
Ketika pekerjaan impian sudah berada dalam genggaman, Chelsea merasa seperti menggenggam dunia. Namun, saat hubungan gelapnya dengan sang bos membuatnya terus-menerus mengesampingkan hatinya yang diam-diam telah jatuh cinta, masihkah dia berpegang pada kalimat loyalitas tanpa batas untuk pekerjaannya atau harus mengakui bahwa dirinya telah jatuh dalam kebodohan atas nama cinta?
Free bab 1-5
Bab 1. Hubungan Tanpa Status
Kalau dipikir-pikir, hati siapa yang tidak kecewa jika orang terdekatnya dicari perempuan lain dan itu terjadi hampir setiap hari. Sepertinya memang tidak ada hari tanpa perempuan bagi Arsenal, atasannya, sekaligus kekasihnya ... bisakah dikatakan begitu jika mereka tidak pernah memiliki komitmen, tetapi saling bergantung satu sama lain?
Rasanya Chelsea ingin menampar mulut perempuan cantik yang ada di depannya. Baginya, secantik-cantiknya perempuan akan menjadi jelek seketika saat tidak memiliki tingkah laku yang baik. Ditambah lagi perempuan yang entah bernama siapa ... sedang mencari Arsenal yang kebetulan memang tidak ada pekerjaan di luar.
"Aku tanya dari tadi, bukannya dijawab malah bengong. Memangnya Arsen bayar kamu buat bengong begitu?" tanya si tamu untuk yang kedua kalinya.
"Sudah membuat janji, Bu?" Chelsea balik bertanya.
"Memangnya aku perlu janji seperti apa untuk menemui kekasihku?"
Chelsea tidak bisa menjawab apa-apa, begitu pun ketika tamu tak diundang itu langsung melangkah dan membuka pintu ruang kerja Arsenal. Chelsea hanya bisa membiarkan semuanya terjadi tanpa bisa berbuat apa-apa. Begitu pula saat pintu itu tertutup dari dalam untuk waktu yang bisa dikatakan sangat lama.
Ketika pintu terbuka kembali, Arsenal muncul dengan lengan yang dipeluk perempuan cantik itu seolah jika tidak begitu maka lengan Arsenal akan jatuh. Arsenal yang biasanya tidak pernah melangkah pelan, mendadak bisa berjalan selambat siput hanya untuk menjajari si pengganggu hati Chelsea supaya tidak tertinggal.
"Chel," panggil Arsenal menghentikan langkah tepat di depan meja Chelsea. "Aku mau makan siang bareng Diana, tolong pelajari proposal milik Pak Agung," lanjutnya.
"Ya, Pak," jawab Chelsea.
Miris, itu yang dirasakan Chelsea dalam hatinya melihat ulah Arsenal setiap harinya. Bagi Arsen, selama pekerjaannya beres maka tidak ada salahnya jika dia bersenang-senang. Mengapa harus merasa bersalah? Setelah semua rupiah yang berhasil dia tambahkan dalam rekeningnya maka kesenangan merupakan hal yang wajar untuk menikmati sedikit penghasilannya..
Chelsea adalah orang terdekat Arsenal. Bisa dikatakan begitu mengingat selain sebagai sekretaris, Chelsea adalah semua yang Arsenal butuhkan. Mulai dari hal yang tidak penting sampai urusan darurat mengenai pekerjaan. Semuanya bisa dilakukan oleh Chelsea termasuk urusan kebutuhan dasar Arsenal.
"Jika utusan Pak Agung datang, katakan saja kalau aku sedang tidak di tempat."
"Siap, Pak."
Memangnya apa lagi yang bisa dikatakan oleh Chelsea selain itu? Hari-harinya selalu penuh dengan titah Arsenal yang kadang-kadang tidak masuk akal baginya. Menurut Chelsea memang tidak masuk akal karena kadang-kadang Arsenal menanyakan dengan siapa dia punya janji kencan. Jika bukan demi hatinya sendiri yang selalu senang berada di dekat Arsenal maka Chelsea tidak akan bersedia mengingat semua jadwal atasannya yang terkadang bisa menyebalkan.
Mata Chelsea mengikuti langkah lambat Arsenal bersama perempuan yang entah siapa namanya itu ke arah lift. Meskipun hatinya memanas, Chelsea tetap melanjutkan pekerjaannya dan berusaha untuk tidak memikirkan ke mana Arsenal pergi. Dia melirik pergelangan tangannya, pukul satu kurang lima menit. Chelsea merapikan meja dan berniat untuk memberi makan perutnya yang sudah mulai berulah.
"Selamat siang, Mbak Chelsea," sapa seseorang sambil meletakkan sebuah kotak di depan Chelsea.
Chelsea mendongak dan melihat pria tampan berkulit kecoklatan dan rambut legam yang tersisir rapi, orang kepercayaan Pak Agung, berdiri dengan senyum lebar di bibir.
"Pak Manchester, selamat siang," sapa Chelsea ramah. "Pak Arsenal baru saja keluar, belum lima menit."
Manchester berdecak. "Bosmu itu kenapa selalu begitu jika ada janji temu? Mestinya kalau sibuk ya tidak usah menyetujui untuk membahas kontrak kerja sama."
"Maaf untuk kealpaan saya mengabarkan kepada Anda, Pak Manchester," sahut Chelsea.
"Tidak usah sungkan begitu Chelsea. Aku sudah apal dengan tabiat bosmu itu. Paling-paling urusan wanita lagi," tebak Manchester tepat sasaran. "Hanya satu hal itu yang bisa membuat Arsen mendadak hilang fokus kerja.
"Sekali lagi maaf, Pak." Chelsea menunduk.
"Rakanio Manchester. Panggil Raka saja. Gak usah pakai Pak."
Chelsea kembali mengamati Manchester. Pria itu memang sudah hafal dengan perilaku Arsenal karena begitu seringnya berkunjung ke kantor itu sebagai utusan Pak Agung. Sesekali dia mengajak Chelsea makan siang bersama ketika Arsenal mendadak tidak ada di tempat dan selalu ditolak dengan halus.
"Baiklah ... Mas ... Raka."
"Nggak usah ragu begitu kalau mau nyebut namaku. AKu malah senang. Itu brownies keju buatmu," kata Manchester sambil menunjuk kotak yang tadi dia letakkan di meja Chelsea. "Kamu bawa pulang saja dan ayo makan siang, kurasa kamu sudah siap pergi, 'kan?"
Tidak ada dalih untuk menolak karena Manchester sudah melihatnya akan pergi, Chelsea menerima ajakan itu. Dia menurut saja ketika Manchester membimbingnya masuk ke mobil dan berlalu meninggalkan gedung perkantoran milik Arsenal.
***
Chelsea terkejut ketika suara pintu membangunkan tidurnya. Arsenal masuk dengan jas yang tersampir di satu bahunya. Kemeja putih yang dia kenakan sudah keluar separuh dan sialnya hal itu tidak membuat Arsenal tampak jelek. Pria itu tetap menawan, bagaimanapun caranya berpakaian. Chelsea tidak bisa memungkiri bahwa dengan pembawaan semenarik itu tentu tidak sulit bagi Arsenal untuk menarik perhatian wanita, tetapi yang tidak Chelsea tahu adalah berapa jumlah teman kencan Arsenal sementara dia dengan bodohnya tetap tinggal dengan tenang di apartemennya.
Chelsea bangun dari berbaringnya. Duduk sejenak sambil mengumpulkan kesadarannya setelah tertidur karena kelelahan. Sudah pasti lelah, setelah bekerja seharian dan kembali ke apartemen lalu merapikan ruangan yang lumayan besar itu. Chelsea suka melakukannya meski tubuh penatnya sudah meronta minta diistirahatkan.
"Chel, tolong siapin air hangat buat mandi," pinta Arsenal.
"Iya," jawab Chelsea mengabaikan bekas lipstik yang menempel di kemeja Arsenal bagian bahu.
Selalu seperti itu keseharian Arsenal setelah pulang di waktu yang cukup larut. Chelsea memang tidak pernah memprotes, tetapi dia memendam semua kesakitannya sendiri. Kadang-kadang ada rasa ingin memberontak, pindah dari apartemen Arsenal dan pergi dari semua ketidakjelasan hubungan mereka. Namun, lagi-lagi Chelsea kalah dengan perasaannya sendiri.
"Utusan Pak Agung jadi datang, Chel?" tanya Arsenal begitu keluar dari kamar mandi.
"Jadi," jawab Chelsea singkat.
"Tolong keringkan rambutku!" pinta Arsenal
Tanpa kata Chelsea langsung meraih handuk dari tangan Arsenal. Dia langsung mengusap rambut basah pria menawan itu dengan lembut. Tinggi badan Arsenal tidak membuat Chelsea protes meski dia harus naik kursi saat membantunya mengeringkan rambut.
"Mau dibuatin makan apa?" Chelsea bertanya di antara aktivitasnya.
"Aku sudah makan tadi bareng sama Riani."
Chelsea terdiam, rasanya sia-sia dia menahan lapar dan berharap bisa makan malam bersama Arsenal. Pria itu bahkan tidak mengingatnya sama sekali. Siang keluar dengan siapa, malamnya dengan siapa. Sungguh miris hidup Chelsea jika terus-menerus berharap Arsenal bisa mengingatnya walau sebentar saja.
"Ya sudah, kalau gitu aku makan dulu. Lapar," ujar Chelsea sembari melangkah ke kamar mandi dan meletakkan handuk di gantungan. Setelahnya dia keluar kamar dan membiarkan Arsenal berjalan mengikutinya.
"Kamu belum makan?"
"Menurutmu?"
"Lain kali jangan menungguku. Aku bisa makan di luar."
"Ya kalau kamu makan di luar, kalau enggak? Aku pasti akan masak lagi sesuai maumu, 'kan?"
Arsenal terkekeh sambil mengacak rambut lembut Chelsea. "Nggak perlu cemberut begitu, Chel, kamu selalu mendapatkan waktuku," ujarnya sambil menarik Chelsea ke pelukannya.
"Aku nggak cemberut, Sen," sahut Chelsea. Melepaskan diri pelukan Arsenal, Chelsea membuka lemari es dan mengambil sebutir telur. Selesai membuat roti isi, dia menuang segelas susu coklat dan brownies keju yang diberikan oleh Manchester tadi siang lalu duduk untuk menikmati makan malamnya. Arsenal menyusul dan duduk di sampingnya. Jarak mereka yang begitu dekat membuat Chelsea dapat menghirup aroma maskulin dari tubuh Arsenal. Saat akan menikmati gigitan rotinya, Arsenal menarik tangan Chelsea dan menggigit roti isi milik Chelsea. Begitulah akhirnya, roti isi yang tadinya akan menjadi makan malam Chelsea menjadi makan malam berdua dan Chelsea malas untuk membuatnya lagi.
"Makan malamnya enak, mau buat lagi, Chel?" tanya Arsenal.
"Nggak, aku malas," jawab Chelsea.
"Pantesan kurus, makannya dikit banget."
Chelsea melirik Arsenal jengah. "Aku nggak kurus, Sen, tapi berisi."
"Benar. Berisi di tempat-tempat yang tepat dan aku sangat menyukainya. Ngomong-ngomong utusan Pak Agung bilang apa aja?"
"Nggak ada."
"Tumben langsung pergi."
"Ya nggak langsung, Sen. Tadi aku makan siang sama dia dan brownies keju yang barusan itu juga dari dia."
Arsenal melangkah ke lemari es, membukanya, dan mengambil brownies kukus yang baru dimakan sedikit. Dengan kekuatan penuh dia menghempaskan makanan tak berdosa itu ke tempat sampah.
"Jangan menerima apa pun dari orang asing dan aku nggak suka kamu pergi makan sama dia!" seru Arsenal.
Chelsea mengangkat bahunya acuh tak acuh dan berjalan ke menuju sofa panjang. Ruangan yang memang tanpa sekat itu membuatnya mudah untuk menghindari Arsenal. Sesampainya di sofa, dia duduk dan menyalakan televisi menggunakan remote dan memindah chanel yang beberapa kali.
"Kamu dengar apa yang aku bilang, Chel?" Suara Arsenal sedikit meninggi.
"Kurasa itu urusanku, Sen," sergah Chelsea.
"Kamu tidak boleh menerima ajakan siapa pun atau menerima sesuatu dari orang lain. Kamu mengerti?"
Chelsea merasa sedang diperlakukan tidak adil. Arsenal bisa pergi ke mana saja dan dengan siapa saja, tetapi mengapa dirinya tidak boleh melakukan hal yang sama. Dia benar-benar tidak mengerti dengan cara berpikir Arsenal yang menurutnya sangat aneh.
"Yang penting kamu mendapatkan waktuku, Sen."
"Jangan membantahku, Chel. Aku tidak menyukainya," gumam Arsenal dan menarik tangan Chelsea.
Chelsea membiarkan Arsenal menarik tangannya dan membawanya ke kamar tidur mereka. Dia juga tidak melayangkan protes ketika Arsenal mulai mengecupi seluruh wajahnya dan beralih ke bibirnya untuk sebuah ciuman panjang yang menghilangkan pikiran waras keduanya. Selanjutnya tangan Arsenal menarik tali lampu nakas dan seketika kegelapan melingkupi kamar itu, lalu hanya terdengar deru napas keduanya hingga beberapa waktu lamanya.
Bab 2. Makin Risih
Chelsea sudah mulai risih dan cenderung muak dengan kehidupannya. Dia merasa lelah tetapi perasaannya untuk Arsen benar-benar tidak bisa diabaikan. Dilema antara bertahan dan menyerah untuk mengikuti kata hatinya. Kebaradaannya di kantor Arsen nyatanya lebih dari yang seharusnya dia perankan. Sekretaris apa yang mempunyai akses besar terhadap urusan pribadi bosnya. Tidak sampai di situ, hampir seluruh pekerjaan Arsen dialah yang mengerjakan kecuali rapat-rapat yang harus pria itu hadiri dan membubuhkan tanda tangan tentunya. Di luar itu, semuanya adalah tanggung jawab Chelsea sementara pekerjaan orang yang mengaku sebagai pimpinan perusahaan hanyalah pergi untuk bersenang-senang.
Belum lagi sikap posesif Arsen jika mengetahui dia keluar dengan orang lain. kalau dipikir-pikir, mengapa pria itu harus marah ketika tidak ada ikatan apa pun di antara mereka?Apa yang terjadi antara dirinya dan Arsen hanyalah hubungan suka sama suka yang salah satunya bebas pergi jika sudah bosan.
Chelsea memang tidak tahu apa yang dimaksud dengan bosan di situ. Secara keseharian, dia tidak pernah merasa bosan bekerja di perusahaan Aresen, tetapi seluruh tingkah laku bosnya itu merupakan indikasi dari kebosanan, bukan? Pria itu boleh melakukan apa saja sesuka hati sementara Chelsea tidak.
Sekretaris adalah pekerjaan impian Chelsea sejak masih duduk di sekolah dasar, tetapi situasi yang sekarang sedang membelitnya bukanlah bagian dari impian itu. Tidak pernah terlintas dalam bayangannya bahwa dia akan menjadi wanita simpanan dalam kehidupan Arsen. Wanita simpanan? Chelsea mempertanyakan kalimat itu benar atau tidak mempertimbangkan statusnya yang memang tidak jelas di sisi Arsen.
"Chel, aku mau keluar makan siang dengan Paula," kata Arsenal yang keluar dari ruangannya satu jam kemudian, bersama perempuan bernama Paula yang menggelayuti sebelah lengannya.
"Silakan, Pak," balas Chelsea.
"Selesaikan semua pekerjaan dengan baik dan pulanglah jam empat sore. Tidak usah lembur karena aku tidak kembali ke kantor."
Selalu seperti itu. Memangnya kapan Arsenal pernah kembali ke kantor ketika berpamitan keluar makan siang dengan wanita cantik? Sepanjang ingatan Chelsea, hal itu hampir tidak pernah terjadi. Bukan hampir, tetapi memang tidak pernah terjadi dengan kata lanjam kerja Arsenal hanyalah setengah hari.
Jika kerja seperti itu, siapa pun juga bisa melakukannya. Terlebih Chelsea, sekretaris Arsenal selama dua tahun terakhir dan mengetahui seluruh sepak terjang Arsenal yang sudah disembunyikan dengan begitu rapi dari para tetua dalam keluarga besarnya.
"Apa kau dengar aku, Chel?" Arsenal mengulangi pertanyaannya.
"Ya, Pak."
"Kalau begitu aku tidak perlu mengulangi perkataanku, bukan. Aku pergi dulu."
Arsenal berlalu seperti biasanya. Masih dengan wanita cantik yang memegang sebelah lengannya. Rasanya tidak ada yang lebih buruk lagi dari yang dirasakan oleh Chelsea. Pria yang diam-diam dia cintai tidak pernah peduli pada perasaannya. Bukan, bukan tidak peduli, lebih tepatnya adalah tdak merasa kalau Chelsea memiiki rasa yang lain. bisa juga tidak perhatian sama sekali. Chelsea merasa hanya sebagai tempat Arsenal untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai pria dan diabaikan begitu pria itu mendapatkan wanita yang lainnya.
Dalam pikiran kalutnya setelah perginya Arsen, Chelsea meraih ponselnya dan mengirimkan pesan pada salah satu teman. Dia meminta untuk dicarikan kontrakan apartemen, syukur kalau bisa ditempati secepatnya. Setelah mengirimkan pesan itu, Chelsea melanjutkan pekerjaannya. Mengabaikan makan siang karena sudah telanjur merasa tidak enak hati akibat perilaku Arsen.
***
Pukul empat tepat, Chelsea membereskan meja kerjanya dan mematikan komputer. Ketika sudah berdiri dan mengambil tas, ponselnya berbunyi, Chelsea duduk kembali dan bermaksud membaca pesan. Ternyata dari temannya yang mengatakan aada apartemen disewakan dan Chelsea bisa melihatnya saat itu juga.
Setelah mengirimkan balasan, Chelsea bergegas meninggalkan kantor. Dia hanya perlu mengemudi selama lima belas menit dan sampai di tempat yang dimaksud. Chelsea naik lift menuju lantai lima belas seperti yang dikatakan oleh temannya. Setelah menemukan unit nomor 2020, chelsea segera menekan bel.
"Hei, Din," sapa Chelsea begitu pintu terbuka.
Chelsea langsung mendapat pelukan hangat. "Ayo masuk," ajak Dina setelah melepaskan pelukan mereka.
Pertama yang Chelsea lihat dari apartemen itu adalah ruangan berwarna abu-abu serta perabotan berwarna hitam dan putih. Dia langsung jatuh cinta dengan tempat itu meski belum melihat keseluruhan ruangan.
"Tidak terlalu besar, dua kamar tidur lengkap dengan kamar mandi dalam, satu dapur dan kamar mandi tambahan di dekatnya. Kamu lihat-lihat sendiri cocok apa nggaknya." Dina memberikan sedikit penjelasan.
Chelsea menuruti perkataan temannya. berkeliling apartemen dan melihat segala sesuatunya. Bahkan sampai dapurnya juga berwarna putih. Pokoknya Chelsea suka dengan apartemen itu. Rasanya tidak ada alasan untuk berpikir atau mencari pilihan lain jika hatinya sudah cocok.
"Jadi berapa harga sewanya?"
"Standar untuk ukuran segini. Kamu hanya perlu bayar uang mukanya dan sisanya bisa dilunasi saat kamu sudah masuk. Tempat ini bisa kamu tempati kapan saja."
Chelsea mengertutkan alisnya. "Sekarang? Baik, aku transfer ke mana?"
Dina memberikan nomor rekening pada Chelsea. "Aku uruskan perjanjian kontraknya, free komisi. Teman sendiri."
Chelsea merasa sangat berterima kasih dengan bantuan itu. Hatinya merasa lega, setidaknya dia sudah punya tempat tinggal jika harus benar-benar pergi dari apartemen Arsen. Tempat yang tepat, dekat pusat kota dan perusahaan-perusahaan besar. Mestinya tidak sulit untuk menemukan pekerjaan setelah mengundurkan diri dari perusahaan Arsen.
"Baiklah, terima kasih kalau begitu. Aku nggak tahu mesti gimana balas kebaikanmu ini."
"Gampang, traktir aku makan lain kali."
"Sepakat." Chelsea tertawa setelah mengucapkan kata-katanya.
Ada kesenangan tersendiri ketika akhirnya memiliki waktu untuk bertemu dengan teman lama. Chelsea tidak ingat kapan terakhir kalinya dia melakukan itu. Sejak tinggal bersama Arsen, dunianya hanya berpusat pada pria itu. Pulang kantor harus kembali ke apartemen dan menyiapkan makan malam. Awalnya Chelsea merasa sangat senang melakukan hal itu, tetapi itu dulu saat Arsen tidak seperti sekarang.
Makan di restoran cepat saji memang sangat menyenangkan. Menu-menu masakan jepang benar-benar cocok dinikmati bersama teman. Diselingi obrolan ringan tentang masa-masa sekolah menengah dan kuliah hingga bekerja dan segala rutinitasnya.
"Jadi selama ini kamu tinggal seapartemen denan bosmu?" Dina heran.
"Bisa kecilkan suaramu, Din?"
Dina tertawa dan menutup mulutnya. "Baiklah, aku hanya terlalu kaget mendengar itu. Pantesan kamu seperti menghilang selama dua tahun terakhir.. Nggak tahunya disekap bosmu."
Chesea tidak mengatakan itu disekap, tetapi dia juga tidak bisa mengatakan hal yang lain. Mengingat dia yang memang sangat anti sosial sejak tinggal bersama Arsen maka apa yang dikatakan Dina memang benar adanya. Masa-masa yang membuat Chelsea bahagia. Sampai sekarang pun dia masih tetap bahagia. Namun, ada kesakitan yang menyertai bahagianya hingga rasa jemu muncul dan memilih untuk menyerah.
"Memang seharusnya kamu menyadari, Chel. Hati tahu kapan saatnya bertahan dan pergi saat tak dibutuhkan. Jangan tinggal jika hanya untuk memupuk luka."
Kalimat yang cukup bijak dan bisa dijdikan sebagai pedoman. Bukankah cinta memang indah? Namun, jika cinta hanya bisa menyakiti maka lebih baik menemukan cinta yang lain dan berusaha untuk bahagia.
Bab 3. Triple Sial
"Hari ini aku tidak masuk kantor. Ada sesuatu yang harus kuurus di luar," kata Arsen saat menunggu Chelsea menyiapkan sarapan pagi itu.
Tangan Chelsea yang sedang mengoleskan selai cokelat langsung berhenti demi mendengar penuturan Arsen. Tidak masuk kantor artinya kembali membiarkan Chelsea bekerja lebih dari sebelumnya. Boro-boro naik gaji atau bonus, sekadar uang makan pun Arsen tidak mau menambahkan. Kalau semua bos seperti Arsen, rasanya tidak akan ada yang sanggup untuk bekerja dalam waktu lama.
Sebenarnya bekerja di kantor Arsen bisa dikatakan cukup menyenangkan. Pendapatan yang lebih dari cukup serta jam kerja yang wajar tanpa lembur-lembur. Masalahnya adalah saat kebanyakan karyawan pulang, hanya Chelsea yang sering lembur. Mungkin beberapa kepala bagian juga, hanya saja tidak ada yang tahu seberapa banyak pekerjaan Chelsea dan itu diluar jobdesk-nya.
"Chel ...."
Lamunan Chelsea terputus. "Iya."
"Kamu dengar perkataanku?"
"Iya." Chelsea kembali mengoles selai cokelat dan memberikannya pada Arsen. Setelah itu dia menuang secangkir kopi dan memberinya satu sendok gula lalu meletakkannya tak jauh dari Arsen.
Chelsea menarik piring kecil berisi potongan kiwi dan pepaya. Dia mulai menusuk buah itu satu per satu dan memasukkannya dalam mulut. Saat buah-buah itu sudah berpindah ke perutnya, Chelsea menuang segelas air putih dan manandaskannya dalam sekali teguk.
"Selalu sarapan seperti itu. Bisa tidak sekali-kali kamu makan yang lebih berat dari itu?" Arsen mengomentari menu sarapan Chelsea.
"Uhm ... tidak," tukas Chelsea. "Itu sudah lebih baik daripada aku tidak sarapan.
"Kenapa? Takut gemuk?"
Chelsea berdecak tidak suka, tetapi dia lebih memilih untuk tidak menanggapi ucapan Arsen. Baginya itu lebih baik dibandingkan harus berbicara panjang lebar mengenai berat badan. Chelsea tidak kurus, tidak juga gemuk. Meski begitu orang melihat bahwa Chelsea sangat menarik. Tubuhnya berisi di tempat-tempat yang tepat hingga dia tidak pernah kesulitan menarik perhatian pria, jika dia mau.
"Aku tidak peduli mau gemuk atau kurus. Bagiku keduanya sama saja.
"Benar, kurasa menambahkan satu atau dua kilo lagi tidak masalah bagimu, Chel."
"Dan aku akan kelihatan bagai boneka dada berjalan. Seperti wanita-wanita yang kau kencani itu."
Usai mengatakan kalimatnya, Chelsea bergegas membereskan meja makan. Menyingkirkan piring dan gelas kotor lalu meletakkannya di tempat cuci piring. Menyisakan teko kopi yang masih berisi setengah, toples gula, dan peralatan yang masih digunakan oleh Arsen.
Setelah itu, Chelsea pergi ke kamar dan mengganti bajunya. Sebuah setelan formal berwarna merah jambu dengan kerah shanghai menjadi pilihannya. Usai merapikan make up-nya, Chelsea meraih tas yang biasa dia bawa ke kantor dan keluar dari kamar.
"Aku berangkat, Sen," pamitnya dan langsung berlalu ke pintu apartemen.
Sebuah cekalan di lengan menghentikan langkah Chelsea. Dia menoleh dan mendapati Arsen dengan wajah mengeras menatap ke arahnya.
"Kau melupakan sesuatu, Chel," bisik Arsen.
"Ap ...."
Sebuah lumatan langsung membungkam bibir Chelsea disusul pelukan Arsen yang langsung menarik pinggangnya hingga badan mereka merapat. Entah sadar atau tidak, kedua lengan Chelsea telah melingkari leher Arsen dan larut dalam permainan bibir Arsen yang belum pernah gagal untuk meluluhkannya.
"Jangan pernah melupakan hal ini saat aku tidak bisa pergi bersamamu," bisik Arsen setelah melepaskan ciuman mereka.
Kehilangan ciuman secara mendadak, membuat tubuh Chelsea sedikit limbung karena merasakan pening di kepala. Beruntung lengannya yang masih melingkari leher Arsen membantunya berdiri ditambah pelukan Arsen di pinggangnya.
Efek ciuman Arsen memang selalu seperti itu. Chelsea tidak pernah mengingkari bahwa terlepas dari segala sifat buruk Arsen di matanya, pria itu masihlah sosok yang telah menguasai hati dan pikirannya. Belum pernah sekalipun Arsen gagal meluluhkan hatinya.
"Satu lagi. Jangan memakai lipstik berwarna terang tanpaku di dekatmu."
Dobel sial. Sampai sedetail itulah Arsen mengatur Chelsea sedangkan Chelsea tidak berhak atas apa pun pada Arsen. Perasaan tidak berdaya itu benar-benar menyebalkan. Jika terus menerus seperti itu maka perlahan Chelsea akan berubah menjadi boneka Arsen. Tidak perlu berpikir karena segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak pria itu.
Chelsea melepaskan diri dari pelukan Arsen. Menatap pria itu sekilas sebelum berbalik dan melangkah pergi. Bersyukur lift langsung membuka ketika Chelsea keluar dari unit Arsen. Seseorang menahan lift itu untuknya. Chelsea mengangguk dan mengucapkan terima kasih untuk kebaikan itu.
Sampai di basement, Chelsea keluar lift dan langsung melangkah menuju mobilnya. Dia menyalakan mesin mobil setelah duduk nyaman di belakang kemudi. Chelsea tidak langsung mengemudi, melainkan memilih untuk meraih kaca dan melihat wajahnya.
Lagi-lagi dobel sial. Bukan ... triple sial kali ini. Sedikit lipstiknya keluar dari garis bibirnya. Pantas saja dua orang yang bersamanya di lift tadi senyum-senyum tidak jelas. Rupanya sedikit tontonan dari wajahnya adalah penyebab kekonyolan mereka.
Chelsea menarik napas panjang. Diambilnya lipstik berwarna nude pink dan dipulaskannya ke bibir yang sudah kehilangan warnanya. Usai memastikan kalau penampilannya telah sempurna, Chelsea menginjak pedal gas dan melajukan mobil menuju kantor.
Lalu lintas yang cukup padat sering membuat Chelsea malas menyetir sendiri. Rasa-rasanya dia harus mengingat hal ini kelak, saat mencari tempat tinggal baru. Daerah yang dekat tempat kerja sudah pasti merupakan pilihan bijak. Jadi dia tidak perlu berada di antara keramaian hanya untuk datang ke kantor. Chelsea ingin ke kantor dengan berjalan kaki saja.
Chelsea terlambat lima menit ketika mobilnya masuk ke basement. Seorang keamanan menyapanya dan dibalas senyum ramah oleh Chelsea. Menunggu lift yang lama membuat Chelsea naik tangga menuju meja resepsionis dan berniat untuk menunggu di sana. Baginya tempat itu lebih nyaman jika harus lama menunggu lift dibandingkan di basement seorang diri dan ditemani oleh petugas keamanan saja.
"Pagi, Bu Chelsea," sapa salah resepsionis bernama Lila.
"Pagi, Lila," balas Chelsea sambil mengulas senyum. "Kamu kok sendirian, mana temanmu?"
"Sedang ke kamar mandi, Bu," jawab Lila.
"Ke kamar mandi atau terlambat?"
"Ke kamar mandi, Bu."
Kedatangan teman Lila bersamaan dengan denting dari arah lift disusul membukanya pintu benda berbentuk persegi itu. Chelsea menunggu hingga semua orang di lift itu keluar sebelum ganti memasukinya. Beberapa orang menyapanya dan mengatakan kalau sudah meletakkan beberapa laporan di meja Chelsea untuk diteruskan pada Arsen.
Chelsea memberi anggukan dan memasuki lift setelahnya. Sendiri dalam benda itu membuat Chelsea bersyukur. Sebenarnya dia sedang malas untuk beramah tamah. Dia hanya ingin sendirian, tanpa diganggu oleh siapa pun dan melewati hari dengan tenang. Rasanya benar-benar menjengkelkan ketika hati ingin diam, tetapi pikiran meneriakkan sebaliknya. Satu-satunya yang bisa dilakukan oleh Chelsea adalah bersabar dan berharap sesampainya di meja kerjanya nanti, Nia sudah datang sehingga dia bisa mempunyai waktu sendiri untuk bekerja dalam diam.
Bab 4. Lelah
Arsen memang tidak di tempat, tetapi telepon yang menanyakan keberadaannya seolah tidak berhenti. Hampir tiap jam telepon itu berdering dan menanyakan hal yang sama. Semuanya dari wanita. Iya wanita, yang entah mempunyai keperluan apa.
Kepala Chelsea hampir pecah begitu mendengar dering telepon yang entah sudah keberapa kalinya. Dengan jengkel dia mencabut kabel telepon yang ada di mejanya. Pekerjaannya sedang banyak karena si pemilik perusahaan sedang memilih untuk bersenang-senang daripada menjalankan tanggung jawabnya sebagai pimpinan. Telepon dalam bentuk apa pun jelas mengganggu pekerjaannya.
"Mbak Chelsea ...." Suara Nia membuat Chelsea kembali memutus konsentrasinya pada pekerjaan.
Chelsea menarik napas panjang. Bisakah orang-orang itu berhenti mengganggunya? Telepon mati giliran Nia, sekretaris kedua Arsen, turut mengganggu pekerjaannya. Entah apa kepentingan orang-orang itu dengan dirinya hingga hari ini Chelsea benar-benar sakit kepala.
"Ya." Chelsea mencoba untuk bersabar.
"Bu Bos baru menelpon. Menanyakan keberadaan pangeran tersayang dan kenapa Mbak Chelsea nggak angkat telpon."
Nah ... kalau sudah mendengar kata "Bu Bos" artinya sang anak akan mendapat masalah. Mau tak mau Chelsea langsung tertawa.
"Kamu bilang apa, Nia?"
"Ya aku bilang kalau Nak Bos sedang tidak ada di tempat. Apa aku harus berbohong?"
"Nggak, lah. Jawabanmu tepat. Biarkan Nak Bos itu menghadapi kemarahan Bu Bos. Bila perlu sampaikan kealpaan Nak Bos kepada Pak Bos. Biar rame sekalian."
Giliran Nia yang tertawa keras. "Kita buat Nak Bos dalam masalah. Begitu maksudnya?"
"Yap."
"Ayo makan siang, Mbak. Ini udah telat loh. Aku kelaperan berat," ajak Nia sambil mengelus perutnya naik turun.
Senyum Chelsea merekah. Mungkin pergi makan siang bisa meredakan sedikit kejengkelannya. Bagaimanapun, dia perlu energi untuk menghadapi sisa hari yang dia tahu akan terus menyebalkan hingga sore jam kerjanya berakhir.
Chelsea bergegas membereskan mejanya. Mematikan komputer dan memasukkan semua kertas ke laci lalu menguncinya. Usai dengan itu, dia segera meraih tasnya dan berdiri menghampiri Nia yang ternyata sudah siap.
Mereka melangkah berdua menuju lift yang biasa digunakan oleh Arsen lalu berjalan hingga kantin. Ada beberapa karyawan lain menyapa yang hanya diangguki oleh Chelsea. Sudah menjadi rahasia umum kalau keperluan apa pun yang menyangkut pekerjaan akan selalu mampir di meja Chelsea. Itulah alasan sebagian besar karyawan di sana mengenal Chelsea dengan baik.
Duduk bersama Nia di jam makan siang ternyata tidak buruk. Sebagian besar karyawan sudah selesai makan siang dan sebagian lagi mungkin sudah kembali ke kesibukannya.
"Nak Bos ke mana sih, Mbak?" Nia mulai ingin tahu.
Chelsea menaikkan kedua bahunya. "Entah."
"Masa Mbak Chelsea tidak tahu. Secara, ya, biasanya Nak Bos suka banget bilang apa aja ke Mbak Chelsea." Nia masih mengeluarkan argumen untuk memuaskan rasa ingin tahunya.
"Biasanya ... anggap aja yang ini luar biasa."
"Mbak, aku sebenarnya penasaran, tapi jangan marah, ya?"
"Kenapa marah? Memang ada hubungannya sama aku?"
"Ya ada, dikit. Tergantung Mbak Chelsea sih gimana nanggepinnya."
"Kenapa?"
"Sebenarnya ... kalau melihat Pak Arsen itu kayaknya suka deh sama Mbak Chelsea. Kalo ngeliatin Mbak Chelsea itu kaya gimana gitu."
Chelsea mengerutkan alis. Dia paham maksud ucapan Nia, tetapi dia tidak mau orang tahu apa yang dirasakannya. Biar saja hubungan antara dirinya dan Arsen tetap menjadi rahasia.
"Gimana apa maksudnya?"
"Kaya ... uhm ... aku bingung jelasinnya. Intinya seperti ada yang istimewa di antara kalian berdua."
Mata Chelsea mendelik ke arah Nia. "Jaga omonganmu, kalau ada yang dengar bisa jadi salah paham."
"Iya maaf," pinta Nia. "Aku akan tutup rapat mulutku, tapi jelasin, ya, ada apa antara Mbak Chelsea dan Pak Arsen."
"Nggak ada apa-apa. Sama aja kaya kamu dan Pak Arsen."
"Tapi kan beda Mbak, aku kan hanya sekretaris kedua. Beda kalau sama Mbak Chelsea."
Chelsea pun tahu itu. Memang selalu ada perbedaan antara dirinya dan Nia. Segala kepentingan Arsen selalu ditangani langsung oleh Chelsea sementara Nia hanya bertugas membantu Chelsea. Kalaupun ada tugas dari Arsen, pria itu akan mengatakannya kepada Chelsea terlebih dulu, untuk selanjutnya diteruskan Chelsea kepada Nia.
"Ya beda dikit. Aku kerja lebih lama, tahu lebih banyak urusan Pak Arsen dibanding kamu. Nanti lama-lama juga kamu tahu."
***
Chelsea masuk apartemen Arsen tepat pada pukul lima. Setelah menyalakan lampu yang dibutuhkannya, Chelsea masuk kamar dan segera membersihkan dirinya. Itu adalah hal pertama yang diinginkan oleh Chelsea. Merasakan dinginnya air dan mengembalikan kesegaran setelah berjibaku dengan sakit kepala.
Ketika urusan menyegarkan badan selesai, Chelsea pergi ke dapur. Membuka lemari es dan mengambil beberapa sayuran. Baru saja dia memotong sedikit sayur, gawainya berteriak meminta perhatian.
"Chel, jangan menungguku, aku tidak pulang malam ini."
Pesan dari Arsenal. Cukup sudah! Kesabaran Chelsea benar-benar sudah habis. Dia mengembalikan kembali sayur-sayur ke lemari es.
Chelsea membereskan seluruh pakaian yang pernah dibawanya masuk ke tempat itu. Dia tidak membawa pakaian-pakaian yang dibelikan oleh Arsen. Baginya, meninggalkan semua benda-benda dari Arsen merupakan hal yang bagus. Meninggalkan semua pemberian Arsen sama dengan meninggalkan semua kenangan menyesakkan yang sudah menyesaki dadanya.
Keseluruhan barangnya hanya dua koper. Diseretnya benda yang sudah tertutup itu menuju pintu apartemen. Chelsea memandang sekeliling tempatnya tinggal beberapa tahun belakangan. Setiap sudutnya penuh kenangan akan Arsen dan jujur ... itu menyakitkan. Hanya seperti itulah arti dirinya untuk Arsen. Sebagai pengurus rumah, si penurut untuk membereskan pekerjaan, dan teman bermain dalam tanda kutip ketika malam telah menjelang.
Chelsea meninggalkan dua kartu yang pernah diberikan Arsen padanya. Sebuah kartu debit dan kartu kredit yang katanya boleh dia pergunakan sesuka hati. Namun, sejauh hubungan mereka, Chelsea belum pernah menggunakan keduanya. Saat belanja bersama maka Arsen yang membayar, jadi kedua kartu itu hanya menjadi penghuni dompetnya tanpa dimanfaatkan fungsinya.
Chelsea meninggalkan kedua kartu ajaib itu di meja dan keluar dari unit Arsen sambil menarik kopernya. Langkahnya mantap menuju lift dan bersiap untuk menjalankan rencana-rencana yang dibuatnya. Pertama-tama adalah meninggalkan gedung mewah ini dan segera menuju tempat tinggalnya yang baru.
Sembari memasukkan kopernya ke bagasi, Chelsea terus berpikir tentang apa yang harus dia lakukan setelah kepindahannya. Resign sudah pasti, tetapi kalau mencari pekerjaan baru ... rasanya tidak. Chelsea ingin libur sejenak sebelum kembali sibuk dengan rutinitas yang sama.
Pekerjaan bisa menunggu, tetapi tidak dengan hatinya. Hal yang perlu dilakukannya adalah mengobati luka hatinya karena betapa pun Chelsea menghindar, yang namanya kesakitan itu pasti ada. Terlebih lagi dia sudah bersama dengan Arsen beberapa tahun lamanya dan tentu hal itu tidak bisa dihilangkan hanya dalam waktu semalam. Hatinya harus mempunyai pengalihan supaya perihnya patah hati bisa berkurang.
Bab 5. Terjerat Kenangan
Chelsea lega telah meninggalkan apartemen Arsen. Semalam pria itu mengatakan kalau hari ini masih tidak bisa masuk kantor. Bagi Chelsea yang sudah tidak nyaman, apa pun yang dilakukan Arsen tidak menjadi masalah. Secara kebetulan, Pak Beni, ayah Arsen, datang dan langsung memasuki ruangan puteranya.
Beruntung Chelsea sudah membuat surat pengunduran diri. Dia tahu kalau prosedur ini tidak bisa dilakukan mendadak, tetapi menunggu Arsen sama dengan membunuh masa depannya sendiri. Lagipula kontraknya sudah selesai beberapa bulan yang lalu dan belum ada tindak lanjut hingga saat ini. Jadi dia memutuskan untuk mencoba dan siapa tahu beruntung. Jika Pak Beni mengabulkan keinginannya maka dia tidak perlu melewati proses panjang lagi untuk pergi.
"Mbak Chelsea, Pak Bos memanggilmu. Hati-hati, ya, kalau masuk. Takut disidang," cetus Nia sambil bisik-bisik.
Chelsea tergelak lirih. "Pak Bos lebih bijaksana daripada Nak Bos. Santuy aja," balas Chelsea.
Usai mengatakan itu, Chelsea bangkit dan berjalan menuju ruangan Arsen. Dia mengetuk pintu dan langsung masuk setelah dipersilakan. Pak Beni duduk di meja Arsen dan menatap serius ke komputer di depannya.
"Duduk, Chel!" kata Pak Beni.
"Iya, Pak." Chelsea duduk di depan Pak Beni dan menunggu.
"Kemana Arsen pergi?"
"Maaf, Pak?"
"Ke mana Arsen pergi? Seingatku dia mengatakan setiap kegiatannya padamu."
"Benar, Pak, tetapi hanya seperlunya saja."
"Hmm ... benar kau tak tahu ke mana puteraku pergi?" Pak Beni sedikit menuntut jawaban dari nada pertanyaannya.
"Benar, Pak." Chelsea menjawab seadanya. Dalam situasi seperti itu, Chelsea ragu untuk mengatakan keinginannya. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk mengundurkan diri, tetapi Chelsea merasa tidak punya pilihan lain.
"Ada apa, Chelsea? Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu?"
Pucuk dicinta, ulam tiba. Begitulah yang Chelsea pikirkan. Dia berpikir harus menyambar kesempatan itu atau tidak sama sekali. Bagaimanapun keberuntungan itu jarang datang dua kali di waktu yang berdekatan, bukan?
"Maaf, Pak, bisakah saya ... mengundurkan diri secara mendadak? Saya ...."
Hening. Tidak ada jawaban dari Pak Beni setelah pertanyaan yang diutarakan Chelsea. Chelsea menunggu dengan wajah cemas yang tidak disembunyikan.
"Apa yang kau cemaskan? Aku selalu ingat kau adalah sekretaris terbaik yang pernah mendampingi puteraku, jadi mengapa ingin mengundurkan diri secara mendadak?"
"Saya mau pulang kampung, Pak. Ibu saya sakit."
Chelsea tahu itu adalah alasan umum yang digunakan para karyawan untuk mengundurkan diri, tetapi dia tidak bisa menemukan alasan lain untuk dikemukakan. Katakan saja dan hasilnya dipikir belakangan. Lagipula Pak Beni lebih pengertian dibanding Arsen, pria tengah baya itu juga dikenal lebih serius dalam bekerja.
"Mendadak begitu," tanggap Pak Beni.
"Tidak ada sakit yang direncanakan, Pak," sanggah Chelsea masuk akal.
"Benar. Tidak bisakah kamu izin saja? Biar saya berikan dan sewaktu kamu kembali, masih ada pekerjaan yang menunggumu." Pak Beni menawarkan dengan kebaikannya.
Chelsea menggeleng. "Tidak, Pak. Terima kasih untuk kebaikan Bapak, tetapi perusahaan ini layak mendapatkan karyawan yang lebih baik dari saya."
"Itu artinya orang tuamu tidak sakit. Kamu hanya menggunakan itu sebagai alasan yang saya tidak tahu itu apa. Baiklah, apa pun alasanmu di balik pengunduran diri mendadak ini, saya menyetujuinya."
Chelsea menunduk dan mengucapkan terima kasih. Dia lega tidak harus menunggu selama sebulan untuk proses yang dia tahu akan menyulitkannya. Chelsea hanya ingin pergi dari Arsenal dan semua yang berhubungan dengan pria itu.
"Terima kasih, Pak. Anda baik sekali."
"Sst, sudah. Kapan hati terakhirmu bekerja?"
"Hari ini, Pak."
Chelsea bisa melihat kalau tidak ada raut terkejut di wajah Pak Beni. Orang yang sering dia panggil Pak Bos itu tetap memperlihatkan wajah tenang. Beliau bahkan tidak mengkhawatirkan apa pun tentang pekerjaan anaknya. Hal yang membuat Chelsea salut pada Pak Beni adalah bahwa semua karyawan akan melakukan apa pun sesuai dengan tugasnya tanpa perlu didikte. Cukup berikan pekerjaan dan tenggat selesai lalu biarkan semua dipikirkan sendiri oleh yang bersangkutan.
***
Selesai membersihkan tubuhnya, Chelsea pergi ke dapur mini di apartemennya. Diambilnya mi instan dan menjerang air. Sementara menunggu air mendidih, dia memotong sayur, sosis dan bakso sebagai pelengkap mi yang akan dijadikan santap malam. Sambil bernyanyi kecil, Chelsea melakukan pekerjaannya.
Saat makanannya matang, Chelsea duduk di meja makan, mengaduk mi dengan kuah yang masih mengepul itu dan tiba-tiba teringat Arsen. Pria itu tidak suka jika Chlesea masak mi, katanya itu bukan makanan sehat. Chelsea jadi ingat kejadian di suatu sore saat dia memasak mi di apartemen Arsen.
"Mi tidak bagus untuk tubuhmu, Chel," kata Arsen.
"Nggak baik kalau tiap hari. Kalau sesekali ya boleh, lagian ini enak banget. Pokoknya nggak ada duanya," bantah Chelsea.
Arsen memang selalu mengomel seperti itu, tetapi saat Chelsea masak mi maka dia pasti menjadi orang yang menghabiskannya paling banyak. Ditambah lagi Chelsea mencampurkan sosis, bakso, telur, dan sayuran yang membuat mi tidak lagi sebagai makanan yang monoton di mata Arsen.
"Katanya mi nggak bagus, ini siapa yang makannya paling banyak?" protes Chelsea.
"Ternyata rasanya nggak seburuk itu." Arsen mengabaikan pertanyaan Chelsea.
"Memang nggak buruk. Kamu aja yang nggak paham. Yang penting cara masaknya itu loh dan ditambahkan sayuran dan bahan lain dengan gizi seimbang."
"Gitu?"
Chelsea tidak menganggapi ucapan Arsen karena detik berikutnya Arsen sudah menarik mangkuk mi ke hadapannya dan memakannya seperti orang kelaparan. Chelsea hanya melongo menyaksikan pemandangan tidak biasa di depannya. Arsen jatuh cinta pada mi buatannya setelah ceramah panjang tentang mi dan dampaknya pada kesehatan.
Chelsea tersenyum sendiri mengingat hal itu. Segala tentang Arsen merupakan hal yang indah baginya. Seluruh kegiatan sehari-hari mereka memiliki kenangan tersendiri yang membuat hatinya teriris. Kalau boleh memilih, dia ingin bertahan di sisi Arsen selamanya, tetapi ternyata hatinya tak sekuat itu untuk menerima bahwa dirinya begitu tidak penting di mata Arsen.
Memang miris bisa di samping pria itu dan hanya dijadikan sebagai teman untuk memenuhi kebutuhan mendasarnya. Chelsea tidak menuntut sebuah status mengingat perjanjian awal mereka tinggal. Namun, tidak bisakah Arsen hanya setia kepadanya seperti dia yang setia pada pria itu? Ada saja jawaban Arsen untuk menenangkan Chelsea ketika kegundahan mulai merambati hati.
"Kamu nggak perlu tahu apa yang kulakukan di luar sana, Chel. Cukup bahwa aku akan selalu pulang padamu di sore hari dan menemanimu sepanjang malam," ucap Arsen menjawab protes Chelsea.
"Jadi aku adalah tempatmu setelah lelah, begitu?" Chelsea masih tidak terima.
"Aku memperhatikanmu Chel," bisik Arsen langsung membungkam bibir Chelsea dalam ciuman panjang.
"Cukup, Sen!" seru Chelsea. "Jangan perlakukan aku seolah aku adalah wanita simpanan."
"Lalu kamu sebut dirimu apa? Ingat perjanjian kita. Semuanya atas dasar suka sama su ...."
"Aku ingat Sen. Nggak perlu mengucapkan kalimat itu terus menerus untuk membuat akal sehatku tetap bekerja."
Chelsea meninggalkan Arsen dan masuk ke kamar mandi. Menyalakan shower untuk menutupi tangisnya. Siapa pun mungkin tak bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh Chelsea bagaimana cinta sucinya hanya sebatas hasrat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
