
Hendro mencoba menelan senyumnya. Sebagai lelaki dewasa dia tahu bahwa butuh keberanian besar untuk bertanya tentang seorang wanita lain, sementara dia sudah menikah.
Salut gue, laki-laki ini emang bener suka ma si Adis. Alamak Dis, elu bener-bener in trouble. Hendro membatin.
“Adis sudah dua hari tidak masuk, dia minta izin off sebentar,” kata Hendro tenang.
Hendro sengaja tidak menyebut Adisti sakit. Berdasarkan cerita Adisti, Adipati sangat persisten, dan untuk sementara Hendro ingin Adisti beristirahat...
BAB 9 – BISIKAN YANG MENGEJUTKAN
PERINGATAN: KONTEN INI MENGANDUNG ADEGAN UNTUK 21+
--
Adipati tiba di rumahnya menjelang pukul 1 malam. Dia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tersisa karena besok pagi akan terbang ke luar negeri untuk keperluan bisnis beberapa hari.
Dia kelihatan lelah ketika masuk ke kamar tidur dan menganti pakaian dengan kimono handuk siap untuk mandi.
Adipati menghabiskan setengah jam di bawah shower air panas. Membersihkan tubuhnya yang penat dan juga jiwanya yang lelah.
Di bawah pancuran air panas itu, Adipati mengingat Adisti. Bagaimana saat perempuan itu menyuruh dia kembali ke Diandra dan tidak mengganggunya lagi.
Banyak hal yang tidak diketahui publik tentang hubunganku dengan Diandra. Sekarang aku setuju apa yang dikatakan ayah, kalau keputusanku menikahi dia sebenarnya salah.
Adipati mematikan showernya. Menatap wajahnya di kaca yang berembun. Wajah itu bukan wajahnya karena begitu menderita. Dia menderita karena jatuh cinta.
Adipati dilahirkan untuk menjadi seorang pebisnis handal, seperti layaknya sang ayah. Karena dia anak lelaki tunggal, harapan kerajaan bisnis Sanjaya berada di pundaknya. Dia cerdas, teliti, cekatan dan pintar melakukan negosiasi.
Selain itu dia bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Selama ini dia belum pernah bertemu dengan perempuan yang membuatnya berdebar dan ingin berkorban jiwa seperti yang sering ada di film atau novel.
Hubungannya dengan perempuan hanya hubungan fisik. Dia menyimpan beberapa perempuan untuk dijadikan teman tidur di beberapa wilayah yang sering menjadi tempatnya melakukan transaksi bisnis.
Dia merasa cukup aman tidur dengan mereka karena tidak akan ada konsekwensi setelahnya. Ya, semua perempuan itu menggunakan alat kontrasepsi dengan pengawasan ketat tim dokter pribadi Adipati.
Sebagai penerus dinasti, Adipati harus mendapatkan keturunan dengan bibit bobot bebet terbaik. Seandainya tidak berhati-hati, bisa-bisa siapa pun akan mengklaim memiliki hak atas kekayaan Sanjaya, dan Adipati sangat sadar hal itu.
Sampai akhirnya dia bertemu Diandra Monika.
Model cantik yang masih muda itu dkenalnya di sebuah pesta. Adipati menyukai Diandra yang bersemangat dan luwes dalam bergaul. Untuk pertama kalinya dia membawa Diandra ke tempat tidur tanpa sempat berkonsultasi pada dokter pribadinya.
Akibatnya bisa diduga, Diandra mengaku hamil dan meminta Adipati bertanggung jawab.
Semula keluarga Adipati tidak setuju karena menganggap itu akal-akalan Diandra saja yang ingin mendapatkan akses kekayaan Sanjaya. Namun Adipati membela Diandra dan berkeras menikahinya.
Pesta pernikahan mereka sangat mewah dan jadi pesta pernikahan paling spetakuler. Wajah pasangan baru itu menghias banyak media dan keduanya berbulan madu dengan kapal pesiar mewah milik Sanjaya selama seminggu.
Dua minggu setelah pernikahan itu, Diandra mengaku keguguran. Saat itu Adipati berada di luar negeri. Diandra hanya mengirim surat penyataan dokter bahwa dia harus kehilangan bayi mereka.
Saat itu Adipati mencium ada yang tidak beres dan dengan dibantu beberapa detektif professional, akhirnya Adipati harus menerima kenyataan dia “dikerjai” model cantik yang muda itu. Diandra tidak pernah hamil, dia hanya bekerja sama dengan dokter kandungan yang ternyata adalah sepupunya sendiri.
Rasa kecewa karena ditipu tidak membuat Adipati lantas marah atau menceraikan Diandra.
Dia tetap mempertahankan Diandra.
“Aku tidak mau ini jadi skandal, jadi aku tidak akan menceraikanmu,” kata Adipati saat itu.
Diandra yang menangis tidak percaya apa yang didengarnya.
“Kau serius?”
“Aku cuma ingin kita buat perjanjian. Hitam di atas putih disaksikan pengacaraku. Bahwa kau tetap menjadi istriku, sampai pada saatnya aku ingin menceraikanmu. Ketika saat itu datang, kau tidak boleh menuntut apa pun. Aku akan memberikanmu uang yang cukup sebagai tanda terima kasih,” kata Adipati sambil tersenyum.
Senyum kejam yang menandakan sebenarnya Adipati mulai menganggap Diandra salah satu asset keluarga. Dia tidak mau kehilangan asset itu. Tidak sekarang.
“Kalau aku tidak setuju?”
“Kita bisa bercerai sekarang, tetapi aku akan melaporkanmu ke polisi karena menipuku,” kata Adipati tenang.
Diandra tidak punya pilihan.
Adipati mengutus dokter untuk memastikan Diandra “aman” untuk dia tiduri, sampai akhirnya mereka bercerai.
Adipati tidak mau mengulang kebodohannya.
Bahkan dia memutuskan tidur di kamar terpisah untuk menjaga privasinya.
Meskipun terkesan kejam, Adipati tetap memanjakan Diandra habis-habisan. Diandra mendapatkan apa pun yang dia mau, termasuk fasilitas terbaik, uang yang tidak ada serinya, perhiasan termahal dan juga perhatian publik.
Di media dan mata masyarakat, keduanya seolah pasangan yang bahagia. Tetapi kenyataannya, hubungan mereka cuma diikat benang yang rapuh. Sangat rapuh.
Diandra tidak berani untuk cemburu atau protes dengan apa pun yang dilakukan Adipati. Adipati tidak main-main dengan ancamannya,
Hidupnya memang menjemukan meskipun dia bisa membeli apa pun. Sampai akhirnya Adisti muncul di kehidupannya.
Perempuan itu tidak mudah ditemui karena selalu sibuk dengan pekerjaannya. Adipati harus menurunkan harga dirinya ke titik terendah sekedar untuk menyapanya, meskipun sering mendapatkan tanggapan tidak ramah dari Adisti.
Namun entah kenapa Adipati yakin bahwa sikap keras Adisti itu hanya untuk menutupi kerapuhannya. Terlepas dari tingkahnya yang kuat dan tegas, jiwa Adisti sebenarnya lembut dan penuh kasih sayang.
Kalau tidak mana mungkin dia mau menolongku. Mendonorkan darahnya tanpa berpikir. Padahal aku hanya orang asing.
Adipati memakai piayamanya.
Entah kenapa tiba-tiba dia merasa sangat terangsang. Memikirkan perempuan galak itu membuatnya jadi berfantasi liar. Dia membayangkan apakah Adisti akan sama galaknya di ranjang? Atau malah pasrah?
Adipati melangkah ke luar kamarnya, menuju kamar Diandra.
Diandra ternyata belum tidur. Dia baru membersihkan makeupnya. Kedatangan Adipati membuatnya kaget tetapi juga senang. Sudah hampir seminggu ini mereka tidak pernah bertemu meskipun tinggal satu rumah.
“Ada apa? Tumben?”
Diandra tidak sempat bertanya karena Adipati sudah memeluknya dan mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Kemudian mendorongnya ke ranjang yang masih licin karena belum ditiduri.
Tidak ada perlawanan yang berarti karena Diandra memang selalu siap melayani keinginan Adipati yang sering tiba-tiba. Ini cuma satu-satunya kedekatan mereka dalam rumah tangga semu itu
Selama 10 menit berikutnya keduanya bergumul di ranjang dan Diandra sempat keheranan.
Itu bukan permainan ranjang yang biasa dilakukan Adipati karena hanya penuh nafsu dan terburu-buru. Ini berbeda. Kali ini Adipati memperlakukan Diandra dengan lembut dan sepenuh hati.
Diandra tidak tahu bahwa Adipati tenggelam dalam fantasinya.
Hingga akhirnya berakhir. Kedua berbaring dengan nafas memburu.
Saat itu Adipati berbisik lirih dengan nada penuh kepuasan.
“I love you Adisti,”
Itu cuma bisikan, tetapi bisa didengar jelas oleh Diandra.
@@@@
BAB 10 – TAMU PAGI HARI
Adipati selesai menikmati corflakes dan susu.
Itu ritual sarapan paginya sejak masih berumur 8 tahun.
Seorang pelayan memindahkan mangkok kosong di hadapan dia dan mengantinya dengan secangkir kopi yang asapnya mengepul lembut.
Lelaki itu meneguknya pelan.
Adipati suka kopi yang masih setengah panas dengan satu gula kotak.
Dia sudah rapi. Supir malah sudah memasukkan kopernya ke mobil.
Diandra menarik kursi dan duduk di depan Adipati yang masih menikmati kopi. Perempuan itu meminta pelayan membuatkan jus jeruk dan roti bakar tanpa selai.
Dia memakai gaun rumah yang kelihatan sangat pas di tubuhnya. Gaun yang memperlihatkan punggungnya yang mulus bagai pualam.
“Hai mas,” sapa Diandra.
“Pagi Di, aku harus ke Jerman untuk beberapa hari. Kau baik-baik ya,” kata Adipati tanpa menoleh dari cangkir kopinya.
Diandra mengangguk.
“Kalau perlu apa-apa, bisa hubungi sekretarisku,” tambah Adipati.
Tanpa bicara hal lain dia bangkit. Langsung menuju mobilnya yang sudah menunggu di depan. Meninggalkan Diandra sarapan sendiri.
Diandra merasa matanya panas.
Sudah lima bulan dia menjalani kondisi rumah tangga dengan Adipati dan sepertinya dia lebih banyak menangis karena lelaki itu sangat dingin padanya. Memang semua karena salahnya.
Diandra bersalah karena telah menipu Adipati soal kehamilannya. Tetapi dia melakukan itu karena takut kehilangan pria itu. Dia mencintainya karena Adipati orang yang hangat dan sangat royal.
Tidak ada yang tahu soal perjanjian yang mereka buat di depan notaris setelah Diandra ketahuan berbohong. Tidak pun orang tua Adipati. Berbeda dengan Adipati yang makin menjauh, ayah dan ibu mertuanya yang sebelumnya menentang hubungan mereka sudah sangat menyayanginya.
Mereka selalu bertanya kapan bisa menimang cucu. Ya, cucu. Kehadiran penerus Sanjaya merupakan cita-cita orang tua Adipati. Kerajaan bisnis yang beraset ribuan triliun itu membutuhkan penerus. Diandra dibebani tanggung jawab yang lumayan berat, yaitu memberikan penerus. Bukan satu anak lelaki, tetapi banyak anak lelaki.
“Kamu masih muda, bisa menjadi ibu dari banyak anak. Mereka akan meneruskan semua usaha yang kita rintis,” kata ibu Adipati selalu.
Diandra meneguk jus jeruknya.
Bagaimana mungkin dia memberikan anak, sementara dokter sudah memasangkan alat kontrasepsi dan memeriksanya secara rutin memastikan semuanya aman?
Yang pasti dia tidak berani mengadu pada mertuanya. Adipati bisa menceraikannya. Sementara dia sangat menikmati menjadi Nyonya Adipati Sanjaya berikut kekayaannya.
Diandra bangkit dari meja makan dan masuk ke kamarnya. Dia duduk di depan kaca rias, memperhatikan wajahnya yang muda dan cantik.
Saat dia mengaku hamil pada Adipati, lelaki itu tidak keberatan menikahinya. Namun dia berterus terang kalau tidak mencintai Diandra.
“Aku akan bertanggung jawab, tetapi jujur saja aku tidak mencintaimu. Kalau kau tidak keberatan dengan hal ini, mari kita menikah. Buatku anak di kandunganmu itu yang paling penting,” katanya.
Saat itu Diandra memang akan melakukan semua cara untuk mengikat Adipati terlebih dahulu. Sepupunya yang menjadi dokter kandungan bersedia menolongnya membuat hasil pemeriksaan palsu, begitu juga surat keterangan keguguran.
Sialnya semua diketahui Adipati.
Diandra mengakui Adipati sangat pintar menyembunyikan kemarahannya. Dia justru memaksa Diandra menandatangani perjanjian baru.
Begitulah, dia setuju dengan persyaratan Adipati meskipun harus pasrah menghadapi Adipati yang dingin dan jadi bulan-bulanan nafsu lelaki itu belaka.
Setidaknya dia tetap hidup enak dan serba glamour.
Saat itu cukup.
Sampai nama perempuan lain terucap dari mulut Adipati semalam.
Diandra langsung sadar bahwa waktu berpisah dengan Adipati dan semua fasilitas mewah yang dinikmatinya sudah di ambang pintu.
Nama perempuan yang menjadi saingannya adalah Adisti.
Diandra meyakini Adipati belum meniduri perempuan itu karena justru menggunakan dirinya sebagai pelampiasan.
Mendadak Diandra penasaran, perempuan model apa yang bisa menghindari ajakan Adipati ke ranjang? Karena biasanya semua dengan senang hati melakukannya.
Semuanya.
Termasuk dirinya.
--00—
Adisti giliran jaga pagi hari itu.
Pukul 8 pagi dia sudah di depan komputer mengedit beberapa tulisan special report yang harus tayang sore nanti.
Suara notifikasi pesan terdengar.
Please God. Not him again.
Ternyata memang Adipati.
Adis, aku di parkiran gedungmu. Kau mau keluar sebentar? Ada perlu
Adisti merasa emosinya naik ke ubun-ubun. Padahal baru kemarin dia sudah menyuruh Adipati menjauhinya, tetapi hari ini dia sudah menganggunya lagi.
Aku sepertinya harus menemuinya. Daripada dia memaksa masuk. Bisa kacau semuanya. Untung kantor masih sepi.
Oke
Adisti turun ke lobby dan langsung ke plataran parkir. Dia melihat sebuah jaguar terparkir di sana. Tanpa ragu menghampirinya.
Siapa lagi yang pagi-pagi bermobil mewah begini kalau bukan teroris ini.
Seorang supir yang berseragam membuka pintu mobil.
Adisti melihat Adipati sudah di dalam mobil menunggunya. Dia tersenyum lebar. Adisti harus menghela nafas meredakan kemarahannya.
“Selamat pagi Adis,” kata Adipati.
“Sepertinya baru kemarin aku bilang kau jangan mengangguku lagi,” kata Adisti tanpa mempedulikan sapaan Adipati.
Adipati mengulum senyumnya.
“Kau bahkan makin cantik dengan marah-marah begitu,” katanya.
“Cut the crap Yudistira Adipati Sanjaya. Aku sedang mengedit nih, tidak punya waktu main-main,” ujar Adisti.
Adipati tertawa terbahak-bahak.
Kalau saja mungkin sudah diciumnya perempuan di depannya. Hanya dia yang berani mengucapkan kalimat itu. Biasanya semua hormat dan takut salah di depannya.
“Asal kau tahu saja, aku menemuimu karena khawatir kau akan nekad memaksaku bertemu di dalam gedung, dan aku harus pensiun jadi jurnalis karenanya,” Adisti kelihatan dongkol.
“Kenapa harus pensiun? Aku bahkan bisa membeli media ini dan menjadikanmu editor in chief,” goda Adipati.
“Tidak usah pamer, aku tahu kau bisa membeli apa pun. Jelas saja aku tidak mau terlibat denganmu. Banyak perusahaanmu berkasus dengan perusakan lingkungan atau penggusuran. Aku jadi tidak independen berurusan terus denganmu,” omel Adisti.
Sepertinya Adipati tidak tersinggung dengan kalimat pedas Adisti. Dia justru menatap Adisti lekat-lekat. Tatapan lembut yang langsung membuat Adisti tidak nyaman.
Sialan kok aku jadi salah tingkah seperti ini.
“Dengar Adis, aku ke sini bukan untuk bertengkar denganmu, meskipun aku akui kangen juga melihatmu marah-marah,” kata Adipati tenang.
Adisti menelan ludahnya.
“Aku ke sini cuma ingin melihatmu. Aku akan pergi sebentar, jadi mungkin tidak bisa mengunjungimu secara intensif. Tapi aku janji akan sering mengirim pesan, dan tentu saja makanan kalau kau tidak keberatan,” kata Adipati.
Adisti mengerutkan keningnya. Mencoba mencerna kalimat panjang Adipati yang sepertinya banyak kejanggalan.
Sebentar? Dia ngomong apa sih. Aku tidak peduli kalau pun dia mau kemana pun. Aku bahkan lega kalau dia berhenti mengirim pesan. Kok kalimat itu seperti aku dan dia ada hubungan istimewa?
“Jadi aku harap..”
“Sebentar,” potong Adisti. “Kau itu ngomong apa sih,”
Adipati menahan tawanya melihat wajah bingung Adisti. Wajah perempuan yang biasanya keras dan judes itu jadi kelihatan sangat lugu dan Adipati suka melihatnya.
Tanpa sadar, Adipati menarik Adisti ke pelukannya.
Memeluknya erat.
"Kau tidak tahu kalau aku sangat sayang padamu," bisik Adipati di telinga perempuan itu.
Pelukan itu cuma sebentar karena Adisti yang tersadar langsung mendorong Adipati.
Adisti merasa dadanya berdegup super kencang dan mukanya panas.
“Lebih baik kau pergi,” katanya pelan setelah menguasai diri dan langsung keluar dari mobil Adipati.
Tanpa menoleh dia berjalan ke dalam gedung.
@@@@
BAB 11 – SANG KONGLOMERAT DAN PESAN RECEHNYA
Adisti mencatat beberapa rekomendasi dari rapat pagi. Yang hadir cuma Pak Bos, tiga editor dan dirinya. Rapat berlangsung 1 jam, setelah itu bubar.
Adisti membawa kopinya ke balkon belakang gedung. Dia menyalakan rokoknya, menghembuskan asap nikmat.
Sudah seminggu ini dia merokok. Kebiasaan yang sempat dia tinggalkan setelah menikah dan punya anak. Tetapi tekanan kerja dan kejadian beberapa waktu belakangan membuatnya harus kembali mengepulkan asap. Dia tidak punya pelarian lain.
Suasana balkon sepi. Adisti bisa duduk di kursi memandang gedung di sekeliling dari balkon dengan mata menerawang.
Sepertinya aku sangat lelah. Aku harus mengambil cuti dan ziarah ke makam Dicky dan anak-anak. Setelah itu mungkin istirahat di pegunungan. Aku bisa tidur sepuasku, membaca buku yang masih belum dibuka dan udara segar bisa membuatku lebih baik.
Notifikasi pesan di handphonenya terdengar.
Adisti menoleh malas-malasan.
Kemudian dia kembali dengan lamunannnya.
Tetapi kalau aku cuti, bagaimana Hendro? Istrinya baru melahirkan. Kasihan dia harus bekerja sendiri setelah bergadang mengurus bayi. Sepertinya aku harus membatalkan rencana cutiku dulu. Setidaknya setelah bayi Hendro berusia 6 bulan.
Notifikasi pesan kembali terdengar, kali ini berkali-kali.
Adisti masih menghisap rokok putihnya. Dia bersandar di kursi. Memejamkan matanya.
Adegan dipeluk Adipati terbayang lagi. Adisti masih tidak percaya kalau Adipati bisa nekad melakukannya. Benar-benar gila lelaki beristri itu.
Adisti benci mengakui dia sempat merasa nyaman diperlakukan begitu. Pelukan itu hangat dan tulus.
Jangan-jangan lelaki itu memang tulus menyukainya.Tetapi apa tidak salah? Dia kan punya istri. Dan aku belum punya minat untuk berurusan dengan lelaki lain setelah musibah itu. Apalagi lelaki beristri dari trah Sanjaya, pasti akan ribet.
“Adis, sepertinya pengemar elu nyariin tuh, dari tadi HP elu bunyi terus,” Hendro sudah duduk disampingnya mencomot sebatang rokok Adisti dan mulai ikut mengepulkan asap.
Adisti melirik layar Hp-nya.
Telepon dari Teroris
Aduh kenapa lagi dia. Kan tadi sudah bertemu.
“Diangkat kenapa sih,” Hendro mengedipkan matanya.
“Aku lagi santai, malas berurusan dengan dia,” kata Adisti judes.
Hendro tertawa terbahak-bahak.
“Sanjaya itu gigih sekali ya. Gue salut sama dia,” katanya.
"Elu ngga salut sama gue? Yang, tabah dikejar-kejar dia,” balas Adisti mematikan rokoknya di asbak.
Dia meraih handphone dari meja dan melenggang pergi.
Hendro makin keras tawanya.
Di ruangannya, Adisti membuka handphonenya.
Ada 30 pesan, dan semuanya dari Adipati
Betul-betul sudah gila dia.
Adis, kau marah ya
Adis, angkat teleponnya dong
Plis Adis
Adis, aku benar sayang padamu. Jangan marah dong
Adis bales dong
Adis, angkat telepon plis plis
Plis Adis, jangan bikin aku ngga konsentrasi nih
Adisti mengerutkan kening membaca semua pesan Adipati.
Namun pesan yang terakhir membuat dia mengantupkan mulutnya.
Aku siap boarding nih. Kalau dalam lima menit kau tidak balas, aku akan kembali ke tempatmu.
Buru-buru Adisti membalas.
Aku tidak marah. Kau pergilah. Hati-hati di Jalan.
Dasar lelaki gila, Adisti meruntuk dalam hati. Dia tahu kelemahanku kalau tidak suka dia ke sini dan mempergunakannya dengan baik.
Sekitar 20 kilometer dari tempat itu Adipati tersenyum.
Dia masih duduk di lounge, menunggu pesawat pribadinya siap untuk terbang. Sekarang dia menekan nomer telepon Adisti.
Adisti mengangkat telepon dengan kegusaran yang dia tahan.
“Kenapa lagi, kan aku bilang tidak marah dan silakan berangkat,” omel Adisti, bahkan tanpa basa basi.
Adipati terdengar tertawa.
“Aku cuma mau dengar suaramu Dis. Diomeli juga tidak apa-apa. Baru sebentar aku sudah kangen padamu,” kata lelaki itu.
“Kalau aku tidak salah, umurmu sudah 45, kalimatmu itu lebih cocok untuk remaja ingusan,” kata Adisti ketus.
“Aku memang masuk 45 tahun ini, tetapi aku belum pernah jatuh cinta. Jadi aku pikir, kalimat tadi masih berlaku untukku,” kata Adipati. “Kau melakukan riset tentangku, aku tersanjung, dan merasa punya harapan sekarang,”
“Maksudmu? Harapan apa?”
“Harapan karena kau ternyata perhatian."
Adisti tersenyum pahit.
“Kita sudahi pembicaraan ngawur ini ya. Aku banyak kerjaan. Selamat jalan,” ujar Adisti.
“Sebentar Dis, “
“Apa lagi,”
“Aku cuma mau bilang aku sangat senang bisa memelukmu hari ini,” kata Adipati. “Aku serius”,
“Kau sudah gila, “ ujar Adisti. “Dan aku serius,”
Dia menutup teleponnya.
Wajahnya merah padam
--00—
Adipati memang tidak datang setelah pertemuan di dalam mobil yang berakhir dengan adegan peluk paksa itu.
Adisti harusnya merasa tenang, tetapi ternyata dia justru kehilangan.
Mungkin aku terbiasa diganggu, pikir Adisti tersenyum kecut.
Meskipun demikian, Adipati tetap rajin mengirim pesan, juga kadang-kadang makanan ke kantor Adisti.
Adisti benci mengakui kalau dia mulai terhibur dengan datangnya pesan-pesan tersebut.
Adipati sepertinya hadir dalam konferensi dan melakukan beragam kerja sama bisnis. Sehari dia bisa mengirim pesan hingga 10 kali, hanya untuk hal-hal receh yang tidak penting.
Seperti hari ini, Adipati mengirim pesan saat Adisti sedang menunggu hasil layout dari produksi untuk pengecekan halaman koran terakhir sebelum naik cetak.
Dis, tadi ketika aku tanda tangan kontrak pembelian, kertasnya kotor berceceran tinta.
Menteri Dalam Negeri di depanku memakai dasi yang warnanya salah
Kau tahu, salah satu direktur perusahaan negara kita datang dengan membawa simpanannya ke acara resmi.
Dis, balas dong
Adisti tidak bisa menahan senyum.
Membawa simpanan apa maksudmu? Membawa tabungannya?
Kurang dari semenit, balasan Adipati muncul.
Alah kau pasti pura-pura lugu. Dia bawa kekasih gelapnya ke acara resmi. Di sini semua sedang bergunjing, dan aku tidak punya teman bergunjing. Coba kau ikut
Adisti membalas pesan, masih menahan senyum.
Kalau aku ikut, mereka akan berpikir aku kekasih gelapmu juga. Kau nanti bs malu.Apa bedanya kau dengan direktur itu.
Kau bukan simpananku, kau calon istriku.
Sampai situ Adisti tidak tahu membalas apa. Diletakkannya handphonenya di meja. Tangannya berkeringat.
Suara notifikasi pesan terdengar lagi.
Adis kau marah? Jangan marah dong.
Adisti tahu sekali Adipati akan nekad terus menghujaninya dengan puluhan pesan kalau dia dia menanggapi.
Aku ngga marah. Aku sedang mengedit. Udah dulu ya, ini pengecekan terakhir, kalau salah, aku bisa dibunuh pak bos
Balasan Adipati datang setengah menit kemudian.
Aku benci kalau kau lebih memprioritaskan Pak Bosmu
Adisti segera mengetik balasan.
Lebih baik kita setop omong kosong ini. Udah ya aku mau konsentrasi mengedit.
Ada beberapa notifikasi pesan yang masuk. Namun kali ini Adisti tidak peduli. Dia mematikan suara notifikasi dan mulai mengecek lembaran kertas di depannya.
Dia mencoba konsentrasi penuh.
@@@
BAB 12 –- I'LL MAKE YOU MINE
Hari itu Adisti diserang flu berat. Meskipun demikian dia tetap bekerja dengan ditutup masker dan terus-terusan bersin.
“Mendingan lu libur dan istirahat deh, gue bisa handle semua,” Hendro mengomel.
“Elu gimana sih, gue sengaja ngga libur biar bantu elu, eh malah disuruh pulang,” Adisti ganti mengomel dengan suaranya yang serak.
“Masalahnya elu bisa nularin virus dan bikin kita semua sakit. Nanti siapa yang kerja coba,” timpal Hendro.
“Yailah, gue kan di ruangan gue, elu aja yang manggil-manggil melulu,” balas Adisti.
Dia bergerak menuju ke ruangannya.
“Pulang Dis, pulang. Gue tau elu cinta berat ma gue, tapi ngga gitu juga kaliii,” kata Hendro keras-keras yang membuat penghuni editorial lainnya menoleh dan tertawa.
Adisti mengacungkan kepalan tangannya.
“You wish,” balasnya.
Menjelang tengah hari, rupanya serangan flu itu sudah sangat parah. Adisti memutuskan pulang dengan ojek online, langsung ke kos-annya. Dia merasa badannya mulai panas dan tulangnya sakit semua.
Dia tidur gelisah setelah menengak obat flu dan segelas air.
Mama sakit ya? Widya pijitin ya
Maya ambilin air ya Ma?
Dis, perlu ke dokter? Kamu kerja terlalu keras sih
Adisti yang masih berjuang melawan demam seolah melihat Maya, Widya dan Dicky mengelilinginya.
Dicky masih dengan seragam kerjanya. Dia kelihatan tampan dengan tatapan mata yang membuat Adisti menyerah dan bersedia menikah dengannya. Wajah kedua anak perempuannya perpaduan Adisti dan Dicky. Hanya Widya yang benar-benar ceplakan Adisti. Anak bungsu kesayangannya.
Kalian di sini saja, jangan kemana-mana. Nanti mama juga sembuh. Adisti berbisik.
Kita ngga kemana-mana kok Ma, iya kan Yah.
Iya, yang selalu ninggalin kita kan justru Mama. Pergi terus liputan. Lama lagi. Iya kan Yah?
Itu kan kerjaan Mama. Kalian harus dukung dong.
Widya mau jadi wartawan kayak Mama.
Boleh, anak Ayah bisa jadi apa saja.
Cepat sembuh Dis, kita bertiga di sini, jangan khawatir. Kita semua sayang kamu.
…
Suara-suara itu lama-lama pelan dan menghilang.
Adisti membuka matanya yang berat.
Dia sendiri.
Tidak ada siapa-siapa di kamar itu.
Ruangan ukuran 3X3 meter itu gelap karena memang sudah malam dan Adisti tidak menyalakan lampu kamarnya.
Adisti merasa air matanya mengalir deras di wajahnya yang panas. Dia menangis sesengukan. Sepertinya tadi begitu nyata dia melihat Dicky, Maya dan Widya di sisinya.
Tangisnya berhenti setelah dia mencoba menenangkan diri. Dengan tenaga yang ada dia mengambil gelas di meja, menengak obat dan kembali membaringkan diri.
Dia harus sembuh. Harus sembuh. Harus sembuh. Dia akan tidur lagi dan sehat setelah bangun.
Adisti mencoba menyemangati dirinya. Memberi sugesti seperti yang selama ini dilakukannya bila teringat pada keluarganya.
Dia memejamkan matanya.
Jelang dini hari Adisti kembali terbangun.
Tubuhnya lebih baik. Tulangnya tidak sakit lagi, hanya sedikit lemah.
Aku akan minta ibu kos membuatkan sop ayam. The real chicken soup. Setelah itu aku akan kembali sehat dan sekuat beruang kutub.
Adisti duduk di ranjangnya, setelah cukup siap, dia bangkit menganti pakaiannya yang sebelumnya basah dengan keringat. Dia mengambil sisir dan merapikan rambutnya yang berantakan. Wajahnya di kaca sama berantakannya.
Aku akan izin off dulu hari ini.
Dia meraih handphonenya. Seperti biasa handphonenya dibanjiri banyak pesan dan miscalls.
Menafikan semua, Adisti mencari nomer telepon Pak Bos dan mengirim pesan bahwa dia minta izin off dua hari.
--00--
Adipati meminta supir memarkir mobil, sementara dia langsung ke resepsionis di lobby kantor media itu.
“Saya ingin ketemu dengan Pak Hendro,” katanya.
Resepsionis perempuan itu mempersilakan Adipati menunggu.
Sepuluh menit kemudian, Hendro sudah di depan Adipati. Lelaki itu terpaksa meninggalkan pekerjaannya karena resepsionis memberitahu bahwa Adipati Sanjaya ingin bertemu dia.
“Apa kabar pak?” Hendro menyambut ramah.
“Maafkan saya menganggu, saya cuma ingin bicara sebentar. Ada tempat yang lebih privacy?” tanya Adipati.
Hendro mengangguk.
“Mari ikut saya,” katanya.
Keduanya akhirnya masuk ke ruang kosong dekat lobby yang selama ini menjadi tempat menerima klien iklan atau urusan manajemen lain.
Office Boy menghidangkan dua cangkir teh.
“Bagaimana pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Hendro setelah mempersilakan tamunya minum.
Lelaki di depannya seperti gelisah dan kebingungan.
Hendro berharap bukan Adisti yang membuatnya seperti itu. Kalau ternyata betul, fix sudah, lelaki itu jatuh cinta setengah mati pada partner kerjanya yang super judes itu.
“Mbak Adisti masuk kerja?” tanya Adipati, wajahnya sempat aneh saat bertanya begitu.
Hendro mencoba menelan senyumnya. Sebagai lelaki dewasa dia tahu bahwa butuh keberanian besar untuk bertanya tentang seorang wanita lain, sementara dia sudah menikah.
Salut gue, laki-laki ini emang bener suka ma si Adis. Alamak Dis, elu bener-bener in trouble. Hendro membatin.
“Adis sudah dua hari tidak masuk, dia minta izin off sebentar,” kata Hendro tenang.
Hendro sengaja tidak menyebut Adisti sakit. Berdasarkan cerita Adisti, Adipati sangat persisten, dan untuk sementara Hendro ingin Adisti beristirahat tanpa diganggu.
“Pak Hendro punya alamatnya? saya ingin main ke rumahnya,” ujar Adipati.
Nah kan benar dugaannya.
Hendro menggeleng. Dia memang tidak tahu Adisti tinggal dimana setelah musibah kebakaran itu. Yang dia tahu Adisti menyewa kamar kos tak jauh dari kantornya.
“Atau mungkin saya mengajukan surat resmi minta alamat Mbak Adisti pada manajemen?” tanya Adipati yang kelihatan mulai panik.
Sudah dua hari dia mencoba menghubungi Adisti, namun tidak berhasil. Ratusan pesan lewat WhatApp juga tidak terbaca apalagi terbalas, hingga akhirnya dia nekad mendatangi kantor Adisti mencari Hendro, yang pernah dikenalkan -- secara terpaksa -- oleh Adisti sebelumnya.
“Dulu saya tahu rumah Adis. Tetapi setelah kebakaran, dia menyewa sebuah kamar di lokasi dekat-dekat sini, tetapi saya tidak tahu di mana itu,” jelas Adipati.
“Kebakaran?” Wajah Adipati kelihatan penasaran.
“Loh, Adisti tidak pernah cerita?” Hendro kelihatan heran.
Adipati tersenyum kecut.
“Setiap ketemu saya, dia maunya marah terus, Pak Hendro. Bagaimana cerita soal ini,” katanya jujur.
Sampai disitu tawa Hendro pecah. Dia geli bukan kepalang.
Adipati ikut tertawa.
“Panggil saya Adipati saja, saya akan memanggil Anda Hendro. Toh umur kita juga tidak beda jauh,” kata Adipati.
Suasana formal itu cair.
“Adisti memang begitu, tetapi saya kenal dia sejak 17 tahun yang lalu. Sejak masih jadi wartawan lapangan. Tetapi dia sangat baik. Terlalu baik malah,” kata Hendro.
“Jadi rumahnya kebakaran? Bagaimana ceritanya,” tanya Adipati.
“Saya tidak tahu detil, tetapi kebakaran itu besar sekali Mas. Semua rata dengan tanah. Bukan hanya rumah, tetapi suami dan dua anaknya juga tewas,” Hendro mencoba membuat suaranya biasa.
Adipati terkejut.
“Serius?” tanyanya.
Hendro tersenyum pahit.
“Saat itu Adisti baru pulang kantor, dia sempat masuk ke rumah, namun berhasil keluar. Beberapa bagian tubuhnya sempat terluka bakar juga. Tetapi suami dan dua anaknya tidak selamat. Mereka hangus di dalam,” kata Hendro getir.
Adipati menelan ludahnya yang terasa pahit.
Kok dia bisa tidak tahu informasi sepenting ini? Pantas dia begitu muram dan keras. Masa lalunya ternyata sangat menyakitkan. Aku pikir dia bercerai dari suaminya. Ternyata dia terpisah dari suami dan anaknya karena musibah itu. Ya Tuhan…
“Kapan kejadiannya?” tanya Adipati setelah meneguk tehnya lagi.
Hendro mencoba mengingat-ingat.
“Hampir masuk dua tahun. Setelah itu dia menjual tanahnya, dan kos sampai sekarang,” jawab Hendro.
“Sebelumnya dia tinggal dimana?”
Hendro menyebut sebuah kawasan.
“Adisti meyakini kebakaran itu disengaja, karena ada informasi mau dibangun mall besar. Tetapi yah, dia sudah iklas,” balas Hendro.
Adipati tercenung. Wajah Adisti yang marah-marah membayangi pelupuk matanya.
Setelah mendengar cerita Hendro, kini Adipati merasa rasa sayangnya pada perempuan itu malah lebih dalam. Hal yang belum pernah dia rasakan pada perempuan karena beranggapan semua perempuan hanya mengincar hartanya.
Dia ingin melindungi dan menyayangi sebisanya. Memberikan apa pun untuk membuat Adisti senang dan tersenyum.
Bahkan kalau perlu seluruh kerajaan bisnis Sanjaya akan dipertaruhkan untuk itu.
I’ll make you mine, woman. I swear to protect you from harm. I swear.
@@@@
BAB 13 — TERIMA KASIH SAYANG
Adisti melangkah menuju kantornya setelah turun dari ojek online.
Ini hari pertama dia mulai bekerja setelah hampir seminggu jatuh sakit.
Ternyata dia lebih sakit dari yang dipikirkannya. Bahkan sempat dibawa ke dokter oleh ibu kos yang cemas karena dia sempat panas tinggi. Untungnya dia tidak diopname karena Adisti berjanji pada dokter untuk minum air banyak dan makan teratur.
‘Hei, sudah masuk dia,” seru Hendro dari ruangannya melihat Adisti melintas.
“Sorry jadi lebih lama, tapi gue udah ok sekarang,” kata Adisti sambil membuka jaket. “Ada info penting selama gue sakit?’
Hendro bangkit dari kursi dan menyusul Adisti ke ruangannya.
“Handphone mati ya?” tanya Hendro dengan suara menyelidik.
“Ini baru mau dicas, gue ngga megang handphone sama sekali seminggu ini,” kata Adisti.
Hendro geleng-geleng kepala.
“Yang pertama elu lakukan adalah membalas pesan dari Sanjaya. Seminggu ini dia gantian neror gue. Bikin stress,” kata Hendro.
“Kenapa lagi dia?”
Sejujurnya Adisti tidak berharap menghadapi Adipati saat ini.
“Dia menyusul kesini, meneror dengan telepon dan pesan. Mencari elu. Busyet deh. Elu main dukun ya? Kok dia sampai begitunya,” tanya Hendro.
Adisti mendelik dibilang main dukun.
“Sekali-kali biar deh elu ngerasa. Jangan ngetawain gue melulu. Bener kan? Dia persisten banget,” balas Adisti, menyalakan computer di mejanya.
“Parah ini Dis. Parah,” kata Hendro.
“Elu ngga bilang gue sakit kan?”
Hendro menggeleng.
“Gue cuma bilang elu off,” katanya.
“Kenapa elu ngga bilang gue cuti mau nikah? Biar dia ngga ngejar gue lagi selamanya?” sesal Adisti .
Hendro menepuk jidatnya. “Iya juga ya. Harusnya gue bilang gitu.”
“Ah elu payah,” balas Adisti.
Hendro melihat wajah Adisti yang kelihatannya masih pucat. Dia nyaris ingin memberitahu bahwa Adipati sudah seperti orang gila ketika kemarin bertemu dengannya.
Hendro sendiri akhirnya menyerah dan menelpon Adisti untuk meminta alamat kosnya. Dia tidakn tahan menghadapi Sanjaya terus menerus. Apalagi Sanjaya mulai berpikir dirinya bersekongkol menyembunyikan Adisti.
Sayangnya telepon Adisti mati, sehingga baik Adipati dan Hendro sama-sama kehilangan jejak.
“Adis, gue boleh bicara serius ma elu?” tanya Hendro.
Adisti mengangkat wajahnya. Sorot matanya keheranan memandang Hendro.
“Pasti soal Adipati,” tebaknya jitu.
Hendro mengangguk.
“Dari pertemuan intensif gue ma dia selama elu sakit dan menghilang, gue berkesimpulan dia emang punya hati sama elu,” katanya.
“Yailah, Ndro, dia itu udah punya istri,” kata Adisti tersenyum kecut.
“Adis, dia jatuh cinta ma elu. Gue tau itu. Dia akan berusaha apa pun untuk mendapatkan elu. Sekarang elu jujur deh ma gue, elu kira-kira gimana sama dia?” desak Hendro.
Adisti tercenung mendengar pertanyaan Hendro.
Perasaan dia?
Sebelum sakit dia sempat menikmati kiriman pesan meskipun bersifat receh dan tidak penting dari Adipati.
Tetapi saat sakit dan merasakan keluarganya seperti muncul kembali, hatinya kembali perih dan berdarah. Dia belum siap bila harus menerima laki-laki lain.
“Adis, gue kenal Dicky, gue yakin dia pasti marah kalau tahu elu menyiksa diri terus-terusan. Elu berhak meneruskan hidup,” suara Hendro terdengar.
Adisti masih diam.
“Bukan berarti gue memaksa elu menerima Sanjaya ya. Ini bisa lelaki lain yang sayang ma elu. Yang penting elu move on,” kata Hendro.
Adisti mengangguk.
“Gue ngerti. Makasih ya, elu udah baik banget ma gue,” Adisti menyalakan handphonenya.
Hendro mengangguk.
Tidak ada yang bisa disimpulkan oleh Hendro dari kalimat Adisti tadi. Namun dia mencoba memberi ruang pada Adisti.
“Gue balik ke ruangan ya. Welcome back. Jangan lupa bales itu Sanjaya. Bilang jangan neror gue lagi,” katanya sebelum menghilang di depan Adisti.
Begitu handphonenya aktif, Adisti mendapatkan ribuan pesan dari banyak grup dan kontaknya. Paling banyak tentu dari Adipati.
Pesan itu jumlahnya ratusan.
Adisti bisa membaca perasaan Adipati dari rundown ratusan pesan itu. Bermula dari candaan, kerinduan, kekesalan, kemarahan, kecemasan, kebingungan, dan akhirnya keputusasaan yang luar biasa.
Semua bercampur aduk. Kesimpulannya Adipati kalut.
Tiba-tiba handphonenya berbunyi.
Rupanya Adipati tahu bahwa semua pesannya terbaca dan langsung menelponnya. Adisti tidak punya pilihan kecuali mengangkat teleponnya.
“Ya,” kata Adisti pendek.
“Thanks God, aku pikir polisi atau siapa yang memegang handphonemu. Kau kemana saja?” Adisti bisa merasakan suara itu begitu khawatir.
Entah kenapa dia tiba-tiba kangen mendengar suara itu.
“Aku liburan sebentar,” katanya berbohong.
“Kau dimana,” tanya Adipati.
“Aku…” Adisti mendadak bingung karena tidak mau Adipati menyusulnya. Sayangnya dia tidak terbiasa berbohong .
“Aku di kantor, mau mengedit banyak pekerjaan,”
“Aku akan kesana sekarang. Kecuali kau mau menungguku cafe dekat kantormu,” kata Adipati.
“Tetapi…”
“Terserah kau, atau kau mau aku datang ke kantor?”
“Ya sudah, kita ketemu di tempat kemarin, tetapi tidak bisa lama ya,”
“Ok,”
Satu jam kemudian, Adipati memberitahukan dia sudah di tempat mereka janjian.
Ok. Aku OTW
Dengan menumpang ojek, Adisti sampai di café itu.
Adipati melihat kedatangan Adisti dari jauh, dan entah kenapa dadanya berdebar tidak menentu. Sudah seminggu dia kehilangan kontak dengan perempuan itu, dan dia seperti mau gila. Melihat Adisti yang berjalan santai dari kejauhan membuat Adipati merasa senang luar biasa.
Itu perasaan yang belum pernah dia rasakan selama ini terhadap perempuan.
Adipati melambaikan tangan, begitu Adisti membuka pintu café.
Adisti mendekat ke meja Adipati yang terletak di pojokan dekat jendela. Tempat mereka bertemu kemarin. Cafe itu setengah penuh, didominasi tamu yang juga berpasang-pasangan.
“Aku mulai berpikir café ini jadi tempat untuk orang selingkuh,” keluh Adisti meletakkan handphonenya di atas meja.
Dia memang tidak membawa apa-apa karena meyakini pertemuannya dengan Adipati cuma sebentar.
Adipati tersenyum. Memandang ke sekeliling. Dia mengakui kebenaran observasi Adisti.
“Kalau teorimu benar, kita pasangan tertua di sini,” balas Adipati.
“Betul, tertua dan paling tidak tahu diri karena harusnya setia dengan pasangan. Dan posisiku di sini sebagai pelakor,” balas Adisti kejam.
“Duduklah Dis, kau mau minum apa, kopi?” tanya Adipati sambil tertawa,tidak acuhkan pernyataannya.
“Air mineral,” balas Adisti.
Dokter sudah melarangnya minum kopi dan merokok. Adisti mencoba menuruti meskipun dia sempat sakaw karena kopi.
“Kopi ya?”
“Air mineral saja,”
Adipati bangkit dan memesan.
Adisti melihat Adipati yang berdiri di depan kasir. Lelaki itu seperti biasa memakai kemeja warna hijau pastel dengan dasi yang cocok. Lengan kemejanya digulung sesiku dan dia kelihatan sangat santai.
Lebih dari seminggu tidak bertemu, Adipati sepertinya lebih menarik. Entah apa kelebihannya, Adisti tidak mengerti.
“Air mineral untukmu Ma’am,” kata Adipati meletakkan botol di depan Adisti. Dia sendiri duduk di depan perempuan itu.
Adipati meneguk kopinya sambil menatap Adisti yang membuka botol air mineralnya. Perempuan ini lebih kurus, Jangan-jangan kemarin dia sakit?
“Adis, kemarin kau sakit ya,” tembak Adisti.
Adisti yang sedang meneguk air mineralnya tersendak.
Adipati menyodorkan serbet.
“Betul kan? Kau sakit?” desak Adipati.
Adisti membersihkan tumpahan air di kemeja planel dan jeansnya.
Setelah itu dia kembali meneruskan minumnya.
“Kau sudah ke dokter?”
“Sudah, aku tidak apa-apa cuma capek saja,” kata Adisti.
Dia sendiri heran, bagaimana keduanya bisa bicara seperti sudah sama-sama tahu. Seolah-olah sudah sama-sama memahami.
“Aku bisa mengirim dokter pribadiku kalau kau mau,” tawar Adipati.
“Aku percaya, tetapi aku sudah tidak apa-apa,” balas Adisti. “Nah, kau mengundangku kemari untuk apa?”
“Aku belum ketemu kau sejak pulang dari Jerman, sudah hampir 15 hari karena kau juga sakit. Jelas aku kangen padamu,” kata Adipati terus terang.
“Nah, kau sudah ketemu aku. Boleh aku kembali ke kantor sekarang?” tanya Adisti bangkit.
Adipati mengengam tangan Adisti.
“Jangan pergi dulu,” katanya.
Terpaksa Adisti duduk kembali.
“Aku meninggalkan rapat penting untuk bertemu denganmu. Setidaknya temani aku ngopi 30 menit,” suara Adipati terdengar lelah.
“Baiklah,” Adisti mengalah.
Adipati kembali meneguk kopinya. Matanya menatap Adisti yang juga memperhatikannya. Mereka berpandangan, dan entah kenapa Adipati merasa dadanya berdebar tidak karuan.
Tatapan mata Adisti seolah menghancurkan tembok yang selama ini melindungi hatinya dari perempuan yang dianggapnya hanya peduli karena dia kaya.
Hatinya kini tanpa pelindung dan sangat rentan disakiti. Tetapi disaat yang sama, ada kekuatan aneh yang membuat dia rela bila harus terluka karena perempuan itu.
Sensasinya luar biasa. Sensasi yang dia tidak bisa ungkapkan.
Bahkan lebih sensasional dari saat dia memenangkan tender minyak di teluk senilai Rp 10 trilyun baru-baru ini.
Adisti mengalihkan pandangannya. Adipati tidak tahu kalau perempuan itu juga merasakan ada “funny feeling” saat memandang pria keras kepala itu.
Dia mengakui tatapan mata lelaki itu penuh rasa sayang. Bahkan lebih pekat dari tatapan mata Dicky.
Mencoba menguasai diri, kiniAdisti bangkit ke counter, dan kembali dengan nampan berisi sepiring biscuit dan sepotong kek cokelat.
“Karena kita akan lebih lama di sini, aku pesankan camilan. Sepertinya kau belum makan ya,” kata Adisti.
"Aku tidak terbiasa makan manis. Kita habiskan berdua ya," kata Adipati
" Tentu," balas Adisti.
Adipati tersenyum.
“Terima kasih sayang,” katanya tanpa sadar.
Keduanya sama-sama kaget.
Adisti mendelik dan memasang muka plain meskipun wajahnya merah.
“Sudahlah, jangan aneh-aneh. Jangan buat situasiku lebih buruk, ok?” katanya.
“Maafkan aku, aku memang menyayangimu. Tetapi kalau kau belum mau terima, tidak apa-apa,” kata Adipati tenang.
Adisti mendorong piring berisi kek cokelat di depan Adipati.
“Makanlah, setelah ini kita kembali bekerja ya,” katanya mengalihkan pembicaraan.
Adipati diam.
Perempuan ini harimau yang terluka. Aku harus cerdas dan sabar, kalau tidak aku bisa patah hati.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
