
Parakang adalah makhluk jadi-jadian dalam legenda Sulawesi Selatan, terutama Bugis-Makassar. Mirip dengan penyihir atau shapeshifter, Parakang konon memiliki kemampuan berubah bentuk dan menyerang manusia secara spiritual.
*****
DANA / OVO:
082125530358
Rekening Bank :
BRI
708901018369532 atas nama Imanuel Lubis
PayPal :
paypal.me/nuellubis
Trakteer :
https://trakteer.id/nuellubis
*****
BELAJAR BARENG DI RUMAH NGOPI LITERASI
083134145402

Kisah ini terjadi di sebuah dusun terpencil bernama Lappa Pitu, yang terletak di daerah pegunungan Sulawesi Selatan. Masyarakatnya masih menjunjung tinggi tradisi dan percaya pada kisah-kisah leluhur. Itu termasuk makhluk mitologis bernama Parakang.
Parakang dipercaya sebagai manusia biasa yang bisa berubah menjadi makhluk jadi-jadian. Mereka hidup seperti kita. Mereka bisa hidup bertetangga, berdagang, hingga bergaul. Namun, ketika malam turun dan cahaya lampu petromaks mulai meredup, Parakang akan berubah. Konon, tubuhnya bisa berubah bentuk menjadi binatang seperti kucing, anjing, bahkan ayam. Mereka mengisap darah atau makan isi perut manusia, khususnya bayi dan anak kecil.
Aku, Andi, masih ingat jelas malam di mana semuanya berubah.
Semuanya bermula saat aku pindah ke dusun Lappa Pitu untuk menjalani program pengabdian sebagai guru kontrak. Sekolahnya kecil, sebab hanya satu lantai dengan empat ruang kelas. Saat pertama datang, semuanya tampak biasa. Alamnya indah, penduduknya ramah, dan udaranya sejuk.
Namun, dua minggu setelah aku tinggal, desa mendadak panik. Seorang anak bernama Wawan tiba-tiba sakit aneh. Tubuhnya kurus mendadak, matanya kosong, perutnya kembung, tapi dokter desa tak menemukan apa-apa.
"Itu Parakang," bisik seorang ibu tua kepadaku saat antre di warung. "Kalau anak kecil tiba-tiba lemas dan tak sadar, bisa jadi isi perutnya sudah dimakan Parakang."
Aku tertawa saat itu. Kupikir itu hanya sebuah mitos untuk menakut-nakuti anak-anak agar tak keluar malam. Akan tetapi, malam berikutnya, aku mendengar sesuatu di luar jendela rumah dinas sekolah.
Suara kaki binatang berjalan pelan di luar kamar. Menurut aku, yang seingat aku pula, itu seperti suara anak kaki ayam. Aku lalu mengintip lewat celah dinding, dan kulihat sesuatu yang membuat tubuhku membeku.
Seekor ayam berdiri di bawah tiang lampu. Anehnya, bayangannya di tanah tidak menyerupai ayam, melainkan manusia yang membungkuk.
Ayam itu memandang ke arah jendela, dan aku bersumpah, astaganaga, matanya seperti menatap langsung ke dalam jiwaku.
******
Malam berikutnya, aku tidur lebih awal, berharap melupakan kejadian itu. Namun, di sekitar jam 1 pagi, aku terbangun karena mendengar suara bayi menangis. Padahal tak ada bayi di rumah itu. Bahkan tetangga terdekat pun jaraknya ratusan meter.
Tangisan itu makin keras. Lalu terdengar suara bisikan pelan dalam bahasa Bugis, terlalu cepat untuk kupahami. Seperti mantra atau kutukan.
Aku memberanikan diri mengintip ke luar jendela. Kulihat seorang nenek berdiri di depan rumah, membelai kepala ayam hitam besar. Ayam itu menatapku lagi. Matanyq merah, bulunya mengkilap, dan…bayangannya seperti bayangan manusia.
Keesokan harinya aku demam. Tubuhku lemas. Perutku mual. Yang paling aneh, ada bekas cakaran samar di lengan kiriku, padahal aku tidur dengan pintu terkunci.
Karena takut, aku bertanya ke kepala dusun, Pak Bimo. Ia diam lama sebelum berkata, “Kalau kamu sudah lihat ayam itu dua kali, berarti Parakang sudah mengincarmu.”
Aku terdiam.
“Ayam itu bukan sembarang ayam. Dia jadi-jadian. Dulu, waktu saya masih kecil, nenek saya bilang, Parakang bisa turun-temurun. Dari kakek ke cucu. Mereka hidup seperti kita. Tapi malam hari, mereka berburu. Kalau sudah melihat matanya dua kali, tandanya… dia sudah menandaimu.”
“Lalu aku harus bagaimana, Pak?”
Pak Bimo menatap langit. “Parakang tidak suka kalau kamu tahu siapa mereka. Biasanya mereka langsung menyerang. Tapi ada cara...”
*****
Malam Jumat berikutnya, seorang pawang dipanggil dari desa tetangga. Ia membawa sejenis daun yang hanya tumbuh di pegunungan Bone, yang katanya bisa mengusir energi jahat. Kami mengadakan ritual kecil di bawah pohon beringin.
Pada saat mantera dibacakan, angin mendadak berhenti. Sunyi mencekam. Lalu terdengar jeritan dari hutan. Bukan suara hewan. Itu suara manusia. Terdengar sosok itu menangis, meraung, dan marah-marah.
Lalu, seekor anjing hitam muncul dari gelap. Anehnya, dia berjalan dengan dua kaki. Sekejap kemudian, makhluk itu berubah. Ia berubah menjadi perempuan tua dengan rambut acak-acakan. Ia tersenyum ke arahku.
Itu nenek yang kulihat bersama ayam, tapi matanya bukan mata manusia. Bulat, hitam, dan kosong.
“Kenapa usik kami?” suaranya mendesis.
Pawang mulai membaca doa keras-keras. Nenek itu menjerit, tubuhnya mengepul asap. Dalam hitungan detik, ia lenyap.
Malam itu semuanya berakhir.
*****
Hari-hari berikutnya, aku tetap mengajar di dusun itu hingga masa kontrakku habis. Tidak ada lagi ayam misterius, tidak ada lagi suara tangisan. Sayangnya, Wawan tidak pernah sembuh. Ia dibawa keluarganya ke Makassar untuk berobat. Namun, sampai aku pamit dari dusun itu, kondisinya tak berubah. Hanya termenung. Matanya kosong.
Kadang, aku masih bermimpi tentang mata ayam itu. Yang saat malam hujan dan listrik mati, aku terkadang mendengar suara itu lagi.
“Kami hidup di antara kalian… jangan pikir kami sudah pergi…”
Catatan:
Parakang adalah makhluk jadi-jadian dalam legenda Sulawesi Selatan, terutama Bugis-Makassar. Mirip dengan penyihir atau shapeshifter, Parakang konon memiliki kemampuan berubah bentuk dan menyerang manusia secara spiritual.
Cerita ini fiksi yang terinspirasi dari mitos asli masyarakat Sulawesi. Jika kamu berkunjung ke sana, jangan takut. Akan tetapi, jangan pernah memandang remeh cerita dari nenek moyangmu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
