sebar. Jadi, karyawan outlet tinggal menambah garnish sesuai permintaan pembeli. Saat bulek bertanya berapa tamuku yang akan datang, tiba-tiba suaraku menjadi parau menjawabnya.
Dari jendela kamar, langit sudah gelap, matahari sempurna tenggelam. Aku membuka IG dan spontan menekan story Leo yang muncul di urutan ketiga, diunggah setengah jam lalu. Melihat gambar tanpa caption tersebut, dadaku bergemuruh, tidak salah aku mengatakan tiga tamu pada bulek barusan.
***
Leo adalah teman SMP yang baik sekaligus menyebalkan. Otaknya sangat encer. Salah satu buktinya, saat masih kelas tujuh, kalau tidak salah seminggu setelah ujian semester genap, ia mewakili sekolah kami olimpiade Fisika tingkat provinsi. Berhasil mendapatkan peringkat dua, skornya hanya selisih 0.5 dari juara pertama. Sementara dua kakak kelas kami yang juga delegasi sekolah, posisinya berturut-turut terpaut 5 dan 6 tingkat di bawahnya. Padahal hanya sebulan ia dibimbing materi olimpiade. Namanya semakin mengharumkan sekolah yang merupakan sekolah favorit di distrik kami. Ditambah, sebulan sebelum ujian semester genap itu, ia berhasil mengumpulkan banyak poin yang menjadikan sekolah kami juara umum dalam jambore se Jawa-Bali. Pertama kalinya bagi sekolah kami memboyong piala gagah itu.
Aku tak pernah peduli walaupun orang-orang satu sekolah membicarakannya, walaupun foto-fotonya memegang piala hampir selalu menghiasi majalah dinding dan cover majalah sekolah, bagiku biasa saja. Bahkan, namanya terdengar sangat lucu di telingaku, seperti merek kripik kentang yang sering aku beli.
Dari jambore itulah aku mengenalnya, meskipun satu angkatan, kami beda kelas. Dia bersama anak-anak pintar lainnya di kelas berkode A, aku berada di kode C, kode ketiga dari tujuh kode dalam tiap angkatan. Artinya, aku murid dengan kecerdasan biasa saja. Saat diadakan seleksi anggota regu untuk mewakili sekolah dalam jambore yang meyatukan siswa SMP dua pulau itu, kami berdualah siswa kelas tujuh yang terpilih, sisanya kakak-kakak kelas kami. Leo terpilih karena memang pintar, sedangkan aku? Tidak lain berkat doa-doa mbah Puteri, ayah dan ibu, juga karena ketelatenan ayah yang sering mengajakku bermain tali-temali sejak kecil. Sehingga pembina mengatakan aku mahir dalam pionering, terpilihlah aku.
Leo berdarah Tionghoa, ayahnya asli Tiongkok yang menikah dengan wanita Jawa. Wajahnya sangat oriental dengan kulit putih bersih dan mata sipit. Keberadaannya sangat mencolok di antara kami yang berkulit kuning langsat dan gelap.
Yang sering membuatku tersenyum saat mengingatnya adalah panggilannya padaku, Slu, bukan Lintang. Awalnya aku biasa saja, aku pikir Slu artinya bintang dalam bahasa ibunya, Mandarin. Aku tak pernah curiga. Ia berdalih nama Lintang tidak cocok untuk anak perempuan karena dalam sebuah film yang pernah ia tonton, Lintang adalah nama laki-laki. Baru sebulan kemudian aku tau, kalau Slu yang dia maksud adalah sluggard, sinonim kata lazy, pemalas, pelalai. Menurutnya, sebenarnya aku anak yang pintar, hanya saja pemalas, sehingga pintarnya menjadi tumpul. Aku sangat geram dibuatnya. Lihatlah, betapa menyebalkannya Si Kripik Kentang itu.
Pernah sepulang sekolah kami berdebat di sanggar pramuka, saat ia menemukan kertas ulangan matematikaku yang terjatuh bertuliskan angka 40, ia mengatakan bahwa itu akibat dari sifat malasku, aku membela diri mengatakan bahwa aku bukan pemalas, hanya saja aku berat melakukan hal-hal yang tidak aku suka, seperti belajar eksak yang membuatku pusing. Aku lebih suka membaca dongeng, novel atau apalah yang sejenis. Dia tetap bersikukuh bahwa itu bagian dari sluggard, lalai. Sehingga aku tidak bisa membedakan mana yang prioritas dan bukan.
Waktu itu dia bilang “Sudah jelas ada pelajaran berhitung, tapi kamu tetap saja ga mau belajar menghitung, itu namanya lalai…. Hal-hal penting yang masih bisa kamu pelajari, bisa kamu usahakan, ya usahakan lah, jangan malah dengan sengaja tidak mau berusaha. Apa coba kalau bukan sluggard?” Suaranya tidak keras, nadanya tidak tinggi, tapi cukup membuat telingaku panas. Aku menantangnya untuk membuktikan perkataannya. Aku akan belajar bersamanya, bila nilai matematikaku tidak berubah, maka ‘teori berusaha’ itu gagal. Eksak hanyalah pelajaran favorit bagi murid-murid ‘pilihan’ saja.
Cerita berlanjut saat Leo mulai menjadi tutorku. Aku penah membawakannya sekotak wajik buatan mbah puteri sebagai ungkapan terimakasih karena nilai ulanganku membaik, setidaknya menjadi 60. Waktu itu baru ada empat varian rasa, gula merah atau original, pandan, nangka dan durian, sebagaimana varian wajik tradisional. Mbah waktu itu juga hanya memiliki dua toko utama, masing-masing di pasar kecamatan dan kabupaten, juga baru merintis 3 outlet kecil. Tidak aku sangka, Leo girang bukan kepalang. Neneknya juga biasa membuat wajik saat perayaan tahun baru dalam kepercayaannya, walaupun dengan bentuk yang berbeda. Dan menurutnya, rasa wajik yang aku bawa unik, ada sesuatu yang dia tidak tau apa, yang jelas walau buatan neneknya juga enak, tapi wajik yang aku bawakan berbeda. Leo paling suka rasa original. Sejak itulah, aku pernah dua kali mengajaknya ke rumah mbah Puteri, makan wajik langsung dari tempat pembuatannya, Dia sangat senang. Sejak itu, hampir setiap hari aku membawakannya ke sekolah.
Saat penerimaan rapor semester pertama kelas delapan, terbuktilah kebenaran teorinya. Nilai Matematikaku tertulis 9. Aku mulai sadar, bahwa otak encernya memang hasil dari usahanya. Ia sangat rajin belajar dan tidak mudah menyerah. Tapi, walaupun semua nilai eksakku bagus, mataku panas dan berair. Siang itu juga Leo berpamitan pindah ke Tiongkok. Ayahnya sudah benjanji akan menyerahkan pendidikannya langsung pada sang kakek bila Leo berusia 12 tahun. Sejak itulah, kami sama sekali kehilangan kontak.
Aku senantiasa meneladani perinsipnya untuk tidak lalai dan menyerah dalam segala hal, termasuk saat tidak naik kelas dulu. Padahal ayah, ibu, bulek dan mbah Puteri menawarkan untuk pindah sekolah, khawatir mentalku down. Tapi aku berhasil membuktikan, lulus SMP dengan nilai terbaik. Walaupun begitu, aku tidak suka dipanggil pintar, menimbulkan rasa sesak di dada.
Dan akhirnya, seminggu yang lalu, Leo menyapaku di IG, aku kaget akhirnya ia menemukanku. Setelah saling tanya kabar dan nostalgia sangat panjang via DM, ia mengajak bertemu, besok tepatnya. Dia bilang rindu wajik mbah, aku sarankan agar dia melihat instagram @wajik_lintang, akhirnya dia sendiri memilih untuk bertemu di cafe selatan kota.
***
Ponselku menunjukkan angka 15.03. Leo telat satu jam, sudah hampir seharian aku bersama bulek Nur, ngobrol berbagai hal, melayani pelanggan yang berdatangan, bahkan aku sudah tiga kali makan. Dia tidak juga datang.
Aku iseng melangkah keluar dari cafe untuk mengamati pengunjung dari luar yang sangat ramai sore ini. Dari parkiran seberang jalan aku menangkap sosoknya turun dari mobil merah, ia melambaikan tangan ke arahku. Mungkin sudah hafal dengan wajahku dari foto-foto di IG. Ia mengenakan kaos putih polos dengan celana dan hem berwarna khaki, lengan panjangnya digulung, kancingnya dibiarkan terbuka. Fisiknya berubah sangat signifikan dibanding masa SMP dulu. Satu-satunya yang membuatku percaya kalau itu benar-benar Leo adalah garis bekas luka di samping mata kanannya. Ia berlari-lari kecil menujuku, sendirian. Dugaanku ia akan membawa seseorang ternyata salah.
“Sorry, Lin, masih ada urusan.” Ia mengulurkan tangan.
“Oh.. karma sepertinya, Lei, sekarang kau yang Sluggard.” Kami tertawa lebar, lalu ia mengekorku menuju kursi dekat jendela besar setelah bersalaman dan sedikit berbincang dengan Bulek Nur. Untunglah meja telah aku persiapkan, kalau tidak, pastilah kami hanya berdiri di dekat kanal, mengingat pengunjung yang sangat ramai. Di meja telah tersedia nampan penuh wajik, semua varian rasa, ada 16 macam. Sudah aku siapkan sejak pukul dua, sesuai janji kedatangannya.
“Mbah Puteri hebat ya, tapi cucunya kayak masih segitu-gitu aja, bahkan saat aku tinggal pergi malah ga naik kelas” Leo tertawa lalu menyedot milk shake –yang embunnya sudah membanjiri sisi luar gelas-. Aku melotot, padahal aku belum cerita hal itu, dari mana dia tau?.
“Aku tau kenapa Mbah Puteri senang dengan bisnis ini.” lanjutnya, setelah setengah gelas milk shake melewati tenggorokannya.
“Kenapa?”
“Pas umur kamu berapa tahun mbah Kakung meninggal?” Dia balik bertanya. Aku mengerutkan dahi.
“Jawab aja dulu.”
“Sebelum aku lulus TK, mungkin lima tahunan.”
“Terus, Mbah Puteri merintis usahanya kapan?” Leo mencomot wajik ketan hitam dengan potongan keju di atasnya. Matanya berbinar, enak.
“Aku ga tau pastinya, yang jelas, Bulek Nur masih kecil waktu itu. Kenapa sih, Lei?”
“Ini kaitannya dengan filosofi wajik, Lin. Kamu pasti belum tau.” Leo kembali tertawa.
“Kamu dari dulu sok tau, Lei, tetep aja.” Aku mencibir. Entah kenapa aku tiba-tiba canggung. Garis wajah Leo tampak sangat dewasa.
“Yah, kamu yang tetep sewot, Hahaha!” Ia berhenti tertawa, lalu memalingkan wajahnya ke aliran kanal yang permukaannya mulai berkilauan diterpa cahaya matahari sore, lalu kembali menatapku. “Mbah Kakung termasuk sosok yang mapan secara finansial kan? Eksprotir sukses pada masanya. Ga mungkin mengizinkan Mbah Puteri luntang-lantung di pasar menjajakan kue wajiknya kalau bukan tanpa alasan.” Leo menaikkan alisnya, minta persetujuan.
“Karena memang Mbah Puteri yang ingin, Mbah Kung ga bisa menolak, pastilah beliau paham kalau Mbah Puteri wanita yang tak akan menyerah kalau sudah memiliki kemauan.”
“Oke, itu salah satunya. Tapi kenapa yang dipilih kue wajik? Kenapa Mbah ga milih usaha lain? Rumah makan atau distro, kan lebih mudah dan lebih cepat berkembang.” Leo mengelap mulutnya dengan tisu, lalu mengambil wajik green tea dengan topping lelehan caramel, “Padahal Mbah Puteri bukan penggemar wajik.” Lanjutnya sambil terus mengunyah dengan mata kembali berbinar.
Aku diam. Iya ya? aku tidak pernah memperhatikan latar belakang usaha mbah Puteri. Mungkin karena sudah ada sejak sebelum aku lahir, aku menganggapnya biasa saja, aku pikir mbah Puteri hanya menyalurkan hobinya membuat kue.
“Terus?” Alisku berkerut. Leo menyelesaikan wajik berwarna hijau mudanya, mengelap mulutnya dengan tisu, menghabiskan milk shake-nya.
“Karena wajik itu kue penuh makna. Menjadikan beras ketan dapat bersatu padu dengan tekstur dan rasa yang lezat butuh waktu berjam-jam, harus terus dikontrol agar hasilnya berkualitas, butuh ketelitian dan kesabaran. Bersatunya beras ketan diartikan sebagai simbol bersatunya dua hati dan kebersamaan, makanya selalu disajikan saat upacara pernikahan maupun upacara adat lainnya oleh masyarakat Jawa. Mbah Putri kekeuh ingin berjualan kue ini sebagai bentuk syukur karena hatinya telah direkatkan dengan Mbah Kung, dan bahagia. Terus, proses membuatnya yang lama, sehingga menghasilkan rasa legit khas kue wajik, sebagai simbol bahwa setiap kesabaran akan berbuah manis. Seperti kehidupan Mbah sekarang.” Wajahnya serius.
“Haha.. Kamu jadi filsuf sekarang ya, Lei. Bukan ahli eksak lagi.” Tawaku dibuat-buat seakan-akan meledeknya.
“Haha.. Enggak juga kali, ini hasil riset.” Leo mengangguk mantap.
“Riset?”
“Aku seharian ada di rumah Mbah Puteri, sama mama juga. Sekarang Mama masih di sana.” Leo tersenyum, Aku melongo tidak percaya.
“Serius. Aku berharap wajik ini juga dapat menyatukan hati kita.” Leo mengeluarkan kotak kayu yang bentuknya sangat antik dari balik meja, membukanya. Aku terkesiap, berdebar. Isinya kalung yang kemarin dia unggah di IG story, dipakai perempuan dengan wajah sengaja dibuat blur. Liontinnya berbentuk daun waru dengan permata pink tua berbingkai garis bentuk wajik, indah. “Kemarin ini di leher mama, aku minta mama mencobanya.”
Aku diam, dadaku berdentum-dentum, bagai diterpa deburan ombak kencang.
“Diterima ya, Lin? Aku telat ke sini karena masih menunggu ayahmu di rumah Mbah Puteri. Mereka menyerahkan keputusannya sama kamu. Aku berani menemuimu bahkan lancang mengatakannya kepadamu, karena aku tau kamu tidak pernah mengikat hubungan dengan siapapun, sebagaimana tulisan-tulisanmu di blog selama ini.” Leo menyunggingkan senyum, matanya manatapku dalam. Semakin membuat gemuruh dadaku tak karuan.
Aku mengalihkan pandangan ke bulek Nur yang berada di balik punggung Leo, ia mengangguk, tersenyum lebar.
***
Pernah dimuat dalam antologi cerpen bersama teman-teman Gen-M yang sedang menempuh studi di berbagai penjuru dunia, The Art of The Words: An International Anthology of Short Stories (Jakarta: Nulis Publishing: 2021).
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
