Chapter 6: Setelah Seminggu menjadi Murid SMP

1
0
Deskripsi

Wah, terima kasih, Roni, sudah mengajari aku bermain bola basket. Jago sekali kamu bermain bola basket. Seperti Michael Jordan saja.

***

Tomi Honda Permata

087882611570

post-image-6621e234474d2.jpg

Sudah sekitar seminggu aku menjadi murid SMP. Rasanya dunia SMP ini sungguh berbeda dengan dunia SD yang dulu kujalani selama enam tahun. Salah satu perbedaannya, dan ini yang contoh sepele, itu perkara dasi. 

Saat masih SD, aku mudah sekali mengenakan dasi. Tinggal dikalungkan saja, layaknya Mama mengenakan kalung emasnya setiap perayaan Natal 25 Desember. Nah, dasi murid SMP ternyata tidak semudah itu. Lebih rumit, malah. Dasi SMP lebih mirip dasi Papa. Aku sampai meminta salah seorang pembantu rumah tangga untuk membantu aku memasang dasi. Ah, untungnya aku sudah mulai bisa memasang dasi sendiri. Terima kasih kepada Sandi yang saat itu mengajari aku memasang dasi. 

Aku terkikik saat mengingat Sandi. Baru kali ini aku berteman dengan seseorang yang berwajah mirip dengan seseorang yang pernah aku lihat di film anak-anak yang pernah aku tonton dulu. Sandi ini cukup mirip dengan Sadam. Secara tampang, mirip Sadam. Yang membedakan itu mungkin hanya postur. Sadam di “Petualangan Sherina” agak gemuk. Sementara Sandi terlihat lebih ramping. 

Aku coba mengingat kejadian saat mata pelajaran Biologi di hari pertama menjadi murid SMP. 

Astaga, lamunanku parah sekali. Masa di kepala aku, terbayang Sandi sedang bergaya ala Sadam di “Petualangan Sherina”? 

Sandi terkekeh-kekeh. “Kenapa, sih? Kenapa lihat gue kayak gitu dari waktu MOS? Iya, gue tahu gue jelek. Tapi, nggak segitunya juga, kali.”

“Bukan gitu,”  tangkis aku defensif. 

“Tadi siapa, yang lu ajak ngobrol?” tanya Sandi yang sudah mengeluarkan buku paket Biologi untuk anak kelas 1 SMP. 

“Teman lama. Dia harusnya sekelas. Tapi, dulu tinggal kelas gara-gara bermasalah sama guru-guru waktu itu." jawabku sambil mengeluarkan buku paket dan buku tulis. 

“Oh, di sini ternyata ketat juga,” kata Sandi mengangguk-anggukkan kepala. “Gue kira, Marius cuma dikenal sebagai sekolah buangan aja. Lulusnya gampang juga. Ternyata nggak gitu, toh.”

Sampai sekarang aku masih suka terngiang-ngiang lagu “Jagoan” di “Petualangan Sherina” setiap mengingat atau berjumpa dengan Sandi. Terkadang aku suka berpikir pernahkah Sandi menyadari bahwa wajahnya cukup mirip dengan Sadam. Jika dia menyadari, harusnya dia bisa mengikuti acara televisi yang mana para pesertanya adalah mereka--orang-orang non artis--yang mirip dengan artis. 

Selain Sandi, ada temanku yang bernama Roni. Roni merupakan pindahan dari sebuah sekolah dasar yang berada di Depok. Sebelum Ebtanas, dia sudah pindah ke Tangerang. Ternyata Roni ini tinggal di perumahan yang sama dengan aku. Saat jam istirahat, dia mengaku sempat kerepotan berangkat ke sekolah menjelang Ebtanas. Ia sering diantar-jemput oleh ayahnya yang masih suka bolak-balik antara Tangerang dan Depok. Aku baru tahu yang dialami Roni itu disebut sebagai komuter. Dulu aku pernah mendengar istilah komuter atau nglaju dari majalah Ganesha. 

Eh, pengin, deh, aku bisa merasakan seperti Roni. Seperti apa rasanya bisa pergi sekolah dengan bus umum? 

Saat itu, Roni langsung berkata--yang seperti melarangku, “Jangan, Noel. Nggak enak pergi sekolah naik bus umum. Apalagi jarak Tangerang ke Depok itu makan waktu sekitar satu setengah jam. Kalau lancar banget, yah, bisa sekitar empat puluh lima menit. Enak begini. Ke sekolah, cuma ngandelin naik ojek atau becak. Nanti gue pengin minta dibeliin motor ke bokap juga."

Sandi menimpali, “Gue yang ke sekolah, naik angkot aja juga nggak enak. Malasnya waktu ngetem.”

Aku spontan bertanya, “Ngetem itu apa?”

Sandi mengernyitkan dahi dan hampir saja tawanya meledak. “Ngetem itu waktu kita lagi di dalam angkot, tapi angkot yang kita naikin nggak langsung jalan, karena harus nyari penumpang dulu.”

Langsung ditimpali oleh Roni, “Lu anak rumahan, yah?”

Aku mengangguk malu-malu. 

Aku tertawa sendiri saat membayangkan kejadian di jam istirahat selepas mata pelajaran Matematika. Omong-omong Matematika level SD dan Matematika level SMP itu sangat berbeda jauh. Sulit sekali mengerjakan PR Matematika ini. Dari tadi aku belum selesai mengerjakan PR Matematika ini. Sudah lebih dari dua jam, aku belum selesai menyelesaikannya. 

Eh, omong-omong tentang Roni, anak laki-laki berkacamata itu benar-benar jago sekali bermain bola basket. Tadi siang, di jam istirahat, aku terkesima memperhatikan caranya mendribel bola basket. Seperti atlet NBA saja. Ingatanku langsung merujuk ke Michael Jackson, salah satu bintang NBA yang pernah tampil di film semi animasi, “Space Jam”. Lagi-lagi aku terngiang-ngiang obrolan Yosua dan Roni di hari pertama MOS. 

Yosua menghampiri murid berkacamata tersebut. “Jago lu main basketnya. Oh iya, kenalin, gue Yosua. Nama lu siapa?”

Si laki-laki berkacamata membalas jabat tangan Yosua. Sembari terkekeh-kekeh, ia menjawab, “Roni, nama gue. Waktu SD, gue memang udah demen main basket."

“Nanti sepulang sekolah, sparring basket sama gue.” ucap Yosua terkekeh-kekeh pula. 

“Boleh, boleh.” kata Roni, yang sok sekali gayanya. Belum apa-apa dia sudah melemparkan pose seperti sedang menembak ke arah Yosua. “Senang gue. Ternyata di sini masih ada juga murid yang demen main basket.”

“Nih, orang juga hobi main basket.” tunjuk Yosua ke arah Rio yang baru saja datang. 

Ah, kapan-kapan aku mau minta diajari Roni bermain bola basket. Menurutku, keren sekali seorang anak laki-laki yang bisa bermain bola basket. Sementara aku payah sekali dalam bermain bola basket. Tadi saja, saat Roni menyerahkan bola basket kepadaku, cara aku mendribel bola basket sempat ditertawakan oleh beberapa orang yang kebetulan sedang berada di lapangan bola basket. Salah satunya itu Yoshi, murid pindahan, yang ternyata sama seperti Ferly. Yoshi pun anak pendeta juga. 

Yoshi meledek aku, “Cara dribelnya nggak kayak gitu, hahaha. Sini, gue ajarin. T'rus, cara ngelempar dan megang bola basket lu.”

Timpal teman sekelas aku lainnya, Erick, “Pantas, Yos, waktu jam pelajaran Olahraga, lebih banyak cengoknya. Malu, yah, Noel. Takut diketawain cara dribel sama lempar bolanya salah?”

Roni langsung memukul bahuku dan berkata untuk menyemangati, “Slow, Noel. Salah itu manusiawi. Yang penting, banyak belajar dari kesalahan. T'rus aja belajar caranya dribel dan lempar bola basket. Nggak usah cengok juga waktu jam pelajaran Olahraga.”

“Cengok dia waktu itu, Bro,” seloroh Erick terkekeh-kekeh ke arah Roni. “Malah diam-diaman aja di pinggir lapangan. Teman-temannya lagi sibuk masukin bola ke ring. Eh, dia malah bengong aja. Lu ngelamunin apaan, sih? Jangan-jangan lu udah mimpi basah?”

Yoshi langsung merangkul aku dan berbisik, “Mimpi basah itu rasanya kayak gimana? Habis bayangin siapa? Fani, yah? Dia kan cantik banget kayak San Chai.”

San Chai adalah salah satu nama tokoh di serial drama televisi berjudul “Meteor Garden”. Aku tahu itu dari teman-teman baruku di SMP. Menurut Sandi, drama yang katanya dari Taiwan itu cukup bagus. Sandi selalu suka menyaksikan perselisihan antara San Chai dan Dao Ming Shi. Sayangnya, sampai sekarang aku belum kesampaian untuk menonton drama tersebut. 

“Dih, gue paling sebal banget sama Dao Ming Shi," gerutu Sandi yang seperti hendak memukul seseorang. “Ada gitu orang sesongong dia. Lagaknya kayak dia yang punya Taiwan aja. Belagu banget!”

“Biasa aja, kali, bahasnya,” ucap Santo yang ikut menimbrung. 

“Diam aja, deh, lu,” semprot Sandi memelototi Santo. “Dasar bencong slebor!”

“Apaan, sih, bisanya nyela aja,” semprot balik Santo. 

“Ih, Santi, jangan marah, dong, Santi,” goda Doni yang masih semeja dengan Santo, meskipun sudah terjadi perpindahan tempat duduk oleh wali kelas 1-1, Pak Monang. Santi merupakan nama pemberian dari beberapa murid kelas 1 yang mengacu kepada cara berbicara Santo yang seperti bencong. 

Aku tertawa terbahak-bahak saat membayangkan kembali kejadian-kejadian tersebut di dalam kepalaku. Tak terasa PR Matematika sudah selesai aku kerjakan. Susah sekali Pak Effendi memberikan PR Matematika. Mana banyak pula soal yang aku harus kerjakan. Mungkin sampai kapan pun aku dan Matematika tidak akan pernah menjadi sahabat. 

I hate you, Matematika!” teriakku kesal. 

Salah seorang pembantu menghampiri aku dan bertanya kenapa aku berteriak. Siang ini, di jam tiga sore, aku hanya bersama pembantu rumah di rumah. Papa masih di kantor. Mama mengurus wartelnya di Ciledug. Kak Irma belum pulang. Sementara Christy masih di sekolah, sebab dia sekolah siang. 

“Nggak apa-apa, Mbak Roh,” kataku tersenyum. “Cuma kesal aja. PR Matematika ini kok sulitnya nggak ketolongan? Benci banget, deh, sama Matematika. Argh!”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya #31 Demi Perdamaian di Timur Tengah
0
0
Pray for Dubai.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan