9. Obsesi Tuan Gila

28
4
Deskripsi

ini adalah part yang mungkin kalian tunggu-tunggu. apa hayoo??

OGTM|| Bagian Sembilan.



 

Kanaya menerobos hujan yang turun semakin rapat. Begitu sampai di dalam mobilnya, dia dengan cepat menghubungi Axel. Sayangnya tidak diangkat.

Bahkan setelah ditelepon sampai ketiga kalinya pun, tetap tidak mendapat jawaban.

Mengontrol dirinya untuk tetap tenang, Kanaya beralih menghubungi Riana, sekretaris Axel. Untungnya panggilannya diangkat tak lama setelah tersambung.

“Ri? Pak Axel masih di kantor?” Kanaya langsung bertanya tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. Dia mulai menyalakan mesin mobil dengan ponsel diapit di antara bahu dan telinganya.

“Bapak udah pulang, Mbak.”

“Kapan?”

“Belum lama sih. Kayaknya sekarang juga masih di jalan, soalnya aku juga masih di jalan nih.”

Kanaya menggigit bibir. Setelah mengucapkan terima kasih, dia memutus panggilan sepihak sebelum mendapat balasan di seberang sana. Dia mulai melajukan mobilnya, melenggang di jalan raya. 

Untungnya jalanan tidak terlalu macet karena bukan jam-jam umum pulang kerja. Hanya saja karena hujan, jadi jalanan pun tidak selenggang biasanya. 

Di tengah mengemudi, Kanaya mencoba kembali menghubungi Axel yang lagi-lagi hasilnya nihil. Axel tidak mengangkat panggilannya.

Kanaya menatap hujan di balik jendela mobilnya. Dia hanya berharap Axel sudah sampai apartemen. Baik-baik saja. Sudah meminum obat penenang dan tidur dengan damai.

Kembali memutar otak, Kanaya mencoba menghubungi sopir yang biasa mengantar jemput Axel jika laki-laki itu sedang tidak ingin mengendarai mobil sendiri. 

Dia berharap hari ini Axel menggunakan sopir pribadinya itu. Sayang harapannya harus pupus kala sopir pribadi Axel mengatakan hari ini Axel membawa mobil sendiri.

Gelisah.

Kanaya gelisah sekali.

Cemas. Takut. Khawatir. 

Perasaan-perasaan itu kian menggerogotinya kuat ketika tidak menemukan Axel di apartemennya.

Keluar dari unit apartemen pria itu, turun ke lantai bawah menuju  basement dan tidak menemukan mobil Axel terparkir di antara mobil-mobil yang ada.

Dia hubungi Axel kembali dengan harapan laki-laki itu mengangkat panggilannya. Di luar, hujan masih turun. Dan tidak ada tanda-tanda akan reda cepat-cepat.

Selagi memacu langkahnya untuk kembali menuju mobilnya, Kanaya terus menghubungi Axel sampai panggilannya diangkat.

“Axel?!” Langkah Kanaya spontan berhenti. Berseru marah campur panik kala teleponnya akhirnya diangkat setelah berkali-kali diabaikan. “Kamu di mana?” tanyanya menuntut.

Jawaban tidak langsung Kanaya dapatkan. Ketika dia ingin kembali menginterupsi, suara Axel di seberang sana terdengar. “Aku di kantor.” Nada bicara Axel tidak selugas biasanya. Jelas laki-laki itu sedang menahan diri agar terdengar baik-baik saja.

“Kata Riana kamu udah pulang.”

Ada jeda lagi, sebelum Axel menjawab, “di parkiran. Aku di parkiran kantor.”

Kanaya mengembuskan napas panjang. Lega. Setidaknya Axel tidak berada di jalanan pulang seperti yang dia khawatirkan. 

“Tunggu aku. Aku ke sana.”

Axel tidak menjawab.

Kanaya diam sesaat, sebelum bilang, “it’s okay. Jangan takut. Aku datang. Sebentar lagi.”

***

Kanaya tidak bisa menahan mengembuskan napas lega ketika menemukan Axel di mobilnya. Laki-laki itu menyembunyikan kepalanya di lipatan tangan yang ditumpu di setir ketika Kanaya mencuri lihat dari jendelanya.

Jendela itu Kanaya ketuk dan Axel tampak lega menemukan kehadiran perempuan itu.

“Baju kamu basah.” Axel langsung salah fokus ke baju Kanaya juga rambutnya yang basah ketika perempuan itu baru masuk ke dalam mobil. Sontak dia ingin melepaskan jas yang dipakainya yang langsung Kanaya tahan.

Axel kenapa sih di tengah situasi begini juga....

Kanaya mengamati raut wajah Axel yang tampak pucat. “Keberatan nggak kalau aku peluk tapi bajuku--”

Kalimatnya tidak selesai karena Axel sudah lebih dulu meraih tubuhnya dan memeluknya.

“Bajuku basah.”

“Nggak papa.” Axel menyembunyikan wajahnya di pundak Kanaya sehingga suaranya sedikit terendam.

Tangan Kanaya yang sebelumnya terdiam di masing-masing tubuhnya kini bergerak melingkupi tubuh Axel. Balas memeluknya. Menepuk-nepuk punggungnya pelan. 

Hening.

Di luar suara hujan masih terdengar. Meskipun tidak sederas sebelumnya. 

“Kenapa teleponku nggak diangkat-angkat?” tanya Kanaya, membuka topik pembicaraan. Dia murni bertanya. Tidak ada kesan marah, kesal atau menuntut Axel untuk memberikan alasannya. Berbanding terbalik dengan beberapa saat lalu yang kesal karena Axel tak kunjung mengangkat panggilannya. Kesal karena panik.

“Nggak tahu kamu telepon. Hapeku di-silent.”

“Terus kenapa nggak telepon aku?” Kanaya mengusap-ngusap rambut Axel. Tepat setelah pertanyaan itu keluar, dia merasakan Axel bergerak menyusup ke perpotongan lehernya. Menenggelamkan wajahnya di sana. Seolah mencari kehangatan.

“Aku pikir kamu masih marah.”

Usapan Kanaya di rambut Axel terhenti. Terdiam.

“Bukan kamu yang marah ke aku?” tanyanya balik.

“Kok kamu bisa kepikiran aku marah sama kamu?”

“Ya... seminggu ini kamu nggak ada hubungi aku.”

“Kamu bakal tambah marah kalau aku hubungi.”

“Aku pikir kamu nggak mau liat aku lagi.”

“Mana ada.” Axel mengeratkan pelukan, membuat Kanaya untuk sesaat merasa sesak sebelum Axel kembali melonggarkannya. “Justru kayaknya kamu yang nggak mau liat aku lagi.”

Kanaya diam.

“Kamu bilang mau berhenti. Kamu capek sama aku. Tertekan gara-gara aku....” Kalimat Axel terdengar menggantung. Masih ada yang ingin diucapkan, namun dia mengambil jeda sejenak. “Maaf ternyata selama ini aku sangat membuat kamu capek.”

Kanaya melipatkan bibir ke dalam. Kenapa dia sangat merasa bersalah sekarang?

“Kamu beneran mau berhenti?” nada bicaranya terdengar memelas.

Seharusnya sekarang Kanaya dengan tegas membenarkan ketika ditanya begitu. Tapi entah kenapa mulutnya terasa berat sekali untuk mengatakan ‘iya’.

“Aya?” Axel menjeda ucapannya. “Bisa nggak jangan berhenti?” Dia mendusel di ceruk leher Kanaya. “Aku janji nggak akan membuat kamu kecapekan. Kamu nggak perlu melakukan pekerjaan apa pun. Cukup temani aku aja. Aku nggak akan--”

“Axel?” Kanaya menyela, “aku bukan capek fisik,” katanya. “Kamu emang nggak pernah nyuruh aku melakukan pekerjaan apa pun. Masak pun memang keinginan aku sendiri. Kamu nggak pernah nyuruh.”

Axel mengurai pelukan. Sehingga wajah mereka berhadapan sekarang. “Jadi alasan sebenarnya kamu mau berhenti apa?”

“Aku nggak punya waktu sendiri,” jawab Kanaya. “Aku merasa nggak punya waktu... sehari tanpa kamu.” Dia perhatikan raut wajah Axel yang tampak ingin mendengar kejujurannya lebih lanjut. “Kamu selalu setiap hari manggil aku ke tempat kamu. Aku nggak masalah kalau di jam-jam kerja biasa. Karena memang itu waktu kerjaku. Tapi di luar jam kerja pun kamu selalu nyuruh aku datang. Cuma untuk nemenin kamu kerja, nonton, atau sekedar makan. Kamu bahkan selalu nyuruh aku nginep. Weekend pun... bahkan weekend kamu lebih parah. Aku pun mau punya kegiatan sendiri, entah me time atau sama temen-temen, tapi kamu selalu nggak ngizinin. Aku... aku benci setiap kamu kayak gitu. Aku merasa hidupku sepenuhnya milik kamu. Padahal hidupku bukan cuma tentang kamu aja, Axel. Bukan hanya ada kamu aja di hidupku.”

Axel tertegun dengan kejujuran yang lebih terdengar seperti unek-unek itu.

“Dan 50 tahun. 50 tahun itu waktu yang lama. Aku nggak mungkin jadi asisten kamu selama itu. Aku juga mau punya kehidupan sendiri. Aku mau menikmati hidup di mana aku nggak perlu melakukan pekerjaan apa pun. Dan aku... aku juga mau punya pasangan, Axel. Kalau aku harus mengabdikan hidupku selama itu sama kamu dengan segala perintah-perintah kamu yang terlalu pribadi seperti itu... aku nggak mungkin punya waktu buat pasangan aku nanti.”

“....”

“Bahkan sekarang pun, aku sulit punya pacar gara-gara kamu. Terakhir aku putus pun itu gara-gara kamu.”

Kanaya telah mengeluarkan segala unek-uneknya dan Axel masih bungkam. 

“Jangan marah. Kamu sendiri yang mau tahu--”

“Enggak, Aya, aku nggak marah,” sela Axel. Hening sesaat. Lalu, Axel melanjutkan, “aku nggak tahu kalau itu membuat kamu tertekan.”

Dia sebenarnya tahu. Hanya pura-pura tidak tahu. Masih aman selama Kanaya tetap ada di sisinya. Katakanlah dia memang egois.

“Aku minta maaf,” tuturnya. Tulus. “Aku pikir selama ini kamu pun nyaman dengan kebersamaan kita. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu yang bisa membuat aku nyaman, tapi aku malah membuat kamu nggak nyaman.”

“Aku bukan nggak nyaman--”

“Tapi tertekan,” sela Axel.

“Karena aku merasa kamu terlalu mengekang aku untuk terus sama kamu.”

“Iya. Aku salah, maaf.”

Kanaya mengembuskan napas. Kenapa sekarang Axel terlihat menyedihkan sih? Apalagi saat dia mengatakan tidak ada orang lain yang membuatnya nyaman selain dirinya.

Dari awal, Kanaya dan Axel memang memiliki banyak perbedaan.

Jika Kanaya mempunyai banyak teman dan mudah berbaur dengan siapa saja, Axel kebalikannya. Dia termasuk orang yang pilih-pilih atau bahkan mungkin tidak ada yang benar-benar dianggapnya teman. 

Orang-orang yang berada di sekitar Axel hanya untuk kepentingan bisnisnya. Tidak ada yang benar-benar mengenalnya secara pribadi. Tidak ada, selain Kanaya.

“Kamu nggak memiliki niat buat cari pacar gitu?” tanya Kanaya tiba-tiba. Ketika bertanya begitu, entah kenapa hatinya mendadak berdenyut sakit.

“Buat apa?”

“Kok buat apa? Bukannya nenek kamu juga selalu nyuruh-nyuruh kamu buat segera punya pasangan. Atau... kenapa kamu nggak coba aja terima cewek yang mau dijodohkan sama kamu itu?”

Axel tidak memberi reaksi apa pun. Dia hanya menatap Kanaya intens membuat yang ditatap mengalihkan pandangan spontan.

Karena... Kanaya merasa sorot mata Axel yang terarah kepadanya adalah tatapan rasa kecewa.

Kecewa untuk apa? Kecewa karena dia menyarankan Axel untuk mencari pacar? Kecewa karena dia menyarankan Axel menerima perjodohan itu? Atau... kecewa karena dua-duanya?

“Aya?”

Panggilan dengan nada suara serius itu membuat Kanaya menelan saliva kasar secara refleks. Dia kembali menatap Axel yang wajahnya tak kalah serius dengan suaranya.

“Kamu benar-benar nggak menganggap aku lebih dari sekedar... atasan ya?”

Kanaya spontan menahan napas. Jantungnya mendadak berdebar kencang. 

Apa maksudnya?

“Aku bertanya-tanya, apa selama ini usahaku menunjukkan rasa cintaku ke kamu itu kurang jelas ya?”

Hah?

“Sampai-sampai kamu nggak sadar-sadar kayak gini.”

Tunggu...

“Atau sebenarnya kamu tahu aku suka kamu tapi pura-pura nggak tahu? Atau emang nggak mau tahu?”

Sulit sekali bagi Kanaya hanya untuk sekedar mengedip. Untuk sekedar menggerakkan jarinya pun dia merasa kaku. Tubuhnya kaku. Terkejut. Terlalu terkejut. Satu-satunya yang Kanaya rasakan sekarang hanyalah jantungnya yang berdetak gila-gilaan. Bahkan suara detakannya sampai terdengar oleh telinganya sendiri.

Ketika Axel kembali mendekatkan diri dan mensejajarkan wajahnya pun Kanaya masih bergeming dengan mata tidak mengedip sama sekali.

“Aku cinta sama kamu, Aya. Dari dulu. Selamanya. Aku cinta kamu. Kamu nggak nyadar?”

[]

a.n; akhirnya ya tuan muda kita ini confess.



 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 10. Obsesi Gila Tuan Muda
23
4
cw: kiss💋🤏⚠️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan