Kisah Yang (tak) Pernah Dimulai

9
4
Deskripsi

Cover by @DedyMR

Lava menolak pria mapan yang berniat membina hubungan serius dengannya. Dia memilih Candra, pria biasa yang justru berhasil menarik perhatiannya.

Candra yang diharapkan Lava nyatanya hanya memberinya air mata. Tak ada kedamaian lagi dalam hidup Lava karena cintanya yang ternyata tak berbalas. Mestinya cinta itu memupuk rasa, bukan memupuk luka hingga di ujung kesabarannya, Lava memutuskan untuk meninggalkan Candra.

Dua tahun kemudian, Lava merasa hidupnya sudah baik-baik saja dan saat...

1 Terusik

Definisi puas itu adalah ketika keluar dari ruang kerja Dokter Prasojo setelah order obat disetujui tanpa negosiasi panjang. Tak apa meski harus menunggu hingga dua jam asalkan hasilnya selalu sebagus ini. Bukankah itu harga yang pantas? Rasanya aku ingin berteriak begitu kencang untuk menyalurkan bahagia mengingat beliau adalah orang yang tidak gampang setuju dengan pembelian obat meski secantik apa pun detailernya.

“Kamu itu bego atau sok kecakepan, sih, Va? Cowok baik dengan karir bagus macam Pak Bagas kamu tolak. Ngerasa paling the most wanted, ya?”

Aku heran, baru saja aku masuk kantin dan duduk dengan beberapa teman seperti biasanya, tetapi langsung dapat semprotan kalimat tak mengenakkan dari Rania. Bagaimana aku bisa betah berteman dengan Rania padahal mulutnya benar-benar susah dikondisikan. Bikin malu jelas, masa dia bertanya seperti itu padahal kami sedang ada di tempat umum. Mana sedang ramai dan hampir nggak ada meja kosong tersisa. Malah di depan beberapa stand makanan, beberapa dokter muda sedang mengantre makanan.

“Nggak kurang kenceng suaramu itu, Ran?” kutegur Rania supaya menyadari di mana kami berada.

“Udah biasa, sih, ngomong dengan suara kenceng kek begini,” balas Rania tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.

“Lagian yang ditolak Lava, ‘kan, Pak Bagas,” sahut Ryan sambil menatap Rania. “Kenapa kamu yang ribut?”

Dalam hati, aku membenarkan ucapan Ryan. Kenapa juga Rania peduli kalau aku menolak Pak Bagas. Lagipula apa urusan dia di sini? Meskipun begitu, aku tetap tidak ingin marah. Mungkin Rania hanya merasa aku sudah mengambil keputusan bodoh mengingat masa depan Pak Bagas yang sudah pasti cemerlang jika dilihat dari posisinya sekarang.

“Belain aja terus.” Rania tetap tidak mau mengendalikan mulutnya. “Palingan juga dia goal tuh orderannya sama Dokter Prasojo.”

“Ya wajar, sih, oderan goal. Itu namanya sales pinter.” Ryan masih menanggapi omongan Rania.

Pesanan makanku datang sementara Rania dan Ryan masih berdebat tentangku. Aku tak peduli, tadi pagi aku belum sempat sarapan gara-gara harus mengejar jadwal praktik pagi dokter terkenal. Semuanya sebanding dengan hasil yang kudapat, jadi suasana hatiku benar-benar baik walaupun temanku yang satu ini masih juga tidak terima, entah dengan alasan apa.

“Bagi tips, Va. Gimana biar dapet orderan gede?” tanya Ryan yang telah menyelesaikan makannya.

“Ngapain  nanya? Wajah yang sok kecakepan itu jelas jawabannya.”

Jawaban Rania membuatku kaget bukan main. “Sok kecakepan?” tanyaku untuk meyakinkan apa yang kudengar.

“Emang kamu yang sok kecakepan, Lava.” Bukannya merendahkan suara, Rania justru semakin meninggikan volume suaranya hingga aku merasa jengah karena beberapa pasang mata yang tertuju ke meja kami.

“Sekalian pakai toa,” dengkusku jengkel. Kutunjuk keranda yang sedang didorong menuju kamar jenazah. “Biar orang itu dan seluruh yang tertidur di sana ...,” tunjukku pada sebuah ruangan, “pada bangun semua dan keluarganya nggak susah.”

“Gelay banget, sih, Va, pake ngomongin orang yang nggak bisa bangun lagi.”

“Lagian protes nggak lihat tempat. Kalau kamu suka sama Pak Bagas, pendekatanlah sana! Jangan nyalah-nyalahin aku yang memang beneran nggak bisa.”

“Masalah?”

Aku terdiam. Rasanya sangat sulit dipercaya kalau aku punya teman seperti Rania. Selama ini aku tak pernah mempermasalahkan mulutnya yang memang sering tak tahu tempat ketika berbicara. Aku tak harus menegur apa pun yang semua temanku lakukan karena itu memang bukan urusanku. Aku berprinsip bahwa meski teman baik, bukan ranahku untuk mencampuri kehidupannya.

Orang melakukan sesuatu karena hal itu dianggap benar, ditambah mereka sudah dewasa. Jadi, pasti tahu mana yang benar dan mana yang salah. Begitu pun dengan perilaku Rania. Toleransi yang kuberikan selama ini ternyata tidak membuatnya menjadi sedikit peka. Dia bertindak sesuatu yang bagiku sudah di luar batas. Kali ini aku merasa seperti kehilangan toleransiku. Bukan teman namanya jika tidak bisa menghargai teman yang lainnya.

“Jelas masalah,” sahutku. Kutatap tajam mata Rania, kali ini tak akan kubiarkan mulut berbisanya itu mengeluarkan racun lagi. “Kalau posisinya dibalik, gimana? Sakit hati nggak kalau aku berbuat hal yang sama ke kamu?”

Aku berdiri, menjinjing tas dan meletakkannya di pundak. Kuhabiskan es teh ku sebelum aku memundurkan kursi. Kuraih ponsel yang tadi kuletakkan di meja dan berpamitan.

“Aku mau lanjut. Sampai ketemu, ya.”

“Va,” panggil Rania. “Lava ....”

Aku mendengar panggilan Rania, tetapi aku tak ingin menoleh. Cukup sudah yang kudengar hari ini. Pertemanan kami lebih berarti daripada omongan tak penting yang sudah dia ucapkan.

Ketika hampir sampai di tempat parkir, aku justru bertemu orang yang sebenarnya tak ingin kutemui. Sudah terlambat kalau mau menghindar, dia telah melihatku dan menyunggingkan senyum. Mau tak mau aku jadi menghentikan langkah dan menunggunya.

“Apa kabar gadis favorit?” Pak Bagas langsung menyapa begitu langkahnya terhenti di depanku.

“Sudah pasti baik.”

“Mendengar jawabanmu, pasti sukses tuh order ditandatangani oleh doktermu.”

“Begitulah. Rejeki anak Sastro,”

“Rejeki anak saleha, Begitu yang bener, Va.”

“Sampai kapan pun, papaku ya tetap Sastro. Bukan saleha.”

Pak Bagas tergelak. Sejujurnya aku tidak tahu bagian mana yang lucu sampai tertawanya begitu lebar. Melihat Pak Bagas yang seperti itu, orang pasti tak akan menyangka kalau dia adalah seorang manajer. Bukan di perusahaanku, tapi di perusahaan kompetitor di mana deretan detailernya pun juga handal.

“Jadi, berapa ampul yang berhasil kamu dapatkan?”

“Waaah, itu rahasia perusahaan, Pak. Yang jelas setengah target bulan ini sudah dapat.”

“Kamu cocok jadi detailer, ya, Va.”

Aku memang detailer. Sebuah pekerjaan impian yang aku cita-citakan sejak duduk di sekolah menengah. Orang mungkin ingin menjadi dokter, direktur, polisi, atau apa pun itu. Namun, aku hanya ingin menjadi detailer. Bagiku pekerjaan ini sangat keren, mengingat orang yang akan aku pintari adalah dokter-dokter yang jelas menentukan kelangsungan karirku.

Pikiranku berubah ketika aku berhasil meraih cita-citaku. Bukan dokter yang aku pintari untuk selembar persetujuan order, tetapi bagaimana harus menekan ego ketika mereka yang begitu pintar justru menyanggah fungsi obat berdasarkan efek samping dari kandungan-kandungan tertentu. Pada akhirnya bekerja bukanlah mengenai kepuasan karena berhasil mewujudkan impian. Bekerja sama dan kemampuan mengendalikan diri pun termasuk di dalamnya.

“Saya memang detailer, Pak. Masa Bapak lupa.”

“Saya bukan atasanmu, panggil Mas saja kenapa.”

Memang bukan atasanku, tetapi tetap saja susah untuk memanggil “mas” seperti keinginannya. Aku mengenalnya karena kebetulan sedang sama-sama menunggu di antrean dokter praktik. Saat itu dia bersama Rania yang memang detailernya.

“Kalau begitu, saya pulang du—”

“Katanya mau lanjut, Va, kenapa masih di sini?” Rania tiba-tiba muncul dan berdiri di dekatku. “Begini yang katanya nggak suka sama Pak Bagas? Kok aku berpikir sebaliknya, ya?” lanjut Rania dalam bisikan tepat di samping telingaku. “Selamat siang, Pak Bagas.”

Heran, bagaimana Rania bisa menyapaku, protes, lalu menyapa Pak Bagas dalam waktu bersamaan. Masa bodoh, lama-lama beneran malas memikirkan tingkah orang yang cintanya terpendam. “Saya pamit, Pak,” pamitku sambil melanjutkan langkah menuju tempat parkir.

Saat hendak membuka pintu mobil, seseorang menarik ranselku dan membuatku menoleh. Ternyata Rania, kali ini ada kemarahan yang terpancar di wajahnya. Aku tak tahu kenapa, yang jelas dia dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

“Di dunia farmasi ini, kamu masih anak baru. Jangan coba-coba bergaya dengan tebar pesona sana-sini. Satu tahun itu belum lama, jadi mudah saja kalau mau membuat reputasimu buruk.”

  

2. Terpesonakah?

“Untuk hari ini order dilanjutkan setelah jam makan siang, ya. Semoga teman-teman detailer tetap sabar seperti biasanya.”

Nah, siapa bilang jadi detailer enak? Kalau keadaannya sudah begini, mau apa? Dikira menunggu itu menyenangkan? pengumuman tadi itu disampaikan oleh Mbak Lala, bagian pengadaan di salah satu rumah sakit terbesar kota ini.

“Nyesel aku ke sini. Tahu gitu, 'kan, mendingan aku tadi ke RSB Vila Bunda. Jelas dapat tanda tangan.”

Getun (menyesal), Va?” tanya Rosa, salah satu teman detailer yang bisa dikatakan lumayan akrab denganku. Beberapa kali kami pergi keluar kota bersama dan berhasil menambah omset meski tak besar.

Nemen (sangat).”

“Mau nyesel juga pecuma. Posisi kita butuh mereka.”

Aku menoleh pada pria yang baru saja berbicara. Rupanya dia, beberapa kali sempat antre bersama, hanya saja aku tak pernah menyapanya. Selain karena sibuk dengan ponselnya, Mas itu juga sepertinya enggan bicara dengan siapa pun. Mungkin siang ini adalah pengecualian, karena dia menyahuti pembicaraanku dengan Rosa.

“Iya, sih.” Aku menyetujui ucapannya. “Tapi masa gak menghargai kita yang sudah menunggu berjam-jam?”

“Sudah, Va. Oh, iya ... kenalan dulu, itu namanya Mas Candra. Kerjanya di kompetitor  perusahaanmu , tapi kuharap kita semua berteman saja.”

 Oh, namanya Candra. Kurasa dari beberapa kali kami bertemu, baru sekali ini aku mendengar dia menanggapi pembicaraan. Biasanya, Mas Candra hanya duduk sambil memainkan ponsel hingga gilirannya masuk dan langsung pergi begitu saja setelah selesai. Tidak pernah menyapa secara berlebihan. Paling-paling “halo” atau “sudah lama” yang jelas dimaksudkan sebagai basa-basi. Selesai dengan urusannya pun Mas Candra hanya mengatakan “yuk, duluan” dan berlalu tanpa menoleh lagi.

“Va, kok bengong,” tegur Rosa menanggapi keterdiamanku.

“Halo, Mas Candra. Aku Lava.” Kuperkenalkan diriku setelah menyapanya. Reaksinya hanya berupa kedua alis terangkat, lalu kembali menekuri ponsel. Sepertinya benda itu merupakan jimat yang terus-menerus dilihat karena alih-alih berbicara dengan sesama teman, Mas Candra justru pilih mengusap benda itu berkali-kali. Mungkin akan terus begitu sampai gilirannya tiba.

“Va, keluar, yuk!” ajak Rosa. “Bagian pengadaan ini kalau istirahat suka lebih dari yang seharusnya. Daripada jamuran di sini.”

“Boleh.” Aku menyetujui usul Rosa karena memang tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu. Saat aku dan Rosa bangkit, Mas Candra mengikuti kami.

Begitu keluar dari lingkungan rumah sakit. Aku merasa sedikit menyesal. Panas terik yang menyambut langkah kami benar-benar sanggup membakar emosi. Untunglah depot yang dituju hanya berada di seberang rumah sakit. Jauh sedikit saja, aku lebih memilih untuk menunggu bagian pengadaan dengan perut lapar yang bagiku terasa lebih menyenangkan. Bukan untuk gaya, tetapi aku pasti akan sakit kepala jika kepanasan terlalu lama.

Membaca menu yang tertulis di papan yang menempel pada dinding, aku memilih soto bebek sebagai menu makan siangku. Bayangan kuah panas, pedas, dan asam dari jeruk nipis benar-benar membuat perutku meronta. Abaikan Rosa yang memesan gado-gado dan salad buah, menu yang biasanya juga selalu kupilih. Namun, siang ini adalah pengecualian.

Begitu pesanan kami diantarkan, aku hanya melihat segelas kopi untuk Mas Candra. Saat menikmati makan sian, aku hanya melihat Mas Candra mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. Dia bersandar sambil memainkan ponselnya. Kadang-kadang aku heran, mengapa kebanyakan pria lebih memilih sebatang rokok, kopi, dan menatap ponsel di jam makan. Mau kubilang belum lapar, jelas tidak mungkin karena nyatanya ini adalah jam makan.

“Katanya lapar.” Rosa menyenggol lenganku. “Malah bengong. Keburu dingin, tuh. Nggak enak nanti.”

Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Bisa-bisanya aku mengamati Mas Candra yang bahkan berbicara pun enggan. Aku mengaduk mangkukku dan mencicipi sedikit kuahnya. Kurang pedas dan aku menambahkan sambal serta jeruk nipis lagi ke dalamnya. Benar-benar nikmat, itu yang kurasakan ketika aku menikmati makan siang tanpa berbicara lagi.

***

Kubuka mataku ketika waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kuregangkan tubuh sebentar dan kembali memeluk guling lalu memejamkan mata. Aku masih punya waktu lima belas menit untuk bermalas-malasan sebelum bangun dan berangkat bekerja. Heran tidak aku melakukan pekerjaan semalam ini? Memang beginilah pekerjaanku. Tidak melulu pagi atau siang hari. Jangan bermimpi punya jam kerja rutin dari pagi hingga sore jika menjadi detailer sepertiku.

Dua kali sebulan aku pasti pergi keluar kota dan jam kerjanya pun sama. Tidak ada patokan dari jam berapa sampai jam berapa. Yang jelas aku harus menemui para dokter yang tentu saja jadwalnya disesuaikan dengan waktu senggang mereka. Apakah di rumah mereka? Jangan bermimpi Esmeralda, tak akan ada yang membayangkan bakal dapat susu hangat atau pisang goreng dari Nyonya Dokter ketika bekerja.

Sebagian besar dari kami akan menemui dokter di rumah sakit atau di tempat praktik. Waktunya? Bisa pagi sekali, siang, atau bahkan hampir tengah malam ketika pasien terakhir meninggalkan kamar praktik. Apakah negosiasinya gampang? Jangan harap. Meskipun itu tengah malam dan dalam kondisi lelah sekali pun, otak mereka tetap waspada dengan yang namanya sales.

“Lava, kerja opo ora, kok ndak bangun-bangun ini?” Suara kakek diikuti oleh sebuah tarikan pada selimut membuatku membuka mata lalu duduk sambil menatap wajah teduh pria berusia senja yang kini berdiri di ujung tempat tidurku.

“Kerja, Kek. Tapi, masih ada waktu.” Kurebahkan kembali tubuhku ke kasur. Nyaman dan hangat. Sebuah tempat yang tak pernah gagal memberikan rasa senang meski ini bukan rumah orang tuaku.

“Bangun! Ndak ada alasan. Nenekmu sudah membuat nasi goreng seafood kesukaanmu. Makanlah sebelum berangkat kerja.” Mendengar suara tegas Kakek, jelas beliau tak ingin aku membantahnya. Terlebih lagi, Kakek sudah melangkah keluar dari kamar dan mau tak mau, aku pun melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Makan malam dengan nasi goreng seafood buatan Nenek terbukti mendongkrak semangat kerjaku. Aku mengemudikan mobil membelah jalanan kota yang sudah mulai lengang dan sampai di Apotek Sehat, tempat praktik Dokter Rahmad, dalam waktu lima belas menit. Waktu yang lumayan singkat mengingat di jam normal aku memerlukan waktu lebih dari setengah jam jika berangkat dari rumah.

Mati! Aku melirik jam tanganku begitu duduk di kursi paling belakang antrean Dokter Rahmad. Masih ada tujuh pasien yang artinya ... aku akan menghadap dokter terkenal itu paling cepat dalam dua jam. Lama? Memang. Dokter yang satu ini selalu memerlukan waktu lama jika memeriksa pasiennya. Meskipun taripnya mahal, tetap saja antreannya mengular. Namun, semua itu sebanding dengan keramahan, ketelatenan, dan ketelitiannya yang patut diacungi jempol.

Kukeluarkan ponsel dan mulai berbalas chat dengan teman-temanku. Sesekali aku membalas obrolan grup detailer keren yang berisi para detailer kota ini. Beberapa dari mereka ada yang sedang menunggu sepertiku yang tentu saja diejek oleh teman lain yang sedang rebahan dengan anak atau pasangan masing-masing di depan televisi.

“Va.”

Sebuah suara yang kukenal menyapa runguku disusul sosoknya yang duduk di sebelahku. “Mas.” Hanya kata itu yang kuucapkan sebagai balasan dari sapaannya. Bukan aku sombong, sih, tetapi ketika aku asyik berbalas pesan maka sekelilingku jadi tidak menarik.

“Sudah lama?” Mas Candra kembali bertanya.

“Sekitar ....” kulirik jam tanganku sebentar. “Dua puluh menitan.” Aku langsung menabahkan hati begitu menyadari bahwa pasien dokter Rahmad belum berkurang. Itu artinya, pasien yang ada di dalam belum keluar sejak aku duduk. Astaga, apa, sih, yang mereka obrolkan sampai begitu lama. Lagi pula, pasiennya kok betah. Apa tidak pusing atau lemas?

“Biasa aja mukanya. Demi omset.”

“Hmm.” Kubenarkan kalimat Mas Candra. Aku seperti ini pun juga tak jauh-jauh dari yang dikatakannya. Omset dan insentif besar. Bukannya tidak bersyukur dengan gaji yang sudah diikuti oleh deretan tunjangan yang cukup lumayan, tetapi insentif jelas bisa membuat dompetku bersorak.

Sebentar saja, aku sudah kembali asyik menekuri ponsel. Ada ajakan piknik bersama di group chat detailer. Banyak sekali yang menimpali. Sebentar saja sudah ada dua puluh dua orang yang masuk daftar peserta. Banyak yang antusias ternyata. Sayangnya aku tidak bisa datang. Akan ada acara arisan RT di rumah dan tak mungkin bagiku membiarkan nenek masak sendirian. Bisa repot sendiri kalau beliau kelelahan dan jatuh sakit.

“Ikut?”

Aku langsung menoleh pada Mas Candra. “Maksudnya?” bukannya pura-pura tidak mengerti, tetapi aku memang tak tahu ke mana arah pembicaraannya.

“Piknik. Kamu ada di grup detailer, ‘kan?”

Rupanya Mas Candra juga ada di grup itu. Sebelumnya, aku tidak tahu hal itu. Tak perlu heran, tentu saja tidak tahu. Aku tak punya nomor ponsel Mas Candra dan tidak pernah bertanya. Boro-boro bertanya, ngobrol saja baru kali ini.

“Ada.”

“Jadi?”

“Nggak bisa ikut. Ada acara di rumah.”

Mas Candra hanya mengangguk dan kembali serius dengan ponselnya. Melihatnya begitu, aku juga kembali sibuk dengan ponselku. Meski dia diam, nyatanya berada di dekatnya terasa begitu menyenangkan. Apa? Menyenangkan? Dari mana datangnya pikiran itu sampai-sampai melintas di kepalaku yang super cantik ini? Menggelikan.

 

3. Stalking

Ini adalah hari Senin. Aku tidak pernah berkata i hate Monday seperti kebanyakan karyawan yang memulai kembali rutinitas mereka setelah hari libur. Bagiku, Senin adalah hari yang sangat menyenangkan. Selain merasa seperti hari libur, satu dokter yang harus aku kunjungi benar-benar orang terbaik sedunia, menurutku. Siapa yang tidak kenal Dokter Harjono, terkenal dan tidak mau ribet berurusan dengan hal sepele. Pertemuan dengan detailer selalu dijadwalkan di awal praktik tanpa negosiasi alot.

Aku tidak tahu bagaimana Dokter Harjono dengan detailer yang lain. Pokoknya, selama aku bekerja dan mengunjunginya dengan rutin, dia selalu bekerja sama dengan baik. Bukannya yang lain tidak baik, tetapi beliau benar-benar efisien. Aku juga hanya bertemu paling lama sepuluh menit dengan omset yang langsung menutup tiga puluh persen dari target. Menyenangkan, bukan? Jadi ... bagian mana yang bisa membuatku membenci hari Senin?

Hal apa lagi yang lebih menyenangkan? Selain seharian bisa bermalas-malasan, setelah menemui dokter super favorit itu aku juga bisa langsung pulang atau jalan dengan teman-teman. Biasanya, sih, aku memilih opsi kedua. Jalan dengan teman setelah membuat janji sebelumnya. 

Seperti biasa, mengawali hariku yang menyenangkan ini, aku memilih untuk membuka beberapa media sosialku. Dimulai dari akun facebook yang meskipun aku jarang menulis atau membagi sesuatu, tetapi aku suka melihat kegiatan teman-temanku. Aplikasi terkenal ini banyak berbicara tentang keseharian para penggunanya. Mulai dari status yang rata-rata berisi curhatan, foto yang entah memang mengabadikan momen atau hanya sekadar pamer.

Bagian teratas berandaku adalah foto yang dibagikan oleh Rosa. Kuberi like saja, tanpa berniat untuk membaca caption yang ditulisnya. Jangan heran, kalau hanya untuk menyukai sih, aku selalu berikan. Apalagi gambar-gambar itu  punya temanku. Saat jariku mulai menggulir layar ponselku lebih cepat, aku menemukan unggahan lain milik Rosa.

Tertulis best detailer ever. Aku tertawa sendirian. Narsis sekali temanku yang satu itu. Di sana dia juga menandai beberapa orang. Entah siapa saja, yang jelas mataku hanya terpaku pada satu nama. Candradimuka. Oh ... namanya Candradimuka. Bukankah itu nama kawah tempat Gatotkaca digembleng? Nenek dan Kakek pasti akan secara otomatis bercerita tentang dunia pewayangan jika tahu nama Mas Candra.

"Anak perawan ngepluk (malas). Jam segini kok masih lemah-lemah (rebahan). Bisa jauh jodoh kalau begitu itu, Va."

Kuputar bola mataku mendengar ucapan Nenek. Si cantik kesayangan kakek benar-benar tidak bisa melihatku nyaman bermalas-malasan. Baginya, anak perempuan itu harus rajin. Dimulai dari bangun pagi, menyapu, memasak, mandi, dan sarapan. Pertanyaanku, kalau kulakukan itu semua, lalu apa gunanya menggaji Mbak Surti? Benar, 'kan, kataku? 

"Mbok ya yang bahagia begitu, loh, Nini, kalau melihat cucunya di rumah."

Aku tersenyum mendengar Kakek menimpali. Pria yang satu itu benar-benar pahlawanku. Sangat tahu suasana hati dan keinginanku untuk menikmati hari dengan santai.

"Lava kok dimanjakan. Makin ngepluk nanti."

"Sudah, Ni. Cucu perempuan kita itu hanya Lava. Kalau ndak dimanjakan kita mau manjakan siapa? Ndak pantes kalau mau manjakan cucu laki-laki. Jadinya malah kemayu (genit, centil) nanti."

"Ya wes. Nini memang ndak pernah menang kalau sudah berurusan dengan Lava. Akinya selalu mbelain. Bangun sana, Nduk, sarapan dulu. Nanti kalau masih mau klemahan (rebahan) ya dilanjut lagi."

Aku bangun dari posisi rebahku lalu menepuk tangan Kakek yang sudah terulur begitu Nenek melangkah ke dapur. Kakek tertawa penuh persekongkolan. Mungkin bangga karena bisa menyelamatkan aku dari serangan Nenek yang meskipun untuk kebaikanku, tetapi sedikit memaksakan kehendak ... menurutku.

"Kamu lihat apa, sampai mesam-mesem sendiri begitu?"

"Kakek kepo."

"Halah paling-paling kamu lihat bocah bagus."

Aku tertawa. Dari dulu Kakek selalu mengatakan tampan itu bagus. Kalau orang tidak mengerti, itu pasti dikira orang bernama Bagus. Begitulah, produk jaman old, tentu beda dengan yang sudah kekinian. Apalagi yang sudah terkontaminasi dengan oppa-oppa Korea, jelas beda lagi bahasanya.

"Kakek beneran sok tahu." 

Kakek tertawa sementara aku kembali merebahkan tubuh. Biarkan saja beliau sarapan lebih dulu. Jika sudah sedikit memberikan petuah seperti tadi, Nenek tidak akan mengusikku lagi. Bisa-bisaku saja segera sarapan setelah semuanya siap.

Aku kembali melihat ponselku. Menatap lagi foto Rosa yang tadi belum sempat kuamati. Ada tujuh gambar di sana dan perhatianku hanya tertuju pada sosok Mas Candra. Dia memakai jeans hitam, baju warna hijau toska, topi yang dibalik, dan tas hitam yang diselempangkan menyilang. Tampan sekali.

Tampan? Astaga, dari mana munculnya kata itu hingga mampir di benakku. Sulit kupercaya, orang irit bicara begitu, senyumnya saja jarang terbit, dari mana tampannya? Lagi pula, kenapa tiba-tiba aku jadi penasaran tentangnya?

Aku bertanya pada diriku sendiri kenapa aku memikirkannya. Namun, jariku tidak berhenti untuk terus melihat koleksi foto Rossa yang juga menampilkan Mas Candra. Aku bahkan mengintip akunnya. Iya, katakanlah aku memang ingin tahu, tetapi ini benar-benar tak bisa kuhentikan.

Tidak banyak yang diunggah Mas Candra di akun miliknya. Hanya ada tiga foto di sana. Foto pertama dia menghadap pantai yang gambarnya diambil dari belakang. Foto kedua, Mas Candra sedang menghadap komputer dan tampak serius menatap layar. Foto ketiga ... yang membuatku langsung suka. Mas Candra memamerkan sedikit senyum sambil melihat ke arah kamera. Gila, senyum sepelit itu saja dia tampan, apalagi senyum besar.

Kukerjapkan mataku saat menyadari bahwa aku sudah melangkah terlalu jauh. Untuk ukuran mengenal Mas Candra yang hanya sekadarnya, tentu semuanya tidak wajar. Kenapa kulakukan ini, ya ampun. Mas Candra itu, 'kan, tidak ada menariknya sama sekali. Bagaimana bisa aku memiliki begitu banyak rasa ingin tahu?. Malah sampai stalking akunnya. Serius, aku merasa aneh dengan diriku sendiri.

Sekali lagi aku melihat akun Mas Candra. Dibuat sejak delapan tahun lalu dan tak mungkin, 'kan, kalau hanya ada tiga aktivitas? Pasti kegiatan yang dibaginya hanya bisa dilihat oleh teman-temannya saja. Tanpa berpikir panjang, kutekan tombol kirim pertemanan pada Mas Candra.

Kukedipkan mataku beberapa kali saat menyadari apa yang sudah aku lakukan. Mengapa aku ingin tahu aktivitas online Mas Candra? Tidak mungkin aku tertarik padanya, dia saja tidak menunjukkan gelagat tertarik. Jangankan tertarik, ramah saja tidak. Bukan tidak ramah dalam arti yang jelek, maksudku adalah sapaan Mas Candra selama ini ... menurutku hanya basa-basi saja karena kami memiliki pekerjaan yang sama.

"Lava ...."

"Iya, Nek."

Aku bangun dan menuju ruang makan sebelum nenekku datang dan menjewer telingaku. Di sana Kakek sedang menikmati sepiring singkong rebus dan secangkir kopi. Ada roti isi yang jelas disiapkan untukku beserta segelas susu. Nenekku? Jangan ingin tahu, karena beliau sudah pasti makan kue cucur yang dibeli saat belanja tadi subuh. 

Aku mulai menyantap sarapan yang sudah pasti dibuat dengan penuh cinta. Sambil mengunyah, kutatap kembali layar ponsel yang menampilkan foto Mas Candra. Apa yang sudah kulewatkan? Rosa pernah mengunggah foto Mas Candra yang berada di atas motor besar. Kesan yang kudapat adalah macho. Di sana tertulis "happy birthday, sexy hunk" sebagai caption-nya. Aku mengerucutkan bibir, tiba-tiba merasa sebal. Ada rasa aneh yang menjalar di dadaku. Tak mau terganggu rasa tak enak ini, aku kembali menatap foto Mas Candra. Meskipun mengenakan helm teropong, tetap saja aku mengenali alis dan hidungnya yang ....

"Bagus tenan. Pacarmu, Nduk?"

Aku tersentak, tubuhku menegang, dan langsung meletakkan ponsel di meja. "Kakek ...." Hanya itu yang bisa kuucapkan. Tidak tahu harus menjawab apa pada pria tua yang walaupun banyak bersekongkol denganku, tetapi aku tahu kalau kali ini beliau tidak akan membiarkanku lolos.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kisah Yang (tak) Pernah Dimulai
12
6
Bab 1 - 36
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan