(GRATIS) A PROPHECY -- SINOPSIS DAN BAB 1-5

42
6
Deskripsi

SINOPSIS: A Prophecy

 

Puteri Mahkota Amelia Niskala diramalkan akan melahirkan raja besar ke depannya. 

Namun dia harus menikahi seorang lelaki yang juga bukan sembarangan. 

Ahli nujum memberikan ciri-ciri lelaki yang ternyata adalah Jenderal Mahesa Auriga, panglima besar negara musuh bebuyutan Niskala.

Puteri Amelia harus bisa membawa Mahesa Auriga pulang ke negaranya, menikah dan punya anak. 

Masa depan negaranya dipertaruhkan.

Bab 1- “Yang Mulia” 

Lelaki itu berlutut dengan tubuh terikat erat. Seragam yang digunakannya bertempur sudah compang camping. Wajah pemiliknya babak belur dan kotor dengan brewok. Pertempuran lima bulan non stop itu memang melelahkan, terutama bagi mereka yang kalah.

Dia dipisahkan dari pasukannya yang tersisa. Prajuritnya sudah tidak punya cara untuk menyembunyikan pemimpinnya. Profilnya sudah terungkap sejak mereka jadi tawanan. Kini tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, karena dia sebagai pintu terakhir penjaga Negara Askara, sudah dilumpuhkan.

Mereka kalah.

Bukan saja secara jumlah, tetapi juga secara strategi.

Padahal informasi yang didapat sebelumnya, pemimpin pasukan musuh adalah anak Pemimpin negara Niskala yang masih muda dan belum pernah punya pengalaman bertempur. Nyatanya dia terlalu meremehkan musuh. Termasuk lupa bahwa di balik pemimpin yang disegani, biasanya ada lusinan orang yang mengabdikan keahlian bertempur mereka.

Pemimpin bisa siapa saja, tetapi pengikut dan pembisiknya adalah faktor penting.

Lelaki ini meludahkan darah dari mulutnya. Dia tidak mengerti kenapa harus tetap hidup. Harusnya dia yang duluan dieksekusi mati.

Pikirannya melayang pada keluarganya.

Pada anaknya yang baru dua tahun. 

Pada istrinya yang selalu setia dan mendukung dirinya. 

Entah bagaimana kabar keduanya.Kemungkinan mereka sudah mati, atau jadi tawanan seperti dia. Lelaki itu tidak bisa membayangkan bila istri dan anaknya tertangkap. Pasukan musuh biasanya akan menghabisi anak kecil, sementara perempuan yang jadi tawanan akan diangkat sebagai gundik prajurit atau masuk ke pelacuran.

Mengingat anak dan istrinya membuat air matanya mengalir.

Hingga tiba-tiba ada langkah-langkah mendekat di belakangnya. Tawanan ini mencoba memejamkan mata. Dari ilmu bela diri yang dikuasainya, tanpa melihat dia tahu kalau jumlah orang yang datang itu lebih dari 10 orang.

“Ini pemimpinnya Yang Mulia,” kata seorang lelaki.

Kini mereka sudah mengepungnya. Si tawanan sudah siap dengan kemungkinan terburuk.

Tidak ada suara dari orang dipanggil “Yang Mulia”.  Perlahan tawanan itu membuka matanya dan menatap ke depan.

Orang yang dipanggil Yang Mulia memakai seragam tempur negara musuhnya yang khas gurun pasir yaitu warna khaki. Namun ditutup jaket warna hitam untuk mengurangi dinginnya angin malam termasuk juga beanie warna senada.  Wajahnya kotor dengan kamuflase yang menyamarkan wajah.

Pandangan mereka beradu. Mata “Yang Mulia” berwarna hijau terang sangat kontras dengan tawanan yang bermata cokelat dalam. Tawanan semakin yakin dia berada di depan anak pemimpin negara musuhnya. Keluarga mereka memang dikenal dengan bola mata hijau yang indah namun kejamnya hanya Tuhan yang tahu.

“Kami ingin menawarkan sesuatu,” lelaki di samping “Yang Mulia” buka suara. 

“Kenapa tidak kau bunuh saja aku? Aku tidak akan menerima tawaran apa pun,” balas tawanan itu.

“Ini tawaran yang tidak untuk semua orang. Harusnya kau bangga,” gerutu lelaki yang sama. “Kami, warga negara Niskala tidak sembarangan memberikan tawaran.”

Si tawanan meludah.

“Dan kami warga negara Askara juga tidak sembarangan menerima tawaran,” katanya ketus.

“Kau memang patut mati. Padahal tawaran itu akan menyelamatkan semua anak buahmu. Bahkan termasuk negara kecil ini,” kata musuhnya.

Si tawanan terdiam.

Yang diinginkan sekarang memang sederhana. Dia ingin semua prajuritnya selamat dan orang-orang ini mundur dari negaranya. Setidaknya anak dan istrinya akan hidup dan tidak menderita.

Tetapi apa itu mungkin?

Selama lima bulan pertempuran sengit terjadi dan menyebabkan kerugian termasuk korban jiwa, kemudian musuh akan mundur hanya dengan dia menerima sebuah tawaran? Ini tidak masuk akal.

Sebagai panglima yang ditempa pengalaman, ada yang tidak beres di sini.

“Panglima Mahesa Auriga kami tidak punya banyak waktu,” kata lelaki itu lagi.

Si tawanan masih diam. Hingga tiba-tiba dia melihat orang yang disebut “Yang Mulia” maju.

“Kau tidak berminat untuk tahu tawaran apa itu sampai kami memberimu iming-iming yang bagus?” tanya “Yang Mulia” dengan suaranya yang rendah dan jauh dari intimidasi.

Tawanan yang memang Panglima Negara Askara yaitu Mahesa Auriga tersenyum kecut.

Fix, pemimpin di depannya ini lebih cerdas dibanding anak buahnya.

Kiranya prediksiku salah. Dia memang muda dan cerdas. Bahkan tidak perlu ada penasehat perang untuknya.

“Baiklah, aku coba untuk berminat. Tawaran apa itu,” tanya Mahesa.

“Menikah denganku dan kita membebaskan semua negara bersama-sama,” kata “Yang Mulia”.

Kali ini Mahesa gagal menyembunyikan kekagetannya. Hasilnya dia tertawa terbahak-bahak. Kalau pun harus mati setelah tertawa Mahesa tidak keberatan. Dia tidak menyangka tawaran untuk pembebasan negaranya itu adalah hal yang absurd.

“Aku punya istri dan tidak mungkin menikahi laki-laki,” balasnya.

“Yang Mulia” kini berjongkok di depan Mahesa Auriga. Dia membuka beanienya dan rambut panjang kecokelatan terawat tergerai melewati bahunya. Selanjutnya “Yang Mulia” mengambil tissue yang disodorkan anak buahnya dan menyeka kamuflase hitam di wajah.

Kini di depan Mahesa Auriga terlihat sosok “Yang Mulia” sebenarnya. Perempuan cantik dengan rambut coklat melewati bahu dan mata yang hijau cerah.

Mahesa Auriga  menelan ludahnya yang terasa pahit.

Bukan.

Bukan karena dia kesemsem dengan perempuan cantik dan tawarannya yang aneh itu. Mantan panglima ini justru mencium ada hal lain dibaliknya.

Cinta bukan salah satu faktor yang bermain di sini.

Ada faktor lain.

Mahesa Auriga sadar dia berada dalam kesulitan besar.

….

 

===

BAB 2 – NISKALA DAN ASKARA

Sebelum kita memulai cerita ini lebih serius, izinkan penulis memberikan sedikit latar belakang dimana setting cerita ini dilakukan. Jadi pembaca akan mudah memahami sejarah dan jalan ceritanya.

Setting cerita ini di sebuah tempat dimana ada dua negara: Askara dan Niskala.

Niskala dan Askara adalah negara bertetangga dengan keunikan masing-masing. Keduanya punya luas wilayah yang tidak jauh berbeda saat terbentuk ratusan tahun yang lalu, 

Sebenarnya Niskala dan Askara merupakan satu kesatuan dipimpin Yang Mulia Madhava. Lelaki ini adalah raja yang bijaksana dan dicintai rakyatnya. Sangking bijaksananya, dia membagi dua wilayahnya untuk dua anak lelakinya; Alsaki Niskala dan Diratama Askara.

Dua negara ini pun berdiri. Selanjutnya kedua negara itu mengalami perkembangan yang beda meskipun secara sejarah masih berbagi nenek moyang yang sama, budaya dan kebiasaan. 

Alsaki Niskala adalah lelaki tertua dengan sifat temperamental. Dia memimpin Niskala dengan tangan besi.  

Sementara Diratama Askara justru kalem dan tenang.

Niskala jadi negara yang punya banyak hasil tambang, kendati sedikit panas dan kering.

Sedangkan Askara negara yang cukup subur dan udaranya sejuk.

Hubungan dua negara itu baik-baik saja, hingga suatu hari tersiar kabar ada seorang putri cantik di negara Tenggara. Kedua kakak beradik ini berminat mempersunting sang puteri.Sayangnya dalam sayembara memanah, Alsaki kalah dari sang adik. 

Putri itu pun memilih Diratama menjadi suaminya.

Alsaki tidak menerima kekalahan itu begitu saja. Hubungan dua negara yang harusnya akur secara pemimpinnya kakak adik mulai memanas. Dengan tangan besinya Alsaki menguasai wilayah-wilayah yang jadi milik Askara. Tingkahnya yang ugal-ugalan ini langsung dibalas oleh Diratama.

Puncaknya kedua kakak beradik ini melakukan duel. Alsaki menang dan membunuh adiknya sendiri. Dia memboyong istri adiknya ke Niskala. Namun sang puteri ogah menikahi Alsaki. Di tengah jalan, dia meracuni Alsaki dan bunuh diri.

Selanjutnya dua negara itu dipimpin keturunan Alsaki dan Diratama.

Permusuhan kedua kakak beradik itu juga jadi turun menurun.

Hingga saat ini.

Sebisa mungkin pemimpin kedua negara ini saling menjatuhkan kendati rakyatnya lelah luar biasa.

Saat ini Niskala diperintah oleh buyut Alsaki yang entah keturunan ke berapa.  

Namanya Yang Mulia Hara. Hara ini hanya punya satu puteri kandung  dari istri sahnya yang otomatis jadi puteri mahkota. Namanya Amelia Niskala. 

Selain Amelia, Hara juga punya anak lelaki dari selir-selirnya. Tercatat dia memiliki 17 anak lelaki dan  lebih dari selusin anak perempuan dari 40 selirnya. 

Kebanyakan selir itu adalah anak bangsawan dan raja yang kalah perang dengan Niskala dan jadi tawanan. Negara ini masih hobi berperang dan setelah ratusan tahun menjadi negara dengan pengalaman perang paling banyak berikut persenjataan terkuat.

Hara memang berencana punya anak banyak dari para selir. Anak-anak ini bisa jadi orang penting di negaranya. 

Dia tidak perlu khawatir kehabisan penerus alih-alih lack of leadership seperti yang terjadi di kerajaan Jepang. Anak-anak Hara memang menduduki posisi strategis, termasuk di militer dan memimpin perang.

Amelia Niskala memang puteri Hara.

Puteri kesayangan.

Namun Amelia dididik dengan pendidikan militer juga. Ketimbang merajut, memetik bunga di keranjang dan berpakaian ala puteri yang mewah, Amelia lebih sering memakai pakaian militer. Setiap rapat strategi perang, sang puteri akan duduk di samping kanan sang Ayah.

Hara ingin Amelia punya skill bertempur meskipun dia perempuan. Kalau bisa dia lebih hebat dari Hara sendiri.

Kenyataannya Amelia memang berbakat. Dia juga licik nan licin. Bakat yang disempurnakan dengan rasa tega dan tegas. Amelia tidak segan-segan membunuh prajurit yang membangkang atau berkhianat. Untuk hal ini dia jadi disegani oleh saudara-saudara lain ibu.

Tidak ada yang berani pada Amelia.

Saat usia Amelia 22 tahun, sebuah prophecy datang pada para ahli nujum negara Niskala. Ramalan yang membahagiakan namun juga membuat Hara bingung.

Ramalan itu mengatakan Amelia sudah dipilih Dewa untuk jadi ibu seorang pemimpin besar. Pemimpin itu akan lebih hebat dan berkuasa dibanding  Yang Mulia Madhava, ayah dari Alsaki Niskala, pendiri kerajaan Niskala. Namun ramalan itu punya persyaratan bahwa Amelia harus menikah dengan lelaki yang tepat.

Dari penerawangan ahli nujum, calon suami Amelia harus lelaki bernama Mahesa Auriga.

Yang Mulia Hara sempat syok berat karena dia tahu siapa Mahesa Auriga.

Mahesa Auriga adalah panglima perang negara Askara.  Lelaki itu kini berusia 37 tahun dan sangat cemerlang dalam hal peperangan. Anehnya Mahesa Auriga ini tidak punya darah bangsawan. Dia gemilang karena memang gemilang.

Yang lebih parah lagi, Mahesa Auriga ini sudah berkeluarga. Dia punya istri dan anak.

Hara tidak bisa membayangkan anak kesayangannya menikahi lelaki yang sudah punya istri. Padahal anak gadisnya itu bisa memiliki sebuah harem dengan ragam lelaki  lajang di dalamnya. Dia puteri mahkota.

Hara mulai menyangsikan ramalan tersebut. Masak Dewa memberi berkah dan masalah sekaligus.

Lagipula negara Askara itu kan musuh bebuyutan mereka.

Anehnya Amelia tidak keberatan.

“Tidak apa-apa Ayah. Kita akan wujudkan ramalan itu. Saya akan memastikan membawa pulang Mahesa Auriga sebagai suami. Ayah jangan khawatir,” kata Amelia.

Amelia belum pernah melihat wajah Mahesa Auriga. 

Dan sekarang lelaki yang diramalkan bisa memberinya anak yang jadi pemimpin hebat masa depan itu terikat kuat di depannya, memandang dia dengan mata cokelat yang tajam dan bagus.

Tatapan penuh kemarahan.

Tetapi untuk Amelia, Mahesa Auriga kelihatan super cool.

Amelia tersenyum dalam hati.

“Dia tidak jelek. Persoalan dia sudah punya keluarga bisalah jadi urusan prajuritku,” dia membatin.

 

===

BAB 3 – MAHESA AURIGA

Mahesa Auriga lahir sebagai anak tunggal. 

Dia berasal dari keluarga pedagang yang cukup terpandang di Negara Askara.  Hal yang paling kental di ingatan Mahesa adalah dia duduk di kursi dengan buku sementara Ayah dan Ibunya melayani pembeli toko kelontong besar milik mereka.

Dia bukan bangsawan yang punya darah biru. Namun keluarga Mahesa Auriga mengenal banyak bangsawan dan sering diundang bila ada acara. 

Ayah dan Ibu Mahesa memang pintar bergaul. Padahal mereka bukanlah orang asli Askara. Kalau dari cerita Ayah ketika Mahesa remaja, orang tuanya bertemu dan saling jatuh cinta, kemudian mereka kawin diam-diam tanpa restu. Supaya lebih super lagi, kedua sejoli yang kasmaran itu memutuskan pindah sejauh-jauhnya dari keluarga.

Mereka pun memilih Negara Askara yang subur dan berhawa dingin.

Mahesa tidak pernah merasakan punya kakek dan nenek, atau om dan tante.

Dunianya hanya seputar orang tuanya dan kasih sayang tak berkesudahan dari mereka.

Usia sembilan tahu bakat memimpin Mahesa mulai kelihatan. Dia  juga punya kecenderungan membela anak-anak yang lebih kecil dari gangguan anak-anak yang lebih besar. Dia bahkan berani berkelahi dengan anak yang usianya lebih tua. 

Mahesa juga punya bakat kaligrafi dan menulis puisi. Hatinya lembut dan puisi yang dia tulis juga sangat indah. 

Dan ketika remaja dia datang kepada Ayahnya untuk menyatakan diri ingin menjadi prajurit negara Askara. Saat itu Mahesa sudah tumbuh menjadi lelaki tanggung dengan tubuh tinggi atletis, mata cokelat dalam dan rambut hitam yang berkilau seperti bulu angsa.

Dia tampan dan maskulin untuk usianya. 

Ayah Mahesa mendukung cita-cita anaknya namun memberikan syarat kalau dia tidak boleh jadi prajurit biasa. Kalau mau jadi anggota militer, dia harus jadi pemimpinnya.

Pesan yang diterima Mahesa dengan sangat serius.

Mahesa selalu lulus gemilang di semua tempat, dan lulus dari akademi militer negara Askara, dia dianugerahi beasiswa untuk belajar di Negara Tenggara untuk mematangkan ilmu kemiliterannya. Mahesa tinggal di sana selama lima tahun dan kembali dia sudah menjadi perwira tinggi.

Kenapa ke Negara Tenggara, bukan ke Negara Niskala?

Jawabannya mudah, pertama Negara Niskala --terlepas dari kehebatan mereka bertempur-- adalah musuh Negara Akara.

Alasan kedua, Negara Tenggara punya hubungan baik dengan Negara Askara. Pembaca pasti ingat kalau pendahulu Negara Askara memenangkan sayembara memanah dan menikahi Putri raja Negara Tenggara? Hubungan baik itu tetap terjaga hingga sekarang. 

Selain itu Negara Tenggara adalah negara yang juga kuat secara kemiliteran. 

Buktinya di saat Negara Niskala sangat agresif menyerang negara lain dan menjadikannya sebagai daerah jajahan, Negara Tenggara justru tidak tersentuh.

Di usia 35 tahun Mahesa Auriga menjadi Panglima Besar Negara Askara. Dia menikahi Diana pacar lamanya yang berasal dari Negara Tenggara dan kemudian dikaruniai anak perempuan. Kehidupan Mahesa Auriga adalah pasukan dan keluarganya. Betapa dia mencintai mereka semua.

Kehidupan akan baik-baik saja namun berubah saat Negara Niskala menyerang. Kalau biasanya serangan mereka hanya di perbatasan, kali ini justru menyerang secara masif ke semua tempat. Tentu saja tanpa pemberitahuan dan kali ini Mahesa Auriga melakukan kesalahan besar dengan tidak pernah serius menempatkan mata-mata.

Kenyataannya mata-mata musuh sudah masuk ke kawasannya sejak berbulan-bulan lalu. Mereka paham dimana kelemahan negaranya dan berpikir hanya satu bulan mereka bisa merebut Askara.

Tetapi Mahesa Auriga bukan panglima cemen. Dia bisa mempertahankan Negara Askara hingga lima bulan! Semua strategi militer yang tidak terbayangkan oleh Negara Niskala dilakukan Mahesa. Pertempuran sengit berlangsung tanpa jeda.

Dan akhirnya mereka memang kalah.

Tetapi setidaknya kalah terhormat.

Sekarang ada permintaan aneh dari pihak musuh, bahwa mereka akan mundur dan mengembalikan kedaulatan negara dengan syarat dia menikahi anak pimpinan Niskala. Perempuan bermata hijau dengan rambut terurai yang cantik namun ada aura mengerikan di balik suaranya yang tenang.

Mahesa langsung membandingkan perempuan ini dengan Diana istrinya.

Mereka jelas-jelas bertolak belakang.

Kalau Diana bisa menimbulkan ketenangan dan kebahagiaan bagi jiwa Mahesa yang tertekan dengan jabatan tingginya, perempuan berseragam militer itu justru membuatnya insekyur. Kalau sekelas panglima seperti dia bisa merasa was-was, konon pula lelaki lain.

Mahesa juga gagal paham kenapa dari jutaan lelaki pilihan perempuan itu justru dirinya. Memang dia adalah panglima perang, namun bukannya dia sudah kalah?

Kalau dari segi ketampanan, yang diketahui Mahesa bangsawan Niskala jauh lebih tampan. Mereka berasal dari bibit unggul.

Kalau ingin menyasar lelaki negara lain, bukannya perempuan ini bisa mendapatkan lelaki yang sepuluh kali lebih baik? Lajang pula.

Sementara dia sudah berkeluarga meskipun anak istrinya entah dimana dan dalam kondisi hidup atau mati.

“Aku tidak bisa menikahimu, aku suami dan ayah,” kata Mahesa. “Lebih baik hentikan omong kosong ini dan bunuh aku secepatnya.”

Perempuan yang dipanggil “Yang Mulia” itu tersenyum.

Dia senang dengan gaya Mahesa yang tidak takut padanya dengan menggunakan kata ganti “mu” dan ber-aku-kamu. Selama ini semua orang hormat dan tunduk pada dia.

Semua.

Kecuali lelaki ini yang diramalkan akan memberinya calon pemimpin dunia yang hebat.

“Aku beri waktu satu hari untuk berpikir. Dan dalam satu hari itu pikirkan orang-orang yang bisa kau selamatkan,” perempuan itu bangkit dari posisinya berjongkok. Dia memandang anak buahnya. “Lepaskan dia dan beri makanan panas.”

Anak buahnya ingin protes, namun “Yang Mulia” malah tersenyum pada Mahesa Auriga.

'Bukankah begitu Panglima? Bila perut terisi dan sudah beristirahat, kau akan berpikir jernih. Sekali lagi gunakan waktu itu untuk memikirkan orang-orang yang bisa kau selamatkan," katanya.

Mahesa Auriga mengutuk dalam hati.

Satu hal yang pasti, perempuan itu tahu kelemahannya yang justru lemah pada orang tertindas.

 

--00—

Perempuan itu terbaring dengan tubuh polos tanpa penutup sama sekali. Di depannya seorang lelaki kekar memaju mundurkan tubuhnya sambil mengeram penuh nafsu.

Perempuan seperti sudah mati meskipun matanya masih terbuka tanpa kehidupan di dalamnya. Dia bisa merasakan tubuhnya terguncang-guncang bersamaan dengan tangan kasar meremas payudaranya. Tangan itu kemudian pindah ke mulutnya dan dia dipaksa menghisap jemari lelaki itu.

Dengan pasrah dia menurut, sementara gerakan lelaki itu semakin cepat. Rupanya birahinya semakin meninggi.

Perempuan tidak bisa merasakan sakit lagi.

Sudah beberapa minggu perempuan itu mengalami perkosaan tanpa henti. Yang melakukannya adalah dua lelaki bersaudara yang jadi perwira tinggi militer Negara Niskala. Kadang perkosaan itu dilakukan bergantian namun lebih sering bersama-sama. 

Keduanya betah dengan dia dan menyekapnya hanya untuk mereka.

Sepertinya kedua lelaki itu senang berbagi dalam banyak hal.

Dari pembicaraan selama mereka memperkosanya, perempuan itu tahu kalau kedua lelaki ini adalah anak Hara Niskala, pimpinan Negara Niskala. 

Nama mereka Wikrama Hara dan Kaivan Hara.

Kemungkinan besar anak dari selir-selirnya. Bukannya Hara punya harem yang disebut orang mesin pembuat anak?

Lagipula nama belakang mereka menggunakan “Hara” ketimbang “Niskala”. Artinya mereka memang anak pemimpin namun kastanya lebih rendah.

“Ahhh Diana sayang… Kau benar-benar istri panglima Mahesa. Aku bisa gila kalau tidak bisa menyentuhmu,” suara erangan lelaki itu terdengar bersamaan dengan klimaks yang dia dapat.

Perempuan yang dipanggil Diana tidak menjawab. Hanya air matanya saja yang bercucuran.

Lelaki itu rebah di atas tubuh Diana dengan tubuh penuh keringat. Lima menit kemudian dia bangkit dan memakai pakaian militernya.

Tanpa bicara, dia pergi dari ruangan itu.

Diana tidak tahu yang baru selesai memperkosanya itu Wikrama atau Kaivan. Dimatanya kedua lelaki itu sama-sama bejat. Mereka juga maniak dan bisa muncul kapan saja mereka mau.

Bisa siang.

Bisa malam.

Bisa pagi.

Tergantung keinginan dan nafsu yang harus dipuaskan. Dia juga harus selalu siap melayani dua lelaki itu.

Dia tidak punya pilihan.

Suaminya entah dimana dan… anaknya….

Mengingat anaknya membuat Diana menangis. Anaknya Mahavira Auriga  terakhir dirampas begitu mereka tahu dia istri dari Mahesa Auriga Panglima Perang Negara Askara.

Sejak itu dia tidak tahu lagi kemana nasib anaknya.

Hari seperti biasa berlangsung lambat dengan penderitaan yang dia rasakan. 

Menjelang malam fragmen yang sama terjadi lagi. Kedua lelaki itu masuk dan kembali memperkosa dirinya. Mereka berpesta di atas tubuhnya, terutama dengan informasi kalau suaminya sudah tertangkap dan negara mereka menang.

Diana tahu suaminya akan mati.

Anaknya kemungkinan juga sudah mati.

Jadi untuk apa dia hidup?

Kali ini Diana melayani kedua lelaki itu tanpa menyesali diri. Dia mengikuti semua yang dimau kedua laki-laki sehingga keduanya kelelahan dan tertidur. Kesempatan itu digunakan Diana sebaik-baiknya. Tanpa suara dia bangkit mengambil pistol yang diletakkan di atas meja, dan membidik.

Dor.

Dor.

Dua lelaki itu tewas tanpa sempat bangkit dari tidurnya.

Suara pintu kamar digedor terdengar. Anak buah kedua perwira tinggi itu sepertinya akan mendobrak pintu. Usaha mereka berhasil. Pintu terbuka. Semua melongo melihat Diana membidikkan pistol ke pelipisnya.  Bibirnya tersenyum dan berbisik

“Mahesa Auriga suamiku, Mahavira anakku, Kita akan bertemu lagi…”

Dengan perlahan dia memejamkan mata dan menekan pelatuk…

 

===

 

BAB 4 – PULANG

Kini Jenderal yang kalah perang itu tidak lagi terikat. 

Tidak terikat bukan berarti kebebasannya pulih, justru sekarang dia merasa seperti seekor tikus di dalam perangkap karena berada di sebuah ruangan terkunci.

Ruang tempatnya istirahat sangat bersih. Ada ranjang berseprai putih yang wangi dan bantal yang sepertinya empuk. Mahesa Auriga yang sudah beberapa hari ini tidak tidur langsung mengantuk. Hasrat itu ditahannya karena dia tidak ingin menggunakan fasilitas musuh. 

Sama seperti dia menolak untuk mandi dan makan. Kendati tubuhnya sudah berhari-hari tidak menyentuh air dan perutnya perih akibat rasa lapar.

Ingatan Mahesa pada istri dan anaknya. Pertemuan terakhir mereka lima bulan yang lalu itu berlangsung terburu-buru. Mahesa sempat pulang ke rumah untuk mengucapkan selamat tinggal, berikut membawa kedua orang yang dia cintai itu personel militer yang mengurus pengungsian.

Seminggu kemudian ada kabar yang menyatakan kalau lelaki itu sudah tewas dan pengungsi kocar kacir. Sebagian besar dari mereka menjadi tawanan musuh.

Saat itu Mahesa berdoa istri dan anaknya tidak ada dalam rombongan.

Diana dan Mahavira menghilang.

Sejak saat itu tidak ada informasi yang masuk. Hingga pertempuran sengit selama lima bulan itu akhirnya padam dengan tertangkapnya dia. Namun hati kecilnya meyakini Diana masih hidup.

Saat Mahesa bersandar di dinding masih dengan kondisinya yang lelah, dia sempat terlena beberapa menit. Dia seolah melihat Diana melambaikan tangan dan berlari menghampiri dia sambil mengendong Mahavira. Keduanya memakai pakaian bersih seperti sutera. Rambut panjang Diana diterbangkan angin dan di mata Mahesa dia begitu cantik.

Lebih cantik dari yang diingat Mahesa dulu ketika tersenyum menerima pinangannya.

Kini Diana berdiri di depannya. Dia mengenggam tangan Mahesa.

“Tetaplah hidup Kanda… Kami baik-baik saja…” bisik Diana sembari mengecup pipi Mahesa.

Mahesa terkejut dari kondisinya yang antara tidur dan terjaga.Tangannya seperti benar-benar mengenggam jemari Diana yang lentik itu.

Hangat dan wangi.

Itu bukan mimpi. Itu nyata!

Air mata Mahesa turun tanpa dia sadari. Jenderal pemberani yang punya beribu cara menghalangi pasukan negara Niskala ini menangis terisak-isak. Dia menyadari kalau baru saja bertemu dengan arwah istri dan anaknya. Keduanya sudah meninggalkan dia ke alam lain.

Hal yang paling menakutkan sudah terjadi.

Cukup lama Mahesa menangis.

Setelah itu sang jenderal masuk level penyangkalan diri.

Selanjutnya dia masuk tahapan menyesali diri.

Dan puncaknya dia tidak ingin menjadi penyebab banyaknya korban jatuh.

Mungkin dia harus menyerah. 

Cukup sudah dia kehilangan anak dan istrinya. Kalau dia bisa menyelamatkan warga negara yang lain, akan dia lakukan.

Ini bukan saatnya memikirkan balas dendam.

Tetapi balas dendam bisa dilakukan kapan saja.

Mahesa bangkit. Dia memutuskan membersihkan tubuhnya di kamar mandi dan menganti pakaiannya dengan yang bersih. Di sana dia mencukur jenggot dan juga brewoknya. Setelah bersih-bersih dia menikmati sup dan roti yang terhidang di meja.

Perut yang kenyang dengan tubuh yang bersih langsung menyebabkan Mahesa mengantuk. Kini dia tidak lagi sungkan untuk merebahkan diri ke atas ranjang berseprai putih dan wangi itu. Dia bahkan tidak peduli akan dibunuh dalam kondisi tidur dan mati secara memalukan.

Tidak ada lagi yang perlu dipertimbangkan karena memang tidak perlu.

Mahesa tidur pulas.

Dia tidur entah berapa jam dan ketika bangun tubuhnya menjadi lebih segar. Di meja sudah terhidang makan malamnya yang ternyata masih panas. Entah kapan orang masuk membawa makanan, Mahesa tidak tahu.

Jenderal itu kembali makan dengan lahap.

Selesai makan, tubuh Mahesa lebih fit dua kali lipat. Dia mengetuk pintu dan seorang prajurit menjengukkan kepalanya.

Mahesa menghela nafas sebelum dia buka suara.

“Aku ingin bertemu pimpinanmu,” katanya. 

Hanya kurang dari lima menit pintu terbuka. Mahesa digiring oleh dua prajurit menuju aula yang cukup luas. Di sana dia melihat perempuan berambut cokelat sudah menunggunya. Mata perempuan itu menatap Mahesa tidak berkedip secara sang Jenderal tampil lebih bersih dan segar.

“Aku siap menjawab permintaanmu tetapi dengan beberapa syarat,” kata Mahesa.

“Aku dengarkan,” ujar  perempuan itu tersenyum.

“Pertama, aku minta pasukan Niskala mundur dari negaraku terlebih dahulu dan melepaskan semua tawanan,” kata Mahesa.

“Dipahami,” perempuan itu mengangguk.

“ Syarat kedua aku ingin kalian tidak akan mengganggu Askara lagi,” ujar Mahesa. 

Kening perempuan itu berkerut. Namun sejenak dia tersenyum.

“ Kau memang orang baik. Akan dibicarakan,” kata perempuan itu. “ Ada lagi?”

Mahesa menggeleng.

“ Kau tidak ingin bertemu dengan istri dan anakmu Jenderal?” tanya Perempuan itu.

Mahesa menggeleng.

“Untuk apa?”

“Lelaki baik bukannya memastikan mereka baik-baik dulu sebelum pergi selamanya dari kehidupan mereka?” tanya Perempuan itu tenang.

Mahesa tersenyum kecut.

“Itu akan jadi syaratku terakhir, kau tidak boleh menyinggung tentang anak istriku atau aku akan pergi dari hidupmu," nada suara Mahesa berubah dingin

Perempuan itu tertawa.

“ Kau sangat sentimen sebagai lelaki,” ujarnya.  “Tapi aku suka punya suami yang sensitif.”

Mahesa tidak menjawab.

“Bersiaplah Jenderal. Malam ini kita berangkat,” perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Mahesa.

“Berangkat?” Mahesa keheranan.

Perempuan itu mengangguk. Matanya yang hijau indah itu menatap Mahesa dengan penuh arti.

“Ya, Kekasihku. Kita akan pulang ke Niskala,”

 

===

BAB 5 – PUTRI DAN CALON SUAMINYA

Persiapan kepulangan “Yang Mulia” ke Negara Niskala diatur dengan sangat cermat.  

Tidak ada satu orang pun berminat  membuat “Yang Mulia” murka. Apalagi kepulangannya tidak sendirian, melainkan dengan calon suami yang juga bukan orang sembarangan: mantan panglima perang Negara Askara yang merepotkan selama lima bulan!

Panglima Mahesa Auriga tidak melakukan persiapan untuk pindah ke negara barunya. Dia tidak punya apa-apa lagi kecuali setitik harga diri dan segenggam dendam.

Selebihnya dia hanya lelaki yang akan mempersembahkan dirinya pada perempuan yang dipanggil “Yang Mulia” itu.

Sepanjang waktu Mahesa Auriga berada di dalam kamar.

Tidak ada yang menganggunya. Seolah semua tahu kalau tidak ada yang bisa dilakukan Mahesa di ruangan itu.

Dia tidak bersenjata, sudah tunduk dan sebentar lagi akan mendampingi “Yang Mulia”.

Bagi personel militer yang dididik mencintai negaranya, tidak ada yang lebih menyedihkan dari seorang Panglima Perang yang takluk dan kemudian menikahi perempuan yang jadi musuhnya.

Semua bisa maklum kalau harga diri Panglima Mahesa Auriga akan sangat terpukul.

Mungkin saat ini Panglima yang takluk itu sedang menyesali nasibnya.

Perkiraan mereka hanya 50 persen benar. Secara fisik Mahesa memang tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi otaknya justru sedang berpikir keras. Dia masih belum mengerti kenapa semuanya begitu mudah setelah dia setuju menikahi “Yang Mulia”.

Hingga saat ini Mahesa tidak tahu siapa nama asli “Yang Mulia”. Padahal perempuan itu akan menjadi calon istrinya. Mahesa juga bertanya-tanya apakah perempuan ini anak dari salah satu selir Pemimpin Hara yang  cukup banyak.

Mahesa seperti jadi pejantan saja, karena menyerah kalah dan menikahi “Yang Mulia”.  Perempuan itu pasti psikopat karena terobsesi menikahinya. Mungkin dia akan lebih menghancurkan mental Mahesa lagi begitu akhirnya berlabuh di ranjang.

Meskipun Panglima Mahesa tahu penyerahan dirinya bukan gratis, semua demi Negara Askara.

Dia frustrasi hanya dengan memikirkannya.

Kelelahan berpikir akhirnya Panglima terlelap. Dia kembali bermimpi bertemu dengan Diana dan anak perempuannya. Diana memeluk dia seolah mengucapkan selamat tinggal. Panglima Mahesa bahkan sempat memeluk anaknya dan mencium dahinya lembut. 

Saat itu Panglima kembali meneteskan air mata.

Dia justru terbangun begitu merasakan ada jemari mengusap wajahnya. Meskipun dalam kondisi tidur, indera Panglima terbiasa waspada. Instingnya langsung tahu bahwa jemari itu bukan milik Diana istrinya.

Dugaan Panglima Mahesa benar.

Di sisinya duduk “Yang Mulia”. Perempuan itu memang mengusap air mata yang meluncur dari ujung mata Panglima Mahesa. Matanya yang hijau indah itu menatap Panglima dengan tatapan dalam yang sarat makna.

Mahesa terduduk dari posisinya berbaring.

“Kita berangkat sekarang?” tanyanya.

“Yang Mulia” mengangguk. Dia sudah rapi dengan seragam militer dan mantel yang tebal. Warnanya juga sahara, senada dengan seragamnya. Rambut “Yang Mulia” terurai melewati punggungnya dan sepertinya dia sedikit berhias dengan pipi yang sedikit kemerahan dan bibir yang diolesi lipgloss tipis.

Perempuan itu berdiri dan memakai sarung tangan hitam. Matanya memperhatikan gerak gerik Panglima Mahesa yang membelakangi dan mencuci wajahnya di wastafel.

Mahesa sedikit malu dipergoki menangis dalam tidurnya. Dia lebih malu lagi menyadari kalau “Yang Mulia” cukup bijaksana untuk tidak mempertanyakan alasan mengapa meneteskan air mata.

Tetapi kenapa harus malu? Dia menangis mengingat istri dan anaknya. Mengingat masa lalu yang dulu begitu cerah dan membahagiakan. Masa lalu saat dia merasa sebagai lelaki seutuhnya bukan “pengantin persembahan" yang melucuti kelelakiannya. Apa itu salah?

Panglima Mahesa meletakkan tangannya di wastafel dan melihat wajahnya di cermin wastafel.  Sesaat kemudian dia memejamkan mata mencoba berpikir bahwa dia masih dalam mimpi dan itu mimpi buruk.

Suara pintu terdengar. 

Mahesa refleks memuka matanya. Dari pantulan cermin dia melihat sosok “Yang Mulia” mengambil baki dari pengawalnya. Baki itu diletakkan di meja, dan “Yang Mulia” menuangkan isi teko ke cangkir. Aroma wangi teh tercium di hidung Mahesa.

“Aku sudah minta dibuatkan teh hangat dengan madu dan buah beri. Asawa membutuhkannya,” kata perempuan itu menghampiri Mahesa.

Asawa!

Sepertinya Panglima Mahesa tidak bermimpi, dia memang akan menikahi perempuan ini. Dengan luwesnya perempuan musuhnya ini menyebutnya dengan “Asawa”  atau suami.

Panglima Mahesa menoleh dan tersenyum kecut.

“Aku tidak pantas dipanggil seperti itu,” kata Panglima Mahesa.

Perempuan itu tertawa.

“Mungkin harus membiasakan diri,” balasnya. “Kita akan menikah, dan kau akan menjadi Asawaku.”

Mahesa menghela nafas.

“Kalau hanya memuaskan keinginanmu tidur dengan panglima perang yang kalah, untuk apa menikah. Aku bersedia menjadi gundikmu, selama perjanjian kita soal keamanan Askara dilakukan,” kata Mahesa.

Di luar dugaan “Yang Mulia” tertawa.

“Begitu ya?” ujar Yang Mulia setelah tawanya reda.

“Bukannya itu yang biasa terjadi? Kau tidak perlu repot-repot menikahi aku dan bersandiwara dengan memanggilku seperti itu. Setelah kau puas, mungkin aku bisa bergabung dalam harem laki-lakimu. Tidak perlu terikat,” balas Mahesa.

Perempuan itu kembali tertawa geli.

“Asawa, aku tidak akan marah dengan hinaanmu bahwa aku memiliki harem lelaki. Aku yakin kau tidak tahu apa-apa tentang aku. Tetapi yang membuatku terkejut, kau punya pikiran serendah itu untuk dirimu sendiri,” kata perempuan itu.

Nadanya berubah serius, dan Panglima Mahesa bisa merasakan angin dingin menerpa sanubarinya.

Dengan anggun dia menyibak rambut cokelat indahnya dan menghampiri Panglima Mahesa. Kini dia berdiri sangat dekat. Tangannya yang ditutup sarung tangan hitam mengelus wajah basah sang panglima dan menatap mata cokelat di depannya itu lekat.

“Begitu kau melangkah pergi dari tempat ini, kau bukan warga negara Askara lagi Asawa. Semua orang akan menganggapmu pengkhianat dan aku pikir itu lebih bagus. Kau akan belajar untuk betah di negaraku,” katanya.

Dia berdiri menjauh.

“Selain itu tidak ada alasan untuk kembali lagi ke sini. Istrimu sudah mati. Maafkan aku menyampaikan kabar buruk ini. Aku baru menerima kabar,” kata Perempuan itu tenang.

Mahesa kembali membalikkan badan menghadap wastafel. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya. Kemarahan di sanubarinya bergejolak. 

Secara insting Mahesa sudah tahu dia kehilangan anak dan istrinya. Namun mendengar sendiri dari perempuan musuhnya itu membuat informasi terkesan tragis dan sialnya dia pasti punya kontribusi membuat Diana mati.

 Tiba-tiba Mahesa meninju cermin wastafel. Kaca di cermin itu pecah berantakan. Buku-buku jari tangannya berdarah.

Suasana langsung senyap.

Perempuan itu menghela nafas.

Namun tanpa rasa takut dan khawatir, dia menghampiri Panglima Mahesa, membimbingnya ke ranjang dan duduk di sisinya. Perempuan itu membuka sarung tangannya dan mulai mencabuti serpihan cermin di tangan Panglima dengan hati-hati membiarkan darah Panglima Mahesa mengotori mantel yang dia kenakan. Kini mantel berwarna sahara itu berbercak darah segar.

Keduanya membisu lagi. Dan setelah cukup lama, perempuan di depannya itu bersuara.

“Panglima… Itu kematian yang sepadan. Istrimu membunuh dua saudara lelakiku…” bisiknya tanpa menoleh dari tangan sang Panglima. “Menurutku, kita impas…”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
A Prophecy
Selanjutnya PEREMPUAN MAHENDRA-- BAB 20 DIKA'S DILEMMA
45
15
“Persiapan lu untuk ngelamar Liyana udah kelar?” tanya Darel.Sejujurnya Dika belum bersiap-siap. Tetapi dia harus berbohong.“Beberapa hal udah selesai,” kata Dika tanpa merinci maksud beberapa hal itu apa.Darel menganguk. “Baguslah. Gue udah bilang ke Mbak Dinar untuk mencari hadiah seserahan yang layak. Jadi lu ngga usah mikirin itu lagi. Buah dan kue itu jadi urusan Dorsy dan gue. Lu tinggal bawa cincin aja,” kata Darel. “Lu udah cari cincin untuk Liyana?”Kali ini Dika tidak berani berbohong karena menggeleng.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan