
"Di Bobo, ada rubrik Tak Disangka, kan? Coba kirim ke sana. Lumayan bisa sekalian nambah-nambah teman dan uang saku.”
***
Kacang Gimbal Warung EdanE
0811-8606-77

Tak perlu menunggu hujan
hanya untuk melihat pelangi
Ada pendar pelangi
di kelopak matanya
Meski begitu,
kuakui pula,
di setiap tetes hujan,
tersirat wajah manismu
Kubaca lagi puisi ini. Sengaja aku selipkan di buku harian. Aku terkekeh saat membaca puisi ini. Sederhana sekali, dan sesungguhnya terinspirasi dari perempuan, yang entah perempuan yang mana
Aku, Noel Irawan Nasution, seorang murid kelas 1 di SMP Marius. Masih lajang. Alias belum memiliki kekasih. Yang awalnya itu aku bodoh amat perkara asmara. Di saat beberapa teman sekelas sudah mulai naksir-naksiran ke lawan jenis mereka. Aku tidak terlalu peduli tentang cinta.
Eh, kemarin Yan menelepon. Astaga, apa dia tidak tahu temannya yang berkacamata ini tidak masuk sekolah hingga seminggu? Kenapa harus menelepon aku hanya untuk meminta izin tidak masuk sekolah karena harus menjalanu ritual agama?
Sebentar, aku ingat, satu hari sebelum aku diliburkan oleh Mama, kondisi Yan memang tidak masuk sekolah. Hari kamis itu, Yan tidak masuk sekolah dengan alasan demam. Aku yang menyampaikan ke Mareta bahwa Yan tidak masuk karena sakit.
Kalau dipikir lagi, Yan ini juga sering tidak masuk sekolah. Alasannya banyak sekali. Pernah tidak masuk karena jembatan di dekat rumah banjir. Pernah pula karena alasan ada urusan keluarga. Walau ia lebih sering tidak masuk sekolah karena alasan sakit. Ternyata Yan ini mirip seperti aku beberapa tahun yang lalu. Sering penyakitan.
Sudah, sudah, sudah cukup. Kembali ke persoalan awal. Tentang cinta, maksud aku. Aku baru sadar bahwa perkara cinta lebih identik ke dunia murid SMP. Saat masih SD, sepertinya tabu untuk seorang anak SD. Mendadak aku teringat dengan kejadian saat aku kelas 2 SD.
***
Saat itu, mungkin itu tahun 1996. Pembantu yang bekerja juga bukan Mbak Roh, Mbak Inah, maupun Mbak Nenti. Papa masih sering pergi dinas ke tempat-tempat eksotis di Indonesia. Aku masih kelas 2 SD.
Ada dua orang kakak kelas yang bertetangga dengan aku. Mereka adalah Fani dan Riko. Wah, rasanya tidak menyenangkan, bertetangga dengan kakak kelas. Apa pun yang terjadi dengan kita, pasti si kakak kelas langsung tahu. Langsung menjadi bahan omongan saat aku kembali ke sekolah. Itu pernah terjadi saat Riko sekonyong-konyong datang ke kelasku dan iseng berkata, “Ninja Jiraiya, selamatkan aku!”
Astaga, malu sekali aku saat itu. Sontak aku mengalihkan pandangan dengan berpura-pura membaca Buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang berwarna sampul merah putih. Sebagian teman-teman yang masih di kelas saat jam istirahat, menertawakan aku. Bahkan Yosua malah beringsut ke arah Riko.
“Si Noel suka nonton Ninja Jiraiya, ya, Bang?” tanya Yosua nyengir.
Riko menganggukkan kepala. “Iya, sampai suka main sama adiknya, adik gue, yang sama gue juga, main ninja-ninjaan. Dia maunya jadi Ninja Jiraiya mulu.”
Yosua spontan berseru, “Kenapa harus malu, Noel? Gue juga suka nonton Ninja Jiraiya.”
***
Aku tertawa terbahak-bahak. Kubaca lagi puisi itu. Sekonyong-konyong aku teringat dengan keponakannya Dokter Laurent lagi. Aku tidak pernah lupa namanya. Perempuan Tionghoa itu bernama Grace.
Aku coba mengingat percakapan aku dengan Grace. Saat itu, aku duduk di samping Grace. Mama sedang berada di depan salah satu loket apotek. Sementara ibunya Grace sedang menelepon seseorang dengan menggunakan telepon umum yang menggunakan kartu telepon.
“Oh, gitu, padahal Matematika kan seru banget.”
“Apanya yang seru. Malesin banget. Mending aku disuruh hafal tahun-tahun kerajaan Nusantara berdiri, deh.”
“Nggak sesulit itu, kok, ngapalin tabel kali-kalian. Mau aku ajarin?”
Yang aku ingat, dia langsung saja mengajarkan aku trik menghafal tabel perkalian. Mulai dari tabel perkalian satu hingga tabel perkalian sepuluh. Aku tidak terlalu ingat dengan trik yang diajarkan Grace. Namun, kurasa, triknya Grace sama seperti yang Sodo pernah ajarkan.
“Aku pengin jadi kayak Om aku.” seru Grace berapi-api, tersenyum.
“Maksud kamu, kamu mau jadi dokter anak juga?” tanyaku mengernyitkan dahi.
Grace mengangguk. “Makanya aku nggak pernah benci sama Matematika. Kata salah satu guruku di sekolah, kita emang harus jago Matematika kalau mau jadi dokter.”
“Aku percaya kamu pasti bisa jadi dokter, Grace.”
“Eh, kamu sendiri, kalau gede, mau jadi apa?”
Saat itu, aku belum memberikan jawaban aku. Mama keburu datang dan aku berpisah dari Grace dan ibu kandungnya. Meskipun hanya sebentar, pertemuan dengan keponakannya Dokter Laurent itu cukup berkesan. Saking berkesannya, aku bahkan lupa untuk bertanya nomor telepon dan sekolahnya Grace. Bahkan…
…aku sekonyong-konyong teringat sesuatu. Eh, bukankah jumat lalu itu Grace bilang ke Dokter Laurent bahwa dirinya akan berulangtahun?
Eh, sampai lupa. Tadi aku coba mengingat kejadian saat aku sedang bermain rumah-rumahan bersama Riko, Fani, Putri, Adit, dan beberapa lagi aku lupa siapa namanya. Yang singkat cerita, Mama sempat menyimak acara bermain aku bersama anak-anak tetangga dekat rumah.
Kuingat, Mama pernah memperingati, “Ckck… anak kecil belum boleh main cinta-cintaan dulu!”
Lalu, seingatku, Fani menimpali, “Cuma permainan aja, kok, Tante Nasution. Bukan pacaran betulan. Ceritanya aku istrinya, terus Noel suamiku.”
Intinya, yang bisa aku ingat seperti itu. Mama dulu pernah menegur seperti itu. Yang pada akhirnya aku sampai berpikiran apa kehidupan asmara itu belum boleh dimiliki oleh anak-anak SD. Belum lagi, dulu Bu Lina pernah berkata, cintanya murid-murid SD itu seperti monyet sedang cinta-cintaan. Aku belum paham dengan maksud perkataan Bu Lina tentang cinta monyet. Memangnya monyet bisa jatuh cinta apa?
Aku berhenti menulis. Selanjutnya aku menertawakan tulisan aku sendiri di buku harian. Di saat itu, aku baru sadar ternyata sudah ada Mbak Roh yang baru saja mengantarkan mi instan buatan aku. Mbak Roh sempat mengintip apa yang aku tulis.
“Kamu lagi nulis apa, Noel?” tanya Mbak Roh nyengir. “Buat tugas sekolah?”
Aku menggeleng dan spontan menutup buku harian tersebut. Terburu-buru aku segera memasukkan buku harian itu ke dalam laci meja belajar aku.
Pun aku tahu Mbak Roh pasti sadar apa yang aku tulis. Apalagi tertulis di sampulnya tulisan ‘The Diary of Noel Irawan’. Makanya Mbak Roh berkata, “Noel senang nulis buku harian?”
Aku hanya terkekeh dan mulai menyantap mi instan rasa ayam bawang.
“Yang Mbak lihat, kamu kayaknya senang banget nulis. Pengin jadi penulis buku, yah?”
Aku spontan tertawa dan teringat kata-kata Sandi Malau saat 17 Agustus tahun lalu. Mbak Roh merupakan orang kedua yang berkata bahwa aku cocok menjadi penulis buku.
“Kenapa kamu nggak coba kirim tulisan pengalaman kamu ke majalah Bobo, Noel?” kata Mbak Roh yang memberikan aku sebuah ide yang terlihat cukup menarik. “Di Bobo, ada rubrik Tak Disangka, kan? Coba kirim ke sana. Lumayan bisa sekalian nambah-nambah teman dan uang saku.”
Mbak Roh benar juga. Siapa tahu cara itu bisa membantu aku mencari tahu keberadaan Grace atau Becky. Bukan tak mungkin kedua perempuan yang aku taksir itu juga suka membaca majalah Bobo.
Eh, sepertinya aku mulai memahami maksud istilah yang pernah diucapkan Bu Lina itu. Yang tentang cinta monyet. Aku pernah dengar bahwa monyet itu bukan tipe binatang yang setia terhadap pasangannya. Apa itu artinya seperti aku sekarang, yang belum apa-apa sudah menyukai dua perempuan?
Mana yang aku pilih? Grace atau Becky?
Setelah Mbak Roh pergi meninggalkan aku sendiri di ruang tengah, aku mengeluarkan buku harian aku lagi. Kutuliskan sebuah puisi lagi.
Dunia boleh saja berhenti
Berhenti untuk mengabarkan kabar berita
Asalkan jangan kamu saja
yang berhenti berkabar
Sebab, sekarang pun,
aku merindukan kamu sekali!
Eh, aku baru sadar
Aku saja tak tahu kamu tinggal di mana
Pasti sulit untuk kamu
Untuk kamu mengabarkan berita tentang kamu
Kamu sekarang lagi di mana dan apa?
Sekali lagi, aku rindu kamu!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
