"Dulu aku sempat mempelajarinya di bangku SMA. High school, I mean. Tapi aku kurang lancar. Aku hanya tahu duì bù qǐ dan wo ai ni."
"Ma, rumah di sebelah udah ada yang nempatin, yah?" tanyaku ke Mama.
Kedua mataku terus memandangi rumah yang berada di sebelah kanan dari rumahku. Rumah bertingkat dua yang sangat antik. Rumah tersebut selalu mengingatkanku dengan film-film Mandarin tempo dulu. Jarang sekali ada rumah yang seperti itu, apalagi di jaman sekarang ini.
"Iya, Boy, kemarin tetangga baru kita datang. Katanya, datang dari Shanghai, China, Boy. Kamu, sih, pulangnya di atas jam sepuluh malam. Padahal, kalau pulangnya rada cepetan, kamu bisa ketemu sama anak perempuannya. Cantik, Boy. Pas kayaknya sama kamu. Kamu juga kayaknya masih jomblo, kan?" ujar Mama yang terkekeh, lalu kembali menonton televisi. Televisi sedang menayangkan sebuah program berita.
"Yah, namanya juga macet, Ma, di jalan. Tahu sendiri macetnya Jakarta makin lama makin parah." balasku nyengir. "Ma, aku ijin keluar rumah dulu bentar, yah."
"Wah, mau langsung kamu samperin ni anaknya," Mama terus meledekiku saja. Aku pura-pura cemberut. "Habisin dulu nasi gorengnya. Capek Mama buatinnya, Boy."
"Buru-buru, Ma. Belum lagi aku harus ngejar dosen."
Sok sekali aku terlihat bahwa diriku sedang tergesa-gesa. Faktanya, memang hari ini jadwalku itu ke kampus. Aku harus segera menghampiri Ibu Fransiska, dosen pembimbing skripsiku. Beliau ini dosen yang super sibuk. Maklum saja, selain sebagai dosen, beliau memiliki beberapa profesi. Pengacara iya, notaris iya, pengusaha iya. Itulah kenapa aku sempat menyesali saat diriku dipasangkan dengan Ibu Fransiska. Bahkan hanya untuk lulus cepat, aku harus menghampirinya ke kantor notarisnya di daerah Fatmawati.
Begitu aku telah berada di luar rumah, langkah kakinya aku pelankan. Aku pelan-pelan mendekati rumah tersebut. Penasaran aku, orangnya seperti apa. Mama tahu saja, anak laki-laki kesayangannya ini tidak betah berlama-lama menjomblo setelah putus dari Winda. Ternyata menjadi jomblo itu tak enak juga. Mungkin rasa tidak enaknya itu karena aku sudah terbiasa dengan beraneka ragam kasih sayang yang dulu diberikan oleh Winda. Mulai dari SMS Selamat Tidur, Telepon Ayo Bangun, atau cokelat di Hari Valentine.
Astaga, Valentine, yah. Sekonyong-konyong aku teringat dengan mantanku tersebut. Tapi, yang ingin putus dan memutuskan hubungan itu kan aku. Gengsi aku jika harus menghubungi Winda. Ayo, dong, Boy, konsisten dengan omongan kamu. Lagian, kamu memang harus memutuskan hubungan kamu dengan Winda. Itu bukan pacaran lagi namanya. Kamu dimanfaatkan. Uangmu terus disedot seperti kotoran di jamban disedot oleh tukang sedot WC.
Wah, ada yang mau keluar dari rumah itu. Aku langsung terburu-buru mengumpet di balik salah satu pohon. Aduh, kenapa aku jadi deg-degan? Eh, tunggu, Mama bilang tetangga aku ini datang dari Shanghai. Orang asing, dong. Berarti anaknya secantik di film-film Mandarin. Kalau aku ajak kenalan, lalu berhasil mendapatkan hati si perempuan, aku bisa naik kasta, nih. Panjat sosial, yang seperti teman-temanku bilang. Aku cengar-cengir sendiri dengan analisisku.
Ternyata yang keluar itu seorang perempuan. Cantik juga. Mamaku memang pandai menyenangkan hati anak laki-laki satu-satunya. Perempuan ini sangat sesuai dengan seleraku. Kulitnya putih. Rambutnya panjang nan tergerai-gerai. Hidungnya mancung khas perempuan di negeri China sana. Eh, dia ini bisa bahasa Indonesia atau aku harus bicara dengannya menggunakan bahasa Mandarin? Bahasa Mandarin aku semasa SMA dulu itu berantakan. Tapi, aku sedikit demi sedikit bisa berbahasa Mandarin.
Oke, Boy, dekati langsung si perempuan. Ini saatnya kamu untuk move on. Lupakan Winda, si cewek berengsek. Winda tak pantas untuk kamu. Perempuan ini yang lebih pantas untuk kamu. Saatnya panjat sosial, Boy.
Aku berjalan cepat ke arah si perempuan. Perempuan itu agak bergidik, namun untungnya tak berlari kocar-kacir. Mungkin dia masih coba berpikiran positif. Bisa saja aku hanya ingin berkenalan karena dia itu tetangga baru aku.
"Hello, nǐ hǎo ma?" sapaku, menyodorkan tangan untuk berjabat tangan.
Dia merespon, lalu jawabnya sambil tertawa kecil (Amboi, manisnya!), "Aku bisa sedikit bahasa Indonesia, even not fluently."
"Dulu aku sempat mempelajarinya di bangku SMA. High school, I mean. Tapi aku kurang lancar. Aku hanya tahu duì bù qǐ dan wo ai ni." Semoga Lilian sadar aku tengah menyatakan cinta. Ditolak pun tak apa-apa. Yang penting aku sudah mencoba. Nanti aku bisa mencobanya lagi. Dulu saja, mantanku yang kedua, si Michelle, aku baru benar-benar jadian setelah ditolak dua kali. Makhluk yang bernama perempuan memang seperti itu. Sok jual mahal, padahal sebetulnya sayang juga.
Lilian tertawa. "Kenapa harus kata-kata itu, Boy? Ah, I know, kamu belajarnya demi seorang perempuan?"
Aku menggigit jari. Umpanku gagal diambil rupanya. Lilian ini benar-benar tidak tahu? Atau, mungkin dia hanya mengujiku seperti layaknya Michelle? Ah, Lilian, peka sedikit. Aku baru saja menyatakan cinta ke kamu. Capek aku harus mengulanginya lagi.
"Nggak juga, sih. Dulu, mantan pacarku itu benci dengan pelajaran bahasa Mandarin. Kebetulan aku juga. Susah banget mempelajarinya. Really hard to learn Chinese, Lilian."
Di tengah obrolan aku dan Lilian, ponsel Lilian berdering. Lilian segera mengangkat. Aku agak kecewa saat Lilian berkata, "Hello, Dear." Aku berharap itu bukan benar-benar pacarnya. Mungkin saja paman atau ayahnya. Untuk yang terakhir, itu karena aku belum menemukan orang yang seusia Papa dan Mama. Semoga saja harapanku terkabul. Aku ingin memiliki pacar orang luar, walau masih berdarah Indonesia.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰