CLYBU|| Delapan Belas - Terungkap

23
7
Deskripsi

Halo teman-teman penunggu cerita ini, apa kabar? Pertama-tama aku minta maaf karena baru update lagi ini cerita ya. Jujur aku kena writer block dan sempat hilang feel untuk lanjutin cerita ini (doain aja semoga ke depannya bisa lancar-lancar). Terus aku juga mau ngucapin makasih banyak buat teman-teman yang komen di part sebelumnya yang menyakinkan aku untuk tetap pede lanjutin cerita ini. Komentar kalian benar-benar berarti banget bagiku, lhoo. Makasih ya! Yang rajin kasih vote juga makasih. Semoga...

 

18. CLYBU|| Terungkap.

 

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. 

Serena masih berada di ruang tengah, melanjutkan merajut blanket. Mungkin dia pun bisa tidur di sana menggunakan blanket rajutannya yang belum selesai sebagai penghangatnya.

Setelah konfrontasi itu, Sebastian belum menunjukkan batang hidungnya lagi. Serena pun tidak mendatangi kamarnya. Dia terlalu capek menjadi pihak yang terus mengalah. Sebastian membuatnya terlalu lelah sampai Serena ingin menyerah saja.

Terlebih dia sudah mengetahui kebohongan laki-laki itu. Sebastian berbohong tentang...

“Masuk kamar. Udah malam.”

Serena mengerjap dari lamunan. Menolehkan kepala, mendapati Sebastian yang berdiri menatapnya tanpa ekspresi.

“Aku tidur di sini aja,” jawab Serena, kembali melanjutkan kegiatan merajutnya yang sempat terhenti gara-gara melamun.

Serena tidak mendengar respons Sebastian. Namun, sudut matanya menangkap laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Meksipun tidak melihatnya, Serena merasakan tatapan Sebastian yang tengah menatapnya intens.

“Tidur di kamar, Ser.” Suara pria itu kembali terdengar. “Aku yang tidur di sini kalau kamu nggak mau sekamar sama aku.”

Serena mengangkat kepala. Tatapnya kembali bertemu dengan Sebastian yang kini tidak menatapnya sedingin tadi.

“Kamu aja yang di kamar. Aku--”

“Serena.” Sebastian menyela. Dari nada bicaranya jelas sekali dia tidak mungkin membiarkan Serena tidur di ruang tengah. “Tidur di kamar.” Tidak ingin menerima bantahan lagi.

Serena mengembuskan napas. “Kamu juga,” katanya. “Jangan tidur di sini.” Ujung-ujungnya Sebastian pasti sudah memahami Serena tidak akan membiarkan dirinya tidur di ruang tengah.

“Nggak papa. Aku di sini.” Sebastian duduk di sofa single. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, memejamkan mata.

Serena menyipit. Tidak mungkin, kan Sebastian akan tidur dalam posisi seperti itu? Belum lagi tangannya yang disangga membuatnya tampak menyedihkan.

Entah kenapa Sebastian selalu mempunyai cara untuk membuatnya iba. 

Padahal mungkin yang lebih pantas dikasihani adalah dirinya sendiri. 

Berdiri dari tempat duduknya, Serena melangkah mendekati sang lelaki. “Bangun, Bas. Jangan tidur di sini,” tangannya menepuk-nepuk lengan Sebastian.

Yang dibangunkan membuka mata. Menatap Serena sesaat seolah sedang mengamati. “Aku nggak mau tidur sama orang yang nggak mau tidur sama aku.”

“Itu kamar kamu. Aku nggak mungkin tidur di sana sendirian.”

“Tidur aja. Kayak baru pertama kali aja tidur di sana.”

“Jadi kamu mau tetep tidur di sini?”

Sebastian mengangkat bahu sekenanya. “Dibanding kamu yang tidur di sini.”

“Ya udah kamu juga tidur di kamar kalau aku nggak boleh tidur di sini.”

“Aku nggak mau tidur sama orang yang nggak mau tidur sama aku.” Sebastian mengulang ucapannya.

Serena menatap Sebastian yang kembali memejamkan mata. Di momen ini, dia jadi bisa kembali melihat sisi Sebastian yang dramatis seperti ini.

Sulit dipercaya memang. Sosok Sebastian yang tampak garang, dingin, anti drama, malah mempunyai sifat dramatis yang membuatnya terkesan childish.

“Aku nggak pernah bilang nggak mau tidur sama kamu.”

Sebastian masih memejamkan matanya. Seperti meminta dibujuk lebih keras.

Menatap Sebastian sesaat, Serena kembali ke tempatnya duduk. “Ya udah aku juga tidur di sini kalau kamu mau tetep tidur di sini.”

Pernyataan yang membuat Sebastian sontak membuka matanya.

“Nggak keberatan memangnya? Di sini ada aku.”

“Kenapa harus keberatan?”

“Bukannya alasan kamu tadi mau tidur di sini karena nggak mau sekamar sama aku?”

“Enggak.” Serena menggeleng. “Emang cuma mau tidur di sini aja.”

Sebastian mendengus kecil. “Jangan bohong. Kamu lagi marah kan sama aku?”

“Kenapa aku marah sama kamu?” Jika tidak mau mengalah, Serena hanya perlu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. 

Sebastian tidak langsung merespons. 

“Tidur di kamar kalau nggak marah.”

“Udah aku bilang alasanku nggak mau tidur di kamar bukan karena marah. Cuma mau--”

“Ser,” Sebastian menyela. Frustrasi sendiri dengan sikap sok polos dan acuh tak acuh Serena seperti itu. “Tidur di kamar,” tekannya. Sungguh tidak ingin menerima bantahan lagi.

“Emang ada yang salah--”

“Serena?!” nada suara Sebastian meningkat. “Kenapa kamu jadi keras kepala begini sih? Dulu kamu tuh nggak begini.”

Dulu. Dulu. Dulu.

Kenapa Sebastian selalu hidup di masa lalu? 

Serena tidak paham kenapa Sebastian selalu menganggapnya sama seperti dulu. Padahal manusia bisa berubah. Dan jujur dia muak karena laki-laki itu selalu mengungkit sikapnya yang dulu. Sikap di mana dia sadari begitu sangat bodoh dan naif. 

“Kenapa kamu selalu bilang dulu aku nggak begini, dulu aku nggak begitu, dulu aku nggak kayak gini, dulu aku nggak kayak gitu?” unek-unek Serena keluar. “Di mata kamu aku yang dulu emang kayak gimana? Aku yang mudah kamu bohongin? Aku yang mudah kamu manipulasi? Aku yang... mudah kamu permainkan?”

Sebagai sosok yang tidak bisa vokal terkait perasaannya, sebuah kemajuan besar dia mampu menyuarakan hal itu. 

“Jangan-jangan kamu masih melihat aku sebagai Serena si anak umur 16 tahun? Aku udah 24 tahun, Bas, kalau kamu nggak tahu.”

Memalingkan wajah, matanya memejam, menahan luapan emosi yang kembali muncul. 

“Aku tahu kamu bohong soal nggak punya pacar.”

Ucapan yang membuat Sebastian spontan menegang. 

“Sofia... dia pacar kamu, kan?” Serena menelan saliva kasar. Dia sudah memikirkannya matang-matang untuk mengatakan hal itu. Fakta dia dibohongi oleh Sebastian sejujurnya tidak terlalu mengejutkan—sudah terbiasa. Namun, rasa kecewanya masih sama saja. Lebih kecewa karena ternyata Sebastian sama sekali tidak berubah.

“Siapa yang bilang dia pacar aku?”

Serena menahan dengkus. Sepertinya jika dia hanya asal ngomong hanya untuk memancing laki-laki itu, Sebastian pasti akan berkata seolah-olah Sofia memang bukan pacarnya.

Sayangnya Serena sudah tahu fakta sebenarnya. Sore tadi dia melihat mobil Sebastian di bahu jalan depan bakery. Lalu, melihat Sofia turun dari sana.

Fakta yang tidak bisa disangkal lagi adalah ketika Sofia tiba-tiba meminta nomor ponselnya kemudian bilang, “nanti harus datang loh ya ke nikahan aku sama Bastian.”

Serena hanya berharap saat itu raut wajahnya yang kaget tidak terlalu kentara. 

Setelah melihat sosok Sofia muncul di depannya, dia teringat dengan perempuan yang jalan bersama Sebastian waktu di mal. Pantas saja saat itu dia pun tampak tidak asing dengan perempuan itu. Ternyata memang orang yang dikenalnya.

“Intinya kamu emang punya pacar, kan?”

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Sebastian. Dia berdiri, berjalan melangkah mendekati Serena. “Emangnya kenapa kalau aku punya pacar?”

Serena hampir mendengus tidak percaya mendengar pertanyaan tanpa dosa itu keluar dari mulut laki-laki yang kini berdiri menjulang di depannya.

“Kamu cemburu?”

Cemburu?

Mungkin... iya. Tapi dibanding cemburu... Serena lebih merasa marah?

“Kalau pacar kamu... tahu....” Serena melipatkan bibir ke dalam. Dadanya tiba-tiba sesak, “... apa yang kamu lakuin sama aku di belakang dia gimana?” 

Membayangkan Sofia mengetahui hubungannya dengan Sebastian membuat perasaan Serena yang jijik kepada dirinya sendiri kembali muncul.

Jijik sekali hanya dengan membayangkan dia akan menjadi sosok yang menyakiti perempuan itu.

Hanya dengan membayangkan dirinya dicap sebagai pelakor sudah membuatnya sakit hati dan ketakutan sendiri.

“Kamu nggak memikirkan perasaan dia, Bas? Aku juga nggak mau sampai menyakiti pacar kamu. Jadi gimana kalau... utang itu aku bayar dengan uang juga? Jangan dengan tubuhku lagi.”

Sebastian diam. “Yang aku butuhin cuma kamu, Ser.”

“Bas!” Serena menyambar. Tidak habis pikir. “Kamu punya pacar.”

“Aku nggak cinta sama dia,” Sebastian membalas cepat. “Hubungan aku sama dia cuma sekedar hubungan bisnis. Nggak ada yang spesial antara aku dan Sofia.”

Serena tidak tahu lagi harus bereaksi bagaimana. Saking frustrasinya dia sekarang.

“Gimana kalau keluarga kamu tahu—nggak.” Serena dengan cepat meralat, “gimana kalau keluarga kamu tahu keberadaan aku? Gimana kalau keluarga kamu tahu hubungan apa yang aku lakoni sama kamu?”

Sebastian bergeming.

“Kamu suka sama aku, Bas?” Tidak ada lagi waktu untuk Serena bersikap naif. 

Serena tidak terlalu bodoh dengan tidak mengetahui Sebastian tidak menyimpan perasaan apa pun kepadanya. Setidaknya dia hanya ingin memastikan. Perasaan apa yang sebenarnya Sebastian miliki untuknya?

Lagi—belum ada jawaban yang keluar dari mulut laki-laki itu.

Hening.

Serena tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran Sebastian. Laki-laki itu terlalu rumit untuk dia pahami. Begitu pun dengan perasaannya yang tidak pernah bisa dia mengerti.

Seandainya Sebastian mengatakan yang sejujurnya pun, sulit untuk Serena menyakini itu adalah kebenarannya. Saking seringnya dia dibohongi oleh laki-laki itu.

“Kamu mau aku suka sama kamu?”

Dan lihatlah. Alih-alih langsung memberi jawaban langsung, jelas, padat, Sebastian malah balik melempar pertanyaan.

Bertanya seakan-seakan alasan Serena bertanya itu karena ingin dia sukai.

Ada hening yang lagi-lagi tercipta, sebelum Serena menjawab, “enggak.” kepala menggeleng. “Aku justru berharap nggak disukai kamu.” Sorot matanya yang selalu berpendar hangat dan ramah itu kini datar, tanpa ekspresi.

Seberapa jauh Sebastian akan merubahnya?

“Ah...” Sebastian manggut-manggut untuk sesuatu yang tidak Serena pahami. Dia berlutut di depan Serena yang duduk di sofa. Tangannya mendadak terulur membelai halus pipi perempuan di depannya.

Entah kenapa Serena mendadak merinding. Apalagi melihat sorot mata culas dan salah satu sudut bibir laki-laki itu tertarik tipis.

“Sayangnya harapan kamu itu nggak bisa terwujud.”

Jantung Serena mendadak berdebar cepat. Bukan berdebar dengan sensasi menyenangkan. Melainkan... ketakutan.

“Aku suka kamu, Serena.” 

Tubuh Serena kaku, ketika Sebastian mendekatkan wajah. Demi Tuhan bulu kuduknya tiba-tiba merinding. 

“Suka banget sampai rasanya mau gila.” Serena terkesiap ketika Sebastian mengangkat tubuhnya. Lalu, laki-laki itu duduk dan dia berada di pangkuannya.

Mengangkat tubuhnya dengan kedua tangan.

Kedua tangan?!

Bola mata membeliak. Terlalu terkejut sampai untuk sekedar mengeluarkan suara saja dia tidak bisa.

“Kamu nggak bakal bisa membayangkan seberapa sukanya aku sama kamu. Seberapa besar kemungkinan aku bisa gila seandainya kamu pergi dari hidupku. Can’t you imagine it, Ser? Kamu yang harus bertanggung jawab karena sudah membuat aku gila.”

Serena masih tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Merasakan kedua tangan laki-laki itu melingkar di pinggangnya dan merasakan usapan tangannya yang kasar di punggungnya... Serena sendiri yakin dirinya bisa gila.

Gila.

Kenapa Sebastian harus bertindak sejauh itu membohonginya?

Tatapnya bertemu dengan Sebastian yang menatapnya tanpa dosa. Seakan-akan kebohongan yang dia lakukan adalah sesuatu yang wajar. 

“Kenapa harus terkejut kayak gitu?” Salah satu sudut bibir Sebastian kembali tertarik tipis. Tampak mengejek. “Bukannya kamu yang paling mengenal aku? Kenapa masih terkejut aja padahal... aku udah berkali-kali bohongin kamu?”

Demi Tuhan... Serena lebih baik mati saja dibanding selamanya berada di genggaman laki-laki gila ini.

[]

a.n; sebastian bener-bener mulai nunjukkin keobsesiannya kepada serena nih. Doain semoga part 19 bisa meluncur secepatnya ya.



 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dimana Ujungnya; Part 19 - Pelan-pelan
14
8
.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan