Episode : Saat Malaikat Kita Menjemput Nyawa

2
0
Deskripsi

"Tuan Malaikat, apa aku tidak boleh kembali ke ragaku lagi? Kenapa setiap aku mau coba kembali, aku suka kesakitan sendiri? Aku belum siap meninggal. Tiga hari lagi aku harus mengadakan press conference. Ada penyanyi luar datang ke negara ini. Kasih aku kesempatan hidup sekali lagi. Sehabis itu, kalau kamu mau mengambil nyawaku, yah silakan saja.”

Jurnalis berharap untuk diberikan satu kesempatan lagi. Apa daya, sentuhan magis ke raga si jurnalis itu membuat roh si jurnalis tak kembali ke dalam raganya...

Halo, Semua! Masih ingatkah kalian dengan "Rapat Para Hantu"? Itu tentang kisah malaikat pencabut nyawa yang bercakap-cakap dengan beberapa hantu. Ada hantu kakek bermata satu, hantu perempuan China berkepang dua, hantu bocah cilik, hingga hantu pemuda kurus kerontang. Mereka semua dipertemukan satu sama lain--dibantu selesai setiap permasalahan oleh malaikat tersebut. Apa yang tidak mungkin selama mereka semua masih hidup, jadilah mungkin selama mereka berada di dunia orang mati.

Malaikat itu hanyalah malaikat biasa. Dibilang tanpa nama, iya. Sebab, dia tak seterkenal pemimpin malaikat, Michael. Dia tak sebijaksana, Gabriel. Dan, kemampuan menyembuhkannya tak bisa dibandingkan dengan Rafael. Namun, dia sebisa mungkin menjalankan tugas sebaik-baiknya dari Sang Khalik. Dia terkenal sombong. Yah, malaikat itu terkenal sombong. Kesombongannya itulah yang membuat dia terkesan seperti pembunuh bayaran. Padahal, jika sudah mengenal pribadi si malaikat sombong tersebut  dia sangat welas asih. Dia tak tahan dengan penderitaan seorang manusia. Beberapa kali dia suka membantu manusia tersebut dengan kemampuan supranaturalnya. Secara magic, tentunya. Itu dilakukannya diam-diam. Dia lebih suka dianggap sombong.Sekarang ini, dia harus memanggil nyawa seorang. Dia tengah berada di sebuah rumah sakit. Yang harus dia jemput adalah seorang jurnalis. Jenis kelaminnya laki-laki. Seorang jurnalis terkenal yang mengenakan kacamata tebal yang harus terus menerus berurusan dengan dokter mata karena persoalan minus. Dia bahkan mengantongi banyak penghargaan sebagai jurnalis andal. Banyak tokoh penting yang sangat bangga jika bisa diwawancarai oleh jurnalis tersebut. Kini semuanya hilang. Ketenarannya bukanlah apa-apa saat dirinya melihat raganya terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Senang sih, dirinya saat banyak yang mengunjungi. Artis, tentara, atlet, hingga asisten menteri, mereka semua datang menjenguknya. Tapi kalau dirinya tak bisa menyentuh mereka semua, lalu melemparkan senyum terindah, buat apa? Rohnya menangis paling getir dari segala tangisannya selama dia tak harus berurusan dengan kematian.

"Ayo, pergi," ujar malaikat blak-blakan, yang seolah tak memberikan waktu bagi si jurnalis untuk memberikan perpisahan terindah. "Apa lagi yang kamu tunggu?"

"Tuan Malaikat," kata jurnalis itu yang tersenyum penuh air mata. "Apa aku tidak boleh kembali ke ragaku lagi? Kenapa setiap aku mau coba kembali, aku suka kesakitan sendiri? Aku belum siap meninggal. Tiga hari lagi aku harus mengadakan press conference. Ada penyanyi luar datang ke negara ini. Kasih aku kesempatan hidup sekali lagi. Sehabis itu, kalau kamu mau mengambil nyawaku, yah silakan saja. Aku siap."

Malaikat itu menggeleng. "Ini sudah menjadi ketentuan dari Sang Khalik. Itu juga menjadi pertanda waktumu memang sudah tiba."

"Dosa aku apa, Tuan Malaikat? Perasaan aku selalu menebar kebaikan. Aku suka menyumbang sebagian penghasilanku ke anak yatim. Dua bulan lalu aku memberikan bantuan uang ke gamer yang bertangan satu. Masih kurangkah amal ibadahku? Apa dosaku?" teriak si jurnalis yang mencekik leher kemeja si malaikat.

Ada sengatan maha panas antara si malaikat dan si jurnalis. Itu bukan api. Lebih mirip sengatan listrik. Dari situlah, si jurnalis setengah sadar bahwa percuma saja melawan kehendak Sang Khalik (yang melalui si malaikat pencabut nyawa).

"Kamu mau tahu dosamu?" tanya si malaikat seramah mungkin. Si malaikat tak marah diperlakukan sehina itu oleh si jurnalis. Malaikat itu langsung menunjuk ke arah tumpukan koran di atas nakas. "Lihat ke arah koran-koran tersebut. Itu jawaban yang kamu cari."

Si jurnalis itu mendekati nakas tersebut. Direngkuhnya beberapa koran tersebut. Salah satu artikel utamanya, terdapat nama atau inisial namanya: AKJ. Seketika itu juga, dia langsung meraung-raung. Tak ada yang mendengarkan raungannya, selain si malaikat.

"Tahu apa dosa-dosamu, Wahai Jurnalis-yang-hanya-mengejar-uang-dan-ketenaran?"

"Aku ingat, sekarang aku ingat," Dia mengangguk-angguk sambil menangis. "Aku ingat, pernah aku ditelepon anak kecil. Dia bilang usaha ayahnya harus gulung tikar karena salah satu artikel yang kutulis. Terus, ada satu pemain film hampir menjebloskanku ke penjara karena aku dianggap mencemarkan nama baiknya. Untung saja aku di-back up oleh beberapa tokoh politik dan kepolisian. Si artis yang akhirnya mendekam di balik jeruji."

Malaikat itu tertawa. "Untung kamu bilang? Kamu tahu apa akibatnya buat si artis?"

Si jurnalis itu tak bisa menjawab. Si malaikat benar, masalahnya. Akibat dari artikel-artikel yang dituliskan oleh si jurnalis, si artis sulit mendapatkan job. Ke mana si artis pergi, pasti dihujat. Tak jarang si artis dilempari orang lain aneka benda. Padahal si artis jadi tulang punggung keluarganya. Papa si artis tengah pengobatan penyakit jantungnya yang butuh biaya mahal. Itulah kabar yang didengar oleh si jurnalis, namun hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

"Sesal tiada guna." sahut si malaikat tersenyum. "Ayo."

Bagaikan tersihir, si jurnalis kali menurut saja. Ia pasrah, dan perlahan mengikuti si malaikat sambil sesekali melihat ke belakang. Ke belakang sekali, sangat ke belakang, ke arah saat-saat dirinya masih hidup. Sesal memang tiada guna. Salah sendiri hanya mementingkan uang dan gengsi. Korban-korban dari tulisan-tulisannya jauh lebih diprioritaskan oleh Sang Khalik. Mereka sudah lama merintih dalam doa mereka, yang menginginkan keadilan. Apakah ini suatu keberuntungan? Atau sebuah kesialan--terutama untuk rumah sakit ini? Hari itu juga ada seorang psikiater yang ambruk (yang dalam beberapa bulan terakhir dia selalu dalam kondisi sehat bugar--yang tak ada keluhan penyakit) dan mengalami nasib sama dengan si jurnalis. Sama-sama tak bisa lagi masuk ke dalam raganya. Kembali si malaikat mengingatkan apa dosa si psikiater, namun dia tetap membandel dan berulangkali ingin kembali ke dalam raganya yang sudah mulai hendak dibawa untuk diperiksa.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Episode : Aku Tidak Mau Kehilangan Mami
2
2
Seorang pemuda berkacamata duduk di salah satu bangku gereja. Kedua matanya sembap.  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan