Chapter 18: Sandi Berubah menjadi Engkoh-Engkoh Cina

1
0
Deskripsi

Goceng berasal dari go dan ceng. Go itu 5 dan ceng itu ribu, jadi goceng adalah 5 ribu. Seceng adalah 1.000, noceng adalah 2 ribu, saceng adalah 3 ribu. Goban berasal dari go dan ban. 

***

Widari Village 

Anto 0899-8941-337

post-image-6641813985385.jpg

Sekarang sudah tanggal 3 September. Hari senin. Tak terasa aku sudah satu setengah bulan menjadi murid SMP. Pekerjaan-pekerjaan rumah yang silih berganti. Ulangan demi ulangan yang harus aku ikuti. Yang, puji Tuhan, rata-rata hasilnya itu lumayan bagus. Hanya sedikit yang bernilai merah. Salah satu yang sedikit itu sudah pasti Matematika. Aku dan Matematika memang tidak diciptakan untuk menjadi sahabat satu sama lain. 

Jam pertama adalah Komputer. Untuk pagi ini, khusus pendalaman materi saja. Hanya pembahasan teori. Untuk praktiknya, pada hari jumat, di jam satu siang, dan di dalam ruang laboratorium komputer. Sayangnya, hingga sekarang, murid-murid kelas 1 belum diizinkan untuk masuk ke dalam laboratorium komputer. Tadi Bu Situmorang bilang, masih dalam maintenance alias pemeliharaan. Ada beberapa komputer yang harus diperbaiki juga. 

“Yah, pokoknya, sabar saja, lah, kalian,” ucap Bu Situmorang terkekeh. Logat Batak beliau cukup kentara. “Kalau sudah saatnya, nanti Ibu izinkan kalian masuk ke lab. Untuk kali ini, laboratorium komputer lebih dikhususkan untuk kakak-kakak kelas kalian di kelas tiga.”

Berikutnya, Bu Situmorang membagikan hasil ulangan harian. Beliau memberikan selamat ke aku. Aku merupakan satu-satunya murid di kelas 1-1 yang mendapatkan nilai 10, 100, atau… yang jelas, nilai sempurna. Jawabanku benar semua. Teman-temanku langsung bersorak. Isabela yang duduk di belakang aku, sampai menyelamatiku. Termasuk juga Ramot dan Leo. 

“Calon-calon juara kelas pembagian rapor caturwulan nanti,” seru Bu Situmorang yang lalu menunjuk ke arah beberapa orang murid dan itu sudah termasuk aku. “Si Noel, si Sandi, sama si Patricia. Ibu tidak heran kalau nanti nama-nama kalian  dipanggil maju ke depan lapangan waktu bagi rapor nanti.”

“Si Ibu bisa aja,” seru balik Sandi cengar-cengir. Yang kuperhatikan, wajah Sandi memerah. Makin lama kulihat Sandi terlihat makin mirip Sadam di Petualangan Sherina. Andai saja Sandi tidak kurus (yang nyaris kerempeng), dan agak gemuk, ia makin mirip dengan Sadam. 

Sementara Patricia hanya berkata, “Amin, Bu…”

“Harus yakin kalian bertiga,” ujar Bu Situmorang mengacungkan tinju ke arah langit-langit kelas. “Kalau di kelas sebelas, ada Sandi yang tinggi itu. Dia sering--yang Ibu dengar--dapat nilai seratus. T'rus, ada juga si Usmanto. Kalian bertiga juga jangan mau kalah.”

Oh, semenjak menjadi murid SMP bulan Juli yang lalu, sejak mendapatkan banyak teman baru (yang tak kalah baik daripada teman-teman yang sudah pindah sekolah), aku baru sadar sering menemukan dua orang yang bernama mirip. Seperti tadi. Di kelas 1-1, ada Sandi, yang menurut aku, berwajah mirip dengan Sadam di Petualangan Sherina. Sandi di kelas 1-1, bertinggi badan yang tak terlalu tinggi. Khas seorang pelajar SMP yang berusia ABG. Wajah Sandi sedikit dipenuhi jerawat. Sandi yang ini juga sama seperti aku. Kami berdua sama-sama berdarah Batak. Sandi dari kelas 1-1 memiliki marga Malau. 

Sementara Sandi kelas 1-2 berdarah Tionghoa. Lebih tinggi dari aku dan Sandi Malau. Wajahnya cukup tampan. Menurut aku, ia mirip artis-artis Mandarin, yang pernah aku tonton beberapa tahun yang lalu, seperti Jimmy Lin, Aaron Kwok, atau Andy Lau. Dari wajahnya saja, sudah terlihat Sandi Cina ini cukup cerdas, meskipun ia tak berkacamata. Yang karena Sandi Cina inilah, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa orang pintar tidak harus identik dengan kacamata. 

Selain Duo Sandi yang sama-sama cerdas di kelas masing-masing, ada juga dua orang yang sama-sama bernama Chandra. Duo Chandra ini menjadi penghuni kelas 1-2. Chandra yang satu berdarah Batak, bermarga Nainggolan, dan berkulit agak gelap. Chandra lainnya berdarah Tionghoa, berjerawat, dan berwarna putih kekuningan. Chandra yang Tionghoa, menurut aku, lebih terlihat agak cerdas. 

Masih ada Duo Ryan, yang lagi-lagi penghuni kelas 1-2. Ryan yang satu lebih tinggi dari Ryan lainnya. Ryan yang satu ini juga berwarna kulit lebih cerah. Sementara Ryan yang kedua ini lebih gelap, pendek, dan kurus. Untuk membedakan, aku dan teman-teman sesama murid kelas 1 menyebutnya seperti ini: Ryan Bongsor dan Ryan Buluk. 

Untuk yang Sandi, aku dan lainnya membedakannya seperti ini: Sandi Batak (atau Sandi Malau) dan Sandi Cina. Yang Chandra, Chandra Item (atau Chandra Nainggolan) dan Chandra Bacin. Bacin merupakan kependekan dari Babang Cina. 

Bel istirahat berbunyi. Seviane memberikan aba-aba untuk memberikan salam. Lalu, Bu Situmorang meninggalkan ruangan kelas. Aku dipanggil Sandi Malau untuk menghampiri dirinya. Santo dan Isabela menyusul. Sandi ingin membahas mengenai tugas Fisika yang diberikan Pak Fransiskus beberapa hari yang lalu. 

“Begini, tugasnya. Kalian--Bapak tugaskan--untuk membuat semacam rangkaian listrik. Ada contohnya dalam buku paket. Kalau masih kurang paham, Bapak rasa kalian bisa bertanya ke kakak kelas kalian. Pasti mereka tahu. Atau, aktiflah mencari tahu di perpustakaan atau sumber-sumber lainnya.”

“Berapa lama, Pak, pengerjaannya? Dateline-nya kapan?”

"Bulan Oktober nanti. Sebelum pembagian rapor, harus sudah selesai. Ini akan Bapak anggap sebagai nilai ulangan akhir caturwulan kalian. Kelas sebelah pun sama."

“Pada patungan goceng-goceng buat beli alat-alat prakaryanya,” kata Sandi Malau sambil tangannya menagih uang. 

“Goceng itu apa?” tanyaku dengan ekspresi aku yang aku yakin siapa pun yang melihat akan tertawa. 

Hadeuh!” seru Sandi Malau. “Goceng itu lima ribu rupiah. Bahasa orang-orang Hokkian. Kalau suka ke Pasar Lama, atau tempat-tempat yang ada orang Cina, pasti pernah dengar penjualnya ngomong begini, cepek, nopek, gopek, seratus, dua ratus, lima ratus. Seceng, noceng, goceng, seribu, dua ribu, lima ribu. T'rus, ada ceban, noban, goban, sepuluh ribu, dua puluh ribu, lima pulih ribu.”

Cetiau itu sejuta,” timpal Santo terkekeh. “Jigo itu dua puluh lima ribu, Noel. T'rus, pego itu seratus lima puluh ribu.”

Isabela tertawa dengan cara yang agak membuat aku tertawa. Sementara aku pun ikut tertawa. Aku tertawa dalam hati saat menyaksikan Sandi Malau menjelaskan mengenai bilangan dalam bahasa Hokkian. Mendadak, yang di mataku, Sandi Malau mirip dengan Engkoh-Engkoh di Pasar Lama. Sebetulnya aku cukup sering ke Pasar Lama. Pernah dengar pula istilah goceng yang Sandi Malau sebutkan tadi. Namun aku kurang begitu memberikan perhatian, sehingga tak terlalu ingat apa maknanya. 

“Jadi, mana uangnya?” tagih Sandi Malau melotot. 

Isabela dan Santo langsung menyerahkan uang kepada Sandi Malau. Sementara aku berkata besok mungkin akan menyerahkan uang kepada Sandi Malau. 

Hadeuh,” keluh Sandi Malau. “Besok, yah, Noel, gue tunggu. Jangan lupa, besok.”

Aku mengangguk. “Pasti, pasti.”

“Jumat, mampir ke rumah Isabela, yah,” ucap Sandi Malau. “Eh, ini kayaknya duitnya kurang. Tapi, nanti gue lihat-lihat dulu. Kalau emang kurang, gue kabari.”

Yang setelah itu, Sandi Malau meminta izin untuk kantin. Walaupun sebenarnya hanya tersisa waktu yang tak banyak untuk mengunjungi kantin sekolah dan jajan. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya #57 Tentang Lomba Bikin Logo dari GKI #GKIFest
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan