
Bab 1-10 Free
Terkenal cerdas dan bertangan dingin dalam menangani seluruh kasus pasiennya tidak membuat Satria beruntung dalam cinta. Wanita yang dia nikahi mencintai pria lain.
Pernikahan yang penuh kesalahpahaman itu membawa Satria menemukan bahwa orang yang selama ini dia percayai justru mengkhianatinya. Di tengah seluruh masalah dalam hidupnya, Satria kembali dihantam keinginan sang istri untuk segera mengandung.
Apa yang akan dilakukan Satria untuk mengatasi seluruh kesulitannya? Bagaimana dia harus bersikap ketika istrinya sulit mengandung padahal dia adalah dokter spesialis kandungan?
01 Suami Yang Tak Diinginkan
Hampir tengah hari ketika pernikahan mendadak itu selesai dilakukan. Satria Samudera atau yang akrab dipanggil dengan nama Satrio baru saja melepas masa lajang dan menyisakan jeritan patah hati hampir 80% makhluk berjenis kelamin perempuan. Sialnya ... pernikahan tanpa direncanakan itu terjadi murni karena perilaku impulsifnya yang tiba-tiba bertemu dengan Ocean.
“Dokter Satria Samudera, selamat menempuh hidup baru.” Alfredo, sahabat terbaiknya, menyalami tangan Satrio sedangkan wajahnya terlihat dingin dan menyebalkan. “Untuk ukuran seorang playboy, cara pernikahanmu benar-benar luar biasa.”
“Cara menikah yang sangat hina untuk standarmu yang biasanya cerewet.” Raphael, juga sahabat terbaik yang biasanya cenderung malas berbicara, kini bisa menyela.
“Jangan minta untuk dipanggil Satrio lagi karena Satria lebih cocok buatmu setelah pernikahan spektakuler tadi.” Alfredo meneruskan.
“Kalian berdua benar-benar menyebalkan. Aku kira kalian selalu mendukungku.” Satrio memprotes kelakuan sahabatnya seraya meninju lengan mereka bergantian.
“Kami memang mendukungmu, jangan khawatirkan hal itu. Ayo, Al, kita kembali kerja. Biar saja pengantin baru ini bulan madu.” Raphael berlalu tanpa merasa perlu menunggu jawaban.
Alfredo menyusul kemudian setelah menepuk bahu Satrio sekilas seolah memberikan dukungan. Satrio yang paham dengan kelakuan ajaib kedua sahabat terbaiknya itu cuma bisa mengedikkan bahu. Setelah semua reaksi barusan, pada akhirnya dia menyadari sikap spontannya yang setuju begitu saja untuk menikahi Ocean bisa jadi adalah sebuah kekeliruan.
Bukan perkara mudah bagi Satrio begitu bertemu lagi dengan Ocean setelah 6 tahun berlalu. Satu-satunya gadis yang pernah menolak cintanya dengan alasan dia terlalu ramah pada wanita. Benar ... Satrio memang terlalu ramah pada wanita, tetapi Ocean meninggalkan Satrio tanpa mendengarkan penjelasan apa pun.
Satrio kembali ke dalam ruang rawat mertuanya dan mendapati Ocean tengah bersandar di bahu ibunya, khas gadis-gadis rumahan yang hanya tahu segala sesuatu dari sang ibu. Bapak mertuanya yang tertidur pulas seolah memberitahukan bahwa dia tidak bisa berada di sana untuk waktu yang lama.
“Ada yang ingin kamu sampaikan, Ocean?” Satrio menoleh ke arah Ocean dengan pandangan mata yang sedikit tajam. Bibirnya terkatup rapat setelah kalimatnya berakhir dan menyisakan ekspresi tanya.
“Ya.” Hanya satu kata itu yang diucapkan oleh Ocean. Kepalanya yang tertunduk membuat Satrio sedikit berang. Memangnya dia tidak tampan, hingga istri yang belum genap satu jam dia nikahi sudah tidak mau melihat wajahnya?
“Ayo, ikut aku!” ajak Satrio seraya melangkah keluar dari ruang rawat mertuanya diikuti oleh Ocean.
Satrio yang pada dasarnya sangat ramah kini terlihat dingin. Melangkah sepanjang koridor rumah sakit dengan tangan sang istri dalam genggaman dan hanya memperlihatkan anggukan kecil manakala seseorang menyapanya. Tidak ingin repot-repot berpikir Ocean mampu mengimbangi langkah lebarnya atau tidak, pada kenyataannya gadis yang baru diperistri olehnya itu tengah berjalan setengah berlari mengikutinya.
Sinar matahari menyelinap melalui jendela dengan vertical blind berwarna hitam. Sebuah ruangan berukuran 32 meter persegi yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam di pojok kiri. Satu set sofa hitam terletak di pojok sebelah kanan berseberangan dengan meja kerja yang juga berwarna hitam. Agak ke tengah hingga menempel dinding kamar mandi ada lemari tinggi berisi banyak buku dan berkas. Sedangkan di seberang lemari itu ada wastafel serta jemuran mini di mana sebuah handuk besar berwarna hitam terbentang. Ada juga kulkas berwarna abu-abu di sana yang melengkapi fasilitas ruangan Satrio.
Satrio sudah duduk di sofa tunggal sementara Ocean masih berdiri bingung di depan pintu yang telah tertutup. Mengangkat sebelah alisnya, Satrio menyapu wajah Ocean dengan tatapan tanya. Dia mengamati wajah istrinya yang masih terlihat ragu untuk masuk ke ruangannya.
Satrio bangkit lalu melangkah mendekati Ocean, menarik lengan istrinya, dan membimbingnya duduk di sofa panjang. Sebuah sofa besar dan sangat nyaman karena Satrio menggunakannya untuk tidur jika terlalu lelah bekerja. Dirinya menyusul kemudian setelah mengambil minuman dingin dari kulkas. Duduk di samping Ocean membuat Satrio leluasa mengamati wajah yang sudah menghilang sekian lama darinya.
Wajah mulus itu masih secantik yang dia ingat. Berhidung mancung dengan mata lebar dinaungi alis hitam nan tebal. Sementara bibirnya, jangan salahkan Satrio kalau saat ini dia begitu ingin mengecup bibir penuh dan berwarna merah muda yang tampak selalu basah itu. Secara keseluruhan, gambaran keindahan itu dipadu dengan wajah oval dan rambut lurus berwarna dark brown.
“Kamu ingin mengatakan apa?” Satrio memulai pembicaraan ketika sudah beberapa saat berlalu, tetapi Ocean tetap setia dalam kebungkamannya.
“Aku ...,” Ocean terdiam sejenak, tampak tidak yakin dengan apa yang akan dibicarakannya. “Aku ingin pernikahan kita berakhir segera setelah Bapak sembuh.”
Hening ... hanya ada suara detakan jam dinding.
“Memangnya kamu siapa sampai berani berkata begitu ke aku? Kamu kira ... aku siapamu?” tanya Satrio dingin.
“Aku berterima kasih karena kamu sudah menolong Bapakku. Tapi aku nggak ingin menikah denganmu untuk waktu yang lama.”
“Terserah kamu saja kalau gitu,” ujar Satrio tenang, “tetapi ini harus menjadi pernikahan sungguhan sebelum kita berpisah.”
“Ap ... apa maksudmu? Maksudmu ....”
“Nggak usah gagap begitu, Ocean. Bagaimana pernikahan ini terjadi, aku tidak peduli. Buatku kamu adalah istriku yang sah dan aku bermaksud melakukan kewajibanku sebagai suami ... dengan kata lain aku memberikan hak sebagai istri padamu.”
“Tapi aku ....”
“Terserah kamu mau berpikir bagaimana, yang jelas kamu istriku dan aku tidak mempermainkan pernikahan. Urusan kamu mau cerai, pikir itu belakangan.”
“Aku tidak mau ber ....”
“Diamlah dan tidak usah banyak alasan!” sela Satrio. Tangannya menarik ponsel dari sakunya dan jarinya mulai menggulir layar benda itu beberapa menit lamanya. Selesai dengan itu, dia mengeluarkan dompet dan menarik sebuah kartu lalu memberikannya pada Ocean. “Untukmu, gunakan tanggal, bulan, dan hari lahirmu untuk mengakses uang belanja. Aku baru memproses semuanya.”
“Aku hanya istri sementara, kenapa memberiku belanja? Nggak takut aku habiskan uangmu?”
Satrio tertawa keras seolah mengejek pertanyaan Ocean. “Habiskan saja kalau kamu bisa, lagian untuk ukuran istri sementara seperti katamu itu ... apa kamu nggak malu kalau mau menghabiskan uangku?”
Satrio melirik paras Ocean yang memucat. Wajah bersih tanpa diperhalus oleh bedak itu tetap menarik perhatiannya meski sang pemilik sedang memasang wajah tidak ramah. Ocean menunduk, menyembunyikan wajahnya di antara geraian rambutnya yang terurai menutupi wajah seiring pergerakan kepalanya.
Ada apa? pikir Satrio. Ocean yang dikenalnya beberapa tahun lalu adalah gadis ceria yang tidak kenal takut. Begitu percaya diri menolak cintanya dan pergi begitu saja seolah Satrio bukan orang yang pernah singgah di hatinya.
Satrio mengambil ikat rambut yang tergeletak di meja, meraih rambut Ocean dan menjalinnya menjadi ikatan longgar di tengkuk. Dobel sial, Satrio menyesal telah melakukan tindakan itu. Tengkuk putih Ocean membuat nalurinya sebagai pria muncul di saat yang tidak tepat.
Satrio menyugar rambutnya. Bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju wastafel untuk membasuh wajah dan membasahi rambut guna mendinginkan kepalanya yang mendadak terasa panas. Setidaknya kepala yang dingin mampu membuat pikirannya kembali normal dan tidak akan menerjang istrinya di sofa.
Satrio meraih handuk dan mengeringkan wajahnya. “Tenanglah, Ocean. Selama kamu tidak berbuat yang aneh-aneh, aku akan lebih dari bersedia untuk menolong Bapakmu. Hari ini sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan terbaik dan kamu nggak usah mikir biayanya.”
“Mas aku ....”
“Panggil aku apa?”
“Mas ... Sam.”
“Bagus. Panggil aku begitu karena untukmu, aku akan selalu menjadi Samudera.”
Pada dasarnya Ocean masih sama seperti yang dia kenal dulu. Ramah dengan senyum lembut meski terkesan dipaksakan dan Satrio harap bisa menurut padanya. Perlahan dia akan mencari tahu sebab perubahan yang terjadi pada Ocean. Meski sedikit, Satrio tidak ingin Oceannya berubah. Ocean yang dia kenal mampu membuatnya merasa nyaman, sehingga tanpa berpikir tindakan impulsifnya tadi telah melemparkannya ke dalam status menikah hanya dalam waktu kurang dari satu jam.
“Sam, aku nggak suka kamu.”
Kalau ada bom meledak di depan wajahnya, keterkejutan Satrio pasti tidak akan sebanding dengan terkejut yang sekarang sedang dia rasakan. Istrinya mengatakan kalau tidak menyukai dirinya. Rahang Satrio mengetat, merasa harga dirinya sebagai suami telah diinjak terlalu dini oleh Ocean.
“Aku juga nggak suka kamu, tapi ... apapun rasa kita, pernikahan ini nyata bagiku. Kamu harus mengerti kewajibanmu karena biaya Bapakmu itu nggak murah,” desis Satrio yang langsung membungkam mulut Ocean dalam ciuman panas dan menuntut.
Jemari Satrio yang berwarna kecokelatan itu menangkup belakang kepala Ocean sementara bibirnya terus menjelajah bibir istrinya. Ciuman Satrio yang tegas dan menuntut pada awalnya perlahan melembut seiring rengkuhan tangan Ocean di lehernya. Kemudian segala sensualitas yang hampir terlupakan pun kembali menyerbu kenangannya, menenggelamkan keduanya dalam debaran rasa manis yang sempat terlupa.
02. Istri Biasa
Memangnya kenapa kalau dia menikah dengan Satrio? Memangnya kenapa rata-rata suster melihatnya dengan tatapan tidak suka? Apa salah Ocean sampai semua orang seolah memusuhinya? Bukankah Ocean tidak membuat kesalahan pada mereka? Ocean juga tidak berhutang apa pun. Seingat Ocean dia justru tidak pernah berbicara selain dengan orang tua dan suaminya. Pikiran itu berputar di kepala Ocean sepanjang hari dan dia tidak menemukan jawabannya. Mata-mata sinis yang melihatnya itu seolah menunjukkan rasa benci yang tidak ditutup-tutupi. Ocean sungguh ingin tahu apa alasan mereka semua.
Ocean termenung di ruang rawat bapaknya. Satrio menepati janjinya, kini dia menunggui bapaknya di ruang perawatan terbaik. Ocean lega meski sebenarnya bukan itu yang dia inginkan. Dia hanya ingin bapaknya mendapat perawatan terbaik, tetapi siapa yang menyangka jika dia justru bertemu dengan Satrio, pria yang pernah dia tolak dengan cara yang tidak baik.
Bertemu kembali dengan Satrio bisa jadi adalah anugerah dan musibah di saat yang bersamaan. Anugerah karena Satrio berjanji akan membantu biaya perawatan bapaknya yang jumlahnya tidak bisa Ocean bayangkan. Menjadi musibah karena Bapak yang sudah pasrah akan nasib kesembuhannya menginginkan Ocean menikah. Setidaknya jika terjadi apa-apa saat operasi, Bapak Ocean sudah menikahkan anak gadisnya dengan orang yang tepat.
Ocean mandi setelah membantu ibu menyeka badan Bapak. Setelah semua rutinitas sore itu, dia harus menemui Satrio dan ikut pulang ke rumah. Suaminya itu juga menyediakan perawat pribadi untuk Bapak sehingga Ocean tidak perlu memikirkan apa pun saat tidak berada di sana. Semua kemudahan perawatan kini didapatkan bapaknya.
“Kamu mau pergi ke mana, Ocean?” Ibu bertanya setelah selesai menyuapi Bapak.
“Nggak tau, Bu. Sam nggak bilang mau ngajak ke mana,” jawab Ocean. Tangannya sibuk mengoleskan pelembut kulit di lengan dan kakinya.
Bahkan dalam imajinasinya pun Ocean tidak pernah berharap akan bertemu kembali dengan Satrio. Sebagai seorang gadis yang merasa dibohongi, tidak seharusnya Ocean memberikan kesempatan kedua kepada Satrio. Satrio bukanlah pria baik di mata Ocean saat itu, mengatakan mencintainya, tetapi juga memiliki orang lain di belakangnya. Mungkin Satrio pikir Ocean bodoh dan tidak akan pernah mengetahuinya. Satrio salah, Ocean tahu dalam seminggu setelah komitmen pacaran mereka.
Pada akhirnya kebencian Ocean kalah oleh kasih sayang kepada orang tuanya. Satrio menemukannya ketika mendaftar untuk rawat inap bapaknya. Bertemu kembali dengan Satrio langsung membuat bapaknya berharap banyak hingga terjadilah pernikahan dadakan itu.
“Ocean ... sana pergi temui suamimu. Jangan buat dia menunggu lebih lama.” Ibu menyentuh lengan Ocean lembut dan menyadarkan Ocean dari lamunannya.
Ocean bangkit. “Iya, Bu. Cean pergi dulu,” pamitnya seraya melangkah keluar.
Ocean menyusuri koridor panjang dari ruang rawat bapaknya menuju ruang kerja Satrio. Beberapa perawat yang kebetulan mengenalnya mengangguk kecil, ada juga yang saling berbisik saat melihat dia melintas. Ocean melihat baju yang dia kenakan, skinny jeans dengan kaos putih yang ditutup jaket rajut. Ocean tidak merasa penampilannya buruk, tetapi mengapa mata-mata itu melihatnya seolah dia makhluk asing yang tersesat di bumi.
Sebuah rangkulan di bahu membuat Ocean menoleh. Satrio tersenyum menawan, menoleh pada beberapa perawat yang sempat berbisik melihat Ocean. Sepertinya semua orang langsung berubah ramah begitu melihat senyum Satrio.
“Halo, Suster,” sapa Satrio sambil berjalan mendekat ke arah mereka dengan Ocean berada dalam rangkulannya. “Kenalan dulu, ini Ocean Samudera, istriku,” ujar satrio memperkenalkan Ocean.
Satu per satu suster yang tadi bergunjing menyalami Ocean dengan enggan. Kalau berbicara tentang enggan, Oceanlah yang paling merasakan hal itu. Tidak pernah ada dalam angan-angannya untuk diperistri oleh Satrio lalu menerima tatapan menuduh seolah dia adalah pencuri yang tertangkap basah.
“Jadi ... kalau kalian melihat istriku lupa jalan menuju ruanganku, tolong dibantu, ya?” Satrio menekankan kalimatnya hingga menyerupai ancaman.
“Ya, Dok,” jawab mereka bersamaan.
Satrio tertawa merdu. “Baiklah, terima kasih sebelumnya. Ayo kita pergi, Istrinya Sam! Tidak usah mampir ruanganku.” Satrio membawa Ocean berbalik dan meninggalkan tempat itu menuju pintu keluar rumah sakit.
Berada dalam mobil Satrio membuat Ocean sedikit gugup. Tangannya meraih lengan Satrio yang berada di atas roda kemudi. Satrio memalingkan wajah pada Ocean dan menyiratkan pertanyaan tanpa kata.
“Sam ...,” panggil Ocean lirih.
“Hmm ...,” gumam Satrio.
“Apa aku nggak pantes ada di rumah sakit itu? Apa aku nggak pantes jadi istrimu?”
Satrio menaikkan sebelah alisnya dan menatap heran pada Ocean. “Memangnya siapa yang peduli?”
“Tapi, Sam ....”
“Yang suamimu siapa?”
Ocean menunduk. “Kamu.”
“Jadi kenapa peduli dengan orang lain? Kalau kamu nggak suka, bilang aja sama aku. Aku bisa pecat mereka semua yang sudah buat kamu nggak nyaman. Kamu ngerti, Cean?”
Ocean mengangguk, melepaskan lengan suami Satrio lalu duduk tenang di tempatnya. Satrio mengemudikan mobilnya ke luar rumah sakit. Di gerbang dia menekan klakson saat berpapasan dengan sebuah mobil hitam yang bisa dibilang bagus.
“Siapa?” tanya Ocean spontan.
Satrio menoleh ke kanan, menginjak pelan pedal gasnya hingga mobil mereka meluncur mulus membelah keramaian jalan raya. “Sudah pengen tau teman-teman suamimu, Cean?”
Ocean menunduk lagi. “Maaf.”
Ocean berdiri di serambi depan sebuah rumah bergaya minimalis modern. Satrio membuka pintunya dan mempersilakan Ocean masuk. Mata Ocean berkeliling melihat seluruh ruangan yang ada. Dia tidak sempat memperhatikan semuanya karena Satrio sudah menariknya ke dapur.
“Sam mau makan?”
“Iya. Aku lapar, biasanya aku makan beli. Karena sekarang aku punya istri maka aku mau dimasakin olehmu,” jelas Satrio.
“Sam mau makan apa?” tanya ocean.
Satrio menyeringai. “Makan kamu, boleh?”
Ocean menghampiri kulkas secepat yang dia bisa. Dia Melihat kulkas itu penuh dengan sayuran, buah-buahan, dan daging. Ayam dan makanan beku juga ada. Ocean bingung mau masak apa untuk Satrio.
“Sam selapar apa?” tanya Ocean.
“Cukup lapar tapi bisa menunggu sampai masakanmu mateng.”
Ocean menggoreng tahu sutra, di waktu yang sama juga menanak nasi, dan merebus sayur. Dalam satu jam semuanya siap lengkap dengan bandeng presto dan sambal. Satrio makan dengan lahap tanpa bicara, menyuapi Ocean dan memprotes ketika Ocean tidak mau membuka mulutnya. Pada akhirnya masakan itu tandas bersama Satrio yang bersandar puas di kursinya.
“Masakanmu enak,” puji Satrio. Ternyata punya istri itu menyenangkan.”
Ocean tidak menanggapi ucapan satrio. Dia sibuk membereskan semuanya, mencuci dan mengembalikan peralatan ke tempat semula. Satrio mengatakan agar dia membiarkan semuanya karena besok akan ada orang datang untuk membersihkan rumah, tetapi Ocean memilih semuanya terlihat rapi seperti semula saat itu juga.
Selesai mengerjakan pekerjaannya, Ocean duduk di depan Satrio. “Sam ...,” panggilnya lirih.
Satrio tidak menyahuti panggilan Ocean, tetapi dia menoleh pada istrinya dengan tatapan bertanya.
“Kenapa, sih, para suster di rumah sakit kaya nggak suka gitu lihat aku?” Ocean menunduk setelah menanyakan rasa ingin tahunya pada Satrio.
“Karena kamu menikahi pria yang mereka sukai,” jawab Satrio terus terang.
Ocean berdecak. “Aku nggak menikahi pria yang mereka sukai, pria itu sendiri yang menikahi aku,” tutur Ocean.
“Hasil akhirnya sama saja. Aku dan kamu menikah, iya, kan? Nggak usah terganggu, aku bukan pria yang memacari rekan kerja, aku juga bukan pria yang suka selingkuh.”
Entah mengapa, Ocean tidak tersentuh oleh ucapan suaminya. Baginya itu adalah bagian dari rayuan gombal yang sering diucapkan oleh pria saat menginginkan wanita. Ocean berniat untuk tidak terperdaya dengan setiap perkataan manis yang diucapkan oleh Satrio. Suaminya itu harus tahu kalau dia bukan istri biasa.
03 Bukan Istri Bayaran
Satrio membuka mata ketika hari sudah terang. Kamarnya remang-remang karena tirai gelap yang menutup jendela. Satrio bangun dan meraih gelas air putih di atas nakas samping tempat tidur dan meneguknya hingga tandas. Setelahnya dia kembali berbaring dan mendekat ke arah Ocean. Istrinya itu berbaring memeluk guling dan membelakanginya meski berada di bawah selimut yang sama.
Satrio memeluk Ocean dan meletakkan kepala di punggungnya. Jarinya membelai bahu telanjang Ocean yang seketika membuat istrinya itu bergerak, pelan-pelan menyusun kesadaran dari tidur nyenyaknya yang terganggu. Satrio tahu kalau Ocean sedang berusaha membuka mata meski kantuk masih menggelayuti matanya.
“Geser, Sam. Aku capek,” ujar Ocean dengan suara pelan dan malas.
“Tidur aja kalau capek, aku nggak mau ngapa-ngapain, kok,” jawab Satrio kalem.
Hening ... lalu Ocean bangkit dari tidurnya dan mendorong Satrio hingga bergeser ke tepi ranjang dan hampir jatuh kalau saja Ocean menggunakan tenaga sedikit lebih besar. Tawa Satrio membuat Ocean kembali berbaring dan masuk ke dalam selimut. Pagi Satrio benar-benar sangat indah, jauh lebih indah dari pagi-pagi sebelum pernikahannya.
“Jauh-jauh dari aku!” seru Ocean.
“Memangnya kenapa mesti jauh dari kamu? Kamu istriku, kan?”
Sebenarnya Satrio paham apa yang dimaksud oleh Ocean. Istrinya itu terpaksa menerimanya sebagai suami, tetapi baginya semua harus berada di jalurnya. Dia tidak suka mempermainkan yang namanya pernikahan. Selagi bisa maka itu adalah komitmen sekali seumur hidup yang harus dijaganya.
“Istri terpaksa,” sahut Ocean ketus.
“Apa iya terpaksa? Sampai hampir pagi, loh, Cean,” seloroh Satrio.
Ocean bangkit dan menatap garang ke arah Satrio. “Kamu memperdayaku, benci aku sama kamu, Sam.”
Satrio terdiam dan menatap lurus pada Ocean. “Cean dengar ... aku nggak peduli kamu merasa terpaksa atau tidak, kamu suka atau tidak, kamu mau atau tidak, yang perlu kamu ingat hanya satu. Aku tidak mau pernikahan pura-pura dan kamu pasti tahu aturan mainnya. Bapakmu penghulu, kan? Jadi kamu pasti tahu hukumnya.”
Satrio turun dari tempat tidur dan melangkah ke kamar mandi. Dia mandi di bawah guyuran air yang memancar deras dan menikmati pagi santai tanpa terpengaruh omelan Ocean. Untuknya, semua perkataan Ocean hanyalah omong kosong yang tidak ada artinya. Satrio tetap pada pendirian bahwa dia akan berusaha membawa pernikahannya menjadi benar.
Sebenarnya dia masih tidak mengerti dan bingung dengan perubahan Ocean. Menurut ibunya, Ocean tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun setelah berpisah dengannya. Perempuan itu hanya pergi kuliah dan menamatkan magister manajemennya lebih cepat dari yang seharusnya kemudian mulai membuat usaha dengan teman-temannya. Usaha bersama yang dimiliki Ocean adalah kepemilikan atas minimarket yang walaupun hanya berlokasi di pinggiran kota, tetapi hasilnya cukup untuk membuat Ocean hidup layak.
Satrio keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk di pinggulnya. Dia berjalan ke arah lemari kayu berwarna hitam yang ada di pojok kamar dekat jendela dan mencari sendiri bajunya. Diliriknya jam dinding lalu mendesah pelan. Ternyata dia cukup lama berada di kamar mandi, pantas saja perutnya sudah berteriak minta diisi.
Setelah mengenakan celana santai selutut berwarna putih dan kaos longgar warna hitam, Satrio keluar dan berjalan menuruni tangga menuju ke dapur. Ocean terlihat sibuk membuat sarapan. Istrinya itu sudah mandi dan tampak segar, terlihat dari rambutnya yang masih basah dan wajah tanpa polesan make up.
Satrio duduk dan langsung meneguk cappuccino buatan Ocean. Tidak ada komentar dari Satrio ketika Ocean menghidangkan roti tawar dengan telur ceplok dan jus buah. Satrio makan tanpa kata sementara Ocean terus mondar-mandir mengeluarkan beberapa bahan dari kulkas.
“Kamu bisa duduk, nggak, Cean? Capek aku lihat kamu mondar mandir nggak berhenti,” tegur Satrio.
“Sam, aku mau nyiapin masakan buat ibu. Aku mesti ke rumah sakit siang ini.”
“Aku yang kerja di rumah sakit aja santai, kenapa kamu sesibuk itu padahal nggak kerja di sana?”
Satrio merasa geli melihat Ocean yang langsung terdiam karena ucapannya. Ocean yang ini benar-benar berubah dari yang pernah dia kenal. Normalnya Ocean akan melawan dan berkata se-absurd dirinya atau membantah dengan tegas untuk mempertahankan pendapat atau keinginannya.
“Cean, aku hanya bercanda. Masaklah apa yang kamu inginkan, tapi kamu harus sarapan dulu. Aku nggak pengen kamu sakit mengingat orang tuamu sedang dirawat sekarang.”
Ocean meraih roti dan memakannya dalam diam. Hanya satu lembar lalu minum susu. Satrio mengernyit tidak senang melihat porsi makan Ocean yang menurutnya sangat hemat dan tidak tidak pada tempatnya.
“Kalau kamu nggak mau makan roti, kamu bisa buat yang lain.”
“Aku suka makan nasi kalau pagi, tapi ...,” Ocean terdiam dan tampak ragu. “Tapi aku takut kamu nggak mau.”
“Kamu punya mulut buat nanya, kan, Ocean? Lagipula kamu istriku, buatlah apa saja semaumu dan aku akan tetap makan. Aku bukan orang yang cerewet soal makan selama itu adalah makanan sehat.”
“Aku masih boleh kerja?”
“Boleh kerja apa tidak itu terserah bapakmu. Beliau yang bayar kuliahmu, apa hakku melarangmu buat kerja atau tidak? Kenapa bertanya seperti itu?”
“Aku harus tau semuanya, apa yang boleh dan tidak boleh untuk kulakukan. Mengingat aku hanya istri sementara, aku harus tahu diri dan bisa menempatkan diriku supaya kamu nggak tersinggung.”
Rahang Satrio mengetat, mulutnya terkatup rapat lalu mengembuskan napas yang tadi sempat ditahannya. Ocean benar-benar menguji kesabarannya. Perempuan satu itu harus segera diberi pelajaran supaya bisa berpikir terlebih dahulu sebelum mengatakan sesuatu yang tidak penting.
“Baik ... kamu sendiri yang mengatakan kalau kamu adalah istri sementara padahal aku tidak menganggapmu begitu. Jadi dengarkan, lakukan pekerjaanmu sebagai istri. Aku nggak mau tahu bagaimana usahamu, yang jelas aku harus mendapatkan makan 3 kali sehari, makan siang yang harus kamu antar ke ruang kerjaku dan makan malam yang akan aku makan sepulang dari praktik. Paham, Cean?”
“Iya,” jawab Ocean singkat.
“Kalau kamu merasa capek, kamu harus mengatakannya kepadaku supaya aku bisa mempekerjakan pengurus rumah tangga karena aku nggak mau menerima alasan kamu capek kalau aku sedang menginginkanmu.”
“Aku nggak mau!” seru Ocean.
“Aku tidak tanya pendapatmu. Aku punya istri dan wajar kalau aku menginginkannya, bukan?”
“Istri sementara.”
Satrio menertawakan Ocean yang terus menekankan status pernikahan mereka. “Karena kamu istri sementara dan aku sudah membayar mahal untuk semuanya, maka lakukan pekerjaanmu. Jangan menjadi wanita payah yang sebentar bilang iya lalu bilang tidak dalam hitungan menit.”
“Sam aku bukan istri bayaranmu.”
“Kamu sendiri yang menempatkan dirimu di posisi itu, jadi lakukan semuanya sampai hutangmu lunas. Kamu akan melakukan sesuatu yang aku ijinkan dan jangan coba-coba menghindarinya.”
Satrio berlalu dari ruang makan dan kembali ke kamarnya. Dia tahu sudah kehilangan kesabarannya menghadapi Ocean, tetapi dia juga merasa sangat jengkel dengan Ocean yang keras kepala. Satrio menukar bajunya dengan celana panjang dan kemeja santai lalu mengenakan jaket tipis. Setelah itu dia menyambar kunci mobil dan melangkah menuju pintu depan.
“Sam, mau ke mana?”
Satrio menghentikan langkah dan menoleh ke arah Ocean yang masih memegang pisau berjalan ke arahnya dan berhenti beberapa langkah darinya.
“Apa hakmu bertanya? Istri sementara ... tetaplah di rumah, aku ada perlu dengan teman-temanku. Jangan ke mana-mana karena aku tidak mengijinkannya.”
Satrio membuka pintu dan berlalu tanpa repot-repot menutup kembali pintu itu. Dia Juga tidak menghiraukan kata-kata Ocean walaupun mendengarnya dengan jelas. Sudah jelas kalau berbicara dengan Ocean bisa menaikkan tekanan darahnya. Lebih baik cari aman dan berlalu daripada terus-menerus jengkel.
04 Yang tertinggal
Ocean yang lebih muda sedang mengantarkan sepupunya periksa di rumah sakit. Pemeriksaan yang lama membuat Ocean menunggu di kantin karena tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Suasana yang ramai di kantin membuatnya sedikit kikuk saat seorang pria tinggi berkulit kecoklatan duduk di depannya.
“Sendirian? Boleh, kan, saya duduk di sini?” tanya pria itu.
Ocean menyapu suasana kantin yang menang sedang penuh di jam makan siang seperti itu. Tidak ada tempat duduk kosong yang tersisa selain di depannya. Ocean mengangguk mengiyakan izin pria asing itu.
Si pria duduk dan mulai menyuap makanannya. Ocean mengamati pria yang duduk di hadapannya dengan berbagai pikiran yang singgah di benaknya. Dia tahu kalau pria itu tinggi, hidungnya mancung, sekilas Ocean lihat matanya menyorot tajam. Jantung Ocean berdegup lebih cepat, tetapi memandang pria itu sangat menyenangkan hatinya. Sepertinya dia merasa sayang jika melewatkan momen saat dia merasa darahnya mulai berdesir menyenangkan.
Ocean menyukainya, bibir pria itu cukup penuh di matanya. Kumis dan cambang tipis yang mulai tumbuh itu ... rasanya Ocean ingin menggerakkan jarinya di sana. Ocean penasaran bagaimana rasanya mengelus rahang itu.
“Namaku Satria.” Pria itu berbicara. “Tapi teman-teman memanggilku Satrio karena aku suka begitu.”
Jadi namanya Satria. Nama yang bagus, Ocean menyukainya. “Namaku Ocean,” kata Ocean langsung tanpa pura-pura tidak mengerti untuk mendramatisir keadaan atau jual mahal.
Satrio mengangkat sebelah alisnya. “Wah ... sepertinya kita jodoh.” Dia menyingkirkan piring ke samping dan membersihkan bibirnya dengan tisu. “Namaku Satria Samudera. Semakna, kan, dengan namamu?”
Ocean tersenyum lebar, mengangguk mengiyakan ucapan Satrio. “Benar sekali ... jangan-jangan kita memang jodoh,” sambut Ocean.
Senyum Ocean menular, Satrio pun ikut tersenyum dan sebentar saja mereka sudah akrab. Membicarakan segala sesuatu yang akhirnya habislah siang itu dengan saling bercerita dan berujung pertukaran nomor ponsel. Ocean menceritakan segalanya, tetapi Satrio hanya mengatakan kalau dia bekerja sebagai staf di rumah sakit tersebut.
Perkenalan yang akhirnya berlanjut pada pertemuan demi pertemuan, kencan demi kencan pun mereka lalui dan berujung pada lamaran Satrio pada orang tua Ocean. Sebagai orang tua, bapak dan ibu Ocean hanya bisa merestui hubungan keduanya. Mereka hanya meminta kedatangan orang tua Satrio untuk melamar secara resmi dan membicarakan hubungan kedua keluarga di masa depan.
Satrio menyanggupi dan dengan penuh keyakinan dia mengatakan pada Ocean bahwa mereka akan menikah secepatnya. Ocean yang sedang jatuh cinta menyambut janji Satrio dengan kebahagiaan sempurna karena akan segera bersanding dengan kekasih hatinya. Mimpi-mimpi akan kebahagiaan berdua telah dijalin Ocean, tidak ada sehari pun Ocean lewatkan tanpa senyum seolah hari esok akan selalu memberikan kebahagiaan selamanya.
Seperti perkataan nenek moyang pada zaman dahulu, jangan berlebihan menghadapi segala sesuatu karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Begitu juga dengan Ocean, tidak ada kebahagiaan sesempurna angan dan harapannya ketika pada akhirnya dia melihat Satrio di bandara. Ocean sedang menjemput kakak iparnya sedangkan kedatangan pesawatnya terlambat. Mengusir kejenuhannya, Ocean jalan-jalan dan di sanalah dia melihat Satrio. Pacarnya itu sedang melakukan adegan perpisahan dengan seorang gadis cantik, berambut hitam dengan tinggi badan di atas rata-rata wanita pada umumnya.
Tidak Ada yang aneh dengan hal itu. Mereka hanya saling melambaikan tangan dengan rentetan pesan yang mungkin disampaikan oleh Satrio karena Ocean melihat anggukan beruntun dari gadis cantik di depan Satrio. Baiklah ... Ocean berpikir bahwa gadis itu kemungkinan adalah teman karena pada akhirnya perempuan itu berlalu tanpa adegan mesra sedikit pun.
Masalahnya adalah wanita yang ditemui Satrio setelahnya. Ocean mengikuti Satrio ke sebuah kedai kopi yang memang sedang menjamur di mana-mana. Perempuan lain menyambutnya bahkan sebelum dia masuk ke kedai itu. Mereka akhirnya berjalan menuju parkiran dengan si gadis yang memeluk erat lengan Satrio.
“Mas Dokter lama banget, sih, nganter mbak yang tadi,” keluh perempuan itu.
Ocean melihat Satrio menoleh dan memencet lembut hidung perempuan di sampingnya. “Nggak usah cemburu gitu,” ujarnya.
Cemburu? Batin Ocean. Pikiran Ocean berhenti di sana. Buat apa ada kata cemburu jika bukan seseorang yang istimewa. Bukan seseorang yang menghuni hati dan ditambah dengan pelukan di lengan yang baginya cukup menjelaskan apa yang dia pikirkan. Lebih baik mengakhiri segalanya sebelum semuanya telanjur dan dia akan merana dalam pernikahannya.
Ocean tidak mungkin salah. Kontak fisik seperti itu hanya dilakukan jika dua orang dekat satu sama lain. Bagi Ocean tidak akan mungkin berdekatan begitu jika tidak ada sesuatu yang istimewa. Dia tidak bisa bersama pria yang seperti itu, membagi hati dengan orang lain sementara padanya bertingkah seolah sedang jatuh cinta.
Tunggu ... Ocean mengingat sesuatu. Gadis tadi bilang Mas Dokter? Jadi Satrio itu dokter dan bukan staf seperti yang dia katakan pada Ocean. Ocean merasa ditipu mentah-mentah. Bukan seperti itu hubungan yang dia inginkan. Belum apa-apa saja Satrio sudah membohonginya bagaimana jika nanti mereka bersama? Ocean tidak siap jika harus berpisah dengan Satrio, tetapi dia lebih tidak siap jika harus tertipu di sepanjang pernikahannya.
***
Ocean mengabarkan akan menemui Satrio di kantin rumah sakit siang itu, tetapi Satrio mengatakan agak sore saja karena ada pekerjaan yang tidak bisa dia tinggal. Ocean menyetujui dan datang tepat waktu saat Satrio juga masuk kantin. Ocean mengikuti Satrio duduk di pojok dan dengan sabar menunggu pelayan mengantarkan minum yang telah dia pesan. Ocean menolak ketika Satrio menawarkan makan dan jadilah Satrio makan sementara Ocean menunggunya. Ocean mengedarkan pandangannya ke kantin yang tidak begitu ramai. Di beberapa meja tampak beberapa dokter muda lengkap dengan snelli yang mereka kenakan.
Satrio menyingkirkan piringnya setelah selesai makan. “Jadi ada apa hingga kamu nggak sabar nunggu aku ke rumahmu, Sweetie?” Satrio menggenggam tangan Ocean di meja.
Ocean menarik tangannya dan memilih untuk bersandar di kursi. Ditatapnya wajah Satrio dengan saksama, dia melihat kelelahan di sana. Mungkin kurang tidur dan terlalu banyak bekerja atau ... kencan.
“Maaf, Sam, sebaiknya kamu nggak usah ke rumahku lagi.” Ocean menguatkan hati saat mengatakan itu.
Hening, Satrio hanya menatapnya beberapa saat. “Bisa jelaskan ada apa?” Satrio ingin tahu.
Ocean menggeleng. “Nggak ada apa-apa, hanya aku yang nggak siap,” cetus Ocean.
“Sweetie,” panggil Satrio lembut. “Kalau aku ada salah, bilang ke aku dan akan aku perbaiki.”
“Kamu nggak salah, semuanya salahku yang terlalu gegabah menerima kamu. Ternyata aku nggak sesiap itu, Sam.”
“Jangan begini, Sweetie. Kalau ada masalah kita bisa bicarakan dan cari jalan keluarnya. Kita udah serius, loh. Bahkan minggu depan udah lamaran.”
Ocean duduk tegak, menggenggam jemari Satrio di atas meja. “Aku hanya mau ngomong ini sekali, jadi dengarkan ... aku nggak suka berbagi priaku dengan orang lain. Tapi sepertinya kamu nggak begitu hingga bagimu nggak cukup hanya aku. Jadi hubungan kita berakhir sampai di sini saja. Aku tidak suka calon suami yang terlalu ramah pada wanita.” Ocean beranjak, tetapi Satrio menarik tangannya.
“Sweetie, tunggu. Apa salahku, dengar aku sebentar ....”
Ocean menarik kedua tangannya dan itu cukup untuk membungkam Satrio. Ocean membungkuk supaya tidak perlu berkata dengan suara keras. “Nggak usah buang-buang energi buat kasih penjelasan ke aku karena bagiku semuanya sudah jelas. Apa yang kulihat sudah pasti bukan tipuan mata. Jaga dirimu, Sam, semoga bahagia dengan pilihanmu.” Ocean berlalu dan tidak menoleh lagi.
Ocean meninggalkan kantin dan berjalan menunduk untuk menyembunyikan air mata yang sudah menetes di pipinya. Lebih baik sakit di awal lalu bangkit dari pada memaksakan keadaan, hanya itu yang dipikirkan oleh Ocean.
05 Teman menyesatkan
Satrio menekan klakson dan tak lama kemudian gerbang tinggi di depannya terbuka. Segera dia mengemudikan mobilnya masuk dan berhenti di belakang mobil kecil berwarna hitam. Keluar dari mobil dengan membawa kantong plastik berisi buah-buahan, dia berjalan menaiki teras. Belum sempat menekan bel, pintu terbuka dan muncullah Minah, ART yang bekerja di rumah Alfredo dengan Ale mengekorinya.
“Om Sat!” seru Ale, putra pertama Alfredo, yang langsung melompat ke pelukannya. Beruntung Satrio sudah memberikan kantong plastiknya pada Minah atau benda itu akan terjatuh karena dia memilih untuk menyambut terjangan Ale.
“Kencang banget lompatnya, Boy,” kata Satrio. “Kalau Om Sat nggak bisa nangkap kamu gimana?” tanyanya sambil menggendong Ale masuk rumah.
Ale memeluk leher Satrio erat. “Paling-paling kita jatuh, nggak sakit, sih, akunya. Kan nimpa Om Sat,” celoteh Ale lugu.
Seperti biasa, Satrio akan berubah seperti bocah jika bertemu dengan Ale. Keduanya terkikik ketika memasuki ruang tengah dan menemukan Raphael beserta istrinya.
“Mas Sat, ke sini nggak ngajak istrinya. Nggak mau ngenalin ke kita, ya? Kamu umpetin terus biar apa?” Athena memberondongnya dengan pertanyaan.
Satrio menurunkan Ale dan membuat bocah itu duduk di sampingnya. “Hei Bayiku, ngomong-ngomong sudah gol belum?” Satrio mengerling ke arah Athena.
“Main sepak bola, Om Sat?” Ale bertanya dari sebelah Satrio.
“Nah, loh ....” Athena mulai usil.
“Diam, Bayi!” Satrio sedikit keki pada Athena.
“Om Sat ... kenapa tante dipanggil bayi? Kan yang bayi adek Vito?”
Melihat seringaian Athena yang semakin lebar, Satrio benar-benar merasa jengkel dan rasanya ingin menjitak kepala cantik itu saking gemasnya.
“Jangan bilang kalau kamu mau menjitak istriku.” Raphael membaca pikiran Satrio dengan tepat.
Satrio tertawa kencang ketika mengingat bahwa seluruh pikiran konyolnya selalu dibaca Raphael dengan tepat. Dia sendiri heran bagaimana pria pendiam seperti Raphael bisa begitu peka pada situasi-situasi tertentu.
“Kenapa tertawa kalian keras sekali? Mau diusir gara-gara mengganggu istirahat Vito?” Alfredo datang dan langsung bertanya dengan nada menyebalkan.
“Itu Papa ... Om Sat bilang tante main bola gol,” lapor Ale.
Alfredo mendelik ke arah Satrio, sementara Satrio cengengesan tidak merasa berdosa. Dia tidak peduli pada omelan yang akan Alfredo keluarkan, paling-paling temannya itu akan mengatakan tentang mengontrol kata-kata di depan anak kecil.
“Ale ayo ikut Tante, tadi puding lumut buatan Mama pasti sudah dingin,” ajak Athena pada Ale yang langsung membuat bocah itu bangkit dari kenyamanannya bersandar pada Satrio.
“Aku mau makan puding dulu, ya, Om Sat, Om Ael, Papa,” pamit Ale. Satu per satu dia memeluk Papa dan para Om kesayangannya sebelum meraih tangan Athena dan berlalu ke dapur.
Satrio meremas rambutnya dan berbaring di karpet setelah mendorong Raphael. Rasanya begitu damai berada di rumah sahabatnya ini, melupakan sejenak tentang pertengkarannya dengan Ocean yang sama sekali tidak ada niatan untuk melembutkan hati.
“Istrimu kenapa?” Raphael langsung bertanya tanpa sungkan.
Satrio menarik bantal yang sedang disandari Alfredo, menutupkannya ke wajah tanpa mengindahkan pertanyaan Raphael. Tak seberapa lama, bantal itu ditarik dari wajahnya dan tampaklah muka menyebalkan Alfredo dekat dengan matanya.
“Pasti kamu nggak memuaskan,” ejek Alfredo.
Satrio meninju lengan Alfredo. “Dasar menyebalkan,” umpatnya. “Bisa nggak kalau ngomong itu yang menyenangkan sedikit?”
Alfredo terkekeh. “Ya nggak bisa. Aku kan nggak pernah menyenangkan dari dulu.”
“Lagian, ya, Sat ... ajak istrimu kemari. Kenalin sama Bee-nya Ael. Siapa tau nanti bisa nemu solusi.”
“Kelihatan, ya?” Satrio lesu.
“Jelas banget!” seru Alfredo dan Raphael bersamaan.
Satrio menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Dia tahu sahabatnya itu baik meski mulut mereka kadang susah untuk dikondisikan. Mengingat suka duka mereka dari zaman sekolah, kuliah, hingga bekerja dan menikah ... rasanya tidak perlu ada yang dia sembunyikan. Mereka juga selalu bersama melalui masa-masa sulit walaupun saling ejek dan mengumpat saat kejengkelan lebih menguasai pikiran mereka.
“Kalau nggak bisa cerita yang nggak papa. Berat banget kelihatannya.” Raphael berujar sementara matanya tidak pernah lepas dari bacaannya di ponsel.
Itu juga hal yang dia sukai dari sahabatnya. Meski tahu dia sedang ada masalah dan belum siap bercerita, mereka tidak memaksa dan biasanya memilih untuk mengalihkan perhatian pada suatu kegiatan yang bisa mereka lakukan bertiga. Ada kalanya mereka hanya akan duduk dan ngemil makanan yang mereka buat sendiri dengan rasa yang pasti tidak karuan. Disitulah lagi-lagi keakraban mereka terlihat. Dengan hasil makanan yang rasanya tidak karuan itu, mereka akan mulai saling mencela dan pada akhirnya tertawa atau mendapat pelototan dari Aegea, istri Alfredo, yang memang sering berada di antara mereka.
“Ocean ingin bercerai dariku segera setelah bapaknya sembuh.”
Hening. Alfredo melihat ke arah Satrio seketika. Raphael meletakkan ponselnya dan berpaling memberikan perhatian penuh seperti halnya Alfredo. Tidak ada yang mendesak untuk mengetahui permasalahan itu lebih lanjut. Keduanya menunggu Satrio bercerita.
“Hampir enam tahun lalu dia adalah calon istriku. Aku berniat mengajak kalian untuk melamarnya ketika tiba-tiba dia datang ke rumah sakit dan meninggalkanku. Aku nggak tahu salahku, tapi Ocean memang tidak pernah berusaha untuk kembali padaku.”
“Masa pergi tanpa alasan. Pasti ada kata-kata yang menyiratkan kekecewaannya.” Raphael berkomentar, menuang es teh yang sudah ada di meja dan meletakkannya di depan Satrio.
Satrio mengingat-ingat apa yang dikatakan Ocean saat terakhir kali mereka bertemu. Mengingat kata per kata yang sekiranya menjadi alasan Ocean meninggalkannya.
“Aku tidak menemukan alasan yang masuk akal, kecuali ... tunggu ... Ocean bilang dia tidak suka pada calon suami yang terlalu ramah pada wanita.”
Raphael menaikkan satu alis dan dengan gaya menyebalkan melirik ke arah Satrio. “Cemburu itu,” ujarnya santai.
Satrio berdecak. “Apa yang dia cemburui? Aku nggak dekat dengan siapa pun waktu pacaran sama dia.”
“Heh, Sat,” panggil Alfredo. “Mungkin menurutmu begitu, tapi mendengar alasan yang dia katakan ... Raphael benar, dia cemburu. Dasar nggak peka.”
Satrio mengingat-ingat semua kejadian yang mungkin menjadi alasan kecemburuan Ocean. Semakin dipikir, semakin dia kesal karena tidak satu pun dia merasa membuat kesalahan. Mungkin Ocean mengada-ada, tetapi ibu mertuanya bilang bahwa sejak putus dengannya, istrinya itu tidak pernah menjalin hubungan cinta. Bisa dikatakan Ocean menghindari pria seperti orang menghindari wabah.
“Aku nggak ingat.” Satrio menyerah untuk mengingat. “Seingatku, aku memang tidak pernah membuat komitmen selain dengan dia.”
“Kau bawalah dia main-main ke sini. Jangan memancing pertengkaran yang nggak perlu. Kenalin sama Gea dan Athena, biar dia ada temannya,” usul Alfredo.
Satrio mengangguk, menyetujui usul Alfredo sepenuhnya. Bisa jadi sahabatnya itu benar, jika kenal dengan Aegea dan Athena siapa tahu Ocean bisa lebih terbuka. Biasanya perempuan-perempuan akan lebih terbuka terhadap sesamanya dan yang pasti dia percaya Athena akan mampu membantu untuk menyelesaikan masalah ini.
“Jaga mulutmu saat di rumah.” Raphael memperingatkan.
“Aku tidak ngomong apa-apa,” ujar Satrio.
“Kalau aku mengenalmu selama dua hari maka aku percaya sama omonganmu. Masalahnya aku kenal kamu tahunan dan mulutmu itu paling lemas kalau sudah mulai ngomong. Nggak ada saringannya sama sekali.” Raphael membeberkan keburukan Satrio tanpa rasa berdosa.
“Dasar fitnah.”
“Sesat. Minum aja tehmu sebelum mulutmu makin panas,” omel Alfredo.
06 Kebingungan Ocean
Ocean membuka pintu depan ketika mendengar deru mobil Satrio di luar. Sejak sedikit cekcok yang terjadi di antara mereka berdua tadi, suaminya itu keluar entah kemana dan baru kembali saat jam menunjukkan pukul 10. Ocean tidak menanyakan apa pun selain mengekor Satrio masuk ke kamar mereka. Sementara Satrio mandi, Ocean menyiapkan baju untuk Satrio. Dia menunggu sambil mengerjakan laporan pekerjaannya melalui ponsel.
Terlalu asyik dengan pekerjaannya, Ocean sampai tidak sadar kalau satrio sudah keluar dari kamar mandi dan selesai mengenakan pakaian yang dia siapkan.
“Ada makanan tidak?” tanya Satrio.
“Ada,” jawab Ocean. “Aku panaskan dulu.” Ocean meletakkan ponselnya di ranjang dan melangkah keluar terlebih dulu. Satrio mengikutinya dari belakang sambil bersiul riang.
Ocean memanaskan sop yang dibuatnya, hanya sekedar hangat supaya Satrio tidak sibuk meniupnya. Sementara menunggu sop hangat, dia menggoreng ayam dan mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi. Setelah semua beres, dia membawa makanannya ke meja makan.
Satrio makan dengan lahap, seolah itu adalah makanan enak. Semua yang Ocean masak dia makan tanpa protes dan sedikit banyak hal itu membuat hati Ocean senang. Terlepas dari apa yang sudah dia katakan pada Satrio, suaminya itu tetap ramah dan baik.
“Kamu nggak makan, Cean?”
Ocean menggeleng. “Enggak, tadi aku udah makan jam enam,” jelas Ocean.
Satrio berdecak tidak suka. “Kemari,” pintanya. “Duduk di sebelahku,” titahnya hingga Ocean paham dengan maksudnya.
Ocean bergeser dan duduk di sebelah kiri Satrio. Ocean tidak menyangka kalau dia mendapatkan suapan dari suaminya. Penolakannya tidak berarti apa pun karena Satrio benar-benar tidak mengerti arti penolakan. Ketika nasi dalam piringnya habis, Satrio minta tambah dan Ocean mengambilkannya tanpa keberatan. Kembali mereka makan berdua dengan Satrio yang terus menyuapi Ocean.
Setelah makan malam, Ocean menemani Satrio duduk di ruang tengah. Satu kaki pria itu menumpang di atas kaki yang lainnya. Matanya serius menonton film di televisi yang Ocean sendiri malas untuk menontonnya. Dia memilih untuk membaca majalah sambil menemani suaminya meski tanpa ada pembicaraan di antara mereka berdua.
“Besok pelaksanaan operasi Bapak. Boleh aku menunggunya?” tanya Ocean setelah keheningan panjang di antara mereka.
“Operasi itu bisa sangat lama, ngapain kamu tungguin? Nganggur di depan OK itu nggak enak, apalagi nganggur dan cemas,” terang Satrio.
Ocean membenarkan ucapan Satrio dalam hati, tetapi sebagai anak dia tidak bisa mengabaikan bapaknya, terlebih ibunya yang sudah pasti akan berada di dekat bapaknya, bagaimanapun situasi dan kondisinya.
“OK itu apa?” tanya Ocean penasaran dengan kata yang ada dalam kalimat Satrio.
Satrio melirik Ocean. “OK itu dari bahasa Belanda, singkatan dari Operatie Kamer. Kamar operasi kalau kita bilang atau bisa juga ruang operasi, senyamannya orang nyebut pokoknya sama maksud,” jelas Satrio.
Ocean manggut-manggut. “Memangnya berapa banyak kata serapan dari bahasa Belanda yang sering digunakan di rumah sakit?” Ocean bertanya lagi saat Satrio memberikan jawaban dengan sabar dan cukup memuaskan rasa ingin tahunya.
“Ada banyak, tapi yang sering digunakan itu seperti tingkat kesadaran seseorang akibat suatu kondisi kesehatan yang biasa disebut koma, dalam bahasa aslinya komma. Ada lagi yang sering disebut orang yaitu besuk, yang artinya kunjungan untuk orang yang sakit, itu bahasa aslinya bezoek.”
“Jadi sebenernya secara nggak sadar kebanyakan orang itu aslinya ngomong pakai bahasa Belanda, ya?” Ocean antusias.
“Ya, begitu.”
Ocean melihat senyum manis Satrio. Terlihat teduh dan menyenangkan di matanya. Seandainya senyum itu selalu milikku, pasti rasanya sangat menyenangkan. Namun, Ocean tidak berharap setinggi itu mengingat pasangan yang menikah puluhan tahun saja bisa berpisah, apalagi dirinya jelas-jelas mengatakan pada Satrio untuk bercerai segera setelah bapaknya sembuh.
***
Ocean duduk sendirian di depan OK. Sudah lebih dari tiga jam dan operasi bapaknya masih berlangsung. Ibunya pulang untuk mencuci pakaian atas bujukan dari Satrio yang akhirnya disetujui oleh beliau mengingat tidak ada hal yang bisa dilakukan sementara bapaknya dalam penanganan.
“Cean.” Sebuah suara menghampiri pendengarannya. Ocean membuka mata dan melihat tiga sosok di hadapannya.
Rupanya dia tertidur saat menunggu bapaknya operasi. Di hadapannya ada Satrio berdiri di antara dua perempuan. Satu berambut legam dengan tinggi diatas rata-rata, cantik, dan berkulit cerah. Ocean mengingatnya, itulah gadis yang pernah dia lihat di bandara bertahun-tahun yang lalu.
Satrio mendekat dan duduk disampingnya. Ocean membiarkan suaminya menyibak rambut di dahinya dan memberikan segelas yoghurt dingin untuknya. Dia menerima pemberian Satrio dan memimumnya pelan-pelan.
“Nyenyak banget tidurmu. Bapak sudah dipindahkan ke ICU dan nggak ada yang bisa kamu lakukan lagi sekarang. Aku akan mendapatkan kabar perkembangan Bapak kapan pun aku mau dan tentu akan kuberitahukan padamu,” kata Satrio. “Sekarang pergilah makan dengan mereka. Ups ...,” Satrio menepuk pelan dahinya, “kenalan dulu, itu Aegea dan Athena,” kata Satrio menunjuk kedua wanita yang kini berdiri bersisian di depan mereka.
Jadi namanya Aegea. Ocean hanya bisa mengatakan itu dalam hatinya saat melihat ke arah Aegea yang tersenyum ramah dan mengulurkan tangan padanya. Matanya berpindah pada Athena yang juga tersenyum tak kalah ramah. Ocean menatap Athena sedikit lebih lama, bertinggi badan kurang lebih sama dengan Aegea serta bibir yang terus mengulum senyum. Itu penilaian awal Ocean terhadap keduanya.
“Ayo pergi makan! Kita bisa ngerumpi bertiga nanti,” ajak Aegea seraya menarik tangan Ocean.
Ocean berdiri dan merasa tidak enak untuk menolak keramahan yang ditawarkan padanya. Rasa enggan yang muncul di hatinya dia tepis jauh-jauh dan mencoba untuk berteman dengan Aegea dan Athena. Hatinya mengatakan bahwa tidak ada hubungan cinta antara Aegea dan Satrio.
“Tapi Bapakku ....”
“Pergilah, sudah kubilang nggak ada yang bisa kamu lakukan. Bapakmu sedang diisolasi dan kamu nggak akan bisa menemuinya.”
“Ayolah, Ocean! Nanti aku kenalin sama anakku yang lucu.” Giliran Athena yang bersuara.
“Heh, Bayiku ... anakmu yang mana? Memang kamu sudah bikin? Aku nggak ingat pernah nanganin kamu brojol,” ujar Satrio dengan ekspresi menyebalkan menatap Athena.
Ada hubungan apa mereka, perempuan sedewasa itu dipanggil bayiku? Lagi-lagi Ocean hanya bisa membatin, bingung memikirkan hal yang sedang dialaminya. Namun, melihat wajah Athena yang berubah menjadi menyebalkan, rasa-rasanya juga tidak ada hubungan istimewa di antara keduanya.
“Buat apa brojol sama karyawan sesat sepertimu. Aku pecat tahu rasa,” omel Athena. “Lagian kenapa Mbak Ocean mau-maunya dikawinin sama orang sedeng kaya kamu, Mas Sat.” Athena mengetuk dahinya tiga kali lalu ganti mengetuk dahi Satrio tiga kali juga.
“Ya kali sapi dikawinin, nikah tau. Lha kamu gak akan bisa pecat aku, Bayi. Aku laporin Mas Al, loh,” seloroh Satrio dengan gaya melambai sambil menekan dahinya yang diketuk Athena.
“Menurut UU no 1 tahun 1974 itu tentang perkawinan, Mas Sat. Bukan pernikahan, dasar kurang wawasan,” ejek Athena.
“Oke aku kalah wawasan sama kamu, Bayiku.” Satrio mengalah. “Tapi tetep kamu nggak bisa pecat aku.”
“Bisa wong aku menyetujui pemecatannya,” sahut Aegea.
Satrio mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. “Baiklah, aku menyerah. Jelas kalah aku kalau musuh istrinya bos. Pergi sana kalian berdua, beri makan istriku dengan baik,” usirnya.
“Ayo, Mbak Cean,” ajak Athena dan berbalik lalu melangkah terlebih dulu meninggalkan tempat itu.
Ocean berjalan berdampingan dengan Aegea. Dia heran mengapa semua perawat yang berpapasan mendadak mengangguk segan. Itu tidak seperti yang pernah dia alami sebelumnya. Dia berjalan sendirian dicemooh, berjalan dengan Satrio mendapat tatapan meremehkan meski sembunyi-sembunyi dan kini mendapat hal lain lagi. Ocean bingung dengan para perawat dan staf yang ada di rumah sakit ini.
07 Ternyata Begitu
Ocean menikmati makan siang dadakannya bersama Aegea dan Athena. Dia menilai bahwa dua wanita yang bersamanya itu adalah orang baik. Selama makan siang, mereka membahas hal-hal ringan tentang kegiatan sehari-hari. Tidak ada yang bisa Ocean ceritakan karena dia merasa tidak ada yang menarik dari hidupnya.
Hidup Ocean terlalu biasa, tidak ada hal mencolok atau terlalu istimewa untuk diceritakan. Lahir dari keluarga biasa, Ocean adalah putri dari seorang pria yang bekerja sebagai penghulu di KUA. Ibunya seorang ibu rumah tangga biasa yang telah mendidiknya dengan baik. Ocean menyayangi kedua orang tuanya yang mesti sederhana, tetapi tetap utuh memperhatikan dia dan adiknya. Satu kakak sepupu serta istrinya sering menginap di rumah mereka dan keduanya memiliki hubungan yang baik dengan Ocean.
“Ocean ... mikirin apa dari tadi kayak ngelamun gitu?” tanya Athena.
“Nggak apa-apa, Mbak Athena,” jawab Ocean. “Hanya ingat adikku yang sedang sekolah di luar kota.”
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu nggak dateng ke pernikahanku?” kembali Athena bertanya, kali ini Ocean mendengar ada sedikit nada kekanakan dalam suaranya.
Ocean tersenyum geli. “Gimana mau dateng? Nggak diundang,” cetus Ocean. “Lagipula kan belum kenal dan sepertinya Mas Satrio nggak bilang apa-apa soal pernikahan Mbak Athena.”
“Athena saja, nggak usah pakai mbak,” pinta Athena. “Mainlah ke rumahku. Aku pasti senang, nanti kita bisa masak bersama, kudengar kamu pinter masak.”
“Iya, mainlah Minggu besok,” timpal Aegea. “Nanti aku bawa kedua anakku, kamu bisa main bareng mereka.”
Ocean benar-benar merasa senang dengan kedua wanita ini. Mereka berkeluarga dan sudah pasti itu menjawab keraguannya tentang hubungan suaminya dengan keduanya. Ekspresi Aegea dan Athena pun juga berubah-ubah sesuai dengan apa yang sedang mereka ceritakan. Kadang terlihat gembira, lucu, dan bisa juga terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. Bersama mereka berdua pasti menyenangkan, mengingat rumahnya yang selalu sepi setiap hari karena jam kerja Satrio yang selalu panjang.
Suasana kantin yang ramai tidak membuat ketiganya sungkan untuk tertawa atau terkikik geli hanya karena hal lucu yang kebetulan mereka bahas. Sepanjang waktu itu Ocean merasa hatinya benar-benar ringan. Tidak ada wajah-wajah sinis dari kebanyakan perawat yang biasa tertuju padanya. Siang itu mereka semua seolah menunduk segan dan mendadak ramah.
“Gea sama Athena suaminya pulang jam berapa?” tanya Ocean, “takutnya kalau aku main dan ada mereka di rumah, jadinya aku sungkan.”
Senyum yang tersungging di bibir Aegea lebih mirip dengan seringaian geli. “Jika suamimu belum pulang, maka suami kami juga sudah pasti belum pulang.”
“Memangnya kerja di bagian apa?”
“Halo, sayang,” sapa sosok jangkung dengan cambang tipis pada Aegea sembari mengusap kepalanya.
Ocean menoleh ke kanan, mendapati Satrio menarik satu meja dan menggabungkannya dengan meja mereka. Satu pria lagi mengambil tempat duduk dekat Athena setelah mengecup kepalanya sekilas sementara Satrio langsung duduk di sebelahnya. Ocean mengenali kedua pria itu adalah orang yang menjadi saksi pernikahannya dengan Satrio.
“Nah ... Cean, ini suamiku, namanya Al.” Aegea memperkenalkan. “Kerja di bagian bedah dan itu,” Aegea menunjuk pada Raphael, “suami Athena, namanya Raphael, kerja di bagian jantung. Tadi mendampingi operasi Bapakmu, kan?”
“Jangan sungkan-sungkan kalau ngobrol sama mereka,” ujar Athena. “Sudah kenal, kan, ya. Mas Sat memang sesat, istri sendiri nggak diajak ke nikahanku. Dasar nyebelin.”
“Takut ketahuan kalau dia mantan homo,” celetuk Raphael dengan muka datar.
Ocean masih berusaha mencerna hubungan persahabatan suaminya dengan mereka semua, terlihat dekat dan kompak meski saling mencela. Itu hal menarik yang belum pernah dia temui selama ini. Apa kata dokter bapaknya tadi?
“Mantan homo?” tanya Ocean spontan.
“Memangnya kamu nggak tahu, Cean?” Alfredo menyahut. “Dia itu jomblo akut, gelarnya aja yang playboy padahal aslinya homo.”
Ocean mencerna ucapan Alfredo yang membingungkan. Sahabat suaminya itu benar-benar parah, mungkin sama parahnya dengan Satrio mengingat mereka yang memang berteman dekat.
“Nggak usah dengerin omongan para pria ini, Cean. Mereka itu pikirannya sama-sama setengah. Jadi gimana kalau Minggu nanti ke rumahku dan masak-masak?” Aegea sedikit memaksa.
Ocean melirik Satrio, tidak bisa memberikan jawaban langsung mengingat dia tidak tahu di mana rumah Aegea. Satu-satunya cara supaya bisa berkunjung hanya jika Satrio setuju dan mau berbaik hati mengantarnya. Dia juga bisa menolak dengan alasan masih merawat bapaknya yang dalam masa pemulihan.
“Sepertinya aku nggak bisa kalau Minggu besok, ngerawat Bapakku,” tolak Ocean halus.
Hening setelah penolakan dari Ocean. Aegea dan Alfredo saling memandang sejenak dan itu tertangkap oleh tatapan Ocean yang seketika merasa tidak enak. Mereka sudah bermaksud baik dan dia mengecewakan mereka dengan santainya.
“Pasti kamu ini yang gak bolehin dia maen, Mas Sat. Betein kamu itu,” tuduh Athena. “Kalau gitu kita aja yang maen ke rumahmu, kamu mau ikut, kan, Ael?”
“Heh Bayi ... mulutmu itu paling lemes kalau disuruh menghinaku. Siapa yang ngelarang-ngelarang Ocean main?” Satrio menyela. “Nggak suami, nggak istri, mulutnya cepet banget kalau disuruh maki orang. Cean nanti kita aja yang main ke rumah mereka. Jangan sampai mereka main ke rumah kita, makannya nggak ada yang sedikit.”
Ocean bengong sejenak melihat kelakuan sahabat karib Satrio. Sekilas yang Ocean lihat pada hari pernikahannya, kedua teman suaminya itu terlihat dingin dan tidak tersentuh. Siapa yang menyangka kalau aslinya begitu biasa dan tidak bisa menjaga perkataan sama sekali.
Untuk pertama kali sejak pernikahannya dengan Satrio, Ocean merasa diterima oleh lingkungan pergaulan suaminya. Tidak ada pandangan sinis dari teman-teman dekat Satrio yang ini, justru mereka semua menginginkan sebuah kegiatan rutin sesama istri karena suami-suami aneh mereka juga mempunyai kegiatan yang tak kalah anehnya dengan kelakuan mereka.
Jujur saja Ocean merasa senang. Dia bahkan merasa tidak sabar menunggu hari Minggu supaya bisa bertemu dengan anak-anak Aegea yang katanya lucu-lucu serta menjadi sasaran kejahilan Satrio. Dia juga penasaran dengan anak yang katanya susah untuk dipermainkan karena kepintarannya.
“Jadi ... kamu sedang melamunkan apa, Istriku?” tanya Satrio sembari mengambil satu tangan Ocean dan menggenggam jemarinya.
Ocean mengerjapkan matanya. “Nggak ngelamun, hanya sedang mikir dikit,” jawabnya.
“Nggak usah mikir yang terlalu berat selama ada aku. Kamu hanya perlu berbicara dan membaginya denganku,” ujar Satrio. Matanya menatap lembut pada Ocean.
Ternyata Satrio bisa sangat manis kepadanya. Ocean tidak pernah tahu itu sebelumnya, hanya saja dia tidak mau terlena dengan hal itu. Bagaimanapun masih ada masa lalu yang membuatnya belum bisa sepenuhnya memaafkan Satrio. Kebohongan suaminya adalah hal yang susah dia tolerir mengingat saat itu harusnya sudah tidak ada apa pun yang disembunyikan di antara mereka berdua.
08 Dr. Satrio Ngapain?
Satrio pulang lebih sore pada hari Sabtu. Dia memasuki rumahnya dengan langkah ringan. Tidak ada lelah yang dia rasakan mengingat biasanya dia masih harus bekerja hingga malam. Satrio duduk di sofa dan melepas sepatu beserta kaos kakinya. Setelah itu bangkit dan pergi ke kamar mandi dekat dapur untuk cuci kaki.
Satrio memasuki kamarnya dan menemukan Ocean tidur di ranjang mereka yang tertutup seprai berwarna merah tua dengan motif garis-garis berwarna perak. Gorden yang tidak tertutup sempurna mengantarkan sinar matahari sore menembus kaca dan jatuh tak jauh di atas kepala Ocean. Satrio melangkah ke jendela dan menutup gordennya. Selesai dengan itu, Satrio menoleh ke arah Ocean, istrinya bergerak sedikit lalu kembali nyenyak dengan memeluk guling.
Satrio berpikir mungkin dia keterlaluan menyuruh istrinya memasak dan mengantarkan makan siang. Perempuan ini jadi tidak punya banyak waktu untuk bekerja dan mengurus dirinya. Mungkin dia harus mempekerjakan seorang pengurus rumah untuk memudahkan pekerjaan rumah tangga Ocean. Dia tersenyum dengan ide yang melintas dalam kepalanya lalu mengganti pakaian dan berbaring di samping Ocean.
***
Suara telepon membangunkan tidur Satrio. Dia membuka mata dan tersenyum mendapati Ocean memeluknya. Meski dalam keadaan tidur, Satrio tetap bahagia karena itu berarti bawah sadar istrinya itu mengatakan Ocean membutuhkannya. Mulut bisa berkata lain, tetapi pikiran bawah sadarnya telah menunjukkan sebaliknya.
Satrio mencoba meraih ponselnya yang terus berbunyi. Badannya sedikit meregang dan Ocean seolah mengikutinya dan memeluknya lebih dekat. Satrio memeluk Ocean dengan sebelah lengan sementara tangan lainnya memegang ponsel dan menahannya di telinga. Dengan suara pelan Satrio berbicara supaya tidak mengganggu tidur Ocean.
“Sam, kamu udah pulang?” Ocean bertanya dengan suara malas.
Satrio sedikit menunduk dan melihat mata istrinya masih terpejam. Dia mematikan sambungan telepon begitu saja dan mengaktifkan mode getar sebelum meletakkannya di nakas. Hal menarik yang ingin dia lakukan adalah memandangi wajah Ocean yang tampak damai dalam tidurnya.
Jadi istrinya itu tadi hanya mengigau? Satrio tersenyum geli, Ocean pasti akan menyangkalnya mati-matian jika dia menceritakan apa yang sudah terjadi. Terlebih lagi saat dia terus menggodanya maka Ocean akan mengatakan bahwa pernikahan mereka hanya sementara. Satrio berusaha untuk terus membuat Ocean merasa nyaman hingga suatu saat bercerita tentang apa yang telah membuatnya berubah sedrastis itu.
“Sam ....”
Satrio kembali menunduk dan melihat bulu mata Ocean bergerak-gerak yang menandakan bahwa si pemilik mata sedang berusaha untuk membuka matanya. Sebentar kemudian mata itu kembali diam dan mau tak mau Satrio terkekeh. Ocean sedang malas, itu yang akhirnya disimpulkan oleh Satrio.
“Pulang jam berapa?” Ocean kembali bertanya. “Kenapa nggak bangunin aku? Aku tadi ketiduran abis pulang dari minimarket.”
Satrio membelai kepala Ocean. “Ngapain bangunin kamu?” Satrio balik bertanya. “Nggak ada yang perlu dikerjakan, lagian aku juga mau tidur.”
“Aku kaya ngerasa tidur enak banget tadi,” kata Ocean. “Masih males mau bangun.”
“Ya udah, nggak usah bangun. Aku mau kasih tau kalau Bapak udah dipindahin kembali ke ruang perawatannya. Kondisinya membaik dan nggak ada indikasi yang membahayakan kesehatannya.”
“Apa?” Ocean berusaha bangun, tetapi pelukan Satrio yang tidak mengendur membuatnya kembali berbaring pada posisi semula. “Aku boleh nemenin Ibu?”
Satrio tertawa mendengar antusias Ocean. “Ke sana dan melihat Bapak boleh. Kalau menemani Ibu nggak boleh. Aku sudah mempekerjakan perawat khusus untuk Bapak, Ibu juga tidak mengerjakan apa-apa di sana. Biar saja tenaga ahli yang merawat Bapak.”
“Bapak nggak protes?”
“Nggak. Biasa saja. Beliau malah senang karena Ibu ada waktu buat istirahat.”
Tidak adanya bantahan dari Ocean membuat Satrio senang. Itu berarti istrinya paham dengan apa yang dia maksud. Bukannya dia membuat Ocean menjadi anak yang tidak berbakti, hanya saja menjaga kondisi tubuh sendiri supaya sehat itu lebih penting saat memiliki keluarga yang sudah berada dalam perawatan.
“Cean ....”
“Hmm.”
“Ceritain ke aku, apa yang kamu lakukan setelah meninggalkanku hampir enam tahun yang lalu,” pinta Satrio. “Aku ingin tau setiap hal tentang kamu sejak saat itu.”
Ocean menarik selimut untuk menutupi kaki mereka, lalu menyamankan tubuhnya dalam pelukan Satrio. “Nggak ngelakuin apa-apa, cuman nyelesaikan kuliah.”
“Ceritakan saja.”
“Ya nggak ada, Sam. Aku cuman nyelesaikan kuliah, lalu kuliah lagi. Setelah lulus aku mencoba-coba bikin minimarket dengan temanku. Sudah, begitu saja.”
Satrio langsung paham kalau Ocean masih belum percaya kepadanya. Dia tidak mengerti apa yang membuat Ocean berubah seperti itu. Ocean yang biasa pasti akan bercerita tanpa diminta. Kalaupun diminta, Ocean pasti akan bercerita dengan detail setiap hal yang dilakukannya. Bukan pertanda bagus jika dia mendengar jawaban Ocean barusan.
***
Satrio berjalan menuju ruang perawatan mertuanya setelah menyelesaikan pekerjaan. Tadi pagi sebelum berangkat bekerja, dia berpesan pada Ocean supaya membawakan baju gantinya agar dia tidak perlu pulang ke rumah terlebih dahulu sebelum praktik sore. Semoga saja Ocean tidak lupa karena dia malas pulang jika Ocean tidak ada di rumah.
Satrio punya rencana lain dengan Ocean jika dia tidak pulang terlebih dahulu. Dia bermaksud untuk makan malam bersama istrinya di sebuah kafe yang baru dibuka dan kebetulan si pemilik adalah temannya. Mungkin ada menu yang bisa disukai oleh Ocean mengingat temannya memang ahli mengolah bahan makanan menjadi masakan yang lezat.
Memasuki ruang perawatan mertuanya, tatapannya langsung tertuju pada istrinya yang tengah tertawa di depan seorang pria yang terus terang saja membuat Satrio merasa jengkel. Ocean belum pernah tertawa selebar itu di hadapannya dan bagaimana bisa istrinya bisa sebebas itu dan tertawa santai tanpa dirinya. Hal itu tidak bisa dibenarkan. Satrio tidak suka ada orang yang berhasil membuat Ocean bahagia ketika dia sendiri tidak bisa melakukannya. Pasti ada suatu kesalahan hingga hal itu terjadi.
“Halo,” sapa Satrio langsung duduk merapat di sebelah Ocean sembari mencium kepala istrinya.
“Sam, sudah datang,” sambut Ocean, tangannya mengambil gelas dan menuangkan air putih dari botol kemasan. Setelah itu memberikannya pada Satrio, “Minum dulu, Sam. Uhm ... kenalin, itu Delta.”
Satrio meletakkan gelas di meja dan menyambut uluran tangan Delta yang telah terulur padanya. Jabat tangan yang cukup kuat, Satrio tahu itu menandakan suatu karakter yang lebih menonjol dari kebanyakan orang dan jelas menunjukkan keinginan untuk berkompetisi. Tidak perlu berpikir dua kali bagi satrio untuk memberikan penilaian bahwa pria itu tidak baik untuk Ocean.
“Kerja di mana, Mas Satrio?” tanya Delta ingin tahu.
Nah ... pikiran Satrio tidak salah. Belum apa-apa sudah menanyakan di mana tempatnya bekerja, sudah jelas bagi Satrio bahwa pria ini sedang ingin menunjukkan sesuatu. Dengan senang hati Satrio akan sedikit bermain-main.
“Saya hanya karyawan biasa dan Anda sendiri bekerja di mana?”
Delta menegakkan duduknya. “Saya memegang lima puluh persen kepemilikan minimarket yang dikelola oleh Ocean.”
Satrio ingin tertawa mendengar cara Delta berbicara. Pemilik setengah minimarket saja bangga, bagaimana jika memiliki seluruhnya. Bisa-bisa bicara sambil berdiri dan memejamkan sebelah matanya. Satrio tersenyum sendiri dengan pemikirannya.
“Wah, luar biasa sekali, ya ... tapi ngomong-ngomong jam besuk sudah selesai. Silakan meninggalkan ruangan karena pasien harus istirahat,” kata Satrio tiba-tiba membelokkan pembicaraan.
Satrio tahu kalau Ocean merasa tidak enak karena perubahan wajah Delta yang seketika paham kalau sedang diusir. Satrio melangkah ke pintu terlebih dulu. Dia buka pintu itu lalu menutupnya kembali setelah Delta melewatinya. Tidak dihiraukannya tatapan protes Ocean yang mengarah padanya. Dia lebih memilih masuk ke kamar mandi dan mengatakan pada Ocean untuk menyiapkan pakaian ganti.
09. Egois Berdua
Sudah berminggu-minggu sejak pengusiran Delta dari rumah sakit. Hubungan Ocean dan Satrio memburuk karena hal itu. Ocean menuduh Satrio semena-mena sementara Satrio tidak mau mengalah dan tetap bersikeras bahwa Delta adalah tamu yang tidak dia inginkan dan tak seharusnya datang beberapa kali untuk menengok bapak Ocean.
Ocean yang tidak sependapat dengan Satrio secara otomatis mengemukaan pendapat bahwa Delta datang hanya sebagai teman dan tidak pantas jika Satrio mengusirnya. Namun, Satrio tetaplah Satrio yang tidak akan mendengarkan orang lain jika sudah berpendapat. Semua ucapan Ocean dianggap angin lalu hingga segala sesuatunya memburuk untuk mereka berdua.
Ocean yang awalnya mendiamkan tingkah Satrio menjadi makin serba salah ketika suaminya itu tidak merespon keterdiamannya. Semua seolah menjadi bumerang untuknya. Satrio bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu dengan semua alasan yang diucapkan Ocean dan berujung perang dingin di antara keduanya.
Niat memberi pelajaran pada Satrio pada kenyataannya justru dialah yang dirugikan. Satrio berangkat dan pulang kerja tidak pernah berbicara dengannya. Komunikasi mereka hanya saat diperlukan saja. Menjaga jarak pun juga tidak memberikan banyak pengaruh. Satrio tetap datang setiap menginginkannya dan tidak peduli dengan penolakan Ocean. Kebutuhan Satrio sebagai suami juga tetap diberikan Ocean meski terpaksa.
Akhir-akhir ini keadaan malah lebih buruk, Satrio pergi begitu saja setelah selesai dengan urusan yang satu itu. Ocean merasa terhina dan marah diperlakukan tidak layak, tetapi untuk menolak pun juga tidak bisa. Memangnya dianggap apa dia oleh suaminya hingga menerima perlakuan seperti itu. Pernah Ocean menolak keinginan Satrio dan bukannya mendengar, suaminya justru melakukan semuanya dengan cepat dan pergi keluar rumah setelahnya. Ocean menangis dalam diam, meratapi betapa mahal harga yang harus dia bayar untuk kesembuhan bapaknya.
“Jam berapa suamimu menjemput, Nduk?” tanya ibu Ocean.
Ocean melirik jam di pergelangan tangannya. “Mungkin setengah jam lagi, Bu. Apa Bapak dan Ibu memerlukan sesuatu?”
Ibunya menggeleng. “Tidak. Hanya saja Ibu perhatikan akhir-akhir ini kok kamu seperti ada masalah begitu dengan Nak Satrio. Ingat, dia itu suamimu, ndak pantas kalau kamu uring-uringan tidak jelas,” nasehat ibunya.
Selalu seperti itu. Jika ada pasangan bertengkar, tidak bisakah para orang tua itu berpikir kalau pihak suami itu juga bisa salah? Ocean mengerti bahwa perempuan memang harus mengabdi kepada suaminya, tetapi jika suaminya salah ... apa pengabdiannya harus menjadi pengabdian buta dan mengesampingkan perasaannya sendiri?
“Malah ngelamun, mikir apa sebenernya kamu itu?” Ibunya menyenggol lengan Ocean.
Ocean menoleh pada ibunya. “Nggak mikir apa-apa, Bu,” elak Ocean. “Ngomong-ngomong kapan waktunya Bapak kontrol?” Ocean mengalihkan pembicaraan.
Ibunya tertawa lembut. “Kenapa mesti kontrol jika dokternya sudah kemari? Sejak Bapakmu pulang, dokter berkumis tipis itu secara rutin datang untuk memeriksa Bapakmu. Sekali dengan dokter yang menangani operasinya, selanjutnya dia datang dengan istrinya.”
“Athena?”
“Wah, kamu kenal Mbak Athena? Dia baik, ya, Nduk?”
“Iya. Lama nggak mereka di sini, Bu?”
“Enggak. Selesai memeriksa Bapakmu ya hanya ngobrol sebentar. Terus pulang karena istrinya harus praktek, katanya.”
Ocean mengangguk, tidak berkomentar pada pernyataan ibunya. Dia mendengar suara mobil Satrio di luar. Sebelum ibunya memberikan titah membuka pintu untuk sang menantu kesayangan, Ocean beranjak dan berniat membuka pintu terlebih dulu.
Satrio masuk begitu Ocean membuka pintu. Suaminya langsung menuju ke ruang tengah dan duduk di depan ibunya. Tidak ada rasa sungkan berlebihan yang diperlihatkan oleh Satrio. Pria itu cukup sopan dan sangat pandai membawa diri.
“Malam, Bu,” sapa Satrio, “Bapak sehat? Ada keluhan atau tidak?” tanyanya santun.
Ocean melihat ibunya tersenyum sambil menggeleng. “Ndak ada, Nak Satrio. Temanmu itu datang rutin ke sini, jadi bagaimana mungkin Bapakmu tidak membaik? Menurut temanmu itu, pemulihan Bapak lebih cepat dari pasien lainnya.”
“Baguslah kalau begitu,” ujar Satrio senang. “Obatnya gimana?”
“Masih banyak, beberapa malam sempat susah tidur, tapi sudah diberi obat oleh dokternya.”
“Bu, kalau Bapak ada keluhan, langsung saja kabari saya. Jangan menunggu dokternya kemari.”
“Iya, Nak. Makanlah dulu sebelum pulang, tadi Ibu masak iga asam manis kesukaanmu,” kata Ibu bersemangat. “Cean, ajak suamimu ke dapur dan layani makannya!”
Tidak menunggu diperintah dua kali, Ocean langsung beranjak ke dapur diikuti oleh Satrio. Ocean berdiri di depan kompor dan menghangatkan masakan ibunya. Sementara menunggu iga hangat, dia mengambil sepiring nasi dan meletakkannya di depan Satrio bersama dengan segelas air putih. Tak lama kemudian Ocean datang lagi dan membawa sepiring iga asam manis, kerupuk udang, emping belinjo dan acar mentimun. Sementara Satrio mulai makan, Ocean membuat es jeruk nipis dan meletakkannya juga di depan suaminya.
“Kamu nggak makan?” tanya Satrio.
“Udah tadi sore,” jawab Ocean singkat.
Satrio hanya mengangguk dan meneruskan makannya tanpa memedulikan Ocean lagi. Dia makan dengan lahap apa yang telah Ocean hidangkan. Sesekali menyesap es jeruknya dan melanjutkan makannya kembali. Itu Satrio yang sekarang, jika biasanya dia akan menyuruh Ocean mendekat dan menyuapinya maka hal itu tidak pernah terjadi lagi sejak perdebatan mereka. Jika Ocean menjawab sudah makan, Satrio diam dan melanjutkan makannya hingga selesai.
“Tolong air putih lagi,” pinta Satrio.
Ocean mengambil gelas Satrio dan membawanya menuju dispenser. Tidak dihiraukannya Satrio yang terus mengamati setiap geraknya hingga segelas air dia berikan pada suaminya. Ocean membereskan piring kotor dan langsung mencucinya, tidak ingin ibunya yang sudah lelah menjadi lebih lelah karena masih harus mengurus dapur yang berantakan.
“Aku mau kamu berhenti kerja,” cetus Satrio.
Ocean duduk diam di sebelah Satrio, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia memilih kata-kata apa yang sekiranya akan diucapkannya pada Satrio. Dalam situasi seperti yang sudah dihadapinya berkali-kali, Ocean harus berkepala dingin atau Satrio akan semakin semena-mena terhadapnya.
“Mengapa aku harus berhenti kerja?”
“Karena aku mampu untuk menghidupimu,” jawa Satrio cepat.
Ocean memandang suaminya. “Aku bekerja bukan tentang uang, tapi tentang menjadi diriku sendiri.”
“Oke aku carikan tempat di mana kamu bisa kerja dan yang pasti menyenangkan,” tukas Satrio. “Kamu pemilik minimarket itu, kan? Jual saja kepemilikanmu.”
“Enak saja nyuruh-nyuruh. Kamu pikir aku bikin itu gampang sampai kamu dengan mudahnya memutuskan apa yang tidak dan harus kulakukan?” Ocean meradang.
“Jadi apa maumu? Masih mau terus ketemu sama Delta? Jangan-jangan kamu yang ada rasa sama dia sampai-sampai berat banget disuruh buat lepasin minimarket.”
Ocean memejamkan mata dan menarik napas panjang. Susah sekali untuk berbicara dengan Satrio saat keadaan seperti ini. Suaminya sudah pasti tidak akan mendengar apa pun mengingat mereka yang sudah saling tidak enak hati beberapa waktu belakangan.
“Nggak usah nuduh sembarangan.”
“Kalau kamu nggak mau dituduh ya lakukan keinginanku. Sebut saja kamu mau bekerja di mana dan aku pasti akan mendapatkannya untukmu. Asal kamu tinggalkan minimarket itu. Pikirkan! Ayo pulang!” Satrio melangkah meninggalkan Ocean sendirian di dapur.
Rasanya ingin sekali Ocean berteriak pada Satrio, tetapi mengingat di mana kini mereka berada maka dia harus mengurungkan niatnya itu. Ketenangan bapaknya harus lebih diutamakan untuk saat ini daripada egonya.
10 Cemburu Buta
Satrio mengikuti kegiatan bakti sosial ke daerah terpencil. Sedikit banyak dia merasa terhibur dan melupakan rumah tangganya yang sedang tidak baik-baik saja. Kesibukan luar biasa yang dilakukannya bersama dengan rekan-rekan kerjanya terbukti ampuh untuk melalui hari dengan bahagia.
Perubahan musim dengan cuaca yang cukup ekstrem membuat pengobatan gratis disambut warga setempat dengan antusias. Rata-rata dari mereka sakit flu, kulit, dan diare. Kedatangan para dokter ini dinilai cukup membantu warga masyarakat yang menganggap bahwa flu akan sembuh dengan sendirinya.
Masyarakat juga antusias pada penyuluhan tentang keluarga berencana dan pentingnya mengatur jarak kelahiran demi kesehatan ibu dan anak. Imunisasi gratis juga diberikan kepada balita yang membuat para ibu tak kalah senang. Ada juga yang mengonsultasikan beberapa anak pilek dan tidak kunjung sembuh setelah beberapa minggu.
“Sat, ayo pulang!” ajak Raphael yang tampaknya sudah selesai dengan pekerjaannya.
Satrio melirik Raphael sekilas. “Nunggu bidan-bidan, kasihan kalau ditinggal karena yang lain sudah pulang duluan,” jawabnya. “Lagian kenapa tadi nggak nebeng Denok?”
“Gundulmu nebeng, lebahku cemburu habislah aku,” omel Raphael. “Kayak nggak tau aja dia gimana.”
Satrio terkekeh. “Dia nggak segitunya, aku tau banget hal itu.” Diberikannya segelas air mineral pada Raphael, “Kecuali kalau kamu jalan sama orang yang nggak dia kenal.”
“Sat, dengar!” Raphael memutar kursinya menghadap Satrio. “Cemburu atau enggak yang namanya perasaan istri itu dijaga. Nggak bisalah aku bareng siapa aja semauku, terlebih perempuan. Semengerti-mengertinya lebah cantikku itu, namanya hati siapa yang tau? Lebih baik aku jaga itu daripada dia menumpuk emosi yang meskipun sedikit akan bahaya juga kalau dibiarkan terlalu lama.”
“Sok bijak,” cibir Satrio. “Emosi apa bisa numpuk.”
“Manggilnya bayiku sayang, tapi nggak belajar sama sekali dari kepinterannya. Payah.”
“Yang psikolog kan dia, ngapain aku pusing coba. Dia cocoknya sih sama Erik espekaje, ingat dia kan?” tanya Satrio jenaka.
“Ayo pulang, tuh dua bidanmu udah jalan ke mobil.” Raphael tidak menanggapi ocehan Satrio.
Bersamaan mereka bangkit dari duduknya dan meninggalkan lokasi baksos setelah berpamitan dengan kepala desa. Satrio menolak halus ketika mereka menawari sayuran untuk dibawa pulang. Saat mereka memaksa, Satrio bersikeras membayar apa yang dia bawa karena menurutnya itu adalah dagangan dan jangan sampai penduduk desa itu merugi.
Satrio mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang di tengah jalanan yang tidak begitu ramai. Di sampingnya, Raphael duduk sembari menekuri ponsel tanpa memedulikan obrolan dua bidan di belakang mereka. Satrio fokus mengemudi ketika matanya menangkap pedagang es tebu hijau di pinggir jalan. Satrio menepikan mobil dan berhenti tak jauh dari gerobak es.
“Raph, belikan es tebu itu tiga botol,” pintanya.
Raphael melirik pada Satrio lalu ke pinggir jalan melalui spion. “Tingkahmu, Sat. Lagian tumben banget sih pengen begituan,” omel Raphael.
“Buat Ocean. Dia suka es tebu hijau.”
“Ngomong dari tadi, kalau buat perempuan malang itu aku mau belikan. Kalau buatmu ... sampai kau teriak pun aku nggak akan belikan.” Raphael membuka pintu mobil dan turun membeli es tebu.
“Dokter Satrio sayang istri, ya. Lihat gitu aja langsung ingat,” ujar salah satu bidan dari jok belakang.
“Iya, manis banget, sih, Dok,” kata yang lain.
“Kalian kayak nggak pernah dimanjain suami aja sampai heran lihat saya begitu.”
“Nggak nyangka aja, Dok, kalau ternyata dokter sangat romantis.
“Romantis sesat ini,” ujar Raphael yang tiba-tiba masuk mobil dan meletakkan es tebu di bawah. “Jangan ditiru, dia aslinya nggak banget.”
“Apa sih, Raph,” gerutu Satrio sambil melirik spion dan menjalankan kembali mobilnya.
Satrio kembali mengemudi dengan santai. Matanya mengamati apa saja yang menurutnya menarik. Sampai di sebuah perempatan lampu merah, dia menghentikan mobil dan melihat-lihat keluar jendela. Satrio menajamkan tatapannya saat melihat orang yang dia kenali sedang makan bersama di sebuah restoran cepat saji. Rahangnya mengeras seketika dan cengkeramannya mengerat di roda kemudi.
Begitu lampu hijau menyala, Satrio menginjak pedal gasnya sedikit lebih dalam. Beruntung jalanan kota mulai lengang hingga dia mendahului beberapa mobil dengan mudah. Memasuki Area rumah sakit, seorang Satpam langsung membuka portal dan Satrio berhasil memarkirkan mobilnya dengan mulus di tempat parkir khusus untuknya.
Kedua bidan mengucapkan terima kasih dan langsung turun sementara Satrio masih duduk beberapa saat. Pikirannya kalut mengingat apa yang sesaat lalu telah dia lihat. Satrio berusaha meredam kemarahannya supaya tidak sampai naik ke permukaan.
“Kadang-kadang apa yang kita lihat nggak seperti yang kita pikir,” cetus Raphael.
“Ngomong apa?” Satrio tidak mengerti.
“Yang kamu lihat di perempatan lampu merah. Kejadiannya pasti nggak seperti yang kamu pikir.”
“Sok tau,” gerutu Satrio.
“Aku jadi temanmu nggak sehari dua hari, tapi sudah dari jaman sekolah menengah, jadi ya hafal sama tingkahmu.”
“Nggak usah jadi cenayang macam istrimu.” Satrio dongkol setengah mati karena kelakuannya terbaca jelas oleh Raphael.
Raphael melirik Satrio. “Istriku itu psikolog, bukan cenayang. Lagipula nggak usah cemburu gitu kenapa, sih? Kaya anak kecil, tau, nggak?”
Satrio berdecak. “Kayak sendirinya nggak pernah cemburu. Apa kabar yang Athena disapa doang sama Erik dan kamu udah diemin itu bayiku malang bayiku tersayang.” Satrio mengingatkan.
“Nah ... kalau mulutmu sudah sengawur itu, artinya hatimu sudah baik-baik saja.” Raphael membuka pintu mobil, keluar, dan melangkah masuk ke rumah sakit.
Satrio menyugar rambutnya setelah Raphael masuk lebih dulu. Dibawanya dua botol es tebu lalu menyusul masuk ke rumah sakit. Kegiatannya sepanjang pagi benar-benar membuatnya lelah. Bakti sosial memang selalu membuatnya bekerja ekstra mengingat dia harus benar-benar serius saat mengerjakan apa pun.
***
Satrio masuk rumah saat waktu menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas menit. Dia membuka pintu dan melihat Ocean tertidur di sofa ruang tamu. Langkah kakinya menuju dapur dan meletakkan es tebu yang tadi dibeli Raphael di meja makan. Untung saja dia ingat untuk mendinginkan minuman itu hingga tetap awet sampai selarut itu.
Setelah membersihkan diri, Satrio kembali ke ruang tamu dan berniat membangunkan Ocean. Dipandanginya paras cantik Ocean dan seketika kemarahan mulai naik dalam dirinya. Memandang wajah Ocean mengingatkan lagi kejadian tadi sore saat dia pulang dari kegiatan.
“Cean, bangunlah!” Satrio mencoba membangunkan Ocean. Menunggu beberapa detik, tetapi tidak ada pergerakan dari istrinya. “Cean, bangunlah!” seru Satrio sekali lagi dengan suara yang lebih keras.
“Sam ...,” kata Ocean. “Sam!” Ocean langsung terduduk menyadari kedatangannya dan Satrio senang melihat hal itu.
“Kalau ngantuk tidur di kamar sana, daripada bikin repot orang!” ujar Satrio tegas.
“Aku siapin makan dulu,” tutur Ocean.
“Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-temanku,” balas Satrio. “Lagian kamu pasti sudah makan, kan?”
“Aku belum makan.”
“Masa.” Satrio merasa tertarik dengan penuturan Ocean. “Kukira tadi sudah makan sampai kenyang. Berduaan lagi di teras restoran cepat saji, jadi buat apa aku makan di rumah kalau kamu pasti sudah makan sampai kenyang?”
“Sam, aku nggak ....”
“Nggak apa? Nggak ada hubungan apa-apa? Yang aku lihat nggak sama dengan yang aku pikir?”
“Bisa nggak kalau kamu dengerin aku dulu, Sam?”
“Malas,” jawab Satrio berlalu ke kamar mereka. “Lagian nggak penting, itu aku bawa es tebu buatmu, kalau nggak mau ya buang saja,” kata Satrio sambil terus berjalan tanpa repot-repot menoleh untuk melihat reaksi Ocean.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
