In Bed with a Rocker 12

3
0
Deskripsi

🍵  🎩

Kalau 5 bulan yang lalu, ada orang yang meramalkan bahwa setelah kami berkenalan di Grammy, aku akan berteman dengan idolaku, dan dia akan menciumku dengan montok, saling menyuapi sambil duduk pangkuanku, bahkan kami saling memberi nama panggilan, aku pasti bilang orang itu sudah sinting. Karena itu tidak mungkin!

Sobat-sobatku saja bilang--seharusnya Adriana ingin namanya dibersihkan. Sebenarnya mereka hanya iri padaku. 

Tanpa sadar aku sudah memegang fedoraku. Aku mencium wanginya, masih ada...

12
PERADUAN SANG ROCKER

Ryker

AKU BERJALAN CEPAT menghampiri gadis yang berada di pangkuan Taylor--yang mencoba melepaskan diri dari pelukan dan kecupan kembaranku yang ingin kutinju. "Lepaskan Adriana, Tay!" teriakku!

Sebelum aku bertindak, Adriana berhasil melepaskan diri, jelas ada ketakutan di wajahnya, tapi Taylor kembali menarik tangan Adriana.

"Lepaskan, Sialan!" teriakku geram sambil berusaha melepaskan tangan Taylor--yang  menggenggam erat pergelangan tangan Adriana.

"Iya, aku lepaskan, tuh!" Taylor terkekeh mabuk.

Dengan darah menderu, kugenggam tangan Adriana, tapi dia menghempaskan tanganku.

"Lagi pula dia menyikutku lumayan keras. Dia akan mempermainkanmu Ry, percaya kata-kataku!" teriak Taylor. Yang langsung diiyakan oleh para groupie.

"Tutup mulutmu!" Kucengkeram leher T-shirt Taylor. "Sekali lagi kau menyentuhnya dalam keadaan begini, akan kupatahkan lenganmu!"

"Aku ingin pergi," kata Adriana, menepuk bahuku.

Kulepaskan cengkeraman tanganku dari leher kembaranku, mengangguk. Aku tidak berani menggenggam tangan Adriana, tapi saat dia menggandeng lenganku, aku bisa mendesah lega. Ketika berjalan hampir menuju kamarku, kami bertemu dengan Sean. "Kalian lihat Ashley?"

"Ashley di balkon tengah, lagi makan malam sama Hemi," jawab Sean.

Aku mengangguk. "Aku minta tolong, untuk bubarkan pestanya."

Ini yang kusuka dari Sean, dia hanya mengerutkan dahinya sambil menyapu sekeliling, lalu mengangguk tanpa bertanya apa-apa.

Ketika sudah di dalam, aku mempersilakan Adriana untuk duduk di mana pun. Aku membuka pintu balkon. Jujur saja, aku ingin kami makan dengan suasana yang romantis, dengan pemandangan kelap-kelip kota Los Angeles.

Saat aku berbalik, dia sedang mengitari kamarku sambil tersenyum menghantui. Tangannya memegang dan mengusap semua barang berwarna biru yang berada di ruangan ini, mulai dari busa pada dinding aksen di belakang kepala ranjang, seprai katun, kertas dinding, juga sofa di depan ranjang. Dia sempat berdecak kagum ketika melihat lemari yang super besar, lampu kristal, juga cermin di atap kamar.

Tentang cermin besar di atap kamar, dia hanya berdecak geli.

Adriana pergi ke arah kamar mandi. "Wowww, aku tidak percaya ini!"

"Kenapa, hmm?" tanyaku sambil membawa makanan ke balkon.

Adriana keluar dari kamar mandi, wajahnya ceria. "Kau lebih menggilai warna biru dibanding aku, Ry Lee."

"Masa?" kekehku.

"Serius. Kamar biru ini menakjubkan. Wah, aku bisa tenggelam di dalamnya. Ranjangnya saaangat besar..." dia tertawa geli, "tentu saja karena kau juga besaaar. Kamar mandimu, Temanku, benar-benar tidak nyata." Dia berjalan menghampiriku yang sedang duduk di kursi balkon.

Aku masih terkekeh, menggeleng-geleng. Rupanya dengan melihat kamar ini, dia sempat melupakan kejadian dengan Taylor.

Adriana memegang pagar besi balkon. "Wow, pemandangan malam dan juga kolam renangnya benar-benar indah."

"Kau suka dengan rumah ini?"

"Suka? Aku mencintai rumah ini!" Adriana melompat-lompat.

Ternyata dia sudah melepas sepatu botnya dan ditaruh di pojok dekat lemari. Dia terlihat seksi dan nyaman, berjalan-jalan di kamarku dengan bertelanjang kaki.

Perhatianku teralih pada kuku jari kakinya yang dipulas dengan cat... perisai Captain America? Aku tidak dapat menutupi senyumanku.

"Anggap saja rumahmu sendiri. Sini duduk, kita makan dulu, apa mau kuhangatkan lagi?"

Adriana duduk di depanku. Kami cuma terhalang meja bulat. "Bahkan kau memakai lilin biru muda, romantis."

"Riangel, dengar... aku minta maaf atas kejadian barusan, aku--"

"Jangan ingatkan aku. Um, apa kau tipe orang yang mengatakan sesuatu itu secara serius, atau cuma basa-basi?"

Ternyata dia tidak ingin membahasnya. "Maksudmu saat aku bilang, anggap saja rumahmu sendiri?"

"Si."

"Kalau aku mengatakan sesuatu, itu benar-benar dari sini," aku menunjuk dadaku, "jadi aku benar-benar serius mengatakan hal tadi."

Matanya menari-nari. "Jadi aku bisa memakai mobilmu, menghabiskan persediaan kulkasmu, memakai sikat gigimu, datang ke sini kapan pun kumau, mengadakan pesta di kolam renangmu, bersih-bersih rumahmu, tidur di sini, dan memakai T-shirt favoritmu?"

Ketika Adriana mengucapkan semuanya dengan cepat dan hanya dua kali napas, aku tergelak hebat. Akan tetapi, kenapa dia sempat berbicara tentang bersih-bersih rumah?

"Yeah, tapi ada syaratnya...."

"Tuh kan, kau hanya basa-ba--"

"Dengar dulu, kau harus mengundangku kalau mengadakan pesta..." dia hanya mengangguk-angguk, "dan kau jangan tidur di kamar Hemi." Aku terkekeh geli ketika dia menjatuhkan bibirnya.

"Hemi tinggal di sini?"

"Yep. Ayo, Anak bandel, cepat makan!"

"Kau lupa janjimu, nggak?" Adriana menaikkan alis kirinya.

"Nggak. Pindah ke sini biar lebih dekat."

Dengan secepat ninja, dia pindah dan duduk di pangkuanku. Aku langsung tergelak.

"Kenapa tertawa? Katanya suruh pindah?" Adriana merangkul leherku.

Maksudku duduk di sampingku. Namun, demi apa pun yang berharga di dunia ini, aku tidak akan bilang padanya. "Kau cepat seperti ninja."

Adriana tertawa merdu. "Dad juga sering bilang begitu. Ayo cepat suapi aku...."

"Sudah kurang hangat. Mau kuhangatkan dulu?"

Adriana menggeleng manja dan membuka mulutnya. "Aaa...."

Aku terkekeh sambil menyuapi sup puff pastry pada mulut seksinya. Anehnya, dia yang ingin disuapi, malahan balik menyuapiku. Dia memuji masakanku, katanya ini puff pastry ter-benicio alias yang terenak--yang pernah dia makan. Aku sih, hanya berterima kasih dan menjanjikannya untuk memasakkan makanan apa pun untuknya.

Tuhan... aku yakin kau berlama-lama saat menciptakan Adriana. Dia benar-benar lucu, cantik, seksi, dan menggemaskan. Semuanya dalam huruf kapital. Bokongnya bergoyang-goyang di selangkanganku, aku yakin dia dapat merasakan ereksiku yang sudah bangun sepenuhnya.

Adriana menguap, menutup mulut dengan tangan mungilnya. "Kenapa kau nggak tinggal dengan Taylor?

Akhirnya aku harus menjelaskan juga. "Dulu sempat tinggal bareng, terkadang dia tinggal bersama Sean di daerah sini juga. Tay juga punya rumah dekat ke pantai di Long Beach. Rumah Hemi juga tidak jauh dari situ. Elijah, dari dulu sudah tinggal bersama Serena di Melrose. JJ tinggal dengan ayahnya di Westwood, bertetang--"

"Aku juga tinggal di Westwood, tapi di apartemen," potong Adriana riang.

"Wow, selama ini kau tinggal di Westwood? Rumah JJ bertetangga dengan rumah orang tuaku. Aku setidaknya mengunjungi mereka, dua kali dalam seminggu. Kenapa kita nggak pernah ketemu?"

"Karena, kita baru ditakdirkan bertemu sekarang." Adriana mengangguk. "Bisa saja kita bersisipan di tengah jalan, tapi kita malahan bertemu di Grammy dan Vegas."

Lagi-lagi tentang takdir.

Kapan takdir menjadikan kita sebagai kekasih?

Apa kami harus bertemu di Alaska dulu, baru dia mau jadi pacarku?

"Hei, malahan bengong, lagi!"

Aku terkesiap, lalu menyuapkan sup puff pastry ke dalam mulut seksinya. "Jadi, JJ sudah dianggap anak oleh kedua orang tuaku, dia bahkan punya kamar sendiri di rumah orang tuaku; dia juga punya kamar di sini."

Adriana mengangguk-angguk. "Minum." Aku mengambilkan secangkir teh hijau hangat dari meja, dan meminumkannya. "Gracias."

"Anytime. Well, kenapa kau sering bicara bahasa Spanyol?"

Adriana menunduk. "Umm, aku kan cuma bilang Dios mio, gracias, dan me entiendes saja--"

"Oh, jadi kau hanya bilang: ya ampun, terima kasih, dan apa kau mengerti... begitu?" Mataku menyipit. Dia mengangguk. "Bukannya waktu aku meneleponmu, kau bilang Hola?"

"Si, itu juga." Adriana mendesis kesal, membuatku terkekeh.

"Jadi, ada lima kata dalam bahasa Spanyol, bisa dijelaskan?"

Dia menguap, lalu berdiri dan berjalan ke dalam kamar. "Aku mengantuk, ingin bersih-bersih dulu di kamar mandi. Aku juga menagih janjimu yang lain." Dia menaikkan alisnya bergantian.

Aku tertawa sambil berdiri dan menghampirinya. Dia bisa saja mengelak dengan lucunya.

Tuhan, kalau ini semua berakhir, aku tahu aku pasti terjatuh... dan jatuhku sangat dalam.

"Yep. Aku nggak lupa, kok, nanti aku pijat kakimu yang pegal. Sikat gigi ada di laci, dan handuk ada di lemari kamar mandi. Nanti aku siapkan T-shirt dan celana pendek." Mataku menyapu tubuhnya dari atas ke bawah, tinggi badannya kurang dari 170 sentimeter. "Mungkin celana pendekku, jadi celana kargo kalau di pakai olehmu," godaku.

"Ha!" seru Adriana dengan nada kesal.

Aku terkekeh geli. Sedang kesal saja dia terlihat cantik. "Hei, aku bukan meledekmu, aku suka semuanya yang ada di dirimu. Kau gadis yang pas."

Terasa cubitan kecil di lenganku. "Maksudmu aku gadis pas-pasan?"

Aku tersenyum geli. "Kau gadis yang pas tinggi badannya, pas warna kulitnya, pas cantiknya, pas seksinya, pas halus rambutnya..." aku membelai rambutnya yang ikal sehalus sutra. Dia bergetar. "Kau tahu, gadis kekurangan tidak beruntung, gadis berlebihan terasa lemak atau plastik?"

Adriana tergelak sambil duduk di ranjang, menarikku untuk duduk di sampingnya. "Gracias. Lantas, kenapa tubuhmu lebih kurus sekarang?"

Aku terperangah. "Kau tahu dari mana kalau berat badanku berkurang?"

"Dari video klip 'Eroded'. Kau begitu hancur, ya, ditinggalkan Shannon?"

"Katanya mengantuk?"

Adriana terkikik. "Membalasku, huh? Pintar! Sekarang, berat dan tinggimu berapa?"

"Terakhir aku timbang, 88 kilo. Kalau tinggiku 194 senti."

"Wow, kau lebih tinggi dari yang kukira. Harusnya dengan tinggi segitu, beratmu umm 99, atau kalau normal saja 94 kilo."

Sambil menatap geli, aku memainkan rambutnya. Sepertinya dia tidak keberatan. "Jadi, aku harus menaikkan berat badanku berapa banyak, hmm?"

"Bagaimana kalau 5 kilo dulu? Nanti aku akan lihat apa perlu di tambah lagi, atau tidak." Dia tersenyum lebar. Aku mengangguk senang, karena dia begitu memperhatikanku. "Well, aku mau mandi, nih."

"Mandi?" Telanjang di kamar mandiku?

"Iya, biar pagi tidak usah mandi lagi." Dengan secepat ninja, Adriana sudah masuk ke kamar mandi, membuatku terkekeh.

Aku harus mandi di kamar mandi luar kalau begitu, tapi sebelumnya harus menyiapkan pakaian untuk Adriana yang sedang telanjang.

Ini seperti mimpi.

Kalau 5 bulan yang lalu, ada orang yang meramalkan bahwa setelah kami berkenalan di Grammy, aku akan berteman dengan idolaku, dan dia akan menciumku dengan montok, saling menyuapi sambil duduk pangkuanku, bahkan kami saling memberi nama panggilan, aku pasti bilang orang itu sudah sinting. Karena itu tidak mungkin!

Sobat-sobatku saja bilang--seharusnya Adriana ingin namanya dibersihkan. Sebenarnya mereka hanya iri padaku. 

Tanpa sadar aku sudah memegang fedoraku. Aku mencium wanginya, masih ada harum dari Adriana bercampur dengan keringatku. Aku menaruh fedoraku di nakas. Lucunya, fedora yang terlihat kebesaran di kepalanya, tapi pas sekali di kepalaku.

Aku jadi teringat belum menyiapkan pakaian untuk Adriana. Buru-buru aku menyediakan semua dan pergi ke kamar lain, yang akan kutiduri malam ini.

Benar-benar tidak beruntung, empat kamar tamu semuanya penuh. Aku harus mandi di kamar mandi bawah.

Waktu keluar dari kamar mandi, terdengar suara-suara di dekat dapur.

Mungkin ada yang kelaparan?

Aku mendekati dapur dan terkejut, ternyata Adriana sedang mengelapi cangkir.

"Riangel?"

"Umm, aku mencari Ash, tapi kata Sean dia sudah tidur." Matanya menyapuku dari atas yang hanya ditutupi handuk yang kusampirkan ke leherku, lalu ke dada eight pack-ku yang masih lembap, dan berhenti di Rocky-ku yang hanya memakai boxer-briefs navy.

"Suka dengan apa yang kau lihat?" godaku.

Wajah Adriana sudah semerah ceri saat mengangguk lalu terkesiap. "Aku juga mencarimu sambil membawa mangkuk dan cangkir--bekas kita makan, lalu di luar berantakan dan..." dia menyengir, "itu terjadi begitu saja."

Aku jelas terkekeh dengan tingkahnya, masuk ke dalam dapur, dan merangkul bahu Adriana. "Ayo, besok ada Mrs. Jones dan anaknya yang biasa bersih-bersih di sini. Kau harus tidur, ini hampir pukul 1.00 pagi."

Adriana tidak mau bergerak. "Tapi belum di masukkan ke lemari, nanti ada tikus, kecoak, cicak...."

Aku kembali terkekeh. "Kau duduk, aku yang akan membereskannya, gimana?" Dia mengangguk, duduk di kursi makan. "Sudah selesai." Aku baru sadar, dia hanya memakai T-shirt katun biru yang terlalu besar hingga bahu mulusnya kelihatan. Dia juga tidak memakai celana pendek. Otomatis, T-shirt-ku panjangnya hanya sejengkal di atas betis indahnya.

Tiba-tiba aku ingin membetulkan posisi Rocky-ku.

"Nggak pakai celana pendek, hmm?" tanyaku sambil naik ke atas tangga, pandanganku hanya pada bokong penuhnya.

"Celana pendekmu melorot terus. Aku mau pinjam boxer-mu, bisa?" Adriana berjalan ke arah kamar.

"Melorot, yah? Kenapa nggak ambil sendiri di lemari?" Aku menutup pintu.

"Nggak, ahh, kau saja yang ambilkan." Adriana duduk di atas ranjang, yang lebih dekat ke balkon, di sisi yang biasa kutiduri.

"Ini boxer-nya. Aku keluar dulu, yah?" Aku menaruh boxer hitam di ranjang, dan berbalik jalan ke arah pintu.

"Nggak usah, kau balik saja. Aku cepat, oke sudah."

Aku berbalik, ternyata dia pergi ke kamar mandi. Aku membuka pintu lemari, memakai T-shirt hitam longgar tanpa lengan, lalu duduk di ranjang, menunggunya. Dia kembali dengan mengerucutkan bibirnya. "Kenapa?"

"Kau, pakaianmu naik panggung, sama dengan naik ranjang." Adriana naik ke atas ranjang.

Aku tergelak. "T-shirt-ku yang buat manggung, lebih bagus kualitasnya, tahu. Lagi pula aku sering kegerahan."

"Padahal aku suka gayamu di Vegas, tahu." Adriana kembali mengerucutkan bibirnya.

Aku terkekeh senang. "Oh ya? Terima kasih, Riangel. Gimana kalau kau saja yang memilihkan penampilanku untuk di San Diego?"

Sudut-sudut mulutnya terangkat naik membentuk senyuman menghantui. "Aku suka itu. Teman harus membantu temannya... ayo kita lihat lemarimu." Adriana bersiap turun dari ranjang.

"Nanti saja, jadi mau dipijat, nggak?"

Adriana tergelak. "Oh iya, aku lupa. Cepat pijati aku, Ryker Lee."

"Iya, Nana--nenek... waauw," teriakku. Lagi-lagi bantal melayang ke arahku, secepat itu pula kutangkis dengan gaya Bruce Lee.

Ketika menoleh ke samping, dia tertawa dengan indahnya sampai terguling-guling di ranjang.

Adriana benar-benar luar biasa.

•••

Komen & klik tanda ❤️ buat aku.

 Thanks.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya In Bed with a Rocker 13
3
0
💋 💋 💋 💋Gracias, Ry Lee. Tebak, aku lagi pengin makan apa?Ada sup jagung, sebentar lagi disiapkan oleh JJ. Mungkin kau mau itu?Adriana mengangguk. Iya, tapi ada dua lagi yang pengin aku makan sekarang.Mungkin pancake dengan selai bluberi, dan roti sandwich isi telur dan sayuran? jawabku bingung.Ihh, kenapa kau bisa tahu, sih? Sini... Adriana menjentikkan jari telunjuknya, otomatis kepalaku mendekat ke arahnya. Ditangkupnya kedua pipiku, lalu bibirnya mendekat dan mencium... lebih tepatnya mengecup bibirku cukup lama--sebanyak empat kali.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan