Chapter 11: Angka-Angka Ini Menyebalkan!

1
0
Deskripsi

Sepertinya aku dan Matematika sulit berjodoh sampai kapan pun. Angka-angka ini terasa sulit sekali untuk dipecahkan. Aku lebih baik menghafal sejarah dunia daripada mengerjakan soal-soal Matematika.

***

Fiana Oriflame
087771268455

post-image-6629cbbd49efb.jpg

Kemarin aku sudah menjalani satu hari yang cukup berat. Dua ulangan harian dalam satu hari. Yang pertama, ulangan harian Biologi. Selanjutnya, ada ulangan harian Bahasa Sunda. Sebetulnya ada tiga. Hanya saja dibatalkan, untuk ulangan harian Fisika. 

“Buku paketnya ditutup dulu. Ujiannya seperti yang Bapak bilang, close book. Close artinya tutup. Book artinya buku. Berarti tutup buku.” 

Murid-murid kelas 1-1 langsung menutup setiap buku yang berhubungan dengan mata pelajaran Biologi. 

“Sssttt…ojo berisik, toh."

Aku masih terngiang-ngiang bagaimana jalannya ulangan harian Biologi kemarin. Padahal belum ulangan umum, tapi suasananya tak jauh berbeda. Seperti sedang mengikuti ulangan umum. Yang begitu selesai, jika tidak istirahat terlebih dahulu, langsung pulang. Kegiatannya pun hanya separuh dari jam belajar mengajar yang biasanya. 

Ramot berkali-kali menendang-nendang bangkuku. Ia bertanya terus tentang soal ini, jawabannya apa. Sesekali aku menggubris gangguannya. Aku agak menjulurkan lembar ujian ke arah Ramot agar ia bisa mengetahui jawabannya. 

“Bacain, lah,” keluh Ramot mengernyitkan dahi, berbisik. “Tulisan lu lebih jelek dari cakar ayam. Nggak kebaca gue, Noel, maaf.”

Sialan! 

Sudah ingin jawaban soal Biologi, menghina tulisan tanganku. Aku sedikit meradang. Seharusnya aku bisa mengabaikannya saja. Aku mungkin hanya takut, yang sedikit bercampur kasihan. Tendangan ke sekian dari Ramot ke arah bangkuku, masih saja aku gubris. Bahkan aku bingung mengapa aku memenuhi permohonannya. Kubacakan jawabannya untuk Ramot. Bahkan aku pun membiarkan Doni ikut mencontek jawaban ulangan Biologi aku. Sandi sampai menggeleng-gelengkan kepalanya. Sayup-sayup aku mendengar Sandi mengumpat aku, “Bego, kenapa diturutin sih?”

Aku terkekeh-kekeh. Agak bergeming sejenak sembari memikirkan soal berikutnya. Aku sempat memperhatikan Pak Hadi. Pantas saja banyak teman yang mencontek. Bahkan ada satu-dua orang yang diam-diam melihat buku paket Biologi. Tentu saja bisa terjadi seperti itu. Pak Hadi sedang mengorok di meja guru. Asyik sekali guru Biologi aku ini tertidur di saat murid-murid beliau sedang sibuk mengerjakan soal-soal Biologi yang sebenarnya tidak sulit.

Dua jam pelajaran Biologi dihabiskan untuk ulangan harian. Nyaris sebetulnya, istilah tepatnya. Begitu Pak Hadi yang diikuti dengan suara alarm jam weker, lembar jawaban harus segera dikumpulkan. Entah itu selesai atau tidak selesai. Lembar jawaban selesai dikumpulkan oleh Yoshi, murid kesayangan Pak Hadi. Pak Hadi segera meninggalkan kelas dan masuk ke dalam ruang kelas 1-2. Ternyata kelas sebelah pun sedang ulangan harian. 

Sekitar lima menit kemudian, Bu Iyah masuk ke dalam ruangan kelas. Murid-murid diberikan kesempatan untuk belajar sekali lagi. Barulah sekitar lima belas menit kemudian, berlangsung ulangan harian Bahasa Sunda. Dikatakan susah, sebetulnya tidak. Menurut insting aku, soal-soalnya sebetulnya mudah. Yang sulit itu karena ditulis dalam bahasa Sunda. Ada beberapa kata dalam soal yang tidak aku ketahui. Aku mengernyitkan dahi. Sandi melirik ke arah aku. 

Ngartos itu artinya mengerti,” bisik Sandi tersenyum. 

Aku mengangguk, nyengir. “Lu bisa bahasa Sunda, yah?”

“Sedikit-sedikit, tapi nggak paham-paham banget, sih,” jawab Sandi masih dengan volume suara yang tak terlalu kencang. “Dulu sempat tinggal di Bandung. Belajarnya otodidak aja. Dari orang-orang di sekitar gue.”

“Otodidak?” tanyaku mengernyitkan dahi. 

“Iya, otodidak,” kata Sandi menggeleng-gelengkan kepala. “Astaga, Noel. Otodidak aja nggak tahu. Maksud gue, belajar sendiri. Sekali-kali jangan belajar dari buku paket pelajaran aja. Seringkali ilmu itu banyak dari buku paket pelajaran.”

Aku terkekeh-kekeh. Kembali aku menyimak soal-soal lainnya dalam ulangan harian Bahasa Sunda. Lagi-lagi aku mengernyitkan dahi. Ini artinya apa? Bebek-bebek yang ada di sawah? 

Sandi melirik ke arah aku. Bagaikan tahu isi pikiran aku, ia terkekeh-kekeh dan berkata, “Bebek, bebek,” 

Santo menengok ke arah belakang dan tertawa. Setelah itu, Santo kembali menjawab soal. 

“Rujak bebek enak, yah, Santo?" tanya Sandi yang mana nada bicaranya seperti sedang menggodaku. 

“Di kantin, ada yang jual rujak bebek. Mau coba, nggak?” tanya balik Santo. 

Dari arah meja guru, Bu Iyah berdeham agak kencang. Ia memelototi Sandi dan Santo. Katanya galak, “Kalian berdua ngapain? Nggak saling ngasih jawaban?”

“Maaf, Bu, maaf,” sahut Sandi memasang tampang memelas. 

Santo ikut memasang tampang memelas. 

“Saya kasih ponten nol, mau?” ancam Bu Iyah. 

Sandi dan Santo menundukkan kepala. Aku terkekeh-kekeh memperhatikan kedua temanku tersebut. Rasakan, makanya jangan iseng ke teman, umpatku dalam hati. 

Aku tersentak. Kulihat, Sandi menertawakan aku. Kedua mataku mengedarkan pandang ke sekeliling. Rata-rata murid sedang sibuk belajar Matematika. Aku menyempatkan diri untuk melihat ke arah Patricia, yang digosipkan sedang menjalin hubungan cinta rahasia dengan Erick. Patricia terlihat sedang mengajari temannya, Nila, materi yang sekiranya akan keluar di ulangan harian Matematika. 

Sandi masih terkekeh-kekeh. “Bukannya belajar, malah ngelamun. Nggak ngelamunin yang jorok-jorok, kan?”

Ramot menimpali, “Wajar, San, dia mikir yang jorok-jorok. Dua hari lalu, gue baru aja ngerasain mimpi basah.”

Ekspresi Sandi seperti mau tahu tentang topik yang diangkat Ramot tadi. Kata Sandi penasaran, “Mimpi basah? Bukannya kita baru mimpi basah kalau udah kelas 2 atau 3 SMP?”

Leo, murid kelas 1-1, yang bertampang sedikit lebih buruk dari Leo dari kelas sebelah, menimpali pula, “Yah, nggak, lah, Sandi. Setiap udah akil balig, pasti yang anak laki-laki ngalamin mimpi basah.”

“Akil balig itu dari kita usia 11-12 tahun, San,” tambah Ramot yang tampangnya seperti merasa jemawa sekali. “Lu ngeledekin Noel terus, yang kayak begini aja, ternyata nggak tahu. Ternyata ada juga yang nggak diketahui Sandi, calon peringkat satu di kelas 1-1.”

“Yah, sorry, deh,” kata Sandi mengangkat bahu. “Seperti kata peribahasa, tak ada gading yang tak retak. Jangan lupa, teman-teman, nanti ada ulangan Bahasa Indonesia juga."

Sandi tertawa terbahak-bahak. Ramot spontan cemberut. Leo lalu memohon-mohon agar nanti diberikan contekan oleh Sandi. Namun, Sandi bersikeras agar Leo dan lainnya mengerjakannya sendiri. 

Tiga menit kemudian, Pak Nelson masuk ke dalam ruangan. Tak seperti Bu Iyah yang memberikan kesempatan untuk belajar terlebih dahulu, Pak Nelson segera menyuruh murid-murid untuk memasukkan seluruh hal yang berhubungan dengan Matematika. Yang di atas meja itu hanyalah lembar jawaban. Setelah itu, Pak Nelson menyuruh Erick dan Yoshi untuk membagi-bagikan soal ulangan Matematika. Selepas soal itu berada di tangan aku, aku mendadak pusing tujuh keliling. Rasa-rasanya soal-soal ini sedikit lebih sulit dari apa yang aku pelajari semalam atau di hari sabtu kemarin, bersama guru les privat aku, Pak Gomal. Aku menelan air liur. Malah aku sudah merasa ulangan hari ini pun sepertinya nilaiku akan di bawah rata-rata. Akan kebakaran jenggot. 

Sejenak aku melihat ke arah samping kanan. Sandi terlihat lancar sekali mengerjakan soal-soal Matematika. Aku beringsut lebih dekat ke arah Sandi. Kelihatannya Sandi sadar aku sedang coba mencontek. Langsung saja Sandi menutupi lembar jawabannya. Tanpa aku sadari juga, Pak Nelson sedang berada di dekat aku. Ia memelototi aku. 

“Kerjakan sendiri!” seru Pak Nelson galak. “Jangan mencontek!”

Aku spontan menundukkan kepala dan mengeluh dalam hati, astaga, angka-angka ini, mana nggak boleh pakai kalkulator, padahal dua minggu lalu, diajarin cara pakai kalkulator ilmiah. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya #37 Tentang Piala Asia U-23
1
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan