
Selesai pemanasan, kami dibagi ke dalam kelompok kecil. Kelompokku terdiri dari aku, Santo, Donny, dan Suhandi. Kami mulai latihan chest pass, bounce pass, sampai overhead pass. Bola basketnya sudah aus, licin, dan permukaannya mulai
*****
DANA / OVO:
082125530358
Rekening Bank :
BRI
708901018369532 atas nama Imanuel Lubis
PayPal :
paypal.me/nuellubis
Trakteer :
https://trakteer.id/nuellubis
*****
Tio
0812-8630-8285

Setelah pelajaran Bahasa Indonesia berakhir, kami sempat diberi waktu sekitar lima belas menit sebelum pelajaran terakhir hari itu dimulai. Pelajaran itu Olahraga. Biasanya pelajaran Olahraga adalah yang paling kami tunggu, apalagi kalau cuma main-main di lapangan. Sayangnya hari ini, suasana sedikit berbeda. Ujian Sejarah tadi benar-benar menguras energi.
Aku masih duduk di bangkuku, mengelap keringat yang entah datang dari mana, padahal sudah sore. Di luar jendela, sinar matahari masih menampar ubin dan tembok-tembok tua sekolah Marius. Panasnya tidak kira-kira. Seolah-olah atap seng sekolah kami berubah jadi penggorengan raksasa.
“Kenapa ujian Sejarah harus sedetail itu, sih?” gumam Sandi Malau dari belakangku sambil meregangkan punggung. “Bu Gultom bener-bener nggak ngasih ampun. Siapa juga yang harus inget isi Traktat London lengkap?”
“Gue malah baru tahu tadi kalau Diponegoro ditangkapnya tuh di Magelang,” timpal Santo, menggaruk kepala. “Dulu gue kira di Yogya.”
“Kebanyakan nonton sinetron," ujar Donny sambil terkekeh.
Kami keluar kelas bersama-sama, berjalan menuju lapangan. Anak-anak cowok sebagian besar sudah menggulung lengan kemeja biru mereka. Beberapa dari kami, termasuk aku, mengganti celana panjang seragam dengan celana olahraga pendek warna biru tua. Kaus kaki dilipat, sepatu sudah belel, tapi tetap kami pakai.
Begitu sampai di lapangan basket, Pak Maruap sudah berdiri dengan peluit di leher. Dia mengenakan celana training Adidas jadul dan kaus hijau yang sudah mulai pudar warnanya. Selalu mengenakan topi bertuliskan nama pertamanya.
“Oke, anak-anak! Baris dulu! Pemanasan sebelum mulai!”
Kami langsung membentuk dua barisan. Lapangan basket tempat kami berkumpul bukan lapangan yang ideal. Aspalnya sudah retak di sana-sini. Garis-garis lapangannya memudar. Ring basket di sisi kanan agak miring karena sambungannya karatan. Walaupun demikian, lapangan kebanggaan kami. Satu lagi, kupandangi tulisan ‘Dunkin Donut' yang sudah memudar. Kenangan itu menyeruak lagi. Saat aku juara 3 kelas beberapa tahun yang lalu.
“Hari ini kita latihan passing dan lay-up. Kalau sempat, kita main game 3 lawan 3. Tapi sebelum itu, pemanasan dulu!”
Kami mulai gerakan pemanasan. Aku bisa merasakan lututku agak kaku. Mungkin efek terlalu lama duduk dan belajar seharian. Satu per satu kami melakukan gerakan peregangan leher, bahu, tangan, hingga kaki. Keringat mulai mengalir deras di dahiku.
Di barisanku, Santo sudah mulai meringis. “Aduh... otot betis gue kayak dipelintir.”
“Belum lompat udah ngeluh,” ejek Donny.
Selesai pemanasan, kami dibagi ke dalam kelompok kecil. Kelompokku terdiri dari aku, Santo, Donny, dan Suhandi. Kami mulai latihan chest pass, bounce pass, sampai overhead pass. Bola basketnya sudah aus, licin, dan permukaannya mulai mengelupas.
“Jangan terlalu pelan, To!” tegur Pak Maruap. “Pass itu harus tegas!”
Setelah itu kami pindah ke latihan lay-up. Giliran kami satu-satu lari dan lompat sambil memasukkan bola ke ring.
Aku bukan jagoan basket, tapi hari itu aku berhasil memasukkan bola dengan lay-up yang nyaris sempurna. Bola memantul ke papan, masuk ring, dan jatuh mulus ke lantai.
“Cieee, Noel!” seru Donny. “Udah kayak Slam Dunk!”
Santo tertawa. “Gitu dong, ikut Olahraga, jangan cengok aja.”
Aku tertawa kecil, tapi jantungku berdebar kencang. Bukan karena olahraga, tapi karena aku tahu ada yang menonton. Di pinggir lapangan, Mareta duduk bersama Niki dan Seviane. Mereka sedang ngobrol sambil sesekali melihat ke arah kami. Entah dia benar-benar melihat atau tidak, tapi rasanya seperti ia memperhatikan aku.
Sesi latihan terakhir: game 3 lawan 3. Kami main setengah lapangan. Timku melawan tim anak perempuan. Permainannya kacau, banyak yang salah passing, tapi juga banyak tawa. Lelah, tapi menyenangkan.
Aku sempat mencetak satu poin lewat tembakan jarak menengah. Sumpah, bukan karena latihan, tapi mungkin karena semangat yang entah datang dari mana.
Setelah pertandingan kecil selesai, Pak Maruap meniup peluit. “Cukup, cukup! Istirahat lima menit sebelum bubar!”
Kami duduk di pinggir lapangan, mencopot sepatu, membiarkan kaki menghirup udara sore. Langit mulai oranye, angin akhirnya datang. Keringat masih mengalir, tapi sudah tak terasa menyiksa.
“Noel,” kata Suhandi sambil menyenggolku. “Lu tadi keren. Tembakan lo mulus banget.”
“Biasa aja,” jawabku merendah.
“Gara-gara Mareta?” goda Sandi.
Aku cuma nyengir, tak menjawab. Yang aku pikirkan malah keponakan Dokter Lauren--Grace.
Bel pulang berbunyi. Kami membereskan barang dan berjalan kembali ke kelas untuk ambil tas. Di depan kelas, aku sempat melihat Mareta berjalan ke arah gerbang. Dia melambai singkat ke arahku.
Aku tak tahu pasti. Coba menerka apakah itu untukku, atau kebetulan saja dia lambaikan tangan ke seseorang di belakangku. Namun, sore itu terasa hangat. Bukan karena matahari, tapi karena sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Di jalan menuju rumah, seperti biasa berjalan kaki dengan Yosua dan Alfa, aku tersadar. Mungkin, ini bukan hanya pelajaran olahraga. Ini pelajaran tentang keberanian. Tentang melempar bola walau belum tentu masuk. Tentang melangkah meskipun belum tahu akan disambut.
Sekonyong-konyong aku melihat ke arah langit senja. Aku menarik nafas. Sungguh kenangan bisa tumbuh dari hal sederhana. Bagaikan memandangi senyuman seseorang. Atau, juga, saat bola masuk ring, di situlah langit oranye yang diam-diam menyimpan rahasia masa muda kami.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
