(GRATIS) FINGER FAMILY --- SINOPSIS DAN 6 BAB

32
6
Deskripsi

Pindah ke Jakarta setelah 23 tahun hidup terpisah dengan sang ayah, NEYNA MAHENDRA mendapatkan banyak kejutan.


Pertama ayah Neyna VICTOR MAHENDRA ternyata sangat kaya.  Padahal selama ini Neyna dan almarhumah ibunya hidup super sederhana.
Kedua, Neyna ternyata memiliki dua saudara tiri dari dua istri ayah sebelumnya: ETHAN MAHENDRA dan LINTANG MAHENDRA. Mereka bertiga tinggal di rumah yang sama. 


Ketiga, ayahnya tenyata sudah punya calon suami untuk Neyna yang katanya “appropriate man with bright future”. ...

AWAL CERITA

Neyna Mahendra memandang hujan yang turun di luar jendela kamarnya. Dia langsung teringat masa lalu saat menemani ibu menjahit di rumah kontrakan mereka di Yogyakarta.

Dia kangen saat bahagia itu. Kangen bau tanah dan bau papan rumah yang terkena air. Kangen suara anak-anak yang berlarian di bawah hujan. Kangen cipratan air dan udara dingin.

Kalau bisa, dia bisa kembali ke masa itu. Saat hidupnya belum kompleks seperti sekarang.

Perempuan itu menoleh ke sisi tempat tidurnya. Dia melihat kebaya pengantinnya tergantung di sana.

Besok pukul 08.00 pagi, dia akan menikah. Semua sudah dipersiapkan, termasuk tamu penting ayahnya yang berjumlah 50 orang.

Harusnya sebagai pengantin dia berdebar dan tidak sabaran menunggu besok. Terutama kalau dia menikah dengan lelaki pilihannya.

Masalahnya dia harus menikah dengan Ethan.

Ethan Mahendra.

Saudara tirinya sendiri.

Keputusan ayahnya untuk menjodohkan dia dengan saudara tirinya jauh dari mainstream. Tetapi ini sepertinya sudah keterlaluan.

Neyna kembali melihat keluar jendela. Ada Rumput hijau membentang luas dan terlihat segar karena hujan.

Tiba-tiba Neyna ingin dipeluk ibunya.

 

===

 

BAB I — WASIAT IBU

Pesawat yang ditumpangi Neyna sudah mendarat sejam yang lalu.

Belum ada tanda-tanda orang yang akan menjemputnya. Padahal menurut ayahnya yang menelepon sebelum pesawat tinggal landas dari Yogya tadi, akan ada orang yang menjemput dia dan mengantarnya pulang ke “rumah”.

“Pokoknya kamu jangan kemana-mana Ney, tunggu saja ya. Ayah tidak mau nanti kamu hilang,” kata ayah wanti-wanti.

“Ayah, Neyna sudah 25 tahun. Masak bisa hilang,” Neyna protes.

“Jakarta beda dengan Yogya. Banyak orang jahat disini,” kata ayah lagi. “Kamu ngga banyak bawa barang kan?”

“Cuma satu koper sih, kan sisanya sudah dikirim via ekspedisi seperti ayah bilang,”

“Bagus deh, nanti kamu belanja saja di sini. Pokoknya pesan ayah kamu tunggu yang jemput ya. Dag sayang,”

Sambungan diputus.

Kesannya aku itu tidak pernah kemana-mana karena cuma bisa kelayapan di Malioboro, duh! Andai ayah tahu kalau aku tukang ngelayap dan gemar berpetualang, dia pasti tidak akan bilang begitu.

Neyna memperbaiki kemejanya dengan risau. Dia mulai tidak sabaran apalagi kerongkongannya sangat kering.

Harusnya aku minta alamat ayah. Jadi bisa langsung naik taksi.

Dia bangkit dan menarik koper menjauh dari tempat penjemputan. Kini dia berdiri di depan mesin penjual minuman dan snack. Perempuan itu mengeluarkan uang dari saku jeansnya dan membeli air mineral.

Tubuhnya agak segar setelah kerongkongannya diguyur air mineral itu. Kekesalannya karena menunggu lama sedikit sirna.

Akhirnya hari ini dia tiba di Jakarta, setelah berbagai pertimbangan, terutama wasiat ibu dan permintaan ayah. Bisa dibilang ini keputusan yang sangat ekstrim karena Neyna menghabiskan puluhan tahun tinggal di Yogya.

Tidak pernah ada keinginan untuk meninggalkan kota yang ramah itu. Dia dan Yogya itu seperti sayur dan garam. Saling mengisi. Bahkan setelah lulus dari Universitas Gajah Mada (UGM) setahun yang lalu, Neyna memutuskan bekerja di Yogya sebagai design interior.

Namun saat ibu meninggal dan berpesan agar Neyna tinggal dengan ayah, kehidupan Neyna pun jungkir balik. Sudah hampir 23 tahun Neyna tidak bertemu dengan ayah. Dan sekarang dia harus ke sana?

Ah Ibu… Hanya karena aku anak perempuan dan belum menikah, aku tidak boleh tinggal sendirian. Kalau tidak berpikir itu wasiat ibu dan desakan ayah, mungkin aku tetap di Yogya saat ini.

Akhirnya keputusan itu dibuat.

And here she is. Terdampar di Terminal 3 kedatangan Soekarno Hatta Airport menunggu jemputan yang tak kunjung datang.

“Mbak Neyna Mahendra?” sebuah suara mengejutkan Neyna yang sedang melamun.

 Perempuan itu mengangkat wajahnya.

Di depan dia berdiri seorang laki-laki dengan T-Shirt hitam dan celana jeans hitam. Wajahnya ramah. Dia keringatan dan ngos-ngosan sepertinya berlari-lari entah dari mana.

"Ya?”

“Saya Mukti, supir Mas Ethan. Anda sudah ditunggu,” kata lelaki yang mengaku bernama Mukti.

Neyna mengerutkan keningnya.

“Sebentar, siapa itu Ethan? Saya tidak kenal,” Neyna menatap Mukti dengan penuh kewaspadaan. ‘Mungkin kamu salah orang,”

“Mbak ini Neyna Mahendra kan?” Mukti kembali bertanya. Kini dia terlihat bimbang.

Neyna dengan tak acuh malah kembali duduk.

Mukti makin gelisah. Neyna mendengar teleponnya berbunyi dan Mukti menjauh, bicara berbisik-bisik. Dari gerakannya yang gugup, Neyna tahu orang yang menelepon Mukti marah-marah.

Neyna mengikat rambutnya yang sebahu dengan karet. Udara yang panas membuat dia berkeringat juga.

“Yuk pulang,” Neyna melihat ada orang yang kembali berdiri di depannya. 

Bisa jadi Mukti lagi. Tapi kok suaranya beda. Ini lebih berat, lebih dalam dan ada kesan tidak mau dibantah.

Mau tidak mau Neyna kembali mengangkat wajahnya. Memang itu bukan Mukti, tetapi lelaki dengan kemeja lengan panjang yang digulung dengan celana kerja. Lelaki itu memandang Neyna tidak sabaran.

Neyna mengerutkan kening.

“Kamu siapa?” tanya perempuan itu galak.

“Aku Ethan. Ethan Mahendra,” kata lelaki itu. “Aku ditugasi ayah menjemput kamu. Jadi kalau bisa kita pergi sekarang karena aku terpaksa meninggalkan rapat penting hanya untuk menjemput kamu,”

Neyna tersenyum kecut.

Aku ditugasi ayah… Ok Fine! Bisa jadi ini saudara tiriku. Dari gelagatnya, dia tipe suka ngomel.

Dengan sigap Mukti menarik koper Neyna dan menyusul Ethan yang sudah berjalan di depan dengan terburu-buru. Neyna berjalan setengah berlari mengimbangi kedua lelaki itu.

Keduanya menunggu di sebuah tempat saat Mukti mengambil mobil. Sama-sama membisu.

Pria aneh.

Sebuah alphard datang dan pintu terbuka otomatis. Ethan mengisyaratkan Neyna untuk naik duluan, sementara dia menyusul.

Mobil itu dingin.

Neyna melirik Ethan yang sepertinya sibuk dengan handphonenya. Lelaki yang kemungkinan besar saudara tirinya itu sama sekali tidak mempedulikan dia.

Neyna dengan acuh menyandarkan diri di jok mobil. Tubuhnya super lelah dan yang dia inginkan tidur. Sejak pemakaman ibu seminggu yang lalu dia tidak pernah tidur nyenyak.

Neyna memejamkan mata, dan tanpa sadar dia ketiduran.

Dia baru terbangun saat tubuhnya digoyang perlahan. Matanya terbuka dan langsung kebingungan. Ingatan Neyna terkumpul dengan cepat ketika dia sadar ketiduran saat akan menuju rumah ayahnya.

Mobil memang sudah berhenti. Mukti malah sudah mengeluarkan kopernya. Di depan mobil sudah berdiri seorang wanita setengah baya dengan wajah ramah. Tersenyum menyambutnya.

Saat Neyna turun dari mobil dia baru sadar bahwa rumah ayah yang ditujunya ternyata sangat besar. Dia melihat ada beberapa mobil mewah terparkir di halaman yang cukup luas.

Benar-benar pemandangan yang jomplang dibanding kehidupannya dengan ibu di Yogya.

Jangankan punya mobil, bisa membayar uang kuliah tepat waktu saja sudah Alhamdullilah.

“Neyna, ini Bu Halimah, kepala rumah tangga. Nanti Bu Halimah yang menemani kamu menyesuaikan diri. Aku berangkat ke kantor lagi ya,” kata Ethan, dan tanpa basa basi sudah kembali naik ke mobil.

Bu Halimah menemani Neyna masuk. Perempuan itu menunjukkan kamarnya setelah melalui ruangan-ruangan yang super besar dan banyak.

Benar juga, aku memang butuh waktu menyesuaikan diri. Menyesuaikan diri supaya tidak kesasar di rumah ini maksudnya.

Kamar yang diperuntukkan untuk Neyna berada di dekat taman belakang yang rumput hijaunya subur membentang. Kamar itu cukup luas dengan ranjang yang sepertinya empuk, meja, lemari dan semua yang seolah mengambarkan bahwa penghuninya perempuan.

Beberapa kardus dan koper yang dikirim lewat ekspedisi sudah tiba dan diletakkan di pojok kamar,

“Mbak istirahat saja, nanti bisa bertemu dengan Tuan Mahendra saat makan malam bersama. Saya akan membawakan Mbak makan siang, kemudian mbak bisa tidur sepuasnya,” kata ibu Halimah ramah.

Selesai Neyna mandi, dia membongkar kopernya. Saat itu ibu Halimah masuk dengan satu pelayan membawakan Neyna makan siang.

Hidangan makanan siang lumayan enak dan lengkap. Bahkan ada pudding cokelat kesukaan Neyna. Setelah makan dia justru mengantuk.

Neyna merebahkan diri di ranjang. Matanya menyapu sekeliling ruangan

Wajah ibunya yang penuh kasih sayang terbayang, dan Neyna memejamkan matanya dalam damai.

 

===000===

 

BAB 2 — AYAH DAN DUA SAUDARA TIRI

Entah berapa lama Neyna tidur. Saat terbangun dia melihat langit jingga dan matahari sore masuk ke kamarnya. Kembali Neyna kebingungan karena berada di tempat yang asing.

 Ini bukan kamarnya. Ini entah kamar siapa. Oh iya, baru beberapa jam yang lalu dia tiba di Jakarta dan ini akan jadi kamarnya.

Perempuan itu bangkit dan membuka pintu kamarnya. Dia disambut pemandangan rumput hijau yang membentang. Neyna duduk di kursi di luar kamarnya menikmati matahari sore.

Tiba-tiba dia ingin kopi susu panas. Kebiasaan dia setiap sore di Yogya dulu adalah menikmati kopi susu sambil membantu ibunya menyelesaikan jahitan.

Kalau di Yogya, aku bisa langsung ke dapur. Nah ini dimana dapurnya? Aku benar-benar orang asing di

tempat ini. Rumah ini begitu besar dan mengerikan.

‘Mbak Neyna? Sudah bangun?” suara perempuan terdengar.

Bu Halimah melongokkan kepalanya dari dalam kamar dan melihat Neyna duduk di depan kamarnya.

“Eh Bu, baru saja. Lumayan lama saya tidur,” kata Neyna.

“Saya sempat menjenguk ke sini beberapa kali, mau teh atau kopi?”

Kebetulan sekali.

“Kopi bu. Kopi susu dengan gula sedikit,” kata Neyna tersenyum lebar.

“Sebentar ya Mbak,” perempuan itu menghilang.

Dia kembali dengan nampan berisi kopi susu pesanan Neyna dan beberapa penganan manis.

“Tuan Mahendra baru saja kembali. Dia menanyakan Mbak. Nanti jam 7 malam dia akan menemui Mbak sekalian makan bersama. Mas Ethan belum pulang. Biasanya dia paling terlambat makan malam, sementara Mas Lintang sudah ada di kamarnya sejak sore,” tanpa ditanya Bu Halimah memberi info keberadaan keluarga Mahendra.

Mas Lintang? Siapa lagi dia?

“Mas Lintang?”

Bu Halimah tersenyum.

“Pasti Mbak belum kenal. Mas Lintang itu juga saudara tiri Mbak. Adik dari Mas Ethan. Dia masih mengambil master soal bisnis sambil sesekali ke kantor membantu Mas Ethan,” cerita Bu Halimah.

Ok. Jadi aku punya dua saudara lelaki tiri. Semua informasi yang aku dapatkan sebelum ke sini terlalu sedikit, dan mungkin ini saatnya aku mulai cari tahu pelan-pelan.

“Ibu Mas Ethan dan Mas Lintang juga ada?” tanya Neyna bersiap kalau ternyata ada anggota keluarga lain yang belum diperkenalkan.

Bu Halimah tersenyum.

“Ibu Mas Ethan sudah meninggal, sebelum Tuan Mahendra menikah dengan ibu Mas Lintang. Dan Ibu Mas Lintang sudah meninggal juga. Kemudian yang saya tahu Tuan Mahendra menikah dengan ibu Mbak, kemudian berpisah. Sekarang Tuan Mahendra tidak menikah lagi,” kata Bu Halimah.

Luar biasa bu Halimah. Tahu semua detil yang terjadi. Termasuk kalau dua mas tiriku itu berasal dari ibu yang berbeda. Kalau dipikir-pikir ayahku itu hebat juga bisa kawin berkali-kali.

“Jadi sekarang cuma Mbak, satu-satunya perempuan yang menjadi keluarga Mahendra,” Bu Halimah tersenyum lagi.

What a privilege. Aku lebih suka kembali ke Yogya sekarang juga. Kok informasi yang diberikan semakin mengerikan?

“Saya permisi dulu Mbak. Nanti jam 7 malam saya akan menjemput Mbak untuk ketemu dengan Tuan Mahendra,” Bu Halimah pamit.

Neyna duduk sendirian sekarang. Dia meneguk kopi susunya sambil melamun. Langit jingga mulai pupus berganti awan kelap.

“Jadi Nduk, kamu tinggal sama ayahmu ya kalau ibu pergi. Jangan sendirian. Kamu itu anak perempuan. Harus ada yang jaga,”

“Tapi bu, Neyn ngga kenal ayah,”

“Tapi ayah kenal kamu. Dia sayang kamu,”

Neyna menghela nafas.

Dia melirik jam di tangannya. Sudah pukul 6 kurang. Dia harus bersiap-siap bertemu dengan sang ayah untuk pertama kalinya, setelah hampir 23 tahun terpisah.

 --00—

Pukul tujuh tepat pintu kamar Neyna diketuk. Neyna yang sudah siap membuka pintu dan melihat seorang lelaki setengah baya berdiri di depan pintu.

Mereka berpandangan sejenak.

Mata lelaki itu sama dengan matanya. Rambutnya yang lurus juga sama. Ada ikatan yang tak terdefinisikan antara keduanya, sehingga Neyna merasa hatinya hangat.

Kemarin mereka hanya bicara lewat telepon, namun kali ini saling berhadapan. Saat itu jarak waktu puluhan tahun tak bertemu tidaklah berpengaruh karena keduanya tetap ayah dan anak yang memiliki kesamaan garis darah.

“Ayah?” bisik Neyna.

“Putri kesayangan ayah sudah kembali,” lelaki itu tersenyum lebar dan merentangkan tangannya.

Neyna melompat ke pelukan lelaki yang masih gagah itu. Ini pertama kali Neyna melihat ayahnya. Ibu tidak punya satu pun foto ayah. Selama ini Neyna hanya menghayal membayangkan wajah sang ayah.

Kini ayah memeluknya erat.

“Welcome nak. Welcome. Mulai sekarang, ini rumah kamu. Sejak dulu ayah ingin sekali bertemu, tetapi tidak memungkinkan,” lelaki itu mencium dahi Neyna.

Tidak ada kesan bahwa ayah menyalahkan ibu. Meskipun aku sempat marah pada ibu yang terkesan menutup-nutupi ayah selama ini. Apa jangan-jangan yang terjadi diantara mereka berdua super menyakitkan?

“Coba ayah lihat kamu,” ayah melepaskan pelukan dan memandang Neyna dari ujung rambut ke ujung kaki. “ Ya Tuhan, kamu sudah dewasa sekarang. Cantik seperti ibu kamu. Dulu ketika kamu pergi umurmu masih dua tahun dan cengeng,”

Neyna tersenyum. Tanpa malu-malu dia kembali memeluk ayahnya sementara sang ayah terus menerus berkata anak gadis ayah. Kesayangan ayah…

Ibu benar. Ayah menyayangiku. Akulah satu-satunya anak perempuannya. Mungkin keputusan ibu bahwa aku harus tinggal dengan ayah itu benar.

“Yuk kita makan, ayah mau dengar tentang kamu lebih banyak,” kata ayah membimbing Neyna.

Ruang makan terletak di bagian tengah rumah. Makanan sudah terhidang di sana. Neyna melihat seorang lelaki dengan sweater merah sudah duduk di kursi dan segera berdiri menyambut kedatangan ayah dan Neyna.

“Neyn, ini abang tiri kamu. Lintang. Kenalan dulu,” kata ayah.

Lintang tersenyum ramah. Dia punya mata seperti Neyna, juga rambutnya yang bagus. Tubuhnya tinggi dan atletis. Neyna menaksir umur Lintang lebih tua sekitar tiga tahun.

“Adik tiri yang cantik,” kata Lintang sambil menjabat tangan Neyna.

Ayah tertawa.

“Cantik kan? Harusnya dari dulu dia tinggal dengan kita,” kata ayah sambil menarik kursi untuk Neyna.

“Ethan sudah datang?” ayah bertanya pada bu Halimah.

“Mobilnya sudah di depan. Mungkin Mas Ethan ke kamarnya dulu,” kata bu Halimah.\

Baru mereka akan memulai makan malam, Ethan sudah muncul. Dia masih memakai pakaian kerjanya. Mengangguk sekilas pada ayah, kemudian duduk di depan Neyna.

“Ini Ethan, kakak tiri kamu,” kata ayah. “Kamu sudah ketemu dia kan?”

Neyna mengangguk, memandang Ethan yang sedang menyendok nasi. Dia sama sekali tidak mempedulikan Neyna yang padahal sudah tersenyum.

Sialan. Ternyata dia emang nyebelin. Beda dengan Lintang yang ramah dan sepertinya baik.

“Jadi kuliah kamu sudah selesai?’ tanya ayah saat keduanya mulai makan.

Neyna mengangguk.

“Sempat kerja?”

Kembali Neyna mengangguk.

“Di bagian apa?”

“Design interior. Baru setahun sih sekarang resign karena pindah ke sini,” kata Neyna mengunyah nasinya pelan.

Ayah mengangguk-angguk.

‘Rencana kamu apa setelah ini? Kuliah lagi atau?”

“Mau kerja saja yah. Kemarin Neyn sempat mengirim lamaran ke beberapa tempat. Semoga ada yang nyangkut,” Neyna tersenyum. Senyumnya pudar begitu sadar kalau Ethan sedang memperhatikan dia.

Ethan kembali sibuk dengan makanannya

“Ethan. Tolong carikan pekerjaan yang cocok untuk Neyna ya,” kata Ayah.

Tak acuh, Ethan mengangguk.

“Soal kerjaan aman, ada Ethan. Kakak kamu itu bisa diandalkan,” kata ayah tersenyum lebar.

“Tapi Neyn bisa cari kerjaan sendiri yah,” ujar Neyna serius.\

“Sudahlah, biar dibantu Ethan saja.” Putus ayah. “Kamu tidak usah khawatir. Apalagi capek-capek,”

Neyna melirik Ethan yang masih menikmati supnya.

Aduh, jangan pernah deh aku berutang budi dengan lelaki super sombong itu.

“Ngomong-ngomong kamu sudah punya pacar?” tiba-tiba ayah bertanya.

Pertanyaan yang diluar dugaan. Neyna merasa nasinya nyangkut di tenggorokan dan dia batuk-batuk.

Neyna melihat ayah tertawa. Lintang juga.

“Kok ayah nanya begitu?”

“Iya, masa ngga boleh tanya,” balas ayah sambil mengelap mukanya dengan serbet

“Pertanyaan Ayah memang terkesan sangat personal. Iya kan Neyn?” kata Lintang sambil mengedipkan matanya

Wajah Neyna merah padam.

Ayah kini tertawa, diikuti Lintang.

Sementara Ethan tanpa berekspresi menghabiskan desertnya.

 

==00==

 

BAB 3 —  NASIB JOBSEEKER

Neyna sudah selesai berdandan. Dia memakai pantalon coklat dipadu dengan blus warna krem. Rambutnya yang sepunggung digerai dan poninya diberi jepitan hitam. Riasannya sederhana, namun matanya yang bagus tidak menutupi kecerdasannya.

Hari ini dia ada job interview di salah satu gedung kawasan jalan Thamrin. Seperti yang dia duga, lamarannya nyangkut dengan sukses.

Artinya aku tidak perlu merengek-rengek minta kerjaan pada kakak tiriku itu. Aku bisa membuktikan diri sebagai perempuan mandiri.

Neyna berjalan ke depan rumah, dimana taksi online yang dia pesan sudah datang.

Sudah tujuh hari dia tinggal di Jakarta, dan selama itu pertemuannya dengan ayah dan kedua saudara tiri hanya di meja makan pada malam hari. Neyna merasa kesepian apalagi dia tidak memiliki teman. Yang dia lakukan hanyalah ngobrol dengan teman-teman di Yogya lewat video call atau mencari pekerjaan.

Pekerjaan. Ya, itu akan jadi solusi mengurangi kebosanannya.

Memang ayah sudah membuka rekening atas namanya dan mengirim sejumlah uang jajan. Memang dia mendapatkan fasilitas mobil yang standby untuk digunakan bila perlu. Tetapi tinggal di rumah tanpa aktivitas apa-apa bukan cita-cita Neyna.

Kalau ayah mau menjadikan aku burung dalam sangkar, aku tidak mau. Aku bisa gila berkurung terus di rumah.

Dan kini taksi online yang ditumpangi Neyna sudah meluncur di jalanan yang sedikit macet. Perempuan itu sedang membayangkan tampang Ethan kalau tahu dia berhasil mendapatkan pekerjaan. Bayangan itu membuat Neyna tertawa puas.

Mobil masuk ke sebuah gedung yang cukup tinggi dan Neyna turun. Setelah mendaftarkan diri pada resepsionis bawah untuk mendapatkan kartu akses, dia menuju lantai 17.

Perusahaan yang akan mewawancarainya adalah perusahaan konstruksi besar yang cukup bonafid. Kebetulan ada lowongan sebagai designer interior pratama yang kosong.

Neyna duduk di depan resepsionis menunggu giliran di interview. Menurut resepsionis, sedang ada rapat mendadak sehingga jadwal wawancara akan ditunda selama sejam.

Sambil menunggu Neyna memutuskan membaca majalah tua yang ada di rak dekat tempat duduknya.

 Serombongan lelaki dan wanita berpakaian rapi keluar dari dalam ruang rapat yang letaknya tidak jauh dari tempat Neyna menunggu. Sepertinya rapat sudah selesai. Rombongan itu melewati Neyna tanpa mengubris kehadirannya. Neyna entah kenapa merasa minder.

 Aku cuma remah rempeyek disini. Mereka semua kelihatannya sukses dan rapi. Sementara dandananku tidak ada artinya. Terlalu sederhana.

Paling belakang, Neyna melihat dua orang lelaki dengan jas resmi menyusul rombongan awal. Bedanya keduanya berjalan santai sambil bercakap-cakap.

Saat keduanya mendekat, jantung Neyna nyaris copot setelah mengenali satu dari dua lelaki itu.

Astaga, itu Ethan!

Neyna buru-buru menyembunyikan mukanya di balik majalah yang sedang dia baca.

Mereka berhenti tepat di depan Neyna.

"Jadi saya akan mengirim kabar lagi seandainya bujet yang Mas Ethan tawarkan diterima. Perusahaan kami memiliki banyak professional yang bisa mengerjakan proyek tersebut,”

“Tentu, saya tunggu kabar baiknya,” Neyna mendengar suara Ethan.

Mereka berjabat tangan dan berpisah di tempat itu. Saat Ethan berjalan menjauh, suara resepsionis terdengar memanggil Neyna.

“Mbak Neyna Mahendra, silakan mbak sudah ditunggu,”

Suara yang lembut, tetapi Neyna yakin didengar Ethan yang belum jauh dari tempat itu.

Dugaannya benar, langkah Ethan berhenti dan dia menoleh. Keduanya berpandangan. Kini tidak ada jalan lagi untuk Neyna bersembunyi karena Ethan sudah melihatnya.

Neyna buru-buru bangkit, tetapi Ethan lebih cepat lagi. Dengan kasar lelaki itu menarik tangan Neyna keluar dari kantor itu dan langsung masuk ke lift yang sudah terbuka oleh asisten Ethan.

“Kamu ngapain di situ?” tanya lelaki itu sementara pintu lift menutup.

“Aku sedang menunggu interview kerja,” kata Neyna. “Lepaskan aku, aku harus menemui HRD,”

Ethan menekan L1 di lift, tanpa melepaskan Neyna yang sedari tadi menarik tangannya.

“Aku antar kamu pulang. Apa kata ayah kalau tahu kamu melamar kerja seperti itu,” kata lelaki itu tidak sabaran.

Neyna mengantupkan mulutnya menahan marah.

“Harusnya kamu sabar sedikit. Aku pasti mencarikan kamu pekerjaan yang cocok. Melamar kerja di tempat tadi akan mencoreng nama ayah,” omel Ethan lagi.

Pintu lift terbuka. Kini mereka di lantai dasar.

Dengan kasar Ethan menarik ID card bertuliskan Guest  di blus Neyna dan memberikan ke asistennya untuk ditukar dengan kartu pengenal yang dititipkan Neyna tadi.

Mobil Ethan sudah di depan lobby gedung, dan masih dengan cara kasar Ethan menarik Neyna untuk naik mobil.

Sepanjang jalan mereka terdiam, dan Ethan memang mengantarkan Neyna kembali ke rumah. Saat mobil berhenti, Ethan menatap Neyna tajam.

“Aku tidak mau lagi melihat kamu mengemis pekerjaan pada orang lain. Kamu itu Mahendra. Jaga nama keluarga baik-baik,” katanya kasar.

Neyna tidak menjawab. Tangannya merah karena dipegang kuat oleh Ethan tadi. Dia bergegas ke kamarnya.

Sampai di kamar, tangisnya pecah.

--00--

Neyna makan malam dengan malas-malasan. Dia enggan bertemu dengan Ethan setelah kejadian tadi. Untungnya Ethan tidak ada. Menurut ayah, Ethan masih di kantor.

Malam itu Neyna tidak bisa tidur. Dia ingin sekali kembali ke Yogya. Dia kangen teman-temannya dan masa-masa indah saat ibunya masih hidup. Neyna tersiksa tinggal dengan keluarga barunya yang mengerikan itu.

Paginya dia duduk sendirian di kursi taman. Neyna sedang berpikir untuk kembali ke Yogya.

Kira-kira ayah akan mengizinkan? Aku tidak mau tinggal di sini.

Air matanya mengalir lagi mengingat perlakuan kasar Ethan kemarin. Abang tirinya itu memang keterlaluan.

“Berhentilah menangis seperti anak kecil. Umur kamu kan sudah 25,” sebuah suara dalam yang sangat dikenalnya mengejutkan Neyna.

Neyna menoleh sengit.

Ethan.

Abang tirinya sudah rapi, siap bekerja. Neyna merasa kemarahannya naik ke ubun-ubun, namun belum sempat dia bicara lelaki itu sudah duluan buka mulut.

“Hapus air mata kamu dan mandi. Aku tunggu di kantor jam 1 siang ini. Ada pekerjaan yang cocok untuk kamu,” katanya tanpa basa basi.

Dia berbalik.

Meninggalkan Neyna yang speechless.

 

===@@==

 

BAB 4 – ETHAN MAHENDRA

Ethan Mahendra terbangun setelah sempat tidur beberapa menit. Dia langsung bangkit karena ingat pukul 10 pagi itu harus menghadiri rapat. Perlahan dia menyingkirkan tangan Widya yang memeluknya, dan turun dari tempat tidur tanpa mengeluarkan suara.

Ethan memang berangkat kerja lebih pagi supaya bisa mampir ke apartemen Widya. Sejak resmi berpacaran lima bulan yang lalu, Widya memang tinggal di apartemen yang tidak jauh dari kantor Ethan. Hal ini memudahkan Ethan bisa mengunjungi pacarnya disela-sela kesibukan di kantor.

Setelah mencuci muka, dia mengenakan pakaiannya kembali. Memastikan semuanya rapi sempurna.

Ethan punya wajah cukup tampan, warisan dari sang ibu. Hidungnya mancung dengan cambang kasar di rahangnya yang kokoh. Sejak kuliah, matanya mengalami minus karena kebanyakan membaca. Tak heran dia harus memakai contact lens untuk menjaga penampilannya. Namun sebenarnya dia lebih suka memakai kacamata dengan gagang tanduk hitam.

Kelebihan lainnya? Fisiknya tinggi atletis namun tidak terlalu bulky dengan suara dalam yang tidak bisa dibantah.

Meski lumayan keren, Ethan jarang tersenyum kalau tidak perlu sekali. Menurut Lintang, Ethan tidak punya selera humor karena terlalu serius dengan pekerjaanya.

Setelah rapi berpakaian, Ethan mengecup pipi Widya yang merah jambu. Permainan cinta tiga babak tadi menguras tenaga Widya sehingga dia tertidur nyenyak. Ethan menyelinap keluar apartemen tanpa suara.

Ethan Mahendra tipikal lelaki yang tidak suka hal ribet bin rumit. Pekerjaannya di kantor sudah menyita semua perhatiannya. Widya cocok sebagai pasangan karena tidak banyak menuntut dan penurut. Perempuan berusia 28 tahun itu memenuhi semua kriteria Ethan, selain tentu saja cantik dan seksi.

Ethan bertemu Widya di sebuah pameran barang antik. Kebetulan Widya bekerja sebagai freelance di gallery tersebut. Setelah kencan sebanyak tiga kali, mereka berlabuh di ranjang kosan Widya dan merasa cocok.

Sayangnya Ethan tidak punya rencana untuk menikahi Widya meskipun hubungan mereka sudah lumayan jauh. Dia yakin ayahnya tidak akan setuju. Sudah sejak lama ayah mengatakan bahwa Ethan tidak boleh menikah dengan siapa-siapa kecuali dengan adik tirinya: Neyna Mahendra!

Neyna Mahendra!

Mengingatnya saja sudah membuat Ethan mulas.

Ayah memutuskan arranged marriage itu saat Ethan berulang tahun ke 31. Artinya sudah empat tahun yang lalu.

“Kamu bisa berpacaran bahkan tidur dengan perempuan yang kamu suka. Tetapi kamu akan menikah dengan Neyna,” kata ayah beberapa tahun yang lalu.

Ethan melongo saking kagetnya.

“Neyna itu adik tiri kamu. Ayah sudah putuskan sejak Neyna lahir,” kata sang ayah lagi.

Ethan ingat Neyna samar-samar. Dia anak ayah dari istri ketiganya yang kemudian minta cerai karena tidak tahan dengan sifat sang ayah yang playboy. Saat Neyna lahir, Ethan sudah berumur 10 tahun. Dia juga samar-samar masih ingat suka mencubit pipi sang adik yang montok dan membelai rambutnya yang lurus hitam bagaikan arang.

Bagi Ethan arranged marriage itu adalah keputusan sang ayah yang paling absurd. Bagaimana mungkin dia yang harus menikahi Neyna. Kenapa bukan Lintang?

Tetapi Ethan tahu ayah tidak bisa dibantah. Ethan menyayangi ayah dan selalu berusaha menyenangkannya, terutama setelah lima tahun yang lalu ayah divonis menderita penyakit jantung.

“Kamu mau menikah umur berapa?” tanya ayah waktu itu.

“Di atas 35,” balas Ethan.

Ayah mengangguk.

Sebisa mungkin aku menghindari menikah dengan perempuan yang tidak aku kenal. Kalau bisa saat itu ayah sudah tidak ada lagi, sehingga aku bisa menolak. Apalagi Neyna kan di Yogya. Ibunya juga belum tentu setuju.

Tetapi siapa sangka, akhirnya Neyna bergabung dengan keluarga mereka saat Ethan berusia 35 tahun! Ethan tahu sekali makna kedatangan Neyna, yaitu dia tidak bisa menghindar lagi dari rencana pernikahan yang disetting ayah.

Seperti biasa, ayah sudah membuktikan diri sebagai pengusaha yang punya insting kuat dan visioner. Seakan dia bisa tahu bahwa ibu Neyna akan meninggal dan Neyna akan pindah ke Jakarta.

Saat Ethan menjemput Neyna di airport, Ethan agak kaget. Adik tirinya itu jauh dari yang dia bayangkan. Neyna bahkan lebih cantik dan sepertinya dia sangat mandiri. Meskipun pakaiannya sederhana, dan terkesan murahan namun dia sangat percaya diri.

Kalau dia sering ke salon dan memakai pakaian buatan designer, dia akan lebih cantik lagi.

Ethan bahkan bisa melihat ada sifat ayah pada diri Neyna yang sangat dibencinya: keras kepala dan tidak gampang menyerah.

Terbukti dia “nyaris” mendapatkan pekerjaan di kantor konstruksi itu.

Nyaris? Ya, Ethan yakin Neyna pasti mendapatkan pekerjaan itu. Dia Mahendra, sebagaimana dirinya juga yang selalu mendapatkan apa yang dia mau.

Untung saja, semesta mengagalkan semuanya. Kalau tidak, entah apa yang akan dijadikan alasan pada ayah. Bukannya ayah sudah minta Ethan mencarikan pekerjaan untuk Neyna jauh-jauh hari?

Dan hari ini dia sudah menyiapkan waktu bertemu sang adik tiri yang cepat atau lambat akan menjadi istrinya.

Ethan melompat ke mobil dan membawanya keluar dari parkiran apartemen itu. Sebelum bertemu dengan Neyna, dia harus rapat dulu. Lelaki itu melirik arloji yang melingkar di lengannya.

Masih ada waktu untuk secangkir kopi.

--00—

Neyna terlambat 30 menit karena jalanan yang macet.

Jarang-jarang Ethan harus menunggu dan moodnya langsung buruk. Padahal Ethan sudah buru-buru menghabiskan makan siang, dan meninggalkan desertnya.

Ethan siap mengomeli Neyna saat sekertaris mengantar perempuan itu masuk ke ruangannya yang luas. Namun kemarahannya menguap saat sang adik tiri justru sudah duluan menekuk mukanya.

Ya ampun. Kok jadi dia yang bête duluan?

“Duduk Neyn,” kata Ethan. “Mau minum apa?”

Neyna mengeluarkan tumblernya dan meletakkannya di meja.

“Langsung saja Mas. Saya tahu Mas sibuk,” kata Neyna.

Kalau dia seperti itu, aku jadi ingat ayah yang marah. Mungkin dia masih marah karena aku mengagalkannya interview. Dia benar-benar anak ayah karena ceplakan 100 persen.

“Aku ingin kamu mendesign ulang interior kantor kita di gedung sebelah,” kata Ethan santai.

Neyna dilihat Ethan diam menyimak.

Ini tipikal ayah. Menyimak tanpa protes dulu.

“Ada 12 lantai yang harus didekor ulang. Semuanya sudah ketinggalan jaman dan norak. Aku ingin semuanya jadi bagus dan trendi?” tanya Ethan.

Neyna masih menyimak.

“Proyek ini sebenarnya aku tawarkan untuk perusahaan konstruksi tempat kamu melamar kemarin. Tetapi melihat kamu sangat berambisi ingin bekerja, aku putuskan kamu saja yang mengerjakannya. Kita akan lebih berhemat,” sambung Ethan.

“Ada berapa orang dalam timku?” Neyna buka suara

“Kamu bekerja sendirian,” jawab Ethan.

Alis Neyna terangkat.

Nah ini juga tipikal ayah.

“Maksud Mas aku bekerja sendiri mendekorasi ulang 12 lantai?”

Ethan mengangguk.

“Aku itu designer interior yang masih pratama mas. Masih belum terlalu ahli dan punya pengalaman cukup. Aku butuh backup,” protes Neyna.

Ethan mengambil cangkir kopi di mejanya. Kopi sisa tadi pagi yang diteguknya nikmat.

“Aku tidak peduli. Kamu itu Mahendra. Pasti bisa mengerjakannya tanpa backup,” kata Ethan.

Lelaki itu melihat Neyna mengontrol emosinya.

“No deadline. Kamu kerjakan pelan-pelan dan tentu saja harus bagus,” kata Ethan lagi. “Bisa?”

“Sepertinya Mas hanya ingin membuat aku sibuk dan tidak mencari pekerjaan lagi ya?” mata Neyna menatap Ethan tajam.

Sampai disitu Ethan tidak bisa menahan tawanya. Lelaki yang jarang tersenyum itu kini tertawa terbahak-bahak. Dia merasa sangat geli.

“Boleh dibilang begitu. Kamu bisa menebaknya dengan jitu,” kata Ethan selesai tertawa.

Neyna menghela nafas.

“Bagaimana? Bisa?”

“Aku tetap butuh backup. Minimal lima orang designer interior dengan kemampuan sama denganku. Mas tidak usah khawatir, bujetnya akan menyesuaikan,” kata Neyna.

“Dua,” kata Ethan.

“Tiga,” balas Neyna.

“Oke, deal,”

“Deal,”

Ethan mengulurkan tangan menjabat tangan Neyna.

Saat itu Neyna tersenyum manis.Senyum yang membuat Ethan meleleh.

Itu bukan senyum ayah. Itu senyum Neyna.

 

===@@@===

 

BAB 5 – KESAKSIAN PADA SIANG TERIK

Ayah finger, ayah finger where are you

Here I am here I am how do you do

Ibu finger, ibu finger where are you

Here I am here I am how do you do

Neyna finger, Neyna finger where are you

Here I am here I am how do you do

Neyna kecil menyanyikan lagu berulang-ulang dan ditimpali ibu. Ibu sedang menjahit sementara Neyna yang baru berusia lima tahun itu bermain dengan kain perca.

“Ibu, kita ngga ada abang finger? Kakak finger?” tanya Neyna.

“Kita cuma bertiga, ayah, ibu dan Neyna,” kata ibu tersenyum.

“Tapi kok ayah tidak pernah datang?”

“Ayah sibuk. Tapi dia selalu ingat Neyna kok. Ayah sayang sekali sama Neyna,”

Gadis kecil itu tersenyum.

Kemudian dia mengulang kembali lagunya…

 

 Ayah finger, ayah finger where are you

Here I am here I am how do you do

Ibu finger, ibu finger where are you

Here I am here I am how do you do

Neyna finger, Neyna finger where are you

Here I am here I am how do you do

---00—

Neyna tersentak dari tidurnya. Nafasnya tersegal-segal.

Ibu. Neyna kangen ibu…

Neyna bangkit dan mengambil air di atas meja. Dia membuka jendela dan pintu kamarnya yang mengarah ke halaman. Matahari bersinar terik dan sepertinya masih sangat siang.

Inilah akibat aku ketiduran siang-siang. Kalau di Yogya, hari Minggu artinya aku bisa bertemu teman-teman. Kalau disini? Hari Minggu artinya aku tenggelam dalam kebosanan.

Neyna menghela nafas.

Perempuan itu keluar kamar dan memakai sandal. Meskipun kondisi agak terik, dia memutuskan berjalan-jalan di taman.

Beberapa tukang kebun yang sedang merawat taman mengangguk sopan saat dia lewat. Mereka sedang merapikan semak mawar yang bunganya sangat terawat.

Apa kata pecinta lingkungan: kalau kamu menyukai bunga, bagusnya kamu lihat saja. Kalau dipetik itu sama saja merusak. Damn! Aku kangen hiking ke gunung dan melihat pemandangan.

Taman itu ternyata lumayan luas karena disambung dengan cottage tamu yang memiliki kolam renang pribadi. Semuanya terawat rapi.

Kata bu Halimah, rumah keluarga Mahendra memiliki beberapa tukang kebun, beberapa pelayan dan beberapa tukang masak. Jumlah itu tidak termasuk beberapa supir dan entah beberapa pekerja lainnya.

Aku baru tahu kalau ayah hidupnya seperti ini. Tetapi kok ibu tidak betah ya dan justru meninggalkan ayah. Ibu lebih suka bersusah-susah dibanding menjadi istri ayah.

Neyna tiba di kolam renang depan cottage itu.

Sepertinya ada yang baru selesai berenang, karena masih ada handuk dan ceceran air. Juga ada segelas jus yang baru diminum setengahnya di meja dekat kursi.

Siapa yang berenang? Mas Ethan atau mas Lintang? Berenang kok siang-siang.

Suara-suara aneh terdengar dari dalam cottage. Neyna yang penasaran mengikuti asal suara itu.

Pintu cottage terbuka lebar, dan Neyna masuk tanpa suara. Suara itu makin jelas terdengar dan sepertinya dari dalam salah satu kamar cottage.

Pelan-pelan dia mengintip.

Pemandangan yang dilihatnya membuat tubuh Neyna membatu.

Neyna melihat Lintang sedang menggumuli seorang perempuan di atas tempat tidur kamar cottage. Perempuan itu sudah setengah telanjang, sementara Lintang masih memakai celana renangnya.

“Mas Lintang, nanti kalau ada orang bagaimana?” suara perempuan terdengar.

“Tidak ada orang di sini, kamu aman Res,” kata Lintang masih menciumi perempuan itu yang wajahnya tidak jelas karena tertutup tubuh Lintang.

“Nanti kalau aku hamil bagaimana? Ini sudah tiga kali dalam minggu ini,” si perempuan masih mencoba menolak.

“Ya, kita kawin,” balas Lintang ringan.

“Mana mungkin. Mas itu anak majikanku. Aku cuma pelayan biasa,” perempuan itu kelihatan mengeluh.

“Sekarang kita nikmati dulu momen ini Resti, nanti baru kita pikirkan,” kata Lintang yang kini sudah menarik helai terakhir pakaian perempuan yang bernama Resti itu.

Keduanya bergumul dengan seru dan Lintang melepas celana renangnya.

Saat itu Neyna segera berlari keluar cottage.

Di dekat kolam renang, langkahnya terhenti dan dia merasa nafasnya ngos-ngosan. Dia muntah-muntah di rumput. Syok berat. Pemandangan yang dia lihat tadi benar-benar di luar kemampuannya mencerna.

“Kamu kenapa Neyn? Sakit?” tiba-tiba Ethan sudah berdiri di depannya.

Lelaki itu memakai training hitam, entah dari mana.

Neyna mendadak gugup. Buru-buru dia menghapus mulutnya dengan tangan dan memandang Ethan seolah dia ketahuan berbuat jahat.

“A..aku tidak apa-apa,” katanya.

Ethan menatap Neyna dengan tatapan tidak percaya.

“Ya sudah, mendingan kamu masuk deh. Di tempat ini banyak hal-hal jahat,” kata Ethan.

Loh dia kayaknya tahu. Atau dia juga pernah seperti Lintang?

Neyna menurut. Dia bergegas meninggalkan saudara tirinya. Menjauh dari tempat itu.

Ketika dia menoleh ke belakang, dia tidak lagi menemukan sosok Ethan.

 

---00--

Pukul 7 malam, seperti biasa keluarga Mahendra makan bersama. Neyna duduk di depan Ethan sementara ayahnya berhadap-hadapan dengan Lintang.

Lintang kelihatan ceria dengan kaos jersey bolanya. Dia menyantap makanan dengan bersemangat sementara Neyna sesekali mencuri pandang ke saudara tirinya itu.

Kok bisa dia meniduri perempuan tadi. Kalau perempuan itu hamil bagaimana?

Neyna banyak melamun malam itu, hingga akhirnya tiba saat menikmati desert.

“Resti, tolong piring kotornya dipindah ya,” kata bu Halimah yang memang selalu berada di dekat mereka untuk memastikan semua orang di meja tidak kekurangan apa pun.

Resti. Itu kan nama perempuan yang ditiduri mas Lintang tadi?

Perempuan yang disapa Resti datang dan memindahkan piring kotor di meja. Neyna kini bisa melihat wajahnya dengan jelas. Perempuan itu cantik dan badannya sintal. Usianya lebih muda dari Neyna.

Neyna melirik ke Lintang yang sepertinya tak acuh dengan kehadiran Resti. Padahal Neyna melihat Resti terus-terusan melirik saudara tirinya.

“Desert yang saya pesan sudah dibuat?” tanya ayah pada bu Halimah.

Kepala rumah tangga itu mengangguk memberi isyarat pada Resti yang akan membawa piring kotor.

“Kamu suka pudding cokelat dengan vla susu kan? Ayah sudah pesan dibuatkan spesial untuk kamu malam ini,” kata ayah pada Neyna.

Neyna mengangguk.

Resti kembali lagi dengan nampan berisi pudding cokelat utuh dan menyajikannya di meja.

Ayah mengambil sepotong pudding dan menuang vla diatasnya. Kemudian piring itu diserahkan ke Neyna.

“Untuk anak gadis ayah,” kata ayah.

Neyna tersenyum. “Makasih ayah,” katanya.

Dia menyantap desertnya diikuti pandangan mata sang ayah.

“Enak?”

Neyna mengangguk.

Dia meletakkan piring pudding dan kemudian memeluk ayahnya erat.

“Neyn sayang ayah,”bisik Neyna.

Ayah tersenyum.

Lintang yang melihatnya juga tersenyum.

“Adik tiri yang kolokan, manja,” godanya.

Sementara Ethan seperti biasa tidak bereaksi.

Hanya menghela nafas.

 

===000===

 

BAB 6 – 12 LANTAI

Neyna sedang mengunyah roti sendirian di meja makan.

Kata bu Halimah yang melayaninya sarapan, ayah sudah berangkat sejak subuh, sementara mas Lintang masih tidur. Neyna tidak menanyakan saudara tiri yang satu lagi karena yakin Ethan pasti juga sudah berangkat.

Bukannya dia selalu berangkat super pagi?

Hari ini dia akan mengunjungi gedung yang akan ditata ulang. Hari ini juga, tiga temannya dari Yogya akan datang untuk membantu dia mengerjakan projek tersebut.

Neyna senyum-senyum membayangkan akan bertemu dengan teman lamanya dan selama beberapa bulan ke depan dia tidak akan kesepian.

“Ada yang lucu?”

Ethan sudah duduk di depan Neyna mengambil roti dan selai strawberry.

Neyna segera mengantupkan mulutnya.

Bu Halimah menghidangkan secangkir kopi di samping Ethan. Memastikan dia tidak kekurangan apa pun.

“Tidak ada apa-apa,” kata Neyna cepat.

“Kamu mau ke gedung itu kan? Kita bisa pergi sama-sama,” Ethan mengigit rotinya.

Neyna buru-buru mengeleng.

“Aku akan pergi sebentar lagi. Mas duluan saja,” kata Neyna.

Ethan berhenti mengunyah.

“Kenapa? Kan kita akan ke sana sama-sama. Sekalian saja dari sini,” matanya menatap Neyna lekat-lekat.

Neyna salah tingkah.

Sialan.

“Ganti baju kamu. Aku tunggu di teras,” kata Ethan setelah meneguk kopinya.

Suara yang dalam itu tidak mau dibantah, dan Neyna benci dirinya yang tidak berdaya. Dia bangkit dan dengan gontai berjalan menuju kamar.

Sepeninggal Neyna, Ethan tidak bisa menahan senyum.

Meskipun keras kepala, setidaknya dia masih mau menurut. Tetapi aku tidak tahu apa dia akan tetap seperti itu kalau tahu aku akan jadi suaminya.

Lelaki itu meneguk kopinya lagi, mengelap mulutnya dan bangkit. Langsung menuju ke teras dimana mobilnya sudah menunggu.

“Langsung berangkat Mas?” tanya Mukti.

Ethan menggeleng, “Kita tunggu mbak Neyna dulu,” dia melirik arlojinya.

Aku mau tahu berapa lama dia berdandan. Sekarang aku lebih baik menunggu saja dengan sabar.

Ethan melirik arlojinya lagi saat melihat Neyna muncul. Dia menunggu hanya 10 menit. Adik tirinya memakai jeans dan kemeja kotak-kotak. Rambutnya dibiarkan diikat ekor kuda.

Ethan geleng-geleng kepala.

“Kenapa? Dandananku salah?” tanya Neyna. Mata bulatnya yang bagus itu menatap Ethan keheranan.

“Tidak apa-apa,” kata Ethan mengisyaratkan Neyna untuk segera naik ke mobil yang sudah dibuka pintunya oleh Mukti.

Kamu itu mau kerja atau kuliah? Sepertinya aku harus mendaftarkannya ke sekolah kepribadian secepatnya agar bisa tampil sesuai keadaan. Terutama kalau kami jadi menikah. He? Kok aku sepertinya setuju dengan perjodohan gila ini?

Mobil meluncur di jalanan yang macet. Neyna memandang keluar sementara Ethan memeriksa telepon genggamnya.

“Jam berapa teman-teman kamu datang? Aku harus menyusun jadwal agar tidak bentrok dengan rapat nanti sore,” Ethan memecah kesunyian.

“Nanti siang mereka sudah sampai,” kata Neyna.

Ethan mengangguk.

“Kita langsung ke gedung sebelah ya Mukti,” kata Ethan pada supirnya.

Lokasi gedung itu memang tidak jauh dari gedung tempat Ethan berkantor. Konon 12 lantai adalah milik perusahaan Mahendra. Enam lantai masih kosong karena kondisinya yang menyedihkan, sementara enam lainnya masih disewa berbagai perusahaan.

“Kapan terakhir ditata ulang?” tanya Neyna ketika keduanya tiba di lantai yang kosong.

Ethan mengangkat bahu.

Neyna geleng-geleng kepala.

Kondisi lantai gedung yang kosong itu penuh debu dan sarang laba-laba di pojokannya. Furniturenya sudah ketinggalan jaman dan tidak kalah menyedihkannya.

“Ini butuh budget yang lumayan. Akan dibuat full-furnished kan?” tanya Neyna.

“Pokoknya tenant yang masuk sudah terima beres. Pastikan semurah dan sekeren mungkin,” ujar Ethan.

Tipikal pengusaha yang maunya untung melulu. Murah tapi keren. Neyna mencibir dalam hati.

Neyna berjalan ke sudut ruangan, mencoba mereka-reka ukuran dan memadukan imajinasinya. Sementara Ethan berdiri di tengah ruangan memastikan debu tidak akan mengotori pakaiannya.

“Yuk, kita ke kantorku. Teman-teman kamu akan datang sebentar lagi kan?” kata Ethan setelah membiarkan Neyna menjelajah lantai itu hampir 30 menit.

Neyna meninggalkan pojok ruangan dan mengikuti Ethan menuju lift.

Saat menunggu lift Ethan tiba-tiba menarik Neyna merapat di tubuhnya. Neyna langsung panik. Dia takut Ethan punya maksud jahat, apalagi karena mereka berada di lantai yang tak berpenghuni.

“Mas, apa-apaan sih,” kata Neyna.

Namun Ethan lebih kuat memegangnya. Neyna bisa merasakan kemeja kerja Ethan menempel di kulitnya dan aroma parfumnya.

Neyna memejamkan matanya. Kini dia benar-benar ketakutan.

Ketakutan yang tidak beralasan, karena yang dia rasakan tangan Ethan hanya menghapus pipinya dengan saputangan.

“Muka kamu kotor. Kamu selalu ceroboh dan asal-asalan,” katanya lembut sambil menyingkirkan sarang laba-laba di rambut Neyna.

Neyna membuka matanya. Dia terkesima mendengar suara itu. Biasanya Ethan sangat otoriter dan pemaksa.

Pandangan mereka beradu. Neyna langsung salah tingkah, dadanya berdebat tidak karuan sekarang. Ada rasa takut, rasa bergairah dan juga rasa panik karena tahu apa yang dia rasakan itu tidak wajar.

Wajah mereka sangat dekat dan Neyna bisa merasakan nafas Ethan di mukanya.

Astaga, jangan-jangan dia mau menciumku kemudian…

 “Pasti kamu pikir aku mau mencium kamu ya? Jangan ge-er deh. Kamu itu adik tiriku. Aku juga punya pacar,” kata Ethan tenang seolah bisa membaca pikiran Neyna.

Saat itu suara lift terdengar.

"Lintang benar, kamu memang adik tiri yang cantik,” kata Ethan sambil melepaskan Neyna.

Bersamaan itu pintu lift terbuka.

“Yuk,” Ethan masuk ke dalam lift, menunggu Neyna yang masih belum sanggup bernafas sempurna.

Astaga…

 

--00—

Rapat dilangsungkan di ruangan Ethan.

Neyna sudah bisa tersenyum lagi setelah insiden yang terjadi di lantai kosong tadi. Dia kini bercengkrama dengan ketiga temannya yang baru tiba dari Yogya.

Insting Ethan langsung merasa ada yang tidak beres ketika satu dari rekan Neyna kelihatan sangat akrab dengan adiknya. Lelaki itu masih muda dan wajahnya cerdas. Neyna juga sepertinya dekat dengan lelaki itu.

Ketiganya memperkenalkan diri. Yang perempuan bernama Melanie, sementara yang laki-laki masing-masing bernama Dodi dan Brady. Ethan langsung mengingat nama pemuda yang sepertinya naksir Neyna: Brady.

“Teman-teman Neyna satu kampus?” tanya Ethan berbasa-basi.

“Satu angkatan Pak,” Dodi menjawab.

Ethan tersenyum.

“Panggil saya Mas saja, seperti Neyna,” kata Ethan sambil duduk di sofa depan keempatnya.

Eh, dia tersenyum. Aku baru kali ini melihat senyumnya. Neyna membatin.

“Rencananya akan tinggal dimana?” tanya Ethan.

“Setelah ini kami akan mencari kos-kosan dekat sini Mas,” Melanie menjawab.

Ethan mengeleng.

“Kantor punya mess karyawan kok. Kalian tinggal di sana saja. Buat apa menghabiskan uang untuk kos,” katanya. “Nanti biar sekretaris saya yang urus,”

Rapat berjalan dengan lancar. Kali ini Ethan hanya menjadi pendengar. Sesekali lelaki itu mencuri pandang pada Neyna yang sedang mencatat. Dua tiga kali pandangan keduanya bertemu dan keduanya sama-sama membuang muka.

Ini tidak wajar. Sama sekali tidak wajar, Neyna menyumpahi dirinya sendiri.

Setelah rapat, semua pamit termasuk Neyna. Dia akan ngopi bersama ketiga temannya melepas rindu.

Saat naik taksi online bersama, Melanie mencubit Neyna.

“Gila, saudara tiri kamu itu cool habis. Masih single?” tanyanya.

Neyna menghela nafas. Kata-kata Ethan seperti terngiang lagi.

“Pasti kamu pikir aku mau mencium kamu ya? Jangan ge-er deh. Kamu itu adik tiriku. Aku juga punya pacar,”

 “Neyn?” panggil Melanie.

“Iya, dia sudah punya pacar. Forbidden. Lagi pula dia menyebalkan,” kata Neyna.

“Menyebalkan? Masa sih? Seksi begitu juga,” Melanie tidak percaya.

Neyna tersenyum kecut.

Aku juga tidak percaya kalau dia menyebalkan. Yang benar he is indeed a hot man.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Finger Family
Selanjutnya FINGER FAMILY BAB 7 DAN 8
18
11
“Tentang apa Ayah?” Tiba-tiba Neyna merasa jantungnya berdegup lebih kencang.“Jodoh kamu,” kata Ayah.Ya Tuhan, akhirnya tiba juga saat ini. Ibu…Tolong aku…“Sebenarnya Ayah sudah mengambil keputusan sejak lama. Calon suami kamu juga sudah tahu,” kata ayah meremas tangan Neyna. “Tetapi Ayah ingin kamu beradaptasi dan siap dulu. Apalagi ibu juga baru meninggal. Nah sekarang waktu yang tepat.”Neyna mengerutkan keningnya.Calon suami kamu sudah tahu? What does it mean? Jangan-jangan aku kenal.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan