Chapter 57: Terpikirkan untuk Menjadi Penulis

1
0
Deskripsi

Berkat kode cheat ‘rosebud', hidup si Dennis cukup menyenangkan. Tahu-tahu, dia sudah didekati lima perempuan sekaligus. 

***

Ultah Daun

Wisata Pangandaran

Hubungi: 

Uswah Baitul Hidayah

0852-2270-5013

post-image-66ab4af355000.jpg

Sudah hari rabu. Aku masih tidak pergi ke sekolah. Dari sekolah Marius pun tidak libur. Aku juga tidak membolos. Hari ini aku tidak pergi ke sekolah karena alasan sakit. 

Aku sendiri baru bangun pagi ini. Sebetulnya aku sudah bangun dua jam yang lalu. Itu sekitar jam lima tadi. Aku pun bingung mengapa sering bangun pagi, padahal libur pula. Mungkin peribahasa itu benar juga. Yang ‘alah bisa karena biasa’. Aku tahu peribahasa itu karena wali kelas aku saat kelas 3 SD, yaitu Bu Lina. 

Ah, Bu Lina, yah? Apa kabar dengan wali kelas saat aku masih kelas 3 SD itu? Yang aku dengar, beliau masih mengajar di SD Marius. Masih tetap sama, yang mengajar murid-murid kelas 3 SD. Padahal Gedung SD tak jauh dari Gedung SMP. Satu gedung malah. Namun, aku heran saja, karena bisa tidak berjumpa dengan Bu Lina. Aku hanya tahu kabar Bu Lina dari teman-teman aku seperti Yosua atau Alfa. 

Bu Lina ini dulunya ibunya Putri. Putri itu salah seorang teman lamaku di SD Marius. Sama seperti Vina, Willy, atau Sodo, Putri pun memutuskan pindah dari Marius setelah lulus SD. Yang aku dengar dari Yosua, seingat aku pula, Putri sekarang bersekolah di sekolah negeri, yang tak jauh dari sekolahnya Vina. Atau, ada yang bilang Putri bersekolah tak jauh dari rumahnya. Di sekolah yang berada di perkampungan begitu. 

Yang simpang siur begini, aku kurang suka. Bahkan aku tak mendapatkan ke mana Lita melanjutkan sekolah. Patricia bilang Lita pindah ke kampung halamannya di Sulawesi Utara. Namun, Alfa bilang Lita pindah ke Singapura. Yosua bahkan ngotot bilang Lita satu SMP dengan Vina, yaitu SMPN 1 Tangerang. Menurut Yosua, saat sedang menemani ibunya belanja di Pasar Lama, Yosua pernah berjumpa dengan Lita di Pasar Lama. Lita sendiri yang bilang ia bersekolah di SMP yang sama dengan Vina. 

Oke, berarti memang jawaban Yosua yang benar. Entah bagaimana ceritanya sehingga Patricia dan Alfa bisa berkata seperti itu. Kata Patricia, sebelum Ebtanas, dia diberitahukan oleh Lita, Lita bakal pindah ke Sulawesi Utara. Sementara Alfa, ah, sepertinya dia berbohong. Begitu terus menerus didesak, ia main kabur ke arah toilet sekolah. 

Adikku, Christy, sedang mengerjakan PR. PR Bahasa Indonesia, dan sepertinya ia bisa mengerjakannya sendiri. Hanya disuruh menjawab lima pertanyaan yang mengacu pada bacaan. 

Sementara Mama, tadi beliau sedang menonton telenovela kesukaannya. Sekarang beliau sedang mandi. Bersiap untuk mengunjungi salah satu usaha keluarga, yaitu wartel, yang beroperasi di daerah Ciledug. Salah satu wartel itu konon dijaga oleh Mbak Nenti, salah seorang pembantu rumah tangga yang seharusnya bekerja di rumah ini. 

Aku sendiri sedang di depan komputer. Aku kembali bermain The Sims. Character-nya masih sama. Seorang kulit hitam bernama Dennis Hasselbaink. Si Dennis ini sekarang sudah memiliki pasangan yang seorang perempuan berkulit putih dan berambut pirang. Aku baru tahu, berambut pirang itu disebut sebagai blonde dalam bahasa Inggris. Kalau brunette, itu berarti berambut kecoklatan, yang seperti perempuan-perempuan dalam telenovela tadi. 

Selama bermain The Sims ini, aku sering berpikir enaknya hidup sebagai seorang character di dalam permainan ini. Apalagi jika dibantu dengan cheat. Segala kebutuhan hidupnya tercukupi. Itu termasuk dalam hal kehidupan percintaan. Berkat kode cheat ‘rosebud', hidup si Dennis cukup menyenangkan. Tahu-tahu, dia sudah didekati lima perempuan sekaligus. Semuanya cantik-cantik. Mudah sekali Dennis mengajak mengobrol perempuan-perempuan tersebut. 

Aku mendesah. Sekonyong-konyong aku teringat dengan diriku sendiri. Baru aku sadari bahwa diriku ini tidak seperti Dennis. Aku lumayan payah dalam hal bercakap-cakap dengan lawan jenis. Selama di sekolah, murid-murid yang akrab dengan aku, yah, itu-itu saja. Tidak jauh-jauh dari Sandi Malau, Santo, Ramot, Leo, atau Suhandi serta Doni. Terutama dengan Sandi Malau, temanku yang pernah aku bilang mirip dengan Sadam di “Petualangan Sherina” tersebut. 

Sebentar aku berhenti bermain The Sims. Kubiarkan layar komputer masih menampilkan permainan The Sims. Lagi pula, masih loading pula. Dennis sedang mengajak pacarnya berjalan-jalan ke The Downtown. Aku bergegas menuju meja belajar. Kubuka salah satu laci dan mengeluarkan buku harian aku. Tak disangka aku lumayan sering pula mengisi setiap halaman dalam buku harian ini. Awalnya hanya kalimat-kalimat pendek. Lambat laun, aku seringkali bercerita cukup panjang di dalam buku harian ini. Selama aku membacanya pula, cukup sering aku bercerita mengenai Sandi Malau. Salah satunya untuk apa yang tertulis di halaman ini. 

***

Jumat, 17 Agustus 2001

Cuaca cerah

Tahun lalu aku ikut upacara bendera memang sebagai murid SD. Tahun ini terasa berbeda sekaligus istimewa. Aku mengikuti upacara bendera sebagai murid SMP Marius. Baru tapi lama. Lama tapi baru. Aku cekikikan sendiri dengan opiniku sendiri. Kenyataannya memang seperti itu. Rasanya terlihat biasa saja mengikuti upacara bendera saat ini. Namun, ternyata ada yang berbeda. Sebagian perbedaan itu adalah tentang seragam yang aku kenakan, teman-teman, guru-guru, dan mungkin yang lainnya. 

Sandi terkekeh-kekeh. Ia menepuk bahuku dan berkata, “Lama amat lihat murid-murid SD itu. Ketawa sendiri gitu, kenapa sih?”

Aku menggeleng dan ikut terkekeh-kekeh. Kataku, “Cuma ingat masa lalu.”

Kata Sandi nyengir, “Oh, lu dulu lulusan SD sini, yah.”

“Begitulah, San,” balasku tersenyum. 

“Kayak aneh aja, yah, Noel,” kata Sandi nyengir. “Tahun lalu, ikut upacara bendera, jadi murid SD. Eh, sekarang, ikut upacara bendera, jadi murid SMP. Gedungnya sama pula. Eh, tapi, suasananya beda aja gitu.”

Aku terkekeh-kekeh dan mengangguk-angguk. 

Sandi memukul bahuku lagi dan terkekeh-kekeh. Ujarnya, “Tahu nggak lu, Noel, lu terkadang diam-diam menghanyutkan. Omongan lu kayak filsuf aja, Noel. Eh, lu suka nulis nggak?”

“Nulis?” tanyaku mengernyitkan dahi. Seperti da yang menggelitik jiwa dalam raga ini terkait perkataan Sandi barusan. 

“Iya, nulis,” kata Sandi mengulangi kata-katanya. “Kalau yang gue lihat, rata-rata yang suka nulis gitu, di keseharian, sering ngamatin gitu. Lebih sering nggak banyak ngomong. Kerjaannya cuma lihat-lihat aktivitas di sekelilingnya. Mungkin lu cocok jadi penulis di masa depan, Noel. Kalau suatu saat nanti gue nemuin buku lu ada di toko buku, nggak heran sih gue."

“Gitu, yah,” ucapku nyengir. Dalam hati, aku membenarkan apa yang dikatakan oleh Sandi. Sepertinya menjadi seorang penulis, itu cocok untuk aku. 

Sekonyong-konyong Pak Nelson, guru Matematika, datang ke arah kerumunan murid-murid SMP. Pak Nelson memerintahkan murid-murid SMP agar segera membentuk barisan. Upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia akan segera dilangsungkan. Aku, Sandi, dan mungkin teman-teman sekelasnya menurut saja. Karena aku memiliki tinggi badan lebih kecil, aku mengikhlaskan diri untuk berada di bagian depan. Sandi pun sama. Murid-murid yang lebih tinggi ditempatkan di bagian belakang. Salah satunya adalah Alfa dan Yosua. 

Aku mengintip sebentar ke bagian belakang. Enaknya yang berada di bagian belakang. Sementara, untuk yang berada di bagian depan, terasa tidak menyenangkan. Bagaimanapun mereka yang berada di bagian depan saat upacara bendera, sudah pasti akan menjadi bahan perhatian guru-guru, khususnya pembina upacara, yang seringnya adalah kepala sekolah. Aku sering merasa risih diperhatikan agak lama oleh seseorang. 

“Lancang kanan, g'rak!” seru Seviane yang merupakan ketua kelas 1-1. Meskipun Seviane lebih tinggi dari aku, karena dia seorang ketua kelas, dia harus berdiri di deretan depan saat upacara bendera. 

Aku langsung membentuk posisi lancang kanan. Begitupun dengan murid-murid kelas 1-1 lainnya. Pak Nelson yang masih mengawasi, mengatur agar barisan benar-benar rapi. Sebelum bergegas ke bagian depan, Pak Nelson berujar, “Oke, sudah rapi yang Bapak lihat-lihat. Jangan berantakan lagi. Dan, jangan bikin gaduh selama pelaksanaan upacara bendera. Terutama kalian.”

Pak Nelson menunjuk murid-murid yang ia anggap sering mengacau. Itu seperti Erick, Yoshi Yudi, atau Virgo. Itu baru dari murid-murid kelas 1-1. Yang dari kelas 1-2 pun diperingatkan agar tidak merusuh saat upacara bendera. Murid-murid seperti Zaenal, Chandra Batak, Chandra China, Andreas, atau Leo, dipelototi oleh Pak Nelson. 

Leo Kelas 1-2 langsung berseloroh, “Santai, Pak Nelson. Aman-aman aja nanti.”

“Yah, kita lihat saja nanti,” seru Pak Nelson tegas dengan mata masih melotot. 

***

Kututup buku harian tersebut. Yang segera aku masukkan ke dalam laci lagi. Sembari mengunci laci, aku terngiang-ngiang kata-kata Sandi Malau tahun lalu. Persis seperti yang aku tulis barusan. 

“Iya, nulis. Kalau yang gue lihat, rata-rata yang suka nulis gitu, di keseharian, sering ngamatin gitu. Lebih sering nggak banyak ngomong. Kerjaannya cuma lihat-lihat aktivitas di sekelilingnya. Mungkin lu cocok jadi penulis di masa depan, Noel. Kalau suatu saat nanti gue nemuin buku lu ada di toko buku, nggak heran sih gue."

Penulis, yah? Apa benar aku cocok menjadi seorang penulis? 

Di benakku, menjadi seorang penulis itu seperti yang dilakukan oleh Mbak Widya Suwarna, yang mana cerpen-cerpennya sering menghiasi majalah Bobo. Selain itu… 

…eh, apa bedanya menjadi penulis dengan menjadi wartawan? 

Sekonyong-konyong aku tersentak dari lamunan aku. Mama mendadak memegang dahiku untuk memeriksa apakah suhu tubuh aku masih panas atau tidak. 

“Sering istirahat kau, yah, nanti,” sahut Mama tersenyum. “Aku mau ke Ciledug dulu. Obatmu jangan lupa dimakan.”

Saat Mama berkata seperti itu, aku serasa berubah menjadi Sadam di “Petualangan Sherina”. Tiba-tiba seperti ada sosok Sherina di dekat aku dan berkata, “Yayang sakit, yah? Yayang sudah minum obat?"

Jantung aku berdebar-debar dan pipi-pipi ini pasti seperti bakpau yang baru matang saja. Baik wajah Becky dan Grace, bergantian mengisi isi otak aku ini. Spontan saja tanganku ini lalu mengambil buku harian itu lagi. Kuraih alat tulis yang tergeletak di atas meja belajar. Kubuatkan sebuah puisi. 

 

Tak perlu menunggu hujan 

hanya untuk melihat pelangi

Ada pendar pelangi

di kelopak matanya

Meski begitu, 

kuakui pula, 

di setiap tetes hujan, 

tersirat wajah manismu

post-image-66ac9368614ee.png

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chapter 58: Yang Katanya, Monyet itu Binatang Tidak Setia!
1
0
"Di Bobo, ada rubrik Tak Disangka, kan? Coba kirim ke sana. Lumayan bisa sekalian nambah-nambah teman dan uang saku.”***Kacang Gimbal Warung EdanE0811-8606-77
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan