
🚎
"Iya, memang kecil. Um, gracias", Ry Lee. Aku suka sekali kalau kau menyukai suaraku. Berarti kau dalam perjalanan pulang ke LA, sekarang?"
Aku terkekeh lagi. "Yeah. Sayangnya pas aku pulang, kau nggak ada di sana. Aku sudah merindukanmu... sebenarnya dari kemarin, sih."
Adriana terkikik. "Temanku sudah kangen, ya? Ini baru sehari, loh."
Aku mengerang. Ini nih, kupikir setelah kejadian kemarin malam, dia akan menyukaiku lebih dari teman, ternyata...
"Ry Lee, kau kenapa?"
Tanyakan saja atau tidak? "Apa kau selalu menciumi teman lelakimu?"
18
MY PRECIOUS
Ryker
PAGI INI AKU bersantai sambil mendengarkan musik di lounge--dalam sebuah bus entertainer. Bus ini akan membawaku tur terakhir di San Diego. Semuanya meneruskan tidur ketika bus ini berangkat, hanya Serena yang terlihat di dapur kecil, sempat membuatkan cokelat panas untukku dan kembali ke kamarnya, pada suaminya yang masih tidur. Itulah keistimewaan menikah, mereka menempati satu-satunya kamar yang ada di dalam bus ini.
"Dude, kau tidur?" tanya Taylor yang baru memasuki ruangan, lalu duduk di sofa agak jauh dariku.
"Nah--tidak, nanti mungkin." Aku menidurkan kepalaku di sofa dan menutup mataku. Kadang aku berpikir hubunganku dengan Taylor ini seperti bom waktu, tinggal menunggu meledaknya saja. Jika soal musik, kami nyambung--soal yang lainnya, dienak-enakin saja.
"Kau pulang dengan Adriana semalam?" Taylor merubah-rubah saluran TV, sudah pasti berlagak santai.
"Yep."
"Kau menyukainya?"
"Yep," balasku yakin. "Dari dulu kau sudah mengetahuinya, kan?"
"Aku juga menyukainya."
Seketika itu juga aku membuka mataku, menatap mata yang menantangku untuk berbuat sesuatu yang akhirnya akan kusesali. "Wajar, Rian menyenangkan, humoris, nyambung di ajak ngobrol tentang apa pun, bahkan dia menyukai Bruce Lee dan Yip Man, kurang seksi apa coba?"
Taylor menaikkan sebelah alisnya. "Dia suka Yip Man? Tambah satu poin lagi, deh."
Kami tertawa bersamaan.
"Di lihat dari wajahmu, kau belum menidurinya, kan?" tanya Taylor, keningnya berkerut.
"Tay!" Aku memberinya peringatan.
"Sori, aku hanya penasaran saja. Dia bukan tipe cewek 'wham bham thank you maam', aku tahu itu."
"Yep," anggukku.
"Aku tahu, aku nggak fair padamu. Kau yang pertama dekat dengannya, menjadi temannya, tapi aku yang menyalipnya diam-diam, dan mengacau semalam." Taylor memijat-mijat batang hidungnya.
Aku tersenyum. "Kau mengacau dua kali, Tay."
"Yeah, itu juga. Kenapa kau tetap baik padaku, huh? Setelah semua perlakuanku padamu?" tanya Taylor, pandangannya masih ke arah TV.
Aku mengedikkan bahu. "Mungkin karena aku tidak bisa memilih saudara lain. Aku lebih memilih memaklumimu dibanding memusuhimu."
Taylor tertawa, namun tidak menyentuh matanya. Pandangannya menerawang. "Kau... selalu saja ada kata-kata mutiara yang keluar dari bibirmu."
Aku tersenyum kecut. "Aku tidak sadar melakukannya."
"Aku pikir juga begitu. Apa kau masih memikirkan Shannon?"
"Yeah, tapi memikirkan saat dia menyabotase ponsel Sean. Dia tidak mau mengangkat atau membalas teleponku. Saat kutelepon Mary, dia bilang Shannon seperti hilang ditelan bumi. Kau percaya itu?"
"Tidak sama sekali. Apa kau akan kembali dengan Shannon?"
Aku menggeleng. "Nah."
"Shannon..." Taylor terdiam sejenak, "tidak baik untukmu, Ry. Hanya itu yang bisa kukatakan." Aku hanya mengangguk. "Apa kau sudah 'rebound' setelah Shannon?"
Aku tersenyum menerawang. "Lucunya... aku sudah berniat meniduri wanita di Vegas, tapi malahan ketemu Rian. Kau tahu saat kuminta nomor ponselnya, dia menolak, katanya serahkan ini pada takdir... jadi kalau kami bertemu lagi, kami akan berteman dan hang out bareng. Kau percaya itu?"
Taylor tergelak. "Dapat satu poin lagi, deh."
"Aku belum cerita bagian lucunya. Saat kami akan pisah, dalam pikiranku sempat mengasihani siapa pun lelaki normal yang menjadi temannya Rian. Dan di sinilah akhirnya aku mengasihani diriku sendiri."
Taylor tergelak lagi. "Jadi, kau akan terus menjadi temannya? Nggak bergerak, begitu?"
"Aku ingin lebih... nanti... pasti aku akan mengatakannya, walaupun beresiko kehilangannya sebagai teman."
"Kalau begitu, kita sama-sama berjuang. Semua sah-sah saja dalam cinta dan perang."
Aku tersenyum. "Kay"... tapi menurutku tidak ada yang adil dalam cinta dan perang."
"Kalau di pikir-pikir lagi, memang tidak ada yang adil, tapi siapa yang peduli kalau target kita Adriana fcking Britton. Biar dia yang menentukan."
Aku hanya mengangguk.
•••
"JANGAN MENCOBA-COBA fedoraku Idiot! Kau akan menghilangkan harum Riangel-ku," omelku sambil mengambil fedora dari tangan JJ.
JJ tetawa nyaring. "Sudah tidak ada wangi Riangel-mu, tahu. Saat kau tertidur, aku sudah mencoba topi ini, tanya saja pada semua orang. Malahan semua bilang, lebih keren kalau aku yang pakai." Dia duduk di sofa, di sampingku dan mengacak rambutku.
"Omong kosong!" Aku tersenyum geli. "Kau hanya iseng ingin membangunkanku, makanya kau mengambil ini." Aku menepuk pahaku dengan fedoraku.
JJ menggerutu. "Tapi aku juga memang gatal ingin memakainya, tahu."
"Bro, ini punyaku yang berharga. My precious." Aku menirukan suara Gollum dalam The Lord of the Ring.
JJ tertawa lagi. Kemudian terdengar ponselku berdering. Ketika kulihat di layar, ternyata Riangel yang mengirim pesan. Aku tidak bisa menutupi cengiranku, langsung kubuka pesannya:
Ry Lee, knp kau nggak bangunin aku, sih? Aku kan ingin mengantarmu, melambaikan tangan pdmu... untung sj kau menulis pesan & membuatkan salad buah untukku. Kalau tdk, aku pasti ngambek. Tlp aku!
Apa benar seperti itu? Riangel ingin mengantarku? Sebelum benakku berkelana, JJ mengambil ponselku. Namun kubiarkan saja. Sengaja, agar dia tahu kalau Adriana yang mengirimiku pesan.
"Whoa, aku pikir kalian hanya teman yang akrab. Dari isi pesannya saja, dia seperti seorang yang memarahi pacarnya? Bastardo--bajingan." JJ mengembalikan ponsel padaku.
"Apa kau yakin?"
JJ mengangguk. "Aku tidak percaya, dia lebih memilihmu di banding Tay. Yang terhebat telah tumbang!" Dia sengaja mengeraskan kata-kata terakhirnya.
"Apa maksudmu, huh?" tanyaku kesal.
"Whoa, tenang dulu. Bukannnya dia kencan dengan Tay, tapi dia pulang denganmu, ke rumahmu, tidur di kamarmu?" JJ menaikkan sebelah alisnya.
"Itu karena Rian kesal, lagi pula Tay dikelilingi para groupie, jadi Rian turun dan mencariku, meminta perhatian dariku."
"Omong kosong! Hemi bilang, perhatian Adriana selalu tertuju padamu--saat ngobrol dengan Tay."
Apa benar begitu? "Astaga, berhentilah jadi lelaki penggosip?"
JJ terkekeh. "Susah, Bro... tidak setiap saat ada selebriti cantik dan seksi, bergaul dengan kita. Lantas, kenapa kau belum juga menelepon selebriti itu, huh?"
"Ini sudah kupencet," kekehku sembari menaruh ponsel di telinga. Pada dering ketiga, Riangel-ku yang mengangkatnya.
"Hola, Ry Lee, kenapa baru nelepon, sih?"
"Siang, Riangel. Kenapa kau yang nggak nelepon duluan, hmm?" cengirku.
"Aku takut mengganggumu, tahu. Kau sudah sampai?"
"Belum." Aku melihat Tag Heuer hitam-ku. "Setengah jam lagi kira-kira. Dengar Riangel, kau bisa meneleponku kapan pun, di mana pun oke!"
Adriana terkikik. "Berarti, pukul 3.00 pagi pun aku bisa meneleponmu?"
"Bisa, Riangel, tunggu sebentar..." Aku tercekat ketika menatap wajah JJ yang hanya berjarak satu jengkal dari wajahku. "Kau masih di sini? Mana mengupingnya dekat-dekat dengan kepalaku lagi... napasmu menghangatkan leherku, tahu!"
JJ terkekeh. "Habisnya salah sendiri, kenapa tidak membesarkan pengeras suaranya. Jadi kan, aku nggak susah-susah."
Aku menggeleng-geleng. "Dasar raja gosip!"
"Hei, sudah menjadi kewajibanku memberi berita pada Mom."
"Dan pada semuanya," sindirku.
Cengiran kuda terbentuk di mulutnya. "Riangel-mu menunggu, Ry."
Akhirnya aku membesarkan pengeras suara ponselku.
Bukan karena disuruh oleh JJ, tapi karena aku ingin memberi tahu pada semua, bahwa Adriana sudah kutandai.
•••
SAMBIL MENGERANG DAN tetap memejamkan mata, aku meraba-raba mencari ponselku yang terus berdering. Mataku menyipit ketika membaca nama Riangel di ponselku. Ada pesan darinya pukul 6:24 pagi. Seketika itu pula aku merasa segar.
Sudah bangun, Ry Lee?
Aku tersenyum girang percis seperti remaja lagi ketika membaca isi pesan darinya. Bingung antara membalas dengan pesan kembali, atau langsung meneleponnya, akhirnya aku memutuskan ingin mendengar suara manjanya. Dan Angel-ku menjawab pada dering kedua.
"Hola, Ry Lee. Sudah bangun, ya?"
"Baru saja bangun. Begitu lihat pesan darimu, aku langsung ingin mendengar suaramu yang manja," jawabku parau.
Adriana tertawa. "Oh, ya?"
"Yep. Tahu nggak, aku tadi memimpikanmu."
"Masa... memimpikan apa?"
"Mimpi kau datang ke sini, ke bunk-ku hanya memakai pakaian dalam biru berenda... seperti kemarin malam."
Adriana tertawa lagi. "Oh, aku senang kau memimpikanku. Well, suaramu serak banget... seksi. Kau masih di tempat tidur, ya?"
Aku terkekeh. "Terima kasih, Rian. Suaramu juga nggak kalah seksi dan manja, aku lebih suka lagi. Oh, kalau ini bisa dibilang tempat tidur, ini kecil sekali... jadi ini disebut bunk. Kau kan pernah lihat di mana tempat tidurku waktu itu."
"Iya, memang kecil. Um, gracias", Ry Lee. Aku suka sekali kalau kau menyukai suaraku. Berarti kau dalam perjalanan pulang ke LA, sekarang?"
Aku terkekeh lagi. "Yeah. Sayangnya pas aku pulang, kau nggak ada di sana. Aku sudah merindukanmu... sebenarnya dari kemarin, sih."
Adriana terkikik. "Temanku sudah kangen, ya? Ini baru sehari, loh."
Aku mengerang. Ini nih, kupikir setelah kejadian kemarin malam, dia akan menyukaiku lebih dari teman, ternyata...
"Ry Lee, kau kenapa?"
Tanyakan saja atau tidak? "Apa kau selalu menciumi teman lelakimu?"
"Kenapa? Kau nggak suka aku menciummu?"
"Bukan begitu. Aku suka saat kau menciumiku, saat kita bercium--"
"Lantas?"
"Maksudku... apa yang kau lakukan padaku, kau lakukan juga pada teman lelakimu yang lain?" tanyaku.
"Nggak."
Jadi Adriana hanya menciumiku?
Tidak ada lelaki lain?
Akhirnya aku bisa benapas dengan lega. "Serius?"
"Nggak juga," kikiknya, membuatku mengerang kesal. "Aku bercanda, Ry Lee. Well, semalam pesta penutupannya sampai pukul berapa?"
"Pukul 4.00 pagi, tapi serius kan, yang tadi kau bercanda?"
"Si. Ohh, kau pulang jam segitu?"
"*Yep*. Kau juga tahu kan, kita teleponan sampai pukul 3.00 pagi?"
"Setengah tiga, Ry Lee."
"Iya... setengah tiga. Memang kenapa?"
"Nggak apa-apa," gumam Adriana.
"Kau ada acara apa hari ini?"
"Keluargaku mengadakan pesta brunch. Lebih ke keluarga, sahabat, dan kolega Dad."
"Kalau aku nggak sibuk tur, apa kau akan mengundangku?" tanyaku penasaran. Seketika aku tercekat, merasakan merinding di bisepku karena sentuhan seseorang.
"Jangan keras-keras suaranya Ry, aku pusing nih," kata suara yang tidak asing lagi.
What the hell?
Apa groupie ada di bunk-ku? Atau...?
Aku berbalik, mulutku kelu sepersekian detik, sebelum akhirnya menyumpah.
Menyumpah karena mantan kekasihku tidur di bunk-ku.
"Suara siapa itu?" tanya Adriana, mengeraskan nada suaranya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
