
“Bukan, bukan Clarissa. Namanya Monica. Monica Tjahjadi. Gue inget banget, soalnya waktu itu dia ngalahin tim kita di semifinal. Gara-gara soal tentang Perang Dunia II, tuh!”
*****
DANA / OVO:
082125530358
Rekening Bank :
BRI
708901018369532 atas nama Imanuel Lubis
PayPal :
paypal.me/nuellubis
Trakteer :
https://trakteer.id/nuellubis
*****
Yuk, ikut pre-order ke Kuppu Snack di 081247154969.


“Yah, tadi katanya mau pulang, sekarang batal?!” protes Seviane sambil melipat tangan di dada. “Gue catat nih, San!”
“Bukan gitu, Sev…” ujar Sandi Malau dengan senyum cengengesan khasnya. “Itu tuh, tim cewek dari Santa Maria udah dateng. Masa kita nhgak nonton?”
Santo dan aku otomatis menoleh ke arah lapangan basket. Benar saja, beberapa siswi SMP Santa Maria—dengan seragam olahraga putih-merah bergaris biru—baru saja memasuki area sekolah. Di antara mereka, aku mengenali salah satunya.
“Eh, itu bukan yang waktu lomba cerdas cermat minggu lalu?” tanyaku.
“Iya!” sahut Santo. “Yang namanya… siapa ya? Clarissa, ya?”
Sandi menyahut cepat, “Bukan, bukan Clarissa. Namanya Monica. Monica Tjahjadi. Gue inget banget, soalnya waktu itu dia ngalahin tim kita di semifinal. Gara-gara soal tentang Perang Dunia II, tuh!”
Aku dan Santo spontan tertawa. “Ya elah, lo masih dendam, San?” kata Santo.
“Bukan dendam,” kilah Sandi. “Tapi sejak saat itu, gue jadi nge-fans. Gila, cewek pinter, tinggi, jago basket. Komplit!”
“Woy, jangan ngiler!” teriak Virgo yang entah dari mana muncul sambil menenteng botol Aqua ukuran 1,5 liter.
Aku kembali memandang ke arah Monica, dan entah kenapa, rasa nostalgia kembali menyeruak. Tahun 2003 sudah di depan mata. Segalanya terasa berubah, tapi juga terasa akrab. Rasanya seperti duduk di depan televisi nonton acara Makibao di Trans TV, sambil berharap sepatu merek Diadora impian bisa terbeli dari hasil menang lomba 17-an. Rasanya seperti melihat kembali poster Dewa 19 dan Sheila on 7 yang menempel di dinding kamar.
“Eh, kalian inget nggak waktu awal tahun kemarin? Awal 2002?” tanyaku pelan.
“Yang mana?” tanya Santo.
“Yang waktu kita rame-rame ke rumahnya Yosua. Buat nonton bareng Piala Dunia,” ujarku, tersenyum kecil.
“Yoi!” seru Sandi. “Final-nya Brasil vs Jerman. Itu si Kaka masih cadangan, tapi Ronaldo cetak dua gol!”
“Dan, gue ketiduran!” keluh Santo. “Keburu kecapean abis bantuin nyokap bikin ketupat buat Lebaran.”
Semua tertawa. Tawa-tawa yang ringan, tanpa beban. Kami lalu duduk di tribun yang ada di pinggir lapangan basket. Pertandingan akan segera dimulai. Suasana semakin riuh. Lagu “Teman Tapi Mesra” dari Ratu terdengar samar dari speaker lapangan. Ada rasa aneh yang mengendap dalam dada. Mungkin ini yang disebut perasaan bahagia dalam kesederhanaan.
Pertandingan dimulai. Monica membuka dengan lemparan tiga angka yang langsung membuat semua bersorak. Bahkan anak-anak dari kelas sebelah ikut berdiri, bertepuk tangan. Monica, dengan rambut dikuncir kuda dan nomor punggung 7, menjadi sorotan lapangan.
Sandi menunduk ke arah aku. “Noel, gimana kalau kita bikin surat undangan buat tanding balik ke sekolah mereka? Biar bisa tuker-tukeran kontak juga. Hahaha.”
“Bikin aja sendiri, San,” aku menjawab santai. “Gue dukung dari belakang.”
Santo menyeringai. “Lu sih ngarepnya tanding ulang, tapi yang diulang bukan skornya, tapi pertemuan sama Monica-nya.”
“Hei, hei, jangan ganggu gue menikmati pertandingan,” elak Sandi sembari pura-pura serius menonton.
Di situlah kami. Duduk bertiga, di sela sorak-sorai penonton, riuh tawa, dan gemuruh bola memantul di lantai. Kami tahu, waktu akan terus berjalan, tahun akan berganti. Tapi hari itu—13 Agustus 2002—adalah salah satu hari yang akan tinggal lama di kepala kami. Hari yang terasa seperti potongan video dalam VCD bajakan: agak buram, tapi hangat dan tak tergantikan.
Kalau suatu saat kami bertemu lagi, entah di tahun 2003, atau sepuluh tahun sesudahnya, mungkin kami akan tertawa mengingat hari ini. Mengingat masa SMP kami di Marius, masa ketika hidup begitu riuh tapi ringan, masa ketika pulang sekolah siang bukan beban, tapi petualangan yang seru.
Aku menatap langit biru yang mulai pudar. Awan tipis menggantung, dan cahaya sore mulai merayap perlahan. Mungkin beginilah rasanya bertumbuh: sedikit demi sedikit, penuh tawa, sesekali diselingi haru.
Sementara pertandingan basket masih berlangsung, aku menoleh ke arah tribun. Di sana, Pak Poltak terlihat duduk sambil mencatat sesuatu. Entah absen, entah skor, entah hanya berpura-pura sibuk agar tidak dimintai tolong angkut galon. Di sebelahnya, Bu Endang sibuk berteriak-teriak memberi semangat tim putri SMP Marius.
“Eh, Noel,” bisik Sandi. Menurut lu, kita bakal ingat hari ini nanti?”
Aku mengangguk pelan. “Iya, gue rasa iya.”
Dan pertandingan pun terus berlangsung. Tapi kami tahu, yang benar-benar kami simpan bukan skornya, bukan siapa yang menang, tapi semua tawa, percakapan, dan wajah-wajah yang kini membentuk kenangan. Tahun 2003 mungkin akan datang membawa tantangannya sendiri. Tapi hari ini? Hari ini milik kami sepenuhnya.
Untuk sesaat, dunia terasa cukup.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
