AKAN BERHARGA [Part 7 & 8]

7
0
Deskripsi

Om Ujang akan lebih cepet up disini yaa. Happy reading :*

Akan Berharga [Part 7]

"Ran, sorry, kayaknya ada yang harus aku urus dulu kedalem. Kamu kalau mau nunggu disini silahkan, aku masuk dulu ya."

"Oh ... oke," Rania menatap punggung Fauzan yang bergerak menjauh dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Lo kenapa?" Begitu masuk dan menutup pintu, Fauzan menatap Adya yang terlihat tengah kikuk sendiri. "Udah kayak cacing kepanasan."

"Itu Om, aku ... mau ... pulang. T-tapi pas liat keluar Om lagi sama Tante itu, jadi aku bingung harus gimana, soalnya kan Tante itu udah pernah ketemu aku dan udah lihat muka aku juga."

Fauzan menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu menoleh kearah kaca. Membuang napas lega, ia alihkan kembali atensinya ke Adya, "dia udah pulang. Lo bisa balik sekarang."

"Yaudah, kalo gitu aku pamit pulang dulu ya Om," Adya buru-buru meraih tangan Fauzan untuk ia salami, "Om semangat kerjanya, makasih udah mau kasih aku tumpangan semalam. Assalamualaikum." Berlari kecil, Adya langsung memberhentikan angkutan umum yang baru saja lewat.

"Anjir, berasa jadi bapaknya dia gue." Fauzan menatap punggung tangan yang tadi disalami perempuan yang masih berumur belasan tahun itu, "padahal gue orang pertama yang udah nerobos masuk ke area bawahnya." Tak ingin berlama-lama memikirkan hal yang ia rasa tak perlu, Fauzan memutuskan untuk kembali keluar, memulai pekerjaannya untuk hari ini.

"Dua-duanya cantik Bos, bagi gue lah satu."

"Kampret Lo Nggo, ngagetin gue aja." Fauzan mengusap dada saat melihat kedatangan Ringgo yang tiba-tiba, "bagi bagi apanya, enak aja!"

"Itu dua-duanya udah jadi hak milik emang Bos?"

Fauzan mendengus pelan, "kagak, yang satu kan mantan gue, udah punya laki sama anak malahan."

"Kalo yang satunya?"

Mata Fauzan langsung memincing, "kok Lo kepo banget sih Nggo?"

"Hehe, ngga papa sih Bos. Gue pengen tahu aja tentang orang yang sering dateng kesini nemuin Bos. Apalagi cewek."

"Kalo yang satu lagi masih bocah Nggo. Dia kenalan gue, sama halnya kaya si Zea sama Gael."

"Oh, anak temen Bos juga berarti?"

"Bukan sih, dia beda. Dapet gue pungut di selokan mampet dijalan soalnya."

Ringgo langsung tergelak, "ngadi-ngadi nih si Bos. Cantik begitu masa dapet mungut."

"Emang menurut Lo cantik ya Nggo?"

"Cantik lah Bos. Sama kayak Zea. Cuma kategori cantik mereka itu beda."

"Beda gimana sih maksud Lo? Masa soal cantik aja pake beda kategori segala. Cantik mah ya cantik aja, jelek ya jelek aja."

Ringgo menggeleng cepat, "yeh si Bos teh gimana sih, masa ngga ngerti. Ibaratnya nih ya cantik kategori orang Korea sama orang indo kan pasti beda Bos. Dari kulitnya, bentuk wajahnya, badannya, punya ciri khas-nya gitu. Paham ngga bos?"

"Yaelah Lo udah kayak guru lagi nyekokin ilmu ke anak muridnya aja. Iya iya, gue paham kok maksud dari omongan Lo. Udah mending sekarang Lo lanjutin kerjaan Lo. Ngga usah ngomongin cewek, ngga akan ada ujungnya."

"Padahal topiknya lagi seru ini Bos."

"Lo gue gaji buat kerja ya Nggo, bukan buat ghibah. Mau uang gaji Lo ngga berkah?"

"Ya ampun ngga lah Bos. Iya iya ini gue juga kan daritadi ngga diem, sambil kerja."

"Nah, emang harusnya begitu. Lo harus rajin-rajin kerja Nggo. Lo harus bisa sukses buat diri Lo sendiri. Biar nanti pas Lo mau punya cewek, Lo ngga perlu minder dalam segi apapun."

"Minder lah Bos kalo ceweknya kelewat cantik mah."

"Ngapain minder sih? Cewek ngga butuh cowok cakep, butuhnya yang bisa bertanggungjawab. Kan kata Ridwan Kamil juga, kalo Lo ngga bisa tampan, cukup jadi mapan biar wajah Lo termaafkan. Begitu Nggo."

"Jadi Bos itu mapan karena ngerasa jelek ya?"

Mulut Fauzan langsung menganga lebar, "wah wah wah, minta dicekoki air sabun ya Lo?!"

"Becanda Bos, hehe."

***

Sepulang sekolah, seperti biasa, Adya langsung membereskan rumahnya yang berantakan. Jejak botol minuman keras, beberapa puntung rokok juga bertebaran di sekitar bawah kursi yang sudah ia pastikan itu bekas ibu dan kekasihnya. Pilihannya untuk tidak pulang kemarin malam memang tepat. Karena jika ia memaksa pulang, hal-hal yang tak ingin ia lihat dan dengar akan terjadi tanpa bisa ia cegah.

"Ngelonte dimana kamu semalam? Mana hasilnya?" Adya dikejutkan oleh kemunculan Risma yang entah sejak kapan sudah berdiri didepannya dengan tatapan sinisnya seperti biasa.

"Ibu--"

"Mana duitnya?!"

"A-aku ... ngga ... gitu." Ucapnya dengan nada lirih.

"Terus kemana kamu semalam? Kelayapan ngga jelas?"

"Aku nginep di ... rumah temen, Bu. Sekalian kerja kelompok buat ngerjain PR." Adya memang sudah menyiapkan alasan kalau-kalau Risma menanyakannya.

"Ngga usah sok jadi anak manis dan baik pake sekolah segala. Mau sampai kamu nangis darah pun, kamu ngga akan bisa jadi orang sukses. Udah takdir kamu itu jadi orang susah. Ngga usah sok berjuang dengan susah payah. Kamu ngga akan berhasil. Lakuin aja yang ada didepan mata. Cari duit. Hidup itu butuh duit. Makan pake duit, bukan ilmu."

Adya memejamkan mata sambil meringis saat mendengar suara bantingan benda yang sengaja Risma jatuhkan, yaitu payung yang dibawa dalam genggamannya. "Ibu udah makan? Mau aku masakin apa?"

Risma berdecih malas, "mau masak pake apa kalo beli lauk dan bahannya aja kamu ngga mampu? Ngga usah sok perhatian sama saya. Urus aja diri kamu sendiri. Pikirin gimana caranya biar kamu ngga nyusahin saya lagi. Pikir, pake otak kamu yang menurut kamu berguna itu. Paham?"

Menarik napas dan membuangnya perlahan, Adya berusaha untuk tetap tenang walaupun ucapan Risma selalu berhasil menyesakkan dadanya. Ia tak perlu mengambil hati. Karena sedariduli Risma memang membencinya. Jadi ia sudah terbiasa dengan sikap maupun ucapan kasar yang diberikan ibunya.

Karena Adya tahu betul rasanya menjadi anak yang tidak diinginkan namun tidak bisa disingkirkan. Ia tahu betul rasanya selalu dianggap sebagai kotoran dan sampah dirumah oleh ibunya. Pilihannya hanya satu, yaitu tetap tegar. Karena jika ia lemah, orang-orang hanya bisa mengasihani tanpa membantunya sama sekali. Untuk menghibur diri, Adya selalu mengulas senyum setelah berhasil menenangkan diri dari perasaan sesak didadanya.

Kembali melanjutkan aktivitasnya, Adya langsung beranjak membersihkan diri dengan mandi setelah dirasa seluruh tubuhnya lengket oleh keringat. Rasa lelah ia hilangkan dengan duduk santai diatas ranjang kamar sambil membaca salah satu novel yang menjadi koleksinya. Tak lama, rasa kantuk mulai menyapanya, hingga lambat laun berhasil menarik Adya ke alam mimpi.

***

"Uncle, nginep aja ya disini?" Fauzan yang tengah membereskan buku cerita yang berantakan untuk ia taruh di rak buku itu menoleh, terkekeh kecil saat matanya bersitatap dengan anak dari mantan kekasihnya itu, Hages Tamara.

"Nginep?"

"Iya. Biar bisa bacain aku dongeng terus."

"Loh, nanti kalo terlalu sering Uncle bacain kamu dongeng, yang ada kamu bosen dengernya."

Hages menggeleng cepat, seolah pernyataan Fauzan benar-benar salah, "aku suka tiap dibacain dongeng sama Uncle. Karena Uncle selalu bisa praktekin suara-suara hewan yang ada didalam buku dongeng itu. Jadi aku berasa kayak lagi di zoo kalau denger Uncle cerita."

Fauzan menepuk jidatnya pelan, dengan memejamkan setengah matanya seperti orang teler. Ekspresinya itu berhasil membuat Hages tertawa kencang, yang mana membuat Rania yang sedaritadi memperhatikan interaksi mereka ikut terkekeh, "bukannya tidur kok anak Mama malah ketawa kenceng gini malam-malam?"

Hages langsung membungkam mulutnya saat Fauzan mengintruksikannya untuk diam lewat telunjuk yang ia tempelkan dibibirnya.

"Ini aku mau tidur kok, Ma."

"Ya harus dong, ini udah malam. Lagian Uncle juga udah selesai bacain kamu dongeng kan?"

"Yes, Mama."

"Yaudah kalau gitu kamu tidur ya? Uncle nya Mama pinjem dulu, boleh kan?" Fauzan menyipitkan mata sambil terkekeh samar mendengar ucapan konyol Rania.

"Boleh Ma. Tapi besok-besok Uncle punya aku lagi ya?"

"Oke deh." Setelah memberi kecupan didahi anaknya, Rania meminta Fauzan untuk mengekorinya. "Aku bikin salah buah, dimakan ya."

"Eh ngga usah. Aku mending balik sekarang aja Ran. Ngga enak juga kalau tiba-tiba suami kamu pulang dan--"

"Dia ngga pulang. Kamu ngga perlu khawatir."

Ekspresi Rania yang berubah lesu membuat Fauzan sedikit merasa bersalah. Alhasil, ia akhirnya duduk dan mulai menyuapkan potongan buah yang dibaluri susu, mayonaise, dan keju parut itu kedalam mulutnya. "Enak." Pujinya sambil tersenyum tipis. "Kenapa ngga ikut makan?"

"Aku kenyang. Itu porsinya sengaja aku bikin buat kamu kok. Habisin ya?"

"Loh," Fauzan menatap mangkuk berukuran sedang itu, "kebanyakan dong Ran. Mabok buah nanti aku yang ada." Guraunya yang tentu saja juga berhasil mengundang tawa kecil Rania.

"Zan, boleh aku sambil ngomong sesuatu sama kamu?"

Fauzan hanya mengangguk, fokusnya kini kearah buah yang tengah ia aduk agar saus susunya tercampur rata.

"Kalau aja aku ngga khianatin kamu, mungkin sekarang kita lagi bahagia banget ya Zan?"

Kunyahan Fauzan langsung memelan, wajahnya ia angkat untuk menatap Rania lamat-lamat, "kenapa harus ngomong kesana Ran?"

"Bukan apa-apa sih, kadang aku ngerasa ... nyesel aja. Aku ngerasa bisa bahagia banget pas lagi sama kamu dulu."

"Kenapa sekarang ngga bisa?" Fauzan mengelap permukaan bibirnya dengan selembar tisu yang ia ambil dari kotak.

"Karena dia ... bukan kamu, Zan. Suami aku udah beristri. Udah jelas bukan kenapa aku ngga bisa bahagia sama dia?"

"Itu resiko dari perbuatan kamu Ran."

"Iya, aku tahu Zan. Makanya, kadang aku ngerasa nyesel dan pengen ngulang waktu buat bisa perbaiki semuanya. Andai bisa, aku ngga akan pernah mau nyakitin dan ngecewain kam--"

"Tapi kenyataannya kan ngga bisa, Rania." Memejamkan matanya beberapa detik, Fauzan kembali memaku wajah wanita yang sudah tak bisa ia miliki lagi, "kita ngga lagi hidup di dalam fiksi. Ini realita yang mana momen dulu ngga bisa kita ulang dengan berusaha mengubahnya."

Rania mengangguk setuju, "maaf--"

"Tolong berhenti bilang maaf sama aku Ran. Tolong berhenti nunjukin semua rasa bersalah dan penyesalan kamu dengan permintaan maaf. Tolong berhenti membuat aku terlihat menyedihkan dimata kamu."

"Zan, aku sama sekali ngga bermaksud kesana. Mungkin kamu udah bosen dan mual denger kata maaf dari aku. Tapi aku selalu merasa, kalau seribu kata maaf aka ngga cukup buat menebus kesalahan aku sama kamu."

"Iya, itu kamu tahu. Jadi lebih baik tolong berhenti, ya?"

"Zan," Rania meraih salah satu tangan Fauzan untuk ia genggam, "apa kamu masih mencintai aku?"

Fauzan hendak menarik tangannya dari genggaman Rania, namun, Rania menggeleng kuat, "jawab dulu, baru aku lepasin."

"Rania, kamu ngga seharusnya nanyain pertanyaan itu disaat posisi kamu udah nikah dan jadi istri orang."

"Cukup kamu jawab aja, Zan."

"Jawaban aku sama sekali ngga akan mengubah apapun, Ran. Jadi tolong, jangan maksa aku buat jawab pertanyaan yang ngga mau aku jawab."

"Kamu masih mencintai aku." Rania menyimpulkan, lalu melepaskan genggaman tangannya. "Aku tahu."

Tak ada elakan dari bibir Fauzan atas kesimpulan sepihak Rania. Ia membiarkan wanita itu terhibur dengan ucapannya sendiri.

"Kalaupun iya, kamu sebaliknya, kan?"

"M-maksud kamu?"

Fauzan menelan ludah, "hati kamu bukan buat aku lagi, Ran. Aku tahu."

"Ngga Zan, aku masih--"

"Kita kenal bukan dalam kurun waktu yang sebentar. Aku tahu betul diri kamu kayak gimana. It's oke, ngga ada salahnya juga kan seorang istri mencintai suaminya sendiri? Bukannya emang udah seharusnya begitu?"

"Zan..." Rania menatap wajah mantan kekasihnya itu dengan sorot sendu, "kamu ... tahu?"

Terkekeh pelan, Fauzan mengangguk ringan, "tanpa kamu ngomong pun, aku udah bisa tahu, Ran. Dari mata kamu."

"Zan, maaf."

"Loh, kenapa harus minta maaf? Kamu ngga salah. Aku juga tadi bilang, bukannya emang udah seharusnya begitu? Ngga ada yang salah kalau memang kamu mencintai ... Jino." Nama itu berhasil Fauzan ucapkan dengan nada tengah, padahal dadanya bergemuruh hebat dan terasa ... berat. "Cuma mungkin kamu harus siap sama segala konsekuensinya. Aku ngga bermaksud bikin kamu pesimis, tapi kamu juga tahu sendiri kalau dia punya Ambar."

"Aku tahu kok Zan. Aku juga ngga akan egois dengan berusaha merebut Mas Jino dari istrinya, Mbak Ambar, kalau itu yang kamu khawatirin."

Ya, itu memang salah satu kekhawatiran Fauzan akan rumah tangga kedua sahabatnya. Apalagi dengan posisi Ambar. Namun, hubungan ketiganya yang begitu rumit, membuat Fauzan tak ingin ikut campur lebih jauh. Ia hanya bisa mendoakan yang terbaik. Entah bagaimana nanti kedepannya, hanya Tuhan yang tahu.

"Kalau gitu, aku pamit pulang ya Ran."

Rania mengangguk sambil ikut berjalan untuk mengantar Fauzan sampai ke pintu depan, "makasih banyak ya, kamu udah mau bikin Hages senang hari ini."

"Sama-sama. Kalian hati-hati dirumah." Setelah itu, Fauzan langsung masuk kedalam mobilnya. Selama dalam perjalanan, perasaannya tak karuan bukan main. "Fuck! Lo tolol banget sih Zan, masih ngarepin cewek yang udah jadi istri orang. Cewek ngga cuma dia Zan. Diluar sana masih banyak yang mau sama Lo, termasuk ..." Seketika Fauzan teringat seseorang, "... si bocah bau kencur yang rasanya ternyata legit itu." Seketika Fauzan menyeringai kecil. Ia injak pedal gas lebih dalam untuk menuju rumah seseorang yang ingin ia temui sekarang juga.

Plak.

Plak.

Plak.

"Dasar anak kurang ajar kamu. Berani-beraninya kamu fitnah pacar saya melecehkan kamu."

"Bu, aku ngga fitnah, tadi dia--"

"Benar-benar ngga punya sopan santun ya kamu. Udah numpang dirumah saya, ngga tahu diri juga. Harusnya kamu sadar, kalau kamu ini bukan siapa-siapa."

Adya hanya menunduk diam, seolah tak mampu lagi melawan, karena rasanya akan sia-sia juga.

"Kalau kamu mau jual diri, sama laki-laki diluaran sana! Masih banyak! Jangan sama pacar saya."

Seketika wajah Adya mendongak, menatap Risma dengan sorot terkejut sekaligus tak menyangka, "Bu, Demi Tuhan aku ngga--"

"Ngga usah bawa-bawa Tuhan, kamu lupa? Kamu juga cewek murahan kan?" Saat Risma hendak melayangkan tamparan lagi, tangannya langsung ditahan oleh seseorang.

"Om..." Cicit Adya dengan nada lirihnya. Ia dikejutkan dengan keberadaan Fauzan yang entah sejak kapan mendengar percakapan mereka.

Melirik kearah Adya sebentar, Fauzan menatap dingin Risma sambil menghentak tangan wanita itu. "Jadi Anda ibunya Adya?"

"Siapa kamu?" Seloroh Risma tanpa basa-basi. "Beraninya kamu ikut campur urusan saya--"

"Kalau menyangkut Adya, saya berhak ikut campur. Karena bagaimanapun dia sudah bekerja dengan saya." Fauzan langsung menggenggam tangan Adya yang sedaritadi menarik kecil ujung kaus yang dikenakannya. Menatap wajah perempuan itu yang mana dipipi kirinya sudah terdapat jejak memerah akibat tamparan. "Saya akan melaporkan anda dengan hasil visum yang akan saya lakukan pada Putri Anda, permisi."

"Om..." Adya tak memiliki tenaga untuk menghentikan Fauzan yang terus menariknya dan menyuruhnya untuk masuk kedalam mobil. "Om, plis jangan laporin ibu ke polis--"

"Dia sering nampar Lo?"

"N-ngga kok Om. Kalau ada masalah serius aja ibu kurang kontrol kayak tadi. Biasanya engga kok Om."

Fauzan menghela napas panjang. Degup jantungnya terdengar berisik entah karena apa. Mungkin karena dirinya yang begitu emosional saat melihat Adya yang ditampar berulang kali oleh wanita yang disebut perempuan itu dengan sebutan ibu.

"Om, janji ya?"

"Apasih? Janji apa?"

"Jangan laporin Ibu ke polisi."

"Tapi pipi Lo ... memar. Dia harus dibikin jera supaya ngga berani lagi buat nampar atau melakukan kekerasan lain dikemudian hari."

"Ibu ngga akan setega itu kok Om sama aku. Jadi tolong ya, jangan bikin Ibu sedih dengan ngelaporin dia ke polisi."

"Lo ini kelewat baik apa kelewat tolol sih?" Fauzan benar-benar dibuat greget sendiri saat berhadapan dengan Adya, "yaudah, Lo ikut gue aja ke hotel."

"Hah? Ngapain ke hotel Om?"

"Check in lah, masa lihat satwa."

"Bukan gitu, maksudnya--"

"Gue harus ngobatin pipi Lo."

"Kok ke hotel Om? Bukannya harusnya ke puskesmas terdekat juga bisa? Atau dirum--"

"Ngga mau. Orang abis itu gue mau nidurin Lo. Kenapa? Masalah? Jangan banyak bacot. Lo mending tidur aja, isi tenaga buat pelepasan nanti."

***

Akan Berharga [Part 8]

Decakan Fauzan sama sekali tak berhasil membuat Adya berhenti menganggumi kamar hotel yang tengah mereka tempat saat ini. "Muka Lo kenapa mirip orang yang lagi kena jampi-jampi sih?" Perempuan itu sama sekali tak menghiraukannya. Kini, Adya sibuk memandangi fasilitas kamar suite room yang memang sengaja Fauzan pesan untuk mereka berdua untuk bermalam.

"Demi Tuhan Adya, kalo Lo masih ngga duduk juga, gue bakal bikin Lo lemes sampai ngga bisa jalan besok, mau?"

Seketika Adya langsung berbalik badan dan berlari kecil, lalu duduk ditepi ranjang yang mana berhadapan langsung dengan Fauzan. "Ini kamar hotelnya bagus banget Om. Aku ngerasa kayak lagi mimpi sekarang. Coba Om tamp--"

Tak.

Bukan menampar, Fauzan malah menjentikkan jarinya didahi Adya hingga membuat perempuan itu meringis, "sakit Om."

"Ya kan ditamparnya udah sama Ibu Lo. Ntar pipi Lo bukannya sembuh malah ada cap lima jari mau emangnya?"

"Ngga sih," Adya menyengir kecil, "ngomong-ngomong, dalam rangka apa Om bawa aku kesini? Ulang tahun kah? Atau--"

"Bukan dalam rangka apa-apa," Fauzan segera meralat ucapan Adya sebelum perempuan itu semakin banyak menduga-duga. "Pengen dapet suasana baru, biar pelepasan gue makin enak." Alibinya asal.

Adya hanya mengangguk-anggukan kepalanya, "Om beneran lagi kebelet banget ya emang?"

Dan Fauzan mengangguk singkat. Jelas ia tahu maksud dari kata 'kebelet' yang diucapkan Adya. Apalagi kalau bukan aksi mesumnya yang selama ini mereka lakukan. Fauzan melirik Adya yang menghempaskan punggungnya keatas ranjang, "ya ampun, enak banget. Kasurnya empuk. Mana seprainya selembut sutera." Adya terlihat menikmati posisinya yang telentang. Dimana matanya sengaja ia pejamkan, dan kedua tangannya ia gerakan mengusap-usap seprai ranjang.

Fauzan hanya mendengus pelan, lalu melepas pakaian atasnya untuk ia taruh kesofa hingga posisinya kini bertelanjang dada. "Gue mandi." Gumamnya dengan nada pelan, entah Adya bisa mendengarnya atau tidak, Fauzan sama sekali tidak peduli.

Saat mendengar pintu kamar mandi yang baru saja tertutup, kedua mata Adya langsung terbuka dan ia langsung beranjak bangun, mengubah posisinya menjadi duduk. Lalu menatap pantulan dirinya di depan cermin yang terletak tak jauh dari posisinya saat ini.

"Je ... lek, banget." Gumaman itu diperuntukan untuk dirinya sendiri yang mana penampilannya terlihat berantakan dengan rambut yang sedikit acak-acakan, dan pakaiannya yang asal. Menghela napas, Adya membuka tas belanja yang Fauzan bilang itu untuknya. Ada dua setel pakaian yang mana salah satunya adalah lingerie berbahan satin yang tipis berwarna hitam. Dan yang satunya hanya setelan pakaian santai. Adya yang memang tak mengerti soal per-lingerie-an hanya mengernyitkan dahi, "gini banget bajunya."

"Mandi, abis itu pake." Adya tersentak kaget saat mendapati Fauzan yang keluar dari kamar mandi dengan berbalut bathrobe berwarna putih.

"N-ngga mau ah Om. Nanti aku masuk angin. Disini kan AC nya dingin Om."

"Ngga bakal," Fauzan menatap lurus Adya sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil, "nanti juga Lo keringetan, jadi ngga akan kedinginan."

"Lagian Om kenapa ngga beliin aku piyama panjang aja yang bahannya lebih enak, gitu?"

Menggedikan bahu sambil mencebikkan bibir, Fauzan seolah tak mempedulikan protesan perempuan itu, "terserah gue lah. Gue yang mau. Lo tinggal pake, ngga punya hak buat protes, Adya."

"Tapi Om--"

"Lo lupa hubungan kita berdua ini apa?"

Raut wajah Adya langsung berubah saat mendengar pertanyaan yang berisi sindiran telak itu. Sial! Hampir saja Adya lupa kalau hubungan mereka tidak lebih dari 'teman ranjang' semata. "Y-yaudah. Aku mandi dulu Om." Pamitnya sedikit terbata.

Setelah melihat tubuh Adya tenggelam dibalik pintu kamar mandi, Fauzan langsung berkacak pinggang dengan mulut yang sedikit terbuka lebar, "piyama katanya?" Terkekeh sinis, Fauzan langsung berdecak sebal, "bisa-bisanya dia request piyama panjang ke gue yang mana udah bayar dia buat gue telanjangi? Astaga emang kebangetan tu anak. Bisa darah tinggi gue lama-lama."

Mengusap wajahnya dengan tangan, Fauzan memilih untuk duduk bersandar diatas ranjang sambil memainkan ponselnya. Membuka beberapa roomchat grupnya untuk sekedar ia baca sekilas.

Bapack-Bapack sixpack
Group

Zio
Sepi amat grup ini. Penghuninya pada kemana sih?

Rezel
Sibuklah.

Zio
Sibuk nete ya Zel? Jangan betumbuk sama Freya Mulu kerjaan Lo. Anak Lo udah dua juga.

Rezel
Gapapa, enak. Gausah syirik, Lo juga bisa kan?

Jinovar
Lo berdua bisa, gue yang ngga.

Zio
Jino basi banget tau ngga :) yang punya dua rumah ngga diajak.

Jino
Kok Lo anjing sih Yo?

Zio
Zan, Zan, Zan, kemana sih Lo? Dateng kek, udah gue panggil tiga kali itu.

Rezel
Dia sibuk lagi capcipcup cewek buat diajak ngamar.

Fauzan
Permisi numpang kentut, eh,
numpang lewat maksudnya.

Zio
Fauzan anj--

Dero
Kalo masih berisik gue left grup ya. Tata keganggu gara-gara notif Lo semua!

Jino left group
.
Zio left group
.
Rezel left group
.

Dero
Kok malah Lo pada yang left sih.
Kan harusnya gue!

Fauzan
Gue juga izin left ya Dear,
Lo sendiri aja disini biar
ngga keganggu :)

.
Fauzan left group
.

Fauzan terbahak setelahnya. Ia pastikan kalau Dero tengah mengumpati mereka semua.

"Om ... kenapa?"

Ia langsung menoleh, mendapati Adya yang menatapnya bingung karena tertawa sendiri. "Kenapa Lo?"

"Harusnya aku yang tanya, Om kenapa? Kok ... gitu?"

"Gitu gimana?"

"Ketawa-ketawa sendiri."

"Kepo banget." Menaruh ponselnya dinakas, Fauzan langsung menaruh atensinya pada Adya yang sudah selesai mandi. "dipake ngga?" Tanyanya penuh selidik, berusaha mengintip ke balik bathrobe yang dikenakan perempuan itu.

"D-dipake kok. Tapi nanti ya dibukanya Om. Jangan sekarang."

Hendak menolak, Fauzan langsung berdecak sebal saat mendengar suara perut Adya yang tiba-tiba keroncongan. "Lo belom makan?"

"Belum Om. Lupa."

"Apa? Lupa?" Fauzan menggeleng heran, "bisa-bisanya Lo lupa soal ngisi perut?"

Adya hanya bisa menyengir polos, "ya gimana--"

"Yaudah, Lo ganti baju lagi. Pake baju yang satunya lagi, kita naik ke lantai resto, buat makan."

"B-beneran Om?"

"Ngga. Gue lagi ngibul. Ya beneran lah!" Tak hanya Adya, Fauzan pun akhirnya memilih untuk berganti pakaian karena mereka akan keluar.

***

"Om, aku ... malu." Ungkap Adya dengan jujur saat menatap ke sekelilingnya yang didominasi oleh orang-orang kelas atas. Dimana pakaian mereka bisa dibilang tmewah dan tidak biasa, sesuai dengan fasilitas hotel ini.

"Malu kenapa?" Tanya Fauzan yang tak terlalu memperhatikan Adya dan sibuk menyuapkan makanan kedalam mulutnya. "Kan Lo pake baju."

"Itu dia Om. Sebenernya, baju dari Om ini bagus, cuma kok aku ngerasa ngga PD ya pas liat para tamu lain yang pake baju--"

"Jadi ini soal baju doang?"

"Ngga Om," Fauzan menjeda ucapannya untuk meneguk minuman didalam gelas, "aku ngerasa paling jelek juga disini. Cewek lain pada cantik-cantik, seksi-seksi, terus--"

"Iya sih, emang. Bener kata Lo. Mereka cantik-cantik, seksi-seksi. Tapi kenapa Lo yang repot? Kan niat kita keluar kamar juga cuma buat makan bukan buat saingan penampilan sama tamu lain. Toh disini juga kita bayar, bukan gratisan. Kenapa mesti malu segala?"

"Maksud aku, emangnya Om ngga malu bawa aku kesini dengan penampilan aku yang kayak gini?"

“Ngga. Ngapain juga gue malu, toh kan gue udah pernah bilang kalo Lo itu legit. Gue ngga peduli pandangan orang lain tentang gue. Selama ngga ngerugiin mereka, ngapain kita pikirin?”

Mengunyah makanannya dengan pelan, diam-diam Adya memperhatikan Fauzan. Dimana laki-laki yang sudah matang diusianya itu seolah tengah acuh tak acuh. Dia hanya memperhatikan makanannya.

"Gue tahu gue manis, ngga usah lama-lama liatin gue, ntar Lo diabetes."

Adya hampir saja tersedak kalau saja ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. "Om emang orangnya sepercaya diri ini ya?" Tanya Adya sedikit penasaran.

"Mungkin, bisa dibilang iya. Kenapa emangnya?" Kali ini Fauzan menatap wajah Adya karena kegiatan makannya sudah selesai. Ia mengelap kedua ujung bibirnya dengan sapu tangan yang disediakan.

"Jadi Om ngga pernah insecure?"

"Kayaknya sih ngga. Bukan karena gue ngerasa diri gue paling oke atau gimana, cuma gue selalu berusaha buat bersyukur sama apa yang Tuhan kasih dan gue punya dihidup gue. Banyak yang lebih dari gue emang, tapi kita hidup bukan semata-mata buat bersaing buat nempatin posisi paling atas kan? Bukan semata-mata pengen dapat banyak pujian dari orang-orang juga. So, buat apa insecure?"

Termenung, Adya seolah mendengarkan ucapan Fauzan dengan sungguh-sungguh. Raut wajahnya yang tampak serius membuat Fauzan menatapnya lurus, "paham ngga Lo sama yang barusan gue bilang?"

"Paham Om." Mengulas senyum, Adya meraih sapu tangan yang langsung ia usap ke ujung bibirnya.

***

"Mama..." Rania yang masih terjaga langsung menyadari putrinya yang terbangun tengah malam, "hai sayang, kenapa bangun? Mau pipis?"

Hages menggeleng kecil dengan muka bantalnya, "Uncle Fauzan mana Ma?"

"Pulang dong kerumahnya. Kan Uncle Fauzan ngga tingga disini."

Memasang ekspresi sedihnya setelah menguap kecil, Hages mengerjapkan matanya, "aku pengen Uncle Fauzan nginep disini Ma. Boleh ngga?"

Rania terdiam. Bingung harus menjawab apa atas pertanyaan putrinya itu, "kenapa kamu pengen Uncle Fauzan nginep disini? Emang kita berdua aja ngga cukup?"

"Bukan gitu, kan Uncle Fauzan ngga sesibuk Papa, Ma. Jadi kita bisa cerita-cerita bertiga. Pasti seru deh Ma." Rania terpaku saat memaku raut antusias diwajah putrinya itu. Membiarkan Hages membayangkan hal yang menurutnya menyenangkan.

"Hages, bukannya Mama ngga ngebolehin Uncle Fauzan buat nginep disini. Tapi Uncle Fauzan emang ngga bisa kalo sampai harus nginep dirumah ini, Sayang."

"Kenapa Ma? Uncle Fauzan ngga mau ya nginep disini?"

"Bukan karena itu juga. Tapi kan Mama sama Uncle Fauzan bukan suami istri. Jadi ngga bisa tinggal satu rumah, nanti bisa timbul fitnah dari tetangga." Alibinya yang mungkin bisa dipahami Hages dengan mudah kali ini. "Suami Mama itu ya Papa. Jadi yang bisa nginep disini itu cuma Papa. Ngerti ya?"

"Tapi Papa jarang banget pulang kerumah ini Ma. Emang Papa tidurnya dimana sih Ma? Ditempat kerjanya ada kasur juga ya?"

Alih-alih menjawab, Rania hanya terkekeh pelan sambil mengusap kepala anaknya itu, "udah ya, kamu bobo lagi. Besok kita bikin pudding buah mau?"

"Mauuu!"

"Kalau gitu, biar ngga telat bangunnya, kita tidur ya sekarang. Oke?"

"Tapi boleh ngga Ma aku minta sesuatu?"

"Minta apa?"

"Boleh pinjem hp Mama ngga sebentar? Ngga akan lama kok, janji, please..."

Rania mengangguk lalu meraih ponselnya yang ia cas dinakas, "nih." Tak terlalu memperhatikan, ia tak menyadari kalau ternyata Hages mendial nomor ponsel Jino. Hendak merebutnya, ia juga tak tega saat melihat wajah Hages yang seolah tengah menunggu sahutan Papanya disebrang sana.

"Yah, Papa ngga angkat telponnya Ma. Padahal aku cuma mau ngucapin good night."

"Mungkin sekarang Papa udah bobo nyenyak. Besok aja ya?"

Mengangguk lesu, Hages mengembalikan ponsel tersebut ke Rania. Kedua mata Rania enggan terlelap walaupun ia sudah berusaha untuk memejamkannya. Setelah memastikan Hages sudah nyenyak, Rania memutuskan untuk keluar kamar dengan duduk sendiri di sofa. Melamunkan hal yang selama ini menjadi beban pikiran dikepalanya.

Yaitu tentang perasaannya.

Fauzan benar, ia memang sudah mencintai suaminya sendiri entah sejak kapan. Yang jelas perasaan itu baru ia sadari belum lama belakangan ini. Rania tahu, kalau ia tak berhak mencintai Jino karena hati suaminya itu sudah milik wanita yang sudah lama menjadi istrinya. Wanita yang sudah melahirkan empat anak dari rahimnya. Wanita yang tak bisa ia kalahkan apalagi singkirkan. Mengingat wajah polos dan baik wanita itu yang sama sekali belum pernah Rania temukan di orang lain.

Menghembuskan napas lelah akibat terlalu banyak memikirkan masalah yang tiada ujungnya. Rania memperhatikan ponselnya yang sengaja ia bawa tiba-tiba menyala. Menampilkan roomchatnya dengan Fauzan yang entah sejak kapan.

Nama pria yang pernah menjadi kekasihnya selama kurun waktu sepuluh tahun. Sosok pria yang menjadi cinta pertamanya juga pacar terlamanya. Fauzan Rajendra.

Walaupun memang benar kalau saat ini ia mencintai Jino, bukan berarti perasaannya untuk Fauzan hilang begitu saja. Jantungnya masih berdebar saat mereka bertemu beberapa jam yang lalu. Ia masih merasa nyaman dan aman didekat pria itu. Ibu jarinya tanpa sadar bergerak mendial nomor Fauzan yang bahkan ia biarkan sambungan telpon itu dengan menekan tombol speaker.

***

"Fuck!" Fauzan mengerang saat bagian inti tubuhnya yang bawahnya berhasil masuk lebih dalam hingga penyatuannya dengan Adya terasa sudah sampai dititik terujung.

Ia menatap wajah Adya yang sudah ikut dipenuhi kabur gairah, tak berbeda jauh dengannya. Bibir perempuan itu sedikit terbuka, mengeluarkan desahan pelan yang masih terdengar jelas ditelinganya yang tajam.

"Om..." Fauzan menyeringai saat mendengar nada frustrasi Adya. "Please..."

"Mau apa? Bilang dulu yang jelas." Tanyanya dengan nada jenaka, ditengah-tengah debaran jantungnya yang menggila akibat gairah yang berusaha ia kendalikan.

"G-gerak Om."

"Hm oke," menghentaknya lagi, kali ini membuat Adya sedikit menjerit.

"M-maaf Om, aku ... kelepasan."

Fauzan terkekeh, "gue ngga terganggu sama suara Lo. Ngga usah ditahan." Matanya yang setengah terpejam melirik ponselnya yang bergetar didekat bantal.

Tak menghentikan gerakannya yang semakin cepat dibawah sana, Fauzan meraih ponselnya untuk melihat nama sipenelpon yang tertera dilayar.

Rania.

Ibu jarinya hendak menggeser ke mode silent, namun saat merasakan kedua kaki Adya bergerak membelit pinggangnya, Fauzan sudah benar-benar hilang kendali dan tak mempedulikan ponselnya lagi. Ia mengerang frustrasi, dengan membenamkan wajahnya di cekuk leher perempuan itu. Begitupun Adya, membiarkan suaranya dapat didengar jelas oleh telinga Fauzan. Tanpa mereka berdua ketahui, Rania pun ikut mendengar semuanya.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Akan Berharga
Selanjutnya [Baca duluan Part 24] FILTHY WAY
5
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan