BARANIA (Pemberani) VII

0
0
Deskripsi

Rendra adalah seorang kakak yang baik bagi ketiga adiknya, Kirana, Aksa dan Alea. Tapi sayang sekali, sepertinya kehidupan tidak bersikap yang sama kepadanya. Rendra adalah anak pertama dari 4 bersaudara, sekaligus satu-satunya yang tidak punya prestasi sejak kecil sama sekali. Berbeda dengan ketiga adiknya, contohnya Kirana yang baru kelas 2 SMA saja sudah jadi Influencer yang banyak dikenal orang. Dia juga sering mendapat tawaran untuk menjadi model. Aksa, masih kelas 1 SMA tapi sudah terkenal...

Barania (Pemberani)

Episode Terakhir


Kami akhirnya sampai di lokasi perjanjian tersebut. tempatnya persis seperti yang digambarkan Nenek. Sebuah lapangan luas dengan pohon beringin besar di tengah-tengahnya. Tempatnya sangat gelap dan tidak ada sumber cahaya sama sekali selain dari cahaya bulan. Sejauh yang bisa kami pandang, hanya ada lapangan dan bebukitan hijau. Di atas bebukitan itulah, pohon besar tersebut terletak. Tidak ada akses untuk mobil sama sekali ke sana, mau tidak mau kami harus turun dan berjalan kaki. 

Aksa bertugas membawa senter, sedangkan aku menggendong Kirana yang masih belum sadarkan diri.

Suasananya benar-benar mencekam, baru saja aku menginjakkan kaki di rerumputan, angin tiba meliuk seolah menampar pipiku, membuatku seketika merinding. Saking takutnya, aku bahkan tidak merasa lelah sama sekali menggendong Kirana. 

Sepanjang jalan, aku terus berdzikir dan berdoa. Aku memaksa untuk memberanikan diri, mau tidak mau kami harus sampai ke atas bukit tersebut! Kami sudah sampai di sini, tidak ada lagi alasan untuk kembali. Apalagi dengan kondisi Kirana yang masih belum sadarkan diri sejak tadi. 

Tangan Aksa gemetar, cahaya senternya baru saja menangkap bayangan yang langsung lenyap begitu terkena cahaya lampu senter. Kami berdua jalan beriringan, meskipun hal tersebut tidak mengurangi rasa takut, setidaknya kami berdua tidak takut sendirian. 

Kami sudah hampir sampai di atas bukit, siur angin semakin kencang saat kami baru menanjak bebukitan. Suara desis pohon yang terkena angin terdengar sangat menyeramkan. Daunnya banyak berjatuhan, kami berdua sempat kaget saat ranting kecil pohon tersebut jatuh tepat di belakang kami. Aku hampir saja menjatuhkan Kirana. 

Saat kami tiba persis di bawah pohon besar tersebut, aku lalu membaringkan Kirana dengan hati-hati. Tubuhnya terang dijatuhi cahaya bulan. Ada banyak sekali kelopak bunga melati yang sudah kering terhambur di bawah pohon, aroma kemenyan seolah melekat pada batang pohon tersebut.

Aku meminta Aksa untuk terus berada di samping Kirana. Aksa mengangguk setuju, aku juga mengangguk, tanda bahwa kami masih ingat rencana kami. Dia lalu menyerahkan senternya padaku. Aku melangkah seorang diri ke depan, berjalan lebih dekat ke arah batang pohon yang sangat besar tersebut. 

Baru saja beberapa langkah ke depan, aku lalu menoleh ke arah belakang, hendak memastikan bahwa Aksa dan Kirana baik-baik saja. Saat aku menoleh, mereka sudah terlihat sangat jauh di sana, lokasi di mana aku menaruh Kirana beberapa detik yang lalu tiba-tiba berubah. Dari kejauhan, samar-samar Aksa terlihat sedang melambai-lambai padaku, dia terlihat meneriakkan sesuatu tapi suaranya tidak kedengaran sama sekali. Dia terus melompat-lompat, menunjuk ke arahku, atau tepatnya menunjuk ke arah depanku! Menyadari itu, aku sigap menoleh ke depan. 

Aku yakin sekali, yang ada di hadapanku saat ini seharusnya batang pohon besar lengkap dengan bunga-bunga melati kering di bawahnya, bukan malah rentetan kuburan seperti sekarang! Aku menggosok-gosok mataku, memastikan bahwa yang saat ini nampak hanya khayalanku saja. Beberapa kali aku membuka-tutup mataku, pemandangan perkuburan tersebut tetap tidak berubah! Pohon besar tadi seketika berubah menjadi perkuburan yang sangat menyeramkan. Suara derap langkah yang serentak terdengar jelas sekali, sesekali terdengar suara teriakan yang memekikkan telinga. Aku takut setengah mati! 

 Hanya ada satu hal yang dapat kupastikan saat ini, aku sudah berada di alam yang berbeda! Semua rencana yang Aksa katakan sebelumnya berakhir sia-sia. Tapi, memang seperti inilah kesepakatan yang telah kami buat, yaitu aku harus bertukar tempat dengan Kirana. Yang terjadi padaku saat ini adalah yang seharusnya terjadi. Aku sangat menyesali bahwa adikku itu harus mengalami suasana yang sangat mencekam seperti ini selama beberapa hari. Aku menangis sejadi-jadinya menyesali bahwa aku luput menyadari keanehan Kirana akhir-akhir ini. 

Aku duduk meringkuk di atas rerumputan. Saat aku mengangkat kepalaku, pemandangan perkuburan yang ada di hadapanku tadi, lagi-lagi berubah! Sekarang, ada Ayah dan Ibuku di sana, di sebuah ruangan yang sedikit remang, mereka sedang bersiap untuk tidur. Tangisku semakin menjadi, menyesali bahwa selama ini aku belum sempat mengatakan kepada mereka bahwa aku sangat menyayangi mereka. Aku berteriak mengatakan itu semua. Tapi sudah terlambat, tidak mungkin mereka bisa mendengarnya! 

Aku menangis sejadi-jadinya, selain karena takut setengah mati, aku sangat menyesali bahwa selama ini aku belum menjadi seorang anak yang berbakti kepada orang tuaku, aku juga bukan seorang kakak yang baik untuk adik-adikku. Tak lama, samar-samar aku mendengar suara seseorang yang memanggil-manggilku. 

Pemandangan di sekitarku tiba-tiba kembali normal! Sekarang aku berada persis di tempat yang seharusnya aku berada sejak awal, yaitu di bawah pohon besar. Tapi kemudian aku sadar ada yang salah! Aku tidak sedang berada di bawahnya! Aku tepat berada di dalam pohon tersebut! Aku melihat Aksa dan Kirana, dia sudah sadar! Sejak awal, posisi di mana aku menaruh Kirana tidak berpindah sama sekali, yang aku lihat beberapa saat yang lalu hanyalah ilusi. 

Aku balas meneriakinya, tapi percuma! Suaraku tidak tembus sampai padanya. Kirana bersimpuh, memohon agar aku dikembalikan, melihatnya yang menangis seperti itu membuat hatiku ikut berantakan. Aku ikut menangis. 

“Aku mohon. Siapapun kamu, tolong kembalikan dia! Aku sangat menyayanginya! Dia kakakku satu-satunya! Aku mohon!!!

Rendraaa!!! Maafkan aku, Dra! Ini semua salahku. Aku yang keras kepala!” (Kirana menangis sejadi-jadinya) terus memohon agar aku dikembalikan. 

Ini bukan salahmu, Ran! Sudah seharusnya aku melindungimu! Aku juga

Mendadak, sekelilingku berubah menjadi sangat terang! Aku tidak bisa melihat apa-apa! Cahayanya sangat menyilaukan mata. Tangisku ikut tersentak karena kaget. Tapi tiba-tiba, seperti ada sesuatu yang mendorongku keluar, aku tidak tahu itu apa, atau siapa! Aku sontak menoleh ke belakangku, tapi terlalu terang untuk bisa melihatnya dengan jelas. Aku tidak bisa mengenali sosok itu! 

“Pulanglah, Nak! Sampaikan salamku untuk Nenek!” 

Aku mengenal suara itu! Itu adalah suara mendiang Kakekku! 

Kemudian, secara ajaib aku telah berhasil keluar dari pohon tersebut! Aku langsung melompat memeluk Kirana. Aksa terdiam takjub, dia menyaksikan dengan jelas bagaimana aku tiba-tiba muncul di hadapan mereka berdua. 

Tangis Kirana makin menjadi! Dia balas memelukku erat sekali. 

“Maafkan aku, Dra!!!” 

“Aku sayang kamu, Ran!” Pungkasku sambil menarik Aksa yang masih takjub agar ikut dalam acara berpelukan kami. 

Setelahnya, kami pun bergegas pulang! Aku tidak mau berlama-lama di tempat mengerikan ini lagi. Aku sempat menoleh kembali ke belakang, berterima kasih kepada kakek karena telah menyelamatkanku, aku harap dia mendengarnya. 

Aku harus menceritakan kejadian ini pada Nenek! 

Saat kami pulang, Nenek dan Alea langsung bangun dari duduknya, mereka masih mengenakan mukenahnya, mata mereka terlihat sembab. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri saat perjalanan pulang tadi bahwa aku tidak akan menangis saat bertemu Nenek dan Alea. Tapi percuma! Mataku tetap spontan mengeluarkan air mata saat melihat mereka berdua. 

Alea langsung lompat dari duduknya dan memeluk kami saat melihat kami pulang, lengkap! Tanpa ada salah satu yang tertinggal.  

Rasanya, kami berlima bisa berpelukan sepanjang malam!

Sudah hari ke-enam kami di sini. Besok pagi, kami sudah harus kembali ke rumah kami di kota. Kami sedang berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi. Nenek masih menyiapkan makanan dibantu Kirana. Dan untuk pertama kalinya, Kirana membawakan segelas air putih untukku, tanpa kusuruh, tanpa mengeluh! Membuatku kembali khawatir. 

“Ran? Kamu sudah tidak apa-apa, kan? Maksudku, kamu beneran Kirana, kan?”

“Hahaha… Iya, Dra! Ini Kirana, tidak usah khawatir!”  

Suasana di meja makan kembali normal, Alea bahkan iseng menakuti kami dengan berbahasa Belanda. Astaga! Sejak kapan anak ini jadi iseng?! Melihat aku yang paling kaget, mereka semua lalu menertawakanku. Aku ikut tertawa sambil mengelus dada.

Kami baru saja selesai sarapan. Kirana lalu membuka suara. 

“Makasih, yah, Dra!” Kirana menunduk malu. 

“Iya—”

“Eh?! Bagaimana denganku? Aku juga ikut andil, loh! Halooo!!!” Aksa menimpali. 

Kami semua kembali tertawa melihat Aksa yang kekanak-kanakan. 

Sejak kapan kami semua jadi dekat seperti ini? Aku bahkan lupa kapan terakhir kali suasana meja makan seceria ini. Sebelum-sebelumnya, saat di meja makan kami hanya saling diam, tidak ada topik lain selain sekolah dan prestasi ini itu. Aku sangat bersyukur, karena berkat liburan kali ini, khususnya kejadian semalam, hubungan kami semua semakin membaik.  

Mengingat kejadian semalam, aku langsung teringat Kakek. 

“Nek? Kakek titip salam, Loh!”

Mendengar ucapanku barusan, meja makan kembali lengang. Nenek terlihat kaget. 

 “Ka—Kamu, ketemu Kakek?!” Balas Nenek, meyakinkan bahwa aku tidak mengada-ngada. 

“Iya, Kakek juga bilang, Nenek sebaiknya ikut kami ke rumah! Katanya, dia kasihan melihat Nenek sendiri di sini.” Untuk yang satu ini, aku harus mengarang. Maafkan aku, Kek! Tapi semoga saja, dengan ini Nenek akhirnya luluh dan memutuskan ikut dengan kami. 

“Iya, Nek! Kirana mau Nenek ikut, titik!” Kirana ikut mendukungku. 

“Aku juga, Nek! Rumah sering sepi kalau Ayah dan Ibu kerja di kantor. Kalau ada Nenek, pasti kami tidak kesepian lagi.” Aksa ikut bersuara. 

“Tidak perlu!” Balas Nenek, membuat kami bertiga terdiam. 

“Maksud Nenek, tidak perlu kalian minta, Nenek akan tetap ikut, kok! Alea dan Nenek sudah janjian tadi malam. Gimana, Le?” Nenek melirik-lirik Alea. 

“Iya, dong!” ucap Alea sedikit tengil. 

Melihat ekspresi menyebalkan Alea, aku jadi membenarkan tebakanku yang dulu. Sepertinya benar, Alea akan menjadi Kirana versi menyebalkan nanti. Hahaha… kasihan Aksa! 

Kami berempat baru pulang dari masjid untuk sholat Duhur berjamaah saat kami bertemu Armang. Aku memberitahu Armang bahwa kami sudah kembali ke kota besok pagi. Mendengar kabar tersebut, Armang lalu berbalik arah dan kabur begitu saja. Entah ada apa dengannya, apa jangan-jangan dia takut kalau menangis di depan Kirana, yah? Hahaha…

Hari sudah menjelang sore, Armang datang ke rumah bersama Ibu dan adiknya, Erwing.  Mereka membawakan kami makanan, inilah alasan Armang langsung kabur saat mendengar kabar kami akan pulang besok. Dia ternyata bergegas mengabari Ibunya dan memasak khusus untuk kami. Kabar bahwa Nenek akan ikut kami tinggal di Makassar rupanya sudah sampai di telinga warga kampung. Dan Juga kabar tentang kejadian semalam. Cepat sekali kabar tersebar di kampung Malino ini! 

Selain Armang dan keluarganya, tak lama kemudian, ada juga beberapa tetangga yang datang membawakan kami oleh-oleh untuk dibawa pulang. Khususnya untuk Nenek. Warga kampung Malino memang sangat baik dan kompak. Interaksi sosial mereka sangat kontras dengan kehidupan di kota. Di sana, kami hanya mengenal atau berhubungan dengan 1 atau 2 tetangga saja, berbanding terbalik dengan kehidupan di sini, seolah-olah semua warga di sini adalah keluarga kami saja. Tak sedikit dari mereka yang mengenal kami lewat Ayah kami. Sedangkan kami tentunya hanya dekat dengan keluarga Armang. Tidak mengenali mereka, kami hanya mengenali wajag=hnya saja, itu pun karena sering bertemu di masjid. 

Aku ditemani Armang menyalami satu persatu warga yang datang ke rumah. Tidak lupa, Armang mengenalkan mereka padaku. Ada juga seorang gadis seusia kami yang ikut dia perkenalkan padaku. Namanya Andin. Aku lalu bilang padanya kalau dia punya saudara, namanya pasti Andi, kan? Hahaha…

Gadis itu lalu membenarkan tebakanku. Astaga! Tebakanku benar, kan?! Hahaha… 

Tapi saat dia bilang bahwa Andi, kakaknya, merupakan korban yang hilang di pohon besar tersebut. Aku jadi terdiam, merasa bersalah karena baru saja melakukan dark jokes di depan orangnya langsung! 

Aku lalu meminta maaf. Andin hanya tersenyum, dia bilang, dia ingin sekali mendengar langsung ceritaku yang bisa selamat dari kejadian semalam. Aku sebenarnya tidak ingin lagi mengungkit kejadian itu. Tapi mau tidak mau, karena terlanjur merasa bersalah padanya, aku pun menceritakan kejadian tersebut. 

Kami sudah siap-siap berangkat. Keluarga Armang kembali ke rumah untuk mengantar perjalanan pulang kami. Nenek memercayakan rumahnya kepada keluarga Armang. Mereka sempat menolak, tapi Nenek memaksa dan bilang hanya keluarga Armang yang dia percaya. Akhirnya, mereka menerima kunci rumah nenek meski sungkan. Kami pun berangkat setelah Armang menerima kunci rumah nenek. Alangkah senangnya aku saat Kirana menawarkan dirinya menyetir. Alhamdulillah!!!

Saat kami tiba di rumah, Ayah dan Ibu rupanya sudah menunggu kami di bingkai pintu. Mereka sangat kaget saat melihat Nenek yang akhirnya mau ikut bersama kami dan tinggal di rumah. Kali ini, giliran Ayah yang menangis terharu sekaligus girang sekali memeluk Nenek. 

Sudah sepekan sejak kami liburan di rumah Nenek, suasana rumah yang tadinya dingin berubah menjadi hangat. Kirana juga sudah tidak menyebalkan lagi. Aksa juga lebih sering ikut bersama Kirana kalau dia sedang mendapat pekerjaan. Sedangkan Alea, jadi sering menghabiskan waktunya bersama Nenek. Tidak ada lagi hal aneh yang terjadi pada adik-adikku, khususnya Kirana. 

Semuanya kembali normal, bahkan lebih baik dari sebelum-sebelumnya. 

Tapi, hal tersebut rupanya tidak bertahan lama. Aku terlalu naif karena mengira semuanya sudah terkendali dan tidak perlu dikhawatirkan lagi. Karena tanpa kami sadari, ada sesuatu yang jahat yang sudah mengikuti Mbak Anti sampai ke sini! Sesuatu yang lebih mengerikan kembali mengancam nyawa adik-adikku! Sesuatu yang bukan berasal dari Pohon Besar, bukan juga dari kampung Malino! Melainkan dari Tanah Jawa! 

Tamat..


Terima kasih sudah membaca cerita ini sampai sini. Kalau kalian suka cerita ini, jangan sungkan untuk follow dan kasih dukungan, yah!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya ANDAIKATA CINTA PUNYA AROMA #CeritadanRasaIndomie
0
0
“Andaikata cinta punya aroma dan suara. Sepertinya cintakulah yang paling sederhana, ia hanya beraroma indomie goreng siap saji, dan bersuara rintik hujan. Tidak wangi seperti bunga, dan tidak merdu seperti Tulus pas nyanyiin lagu ‘Hati-hati di jalan’.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan