
Amsal 26:18-19
Seperti orang gila menembakkan panah api, panah mematikan. Demikianlah orang yang memperdaya sesamanya dan berkata “Aku hanya bersenda gurau".
***
Fillet Lele Eleusa

Pagi-pagi benar Firman sudah duduk di salah satu bangku panjang gereja. Biasanya, di hari-hari minggu biasanya, ia lebih sering mampir ke Lapo Yabes. Selain untuk sekadar membantu persiapan pembukaan lapo Batak tersebut, ia pasti sering mengamati aktivitas di sekitar lapo. Tak jarang Firman menjadi tukang parkir dadakan.
Untuk kali ini, Firman memilih untuk mendatangi ruang ibadah utama gereja terlebih dahulu. Sengaja ia lakukan demi sesuatu. Sesuatu itu adalah yang ia pegang. Warta jemaat gereja tersebut. Ia langsung melihat lagi apa yang tertera di halaman depan warta jemaat itu lagi.
Ada semacam kebanggaan di dalam diri Firman, karena tulisannya dimuat lagi. Yang kali ini, justru Firman yang diminta untuk menulis oleh pengurus gereja. Itu pun berdasarkan permintaan beberapa jemaat.
***
Hati-hati dengan Candaan
oleh: Firman Tambunan
Bayangkan ini, yang betapa sakitnya, saat kita lebih mengeritisi diri sendiri, juga saat kita tidak sok menjadi juru damai untuk konflik-konflik di sekitar kita, eh, mendadak ada saja sesama kita yang candaannya membuat kita tersinggung. Kesal?
Nah, beberapa hari yang lalu, ada ayat Alkitab yang mengusik saya.
Amsal 26:18-19
Seperti orang gila menembakkan panah api, panah mematikan. Demikianlah orang yang memperdaya sesamanya dan berkata “Aku hanya bersenda gurau".
Ayat Amsal tersebut meminta kita untuk berhati-hati dengan humor. Iya, kita harus berhati-hati dengan humor. Bisa saja humor yang kita buat, menjadi batu sandungan bagi sesama.
Pernah terpikirkan tidak hal-hal seperti ini? Maksud saya, humor itu, kan, lebih sering disampaikan dalam waktu singkat. Yang spontan begitu saja keluar dari mulut kita. Bisa saja pula, kita telat menyadari ada orang-orang yang tersinggung. Jika itu terjadi, paling kata "maaf" keluar dari mulut kita. Sayangnya, sudah terlambat. Yang bersangkutan akhirnya malah mencak-mencak kepada kita.
Padahal orang yang bijak akan menilai lebih dulu apakah humor itu layak disampaikan atau tidak. Humor harus ditempatkan di posisi yang tepat. Waktunya pun harus dipikirkan dulu. Menurut saya, sesuatu yang dianggap lucu di sebuah budaya belum tentu cocok di budaya yang lain. Untuk si X, itu lucu. Namun, belum tentu lucu untuk Y.
Akan jauh lebih bijak apabila kita menjadikan diri kita sendiri sebagai objek humor daripada pelempar humor. Kita yang ditertawakan, dan bukannya kita yang menertawakan. Hal ini akan membuat kita menjadi lebih bijak. Yang kenapa begitu, karena kita makin mengenal sesama kita seperti apa karakternya. Humor yang kita keluarkan pun menjadi lebih penuh cinta kasih. Bukankah Yesus selalu mengajarkan kita untuk mengasihi sesama manusia?
Lagi pula, dunia akan jauh lebih indah saat kita lebih kita menyerang diri kita sendiri. Kita lebih mengeritik diri sendiri. Yang termasuk saat kita melemparkan sebuah humor. Jauh lebih baik saat kita menertawakan diri sendiri.
Maka dari itu, berhati-hatilah dengan humor. Perhatikan pula lawan bicara kita juga. Apakah dia siap dengan humor yang lemparkan kepada dirinya? Yang jangan-jangan humornya salah?
Humor yang gegabah bisa menyakiti hati yang mendengarnya. Jauh lebih baik saat kita memberikan humor yang membangun. Humor yang membangun adalah humor yang tidak sekadar membuat tertawa saja. Humor yang membangun itu harus bisa mendatangkan damai sejahtera di hati setiap orang.
***
Seseorang duduk di samping Firman. Firman menghentikan aktivitas membaca tulisannya itu lagi. Ternyata itu Andrey Montululu. Pendeta yang masih berstatus evangelis itu mengumbar sebuah senyuman kepada Firman.
"Senang, yah, Bro, tulisannya dimuat di warta jemaat?" ucap Andrey memukul bahu Firman.
"Puji Tuhan, Bro," kata Firman tersenyum balik.
"Waktu terima tulisanmu itu," lanjut Andrey Montululu. "wah, boleh juga kalau dimuat di halaman depan warta jemaat. Bahkan aku sama Pak Eddie sempat berpikiran apa sekalian saja membuka kesempatan buat jemaat-jemaat lainnya, yang suka menulis, untuk coba menulis semacam tulisan rohani di warta jemaat."
Firman terkekeh. "Tapi, sekali lagi, terima kasih banyak, Bro, buat kesempatannya ini."
"Seperti yang aku bilang waktu itu," kata Andrey yang masih tersenyum. Sesekali pandangan Andrey menatap ke lukisan Yesus di depan altar. "Awalnya dari warta jemaat, lambat laun nanti kesempatan lebih besar datang ke kamu. Masih ingat, kan, kata-kata aku waktu itu."
Firman mengangguk-anggukkan kepala. "Masih, masih."
"Eh, aku baru ingat,"
"Ingat apa, Bro?"
"Begini, Bro. Beberapa hari yang lalu, aku diajak terlibat dalam pembuatan semacam buku renungan begitu. Rencananya bulan depan sudah terbit cetakan pertamanya. Dan, aku terus kepikiran kamu, Bro. Apa kamu mau ikut serta menulis tulisan renungan di buku renungan ini, Bro?"
Sontak kedua mata Firman langsung berbinar-binar. "Boleh, boleh, dong, Bro."
"Tapi masih rintisan, sih, Bro. Bayarannya kecil. Dan, kalau nggak keberatan, aku mau ajak kamu juga ikut serta di tim redaksinya. Tapi, kalau belum siap, yah, kirim tulisanmu juga nggak apa-apa."
Firman mengangguk-angguk.
"Nanti malam, aku kirim, yah, semacam proposalnya. Kamu bisa kirim juga tulisanmu ke e-mail aku. Nanti aku teruskan ke teman-teman di sana. Gimana?"
"Siap, Bro. Nanti malam aku kirim."
Di saat itu, Greyzia datang. Perempuan Tionghoa itu duduk di samping kiri Firman. Ia bertanya kepada Firman dan Andrey, “Ngomongin apaan, sih?”
Andrey menjawab, “Aku menawarkan kesempatan menulis ke pacar kamu, Greyzia. Nulis buat buku renungan yang rencananya cetakan pertamanya terbit bulan depan. Apa Greyzia mau ikut menulis di buku renungan ini juga?”
Firman menimpali, “Ikut aja, Zia. Seru juga ada sepasang kekasih yang tulisannya dimuat dalam sekali edisi.”
Greyzia terkekeh. “Yah, aku usahakan, deh. Tapi, lebih baik kesempatan itu buat kamu aja, Bang. Kamu kayaknya lebih membutuhkannya. Lagian aku emang pengin banget lihat tulisan-tulisanmu sering dimuat.”
Andrey spontan tertawa. “Hahaha… cie, Firman, yang punya pacar segitu support-nya.”
“Ah, apaan, sih?!" semprot Firman nyengir. “Tapi, kamu ikut aja, Zia, nulis bareng aku.”
“Kalau Greyzia tertarik,” kata Andrey masih nyengir. “nanti kukirim e-mail aku ke WA kamu.”
“Aku pikir-pikir dulu, yah, Bang Andrey,” ucap Greyzia tersenyum.
“Greyzia,” kata Andrey menarik nafas. “kamu masih ngajar sekolah minggu?”
“Masih, kok, Bang," jawab Greyzia.
Andrey menjawab sambil melirik jam tangannya, “Sudah mau jam sembilan. Kok malah ke sini?”
Jawab Greyzia, “Sebentar aja dulu duduk di sini. Biasanya juga aku menyempatkan diri dulu doa sebentar di ruang ibadah utama.”
“Oh,” Andrey mengangguk. “Eh, kalian sudah berapa lama pacaran? Sudah ada niat belum buat ke jenjang yang lebih serius lagi?”
Baik Firman maupun Greyzia saling berpandangan. Mungkin saja keduanya saling memberikan irama-irama denyut jantung. Berdetak-detak makin kencang. Tak saling berkata-kata. Hanya masih saling menatap.
Andrey sontak tertawa. “Hahaha… langsung kaget begitu kalian ini, waktu aku sedikit nyerempet ke pernikahan. Yah, kalau memang belum siap, tidak apa-apa. Menikahlah jika kalian berdua sudah sama-sama siap. Ingat, menikah karena siap, dan bukannya karena pengin."
Spontan Firman dan Greyzia ikut tertawa. Firman menimpali, “Disimpan dulu nasehatnya, Pak Bro Pendeta.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
