
Kekasih hatinya menikah dengan orang lain tepat di hari ulang tahunnya. Telanjur berharap membuatnya kecewa dan marah hingga menyisakan perih. Yasmin memang tak bisa memilih kepada siapa dia jatuh cinta, tetapi seharusnya hatinya tahu siapa yang harus diperjuangkannya.
Membawa luka hatinya pergi, Yasmin kuliah ke luar kota sampai waktu mempertemukan kembali mereka berdua dalam keadaan yang sudah berbeda.
Free bab 1-7
Bab 1. Cinta Sendiri
"Saya terima nikahnya Aliya Naura dengan maskawin yang tersebut dibayar tunai."
"Sah ...."
"Sah ...."
Kalimat dan kata yang membuat Yasmin mengakhiri impian manisnya untuk bersanding dengan Mikail. Orang yang dia sukai dalam diam sepanjang masa remajanya hingga kini. Waktu tidak berpihak padanya sampai dia berada dalam titik balik hidupnya hari ini.
Sebuah kenyataan yang Yasmin tahu tidak akan mudah diterimanya. Dia akan memerlukan waktu panjang untuk memperbaiki hatinya yang sudah porak poranda seperti tumpukan daun kering yang di hempas angin. Yasmin menarik napas panjang berkali-kali untuk sekedar menenangkan diri.
Hatinya trenyuh dengan pemandangan di depan sana. Seorang pria bernama Mikail, orang yang berwajah khas timur tengah terlihat sempurna dengan cambang tipis menyertai senyum yang tidak pernah tertuju padanya itu kini tersungging indah untuk wanita yang baru saja menjadi istrinya. Yasmin menunduk menyadari bahwa dia sudah di luar batas. Tidak sepantasnya dia memandangi pria yang sudah menjadi suami orang lain.
Yasmin merana, ingin pergi dari sana tetapi tidak bisa. Posisinya sebagai penerima tamu mengharuskannya untuk berdiri tegar dan memasang senyum manis yang tidak bisa dilunturkan oleh apapun termasuk kesedihannya. Sebuah pekerjaan yang dia lakukan dengan hati lara.
Dari pagi hingga siang tamu terus berdatangan, sementara Yasmin terus menegarkan diri, menarik napas panjang demi air mata yang siap bergulir kapan saja. Situasi itu mengancam ketenangan diri yang sebenarnya sudah porak-poranda.
Yasmin berbalik dan melangkah pergi. Dia menahan desakan air mata yang sudah menggenangi matanya, menuntut untuk tertumpah. Sebisa mungkin Yasmin berusaha supaya rasanya tetap tersimpan rapat seperti rahasia semua makhluk yang sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Dia hanya akan menjalaninya dan berusaha menghapus perih dan seluruh nestapa hatinya.
Keluar dari ruangan pun tidak membuat Yasmin merasa lebih baik. Dekorasi pernikahan yang didominasi warna ungu benar-benar telah mengejeknya. Warna yang menjadi kesukaannya di hari pernikahan pujaan hatinya. Seolah belum cukup kesakitannya, ini adalah hari ulang tahun Yasmin.
Tidakkah itu sebuah pukulan telak dan bertubi-tubi untuk hatinya yang sudah patah? Berserak terinjak dan mungkin akan tertiup angin dan terbang bersama kenangan masa lalu. Yasmin terpuruk dalam kesedihan tak terbentuk di tengah hati yang lara.
"Yas!" sebuah suara memanggil Yasmin.
Yasmin menoleh dan mendapati Umi Salma, ibu dari Mikail sedang berjalan cepat ke arahnya. Yasmin menarik napas lagi untuk menenangkan diri dan menghilangkan sesuatu yang terasa mengganjal di hatinya.
"Ya, Umi," jawabnya sopan sambil menundukkan wajah ayunya.
"Mau ke mana?" tanya Umi Salma penasaran.
Yasmin terdiam sejenak untuk berpikir jawaban apa yang akan dia berikan untuk Umi Salma. Bagaimanapun Yasmin tidak ingin mengecewakan hati wanita baik itu meski hatinya sendiri tengah berselimut duka. Menatap senyum teduh di wajah tua Umi Salma, Yasmin menutup perasaan sedih lalu menampilkan senyum cemerlang yang dipaksakan.
"Mau dhuhur, Umi. Tadi Yasmin sudah mendengar adzan," kilah Yasmin halus.
Umi Salma tersenyum lagi seraya menganggukkan kepalanya. Perempuan itu mengusap kedua pipi Yasmin dengan penuh sayang. Sementara itu, Yasmin hanya bisa mencoba untuk mempertahankan air matanya supaya tidak tertumpah dan menampakkan semua kegundahan hatinya.
"Baiklah. Salatlah dulu, nanti temui Umi kalau sudah selesai, ya," pinta Umi Salma sabar.
"Insya Allah, Umi. Yasmin ke masjid dulu," pamitnya kemudian.
Yasmin melangkah meninggalkan tempat pernikahan itu secepat mungkin sebelum seseorang tahu dan mengurungkan niatnya untuk pergi. Hari ulang tahunnya yang ke 18 akan menjadi hari yang tidak akan pernah dia lupakan. Hari bersejarah yang telah menorehkan luka mendalam.
Yasmin bersimpuh mengadukan segala kesakitan kepada Rabb-nya. Menundukkan wajah dalam sujud panjang, memohon ampunan atas segala khilaf hingga terjadi perasaan yang di luar kehendaknya.
Air mata Yasmin bercucuran dalam doa. Napasnya tersengal karena emosi yang sedikit di luar kendali. Hanya di atas sajadahlah Yasmin bisa bebas mengadu tentang semua keluh kesahnya.
***
Selesai dengan kewajibannya, Yasmin keluar dari masjid dan berjalan ke arah taman. Dekat dengan kediaman bapaknya di mana dia dibesarkan. Berdiri di tempat itu, Yasmin bisa melihat keseluruhan bangunan pesantren.
Pandangannya dimulai dari pintu gerbang lalu masuk sepanjang 50 meter di mana sebelah kanan adalah gedung serbaguna tempat pernikahan Mikail diadakan. Sebelah kiri adalah tempat parkir luas beserta toserba yang di kelola pengurus pesantren. Ada juga masjid tepat di tengah lahan beserta sekolah dasar hingga sekolah menengah.
Pandangan Yasmin bergerak mengamati pohon palem yang banyak terdapat di sana, mengisi beberapa titik selain flamboyan di setiap sudut. Rumpun melati turut memperindah taman dengan harum yang menguar di udara kala berbunga.
Ya Allah, aku tidak ingin mempermalukan orang tua tetapi hatiku memang sudah salah berlabuh di dermaga yang salah. Tidak akan baik untukku terus mempertahankan rasa sepihak ini. Terus berpegang pada tautan yang sebenarnya tidak pernah terhubung.
Ya Rabb, bagaimana aku harus menyikapi ini? Tunjukkanlah jalan mana yang harus kutempuh untuk berproses menyembuhkan hati yang sudah retak ini, ucap Yasmin dalam hatinya yang sesak.
"Yas," sebuah panggilan terdengar.
Yasmin menoleh cepat dan mendapati Ibrahim, saudara satu-satunya sedang melangkah ke arahnya. Yasmin tersenyum lembut pada kakaknya lalu berhenti melangkah.
"Mas Ibrahim mau ke mana?" tanya Yasmin manis.
"Menemuimu. Apa kau baik-baik saja, Dek?" jawab Ibrahim sekaligus bertanya.
"Mengapa aku harus tidak baik-baik saja?" Yasmin tidak mengerti.
"Cinta itu fitrah hati. Wajar dialami oleh semua umat manusia. Halalkanlah agar semua menjadi benar atau lupakanlah agar tidak menjadi beban pikiran," ucap Ibrahim.
Yasmin tertegun menatap wajah Ibrahim. Bagaimana mungkin kakaknya berkata seperti itu jika dia tidak tahu apa yang terjadi? Yasmin menunduk dengan mata berkaca-kaca.
"Pergilah. Bilang pada ayah dan ibu kau akan sekolah di Malang. Aku akan memulai pembicaraan ini nanti malam. Kau mau, Yas?"
Yasmin menangguk menahan desakan air matanya. Terus mengangguk dalam isak lirih di hadapan Ibrahim. Sementara Ibrahim hanya mengusap kepala Yasmin yang tertutup hijab.
Yasmin memandang keseluruhan bangunan yang ada. Kediaman bapaknya ada di sisi terpisah, lurus dengan pintu gerbang namun perlu berjalan melingkar dan melewati depan masjid untuk menjangkaunya. Di sanalah tempat Yasmin dibesarkan selama 18 tahun dengan penuh perhatian dan seluruh norma keislaman tentang bagaimana menjadi seorang perempuan.
Terlahir sebagai anak Ustaz Abdurrahman dan Ustazah Humaira, Yasmin dididik ketat tentang batas keras antara laki-laki dan perempuan. Yasmin diajarkan tentang bagaimana menjaga diri sebagai perempuan dan bagaimana agama sangat memuliakan perempuan sehingga memberikan cara pandang yang lurus dalam menjalani hari-harinya.
"Jangan memikirkan apapun, Yas. Mantapkanlah hatimu dan tatalah masa depanmu. Tidak akan baik bagimu untuk terus di sini sementara dia ada akan ada setiap harinya," nasehat Ibrahim.
Yasmin duduk di bawah rimbunnya pohon angsana. Merasakan semilir angin yang berembus sepoi-sepoi dan mengirimkan lagi kenangan akan sosok Mikail kepadanya. Kenangan itu sebenarnya tidak ingin dia relakan untuk pergi begitu saja lalu sirna bersama waktu yang berlalu.
"Iya, Mas. Aku mengerti."
Cinta yang tumbuh di dalam hati Yasmin kepada Mikail nyatanya hanyalah harapan kosong, seperti bibit bunga yang ditanam dalam tanah tandus, tanpa air, terpapar panas, lalu pelahan mengering dan hilang menyatu dalam tanah gersang.
Ya Allah, maafkan atas kekhilafan hamba sebagai manusia yang tak luput dari segala kefanaan, bisik hati Yasmin dengan air mata menggenang di kelopak matanya.
Masih terlintas jelas dalam ingatan Yasmin bagaimana cara Mikail tersenyum di suatu sore ketika ustaz itu sedang menyimak tahfidz dari beberapa santri dan Yasmin termasuk salah satu di antaranya. Yasmin tidak sengaja menatap wajah Mikail yang sore itu mendadak terseyum lalu memuji semua santri yang sudah menghafal dengan baik.
Hati Yasmin kian nyeri mengingat semuanya. Tidak ada satupun cara yang menunjukkan niatnya untuk dipersunting oleh Mikail. Bunga cintanya layu sebelum membentuk tunas dan berbunga indah.
Rabb-ku, jika masih diperkenankan berharap, aku ingin waktu kembali diputar ke belakang supaya aku tidak pernah melihat Mikail dan hanya mengenal dia sewajarnya, ucap Yasmin lagi di dalam hatinya.
Yasmin memantapkan hati untuk pergi memperbaiki diri sebelum semuanya menjadi semakin terlambat dan perlahan menenggelamkan dirinya dalam sakitnya sebuah pengharapan.
Bab 2 Menguatkan Hati
Yasmin duduk di sepertiga malam seperti biasa. Memanjatkan syukur dan doa, mengadukan segala keresahan hatinya kepada sang pemilik hidup. Yasmin mengisi sujud panjangnya dengan doa dan seluruh pengharapan akan kebaikan dirinya.
Ya Allah, aku meminta maaf karena sudah begitu berani mengucapkan namanya dalam doaku di sepertiga malam ketika aku menghadapMu. Tidak ada yang aku mimpikan kini ketika Mikail bukanlah jodohku.
Aku berpasrah kepadaMu kini ya Rabb, siapapun nama yang tertulis di Lauhul Mahfudz sebagai jodohku aku berharap dia bisa membimbingku kelak. Menjaga dan merawatku serta membuatku untuk tetap taat kepadamu, ucap Yasmin dalam salah satu doanya.
***
Yasmin melangkah ke ruang belakang hendak menemui bapaknya. Di sana bapaknya sedang bercakap-cakap dengan Mikail. Entah apa yang dilakukan ustaz muda itu sepagi ini di rumah bapak.
Yasmin duduk di depan orang tuanya dengan wajah tertunduk sementara Mikail juga tampak santai tak jauh dari bapak. Sepiring pisang goreng buatan ibunya tampak masih panas mengepul di atas meja serta dua cangkir kopi panas mendampingi saat santai mereka. Yasmin hanya menunduk dan tidak berani menatap wajah bapaknya.
"Nduk, Yas. Cah Ayu," tegur Bapak.
"Njih, Pak (ya, Pak)," jawab Yasmin.
"Jaremu arep kuliah menyang Malang, Nduk? Opo wis kok pikir? Malang kuwi adoh saka kene, opo kowe sanggup pisah karo bapak lan ibu (katamu mau kuliah ke Malang? Apa sudah kamu pikir? Malang itu jauh dari sini, apa kamu sanggup berpisah dari bapak dan ibu)?" tanya Bapak pelan.
"Insya Allah, Pak. Yasmin sanggup," jawab Yasmin masih dengan menundukkan wajah.
Bapak terdiam. Selaku pemilik pondok pesantren, beliau tidak rela jika Yasmin berkeinginan untuk kuliah ke luar kota. Anak gadis sepatutnya tidak pernah jauh dari orang tua karena jarak tidak akan bisa membuat mereka menjaga Yasmin dengan baik.
"Yas, Bapak ora ngerti opo sing dadi jalaran saka niatmu sing arep lunga kuliah menyang Malang. Nanging Bapak iso moco ono jalaran sing dadi lantaran soko lungamu iki (Bapak tidak tahu apa yang menjadi sebab dari niatmu yang akan pergi kuliah ke Malang. Tapi Bapak bisa membaca ada sebab yang menjadi alasan dari kepergianmu ini)."
"Mboten, Pak (tidak, Pak)."
"Yo wes. Budalo, Ngger. Yen kowe nduweni panemu kaya ngono, Bapak mung iso dongakne. Muga-muga ketekan apa sing dadi penjalukmu (ya sudah. Berangkatlah, Nak. Kalau kamu punya pendapat seperti itu, Bapak hanya bisa mendoakan. Semoga tercapai apa yang kamu cita-citakan)," restu Bapak.
Yasmin menitikkan air mata kini, tidak menyangka bapak mempermudah segalanya tanpa bertanya tentang hal yang dia sampaikan secara tiba-tiba. Yasmin menghambur memeluk bapaknya yang kemudian memberikan belaian penuh sayang di kepalanya yang tertutup hijab berwarna krem. Sungguh beliaulah orang yang selalu menentramkan hati Yasmin saat sedang gundah. Sepenuhnya menganggap Mikail tidak ada meskipun pria itu duduk tidak jauh dari bapaknya.
Yasmin masuk ke dalam kamarnya. Bermaksud mengemasi apa yang akan dia bawa ke Malang. Kota dingin berjarak kurag lebih 10jam dari pesantren bapak yang sudah dia tinggali selama 18 tahun. Tempatnya belajar siang dan malam tanpa mengenal lelah.
"Wong Ayu ...," suara ibu terdengar begitu pintu kamar terbuka.
"Masuk, Bu," ujar Yasmin dengan senyum tipis yang tersungging di bibir.
Ibu duduk di samping Yasmin. Menatap anak gadis yang sudah beliau besarkan dengan penuh kasih sayang. Yasmin merebahkan kepala di pangkuan ibu lalu mendapatkan belaian di rambutnya yang panjang.
"Kamu seneng siapa to, Yas? Moro-moro atine Ibu kok melu susah (tiba-tiba hati Ibu kok ikut sedih)?" tanya Ibu tiba-tiba.
Yasmin mengangkat kepalanya dari pangkuan ibu lalu menatap beliau dengan wajah terkejut. Memang benar bahwa apa yang dirasakan anak maka ibu pun akan turut merasakan, termasuk kesakitan hati Yasmin.
Dengan pandangan mata, Yasmin meneliti wajah ibunya dan mendadak mengingatkan dia pada Mikail. Pria yang begitu ramah dan hormat selama mengajar di pesanten bapaknya. Dia selalu telaten mendengarkan murojaah dari setiap santri dan membenarkannya jika ada kesalahan.
Cinta dalam diam yang Yasmin rasakan selama masa remajanya tidak membuat Yasmin berani bertindak melampaui batas. Mikail termasuk gurunya yang harus dia hormati tetapi Yasmin yang mulai mencinta tetap berusaha untuk tunduk sesuai ajaran yang diajarkan bapaknya.
"Yas. Melamunkan apa? Ndak baik seperti itu," tegur ibu.
"Ndak ada, Bu. Yasmin hanya merasa akan kangen Ibu," ungkap Yasmin kembali memeluk ibunya.
Ustazah Humaira tersenyum lalu menangkup kedua pipi Yasmin. Tidak pernah sekalipun wanita sabar itu menegur Yasmin dengan keras meski Yasmin melakukan salah sekalipun.
"Ibu juga akan merindukanmu. Baik-baiklah di rumah Pak De. Jangan menyusahkan. Ingat pesan ibu, ya?"
"Iya, Bu. Yasmin akan ingat.
***
Mobil melaju keluar dari pondok pesantren menuju Stasiun Balapan Solo. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang membelah kesunyian malam. Mikail mengemudikan dengan santai tanpa kata. Di sampingnya, Ibrahim beberapa kali berbicara tentang kajian sore tadi di masjid desa.
Yasmin duduk di antara bapak dan ibunya di belakang. Kepalanya bersandar di bahu bapaknya sementara sebelah tangannya dalam genggaman sang ibu. Matanya terpejam meski dia tidak tertidur.
"Yas, eling tembunge Bapak. Ojo lali sembahyang, ngaji, lan di jogo apalane. Ojo nganti lali mergo jogo apalan kuwi ora gampang kaya pas ngapalne ( Yas, ingat kata-kata Bapak. Jangan lupa shalat, ngaji, dan menjaga hafalan. Jangan sampai lupa karena menjaga hafalan itu tidak semudah menghafalnya)," nasehat Bapak.
"Njih, Pak (iya, Pak)."
Parkir di depan Stasiun Solo Balapan pada jam 2.40. Artinya masih ada 20 menit sebelum kereta berangkat membawa Yasmin ke Malang. Ibrahim menarik koper Yasmin dengan santai sementara bapak dan ibu berjalan menggandeng Yasmin. Terlihat seperti manja tetapi memang begitulah Yasmin diperlakukan oleh keluarganya.
Mikail tidak berbicara sepatah katapun. Dia hanya mengikuti keluarga temannya itu ke ruang tunggu. Ekspresinya tidak terbaca ketika sesekali Ibrahim mengajaknya berbicara.
"Mau kuliah apa di Malang, Yas?" tanya Mikail pada akhirnya setelah kebisuan yang lama.
"Administrasi niaga," jawab Yasmin singkat.
"Kapan seleksinya diadakan?"
"Sudah diterima. Lewat jalur undangan."
"Alhamdulillah."
Kereta sudah datang memasuki jalur pada jam 2.50 menit. Yasmin menarik kopernya dan berjalan pelan memasuki gerbang keberangkatan. Lima langkah sebelum masuk, Yasmin berhenti dan menoleh ke belakang. Mikail masih di sana berdiri dekat Ibrahim. Ibu menatap dengan air mata yang sudah berlinang di pipi. Hati Yasmin terenyuh menyaksikan semua itu. Dirinya tidak lebih baik, air mata juga sudah menggenang di matanya.
Meninggalkan kopernya sejenak, Yasmin menghambur memeluk bapaknya. Pria pertama yang menjadi cinta pertamanya. Beliau memberinya kasih sayang tanpa batas dan tidak memanjakannya berlebihan atas nama kasih sayang.
"Anak e Bapak kuat, ya? Wes ora usah nangis. Iki penjalukmu lan Bapak wes nuruti karepmu, Ngger (Anak Bapak kuat, ya. Sudah tidak usah menangis. Ini permintaanmu dan Bapak sudah menuruti keinginanmu, Nak)," ucap Bapak sambil mengusap lembut air mata Yasmin.
Yasmin mengangguk lalu memeluk ibunya. Kenyamanan seperti itu akan Yasmin rindukan saat di Malang nanti. Beralih kepada Ibrahim, Yasmin hanya berdiri di depan kakaknya tanpa kata. Ibrahim mencium kepala Yasmin yang tertutup hijab. Terakhir Yasmin hanya mengangguk ke arah Mikail tanpa kata apapun.
Yasmin berbalik dan berjalan tanpa menoleh lagi menghampiri kopernya lalu mendorong masuk ke gerbang keberangkatan. Air matanya menganak sungai tetapi dia tetap meluruskan niat. Dia harus pergi demi dirinya sendiri dan masa depan yang lebih baik.
BAB 3 Masih Ingat
Yasmin turun di Stasiun Kota Baru kota Malang tepat pada jam 9 pagi. Dia keluar dari kereta api setelah meregangkan tubuh sejenak. Langkahnya mantap ketika berjalan menuruni tangga dan melewati terowongan menuju pintu keluar stasiun.
Yasmin langsung melihat senyum manis budhenya begitu sampai di depan stasiun. Bibir Yasmin melekuk membentuk sebuah senyum lalu berjalan tergesa-gesa ke arah kakak bapaknya itu. Sebuah pelukan erat menyambutnya lalu satu jeweran sayangpun turut mendarat di telinganya.
"Anak nakal. Kenapa tidak pernah main ke sini? Tiba-tiba sudah segede ini. Cantik pula, Budhe sampai pangling," sambut Budhe dengan kalimat panjang.
"Maaf, Budhe. Yasmin kan sekolah sementara bapak dan ibu juga sibuk. Kalau sekarang kan Yasmin sudah besar, bisa datang sendiri," tutur Yasmin lembut.
"Sudah ndak apa-apa," kata Budhe. Budhe melambaikan tangan seperti memanggil seseorang. "Nah ini, Yas. Lihat apa kamu masih kenal dia?" lanjut Budhe.
Yasmin memandang pria yang baru saja datang. Matanya mengamati sebentar dan tersenyum cerah.
"Mas Titan," serunya gembira.
"Iya ini aku. Apa kabar, Yas?"
"Alhamdulillah baik. Kenapa Mas Titan nggak pernah main ke Wonogiri?"
"Padet jadwal kuliah. Lagian kamu juga nggak pernah main ke sini," sahut Titan lugas.
"Ndak boleh main sendiri sama bapak. Kan Mas Titan tahu bapakku gimana?"
"Iya. Bapakmu itu ngelarang kamu ngelakuin apa aja. Dasar manja!"
"Bapakku itu bapak cilikmu loh, Mas."
Titan tergelak keras tanpa peduli lingkungan di sekitar mereka. Yasmin hanya menunduk karena tatapan beberapa orang membuatnya sedikit malu. Mukanya agak memerah karena tidak terbiasa dengan pandangan orang di keramaian.
"Ayo pulang," ajak Titan langsung menarik koper Yasmin.
Titan mengemudikan mobilnya keluar dari area stasiun dengan kecepatan sedang. Menyusuri jalanan besar menuju daerah Sawojajar. Sebuah perumahan besar yang berjarak 20 menit dari stasiun setelah melewati lapangan rampal dan komplek perumahan angkatan darat.
"Mau sarapan apa, Ma?" tanya Titan setelah melewati lampu merah.
"Kamu kepingin sarapan apa, Yas?" tanya Budhe sambil menggenggam tangan Yasmin.
"Pilihannya apa, Budhe?" Yasmin balik bertanya.
"Apa saja ada. Mau nasi buk, nasi padang, cotto makasar, pecel, dan bubur. Kau pilih saja." Titan memberikan pilihan.
Yasmin terdiam sejenak sebelum menentukan pilihan. "Bubur kacang hijau ada?" tanyanya penasaran.
"Tentu saja ada," jawab Titan antusias.
Titan mengemudikan mobil ke arah terusan sulfat. Dia memarkir mobilnya di depan kedai bubur kayungyun kemudian membuka pintu mobil dan keluar. Yasmin telah masuk terlebih dulu bersama budhe dan memesan sarapan mereka.
Tidak lama pesanan datang berupa 3 mangkok bubur kacang hijau dan cokelat panas. Yasmin menikmati sarapannya dengan penuh syukur. Hatinya tersentuh dengan perhatian budhe dan kakak sepupunya.
"Yas, kamu punya pacar?" tanya Titan tiba-tiba mengejutkan Yasmin dan membuatnya tersedak.
Yasmin terbatuk-batuk hebat sampai mengeluarkan air mata. Budhe menepuk punggungnya halus lalu mengulurkan segelas air mineral begitu batuk Yasmin mereda. Yasmin meneguk pelan lalu bernapas lega setelahnya.
"Kamu kenapa sampai tersedak begitu? Itu kan pertanyaan biasa saja to, Yas?" Budhe bertanya sabar.
"Ndak apa-apa, Budhe. Hanya kaget," ujar Yasmin.
"Aku lupa, Ma. Pak Lik kan nggak bakal ngasih anaknya pacaran," kata Titan mengingatkan mamanya.
Yasmin kembali mengingat Mikail ketika pria itu turut mengantarkan keberangkatannya dinihari tadi. Rasanya dia ingin memprotes kebiasaan bapak dan ibunya yang selalu mengajak Mikail dalam setiap kegiatan keluarga mereka. Yasmin mengerti kebaikan hati Mikail tetapi rasa cinta yang dia tutupi adalah suatu rahasia yang sudah tidak ingin dia buka.
Ustaz sekali saja aku ingin mengakui dalam hati bahwa sebenarnya aku tidak rela pergi. Aku tidak ingin melarikan diri seperti ini. Sejujurnya aku ingin terus bisa menatapmu dalam diam. Mengagumimu dari jauh dan berbicara sesekali dengan raut tertunduk dibuai rasa malu.
Aku mempunyai rasa yang harus dimusnahkan, Ustaz. Lalu kembali berdoa kepada sang pemilik hidup yang maha membolak balikkan hati manusia. Supaya memusnahkan semua rasa sakit ini dan memohon ampunan karena aku telah begitu lancang mencintai ciptaan-Nya dengan begitu dalam hingga Allah menjauhkan dia seperti menjauhnya Yusuf ketika Zulaika mengejarnya, rintih hati Yasmin dengan setetes air mata yang sudah bergulir di pipinya.
"Kamu baik-baik saja, Yas?" tegur Budhe dengan suara pelan.
Yasmin terkejut dan mengusap halus pipinya untuk mengenyahkan air matanya. "Iya, Budhe. Maaf bengong, tiba-tiba ingat bapak dan ibu," ujar Yasmin sambil menunduk.
"Biasa gitu, sih. Dasar cewek manja," olok Titan.
"Ndak papa, wong bapak sama ibuku sendiri,"
"Tentu saja bapak dan ibumu sendiri, Yas. Kalau papa mamaku kan ada di sini," Titan tak mau kalah.
"Nggak usah dengerin omongan Titan, Yas. Dia memang suka asal begitu," timpal Budhe.
Yasmin hanya mengangguk menanggapi budhe dan kakak sepupunya. Pikirannya masih mengembara jauh di kampung halamannya. Angannya masih memikirkan kebiasaan paginya di akhir pekan dengan kajian yang biasanya diisi oleh Mikail.
"Nah bengong lagi. Kamu belum rela merantau ke sini, Yas?" Titan bertanya lagi melihat kebisuan Yasmin.
"Sudah Tan, jangan digoda terus. Anak perempuan memang begitu. Apalagi yang suka dimanja bapaknya seperti Yasmin ini. Jelas awal berpisah ya berat." Budhe berujar tegas.
Mereka sampai di rumah satu jam kemudian. Sebuah rumah dengan halaman luas penuh bunga dan sebuah pohon mangga di pojok halaman depan sementara puluhan bunga anggrek berjajar rapi di dinding. Ada juga kolam koi di bawah gazebo yang letaknya berseberangan dengan pohon mangga.
Yasmin memejamkan mata ketika duduk di gazebo sementara budhe masuk ke dalam bersama Titan. Ingatannya kembali pulang ke rumah ketika dia sedang memberi makan koi di rumahnya.
Yasmin ingat dengan baik apa yang Mikail katakan waktu itu, sebuah saran untuk memberi air wortel pada koinya supaya warnanya menjadi lebih terang. Yasmin mengangguk dan melakukan saran itu keesokan harinya.
Rabb, bagaimana bisa melupakan Mikail dengan mudah ketika segala sesuatu yang ada masih mengingatkanku akan dia. Hatiku sangat sakit, terluka, dan tidak karuan ketika dia tidak mempedulikanku sama sekali.
Rabb, sesakit ini memeluk rasa tanpa ridho-Mu. Ampuni aku atas ketidakbenaran ini. Aku hanya akan belajar untuk mencintai sesuai dengan ajaran-Mu,rintih hati Yasmin.
"Yas," tegur Budhe.
"Iya, Budhe," jawab Yasmin seketika tersadar dari lamunan.
"Kamu kenapa kok melamun, lagi?" tanya Budhe dengan pandangan serius.
"Ndak papa, Budhe. Tiba-tiba kepikiran rumah," sahut Yasmin.
"Ya sudah. Ayo masuk. Budhe antar ke kamarmu."
Yasmin masuk mengikuti budhenya ke lantai dua rumah itu. Budhe membuka pintu dan mengatakan itu kamar Yasmin. Yasmin mengangguk dan mengucapkan terima kasih dengan tulus.
Setelah budhe pergi, Yasmin segera menata seluruh baju yang dia bawa dari Wonogiri. Dia berniat bahwa mulai besok segalanya akan berubah. Pikirannya mulai menyusun rencana mulai dari mengurus registrasi kuliah hingga semua yang akan dia perlukan nantinya.
BAB 4 Menolak Taaruf
Yasmin berjalan dari tempat parkir menuju gedung E, tempat yang akan dia gunakan untuk menuntut ilmu selama empat tahun ke depan. Dia akan terbiasa menjadikan gedung 12 lantai itu sebagai tempatnya menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu sesuai dengan tujuan kedatangannya ke kota dingin itu.
Tidak ada yang Yasmin khawatirkan kini, sejauh ini semuanya berjalan lancar meski luka hatinya belum sembuh dengan baik. Dia hanya bertekad untuk menjadi lebih baik dan sukses agar orang tuanya bangga.
Yasmin menemukan ruang kuliahnya tanpa kesulitan. Gadis berhijab panjang dan modis itu menebar senyum ketika duduk di salah satu kursi. Dua orang teman baru membalas senyum Yasmin tanpa ragu.
"Halo, saya Yasmin," ujarnya memperkenalkan diri.
"Hai, aku Sari. Asli Malang."
"Aku Nadia. Juga asli Malang. Yasmin asli Malang juga?"
"Tidak. Aku asli Wonogiri."
"Wonogiri Jawa Tengah?" Nadia bertanya.
"Iya," jawab Yasmin disertai anggukan.
"Naik kereta api?" giliran Sari bertanya.
"Iya," jawab Yasmin lagi.
Mereka bertiga pada akhirnya menjadi teman baik. Yasmin sering berangkat kuliah bersama Sari dan Nadia karena kebetulan tinggal di daerah yang berdekatan. Mereka juga mengerjakan tugas bersama di rumah pakdhe Yasmin dan kedua temannya akan bertanya-tanya tentang Titan.
Hari terus berlalu dan Yasmin sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Kenyamanan yang dia rasakan pelahan membuat rasa cintanya pada Mikail mulai mengendap. Bukan menghilang seperti yang Yasmin inginkan, tetapi setidaknya sudah membuat Yasmin merasa tenang.
Yasmin rajin berkirim pesan dengan bapak, ibu, dan kakaknya. Semuanya lancar dia jalankan sebagai rutinitas harian. Hatinya berangsur ringan seiring waktu yang bergulir.
Yasmin masih mengamalkan ajaran yang diterimanya selama menjalani pendidikan di pondok pesantren bapaknya. Dia masih rajin murojaah untuk menjaga hafalannya. Yasmin juga tetap bangun di sepertiga malam untuk melakukan qiyamul lail. Rangkaian ibadah yang sebisa mungkin di lakukan oleh Yasmin sesuai dengan ajaran orang tuanya.
Yasmin merindukan rumahnya ketika tiba-tiba mengingat bapak dan ibunya. Rasanya ingin sekali bertemu mereka segera, tetapi waktunya belum tepat untuk kembali. Dia hanya bisa terus berdoa dan mendekatkan diri kepada Rabb-Nya.
Yasmin mengingat seluruh doa ibunya ketika sedang rindu rumahnya, sebuah doa yang terus mengikutinya dalam setiap langkah. Setiap ucapan ibunya seperti sebuah pengingat untuk terus berhati-hati dalam bertindak.
Ya Allah, selalu anugerahkanlah kesehatan untuk bapak dan ibu di rumah. Berikanlah kemudahan kepada mereka dalam mengurus segala amanah di pondok pesantren yang mereka pimpin, ucap Yasmin dalam hatinya.
"Yas," panggil Titan tepat setelah Yasmin selesai shalat subuh.
"Iya, Mas. Sebentar," sahut Yasmin.
Yasmin melipat mukena dan merapikan hijabnya lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Titan berdiri di depan pintu dengan senyum lebar yang membuat Yasmin heran.
"Ada apa, Mas?" tanya Yasmin.
"Ayo piknik," ajak Titan enteng.
"Ke mana?"
"Turunlah, mama papa menunggu di bawah!" pinta Titan akhirnya.
Yasmin mengangguk lalu keluar dari kamar setelah menutup pintunya. Langkahnya santai mengikuti Titan menuruni tangga lalu menuju ruang tengah, di mana pakdhe dan budhenya duduk santai. Di meja terhidang satu teko penuh teh panas dan sepiring kue basah.
"Duduk, Yas!" titah Pakdhe.
"Iya, Pakdhe," sahut Yasmin segera menuruti perkataan Pakdhe.
Yasmin duduk di kursi tunggal tak jauh dari budhenya. Tangannya terulur ke meja dan menuang teh ke beberapa gelas lalu meletakkannya di depan budhe, pakdhe, dan Titan.
"Kamu kerasan di sini, Yas?" tanya Pakdhe.
"Alhamdulillah kerasan, Pakdhe," jawab Yasmin.
"Ndak terasa ya, sudah hampir setahun? Pakdhe hanya kawatir kamu ndak kerasan tapi hanya diam saja," ujar Pakdhe lagi.
"Yasmin kerasan kok, Pakdhe. Suka di sini sama Pakdhe sekeluarga. Rasanya sama seperti di rumah sendiri,"jelas Yasmin.
"Syukurlah kalau begitu. Buat Pakdhe kamu sama saja dengan Titan. Tidak Pakdhe bedakan sama sekali."
"Iya, Pakdhe. Terima kasih."
Suasana hening sejenak ketika pakdhe mengambil sebuah kue dan memakannya sementara budhe memijat lengan kiri beliau. Titan sibuk menggelitik perut kucing persia yang ada di pangkuannya.
"Yas, besok senin kamu main ke fakultas Pakdhe, ya?"
Alis Yasmin bertaut mendengar permintaan yang menurutnya aneh itu. "Ada apa memangnya di sana, Pakdhe?"
"Nggak ada apa-apa. Hanya mainlah, ada seorang rekan dosen yang berniat untuk taaruf denganmu. Masih muda kok, Yas."
"Ciee yang mau diajak taaruf," canda Titan.
Yasmin menundukkan kepalanya merasa malu. Wajahnya memerah mendengar kalimat pakdhenya dan godaan Titan. Yasmin belum berpikiran untuk itu.
"Mau ya, Yas? Nanti bareng Pakdhe saja mainnya. Jadi kamu nggak seperti orang ilang pas masuk sarang anak ekonomi. Dosen muda ini ganteng, kok. Jangan khawatir."
Cinta terbaik adalah ketika cinta itu mampu membuat akhlakmu menjadi semakin baik. Hatimu menjadi damai dan harimu menjadi penuh syukur serta tenang.
Itulah cinta dari seorang pria yang berupaya untuk membersamaimu di dunia dan akan membawamu serta menuju surga-Nya. Itulah keindahan cinta yang sesungguhnya karena mampu mendekatkanmu pada Sang Rabb, Yasmin mengingat nasehat ibunya.
"Ngapunten (maaf), Pakdhe. Yasmin belum berpikiran ke sana," tolak Yasmin halus.
"Seharusnya tidak apa-apa, lagipula kan hanya taaruf. Siapa tahu cocok. Menikahnya juga tidak dalam waktu dekat." Pakdhe masih berusaha membujuk Yasmin.
"Lain kali saja ya, Pakdhe. Yasmin masih ingin menyelesaikan kuliah," elak Yasmin lagi.
"Baiklah. Pakdhe tidak memaksa. Semula Pakdhe pikir kalian bisa cocok. Dia anak e rektor kampus kita loh, Yas ...."
"Sudah, Pa. Ndak usah dipaksa. Anaknya belum mau begitu," kata Budhe.
"Iya nih Papa. Niat banget jadi Pak Comblang," timpal Titan.
"Kan cari jodoh itu dipilih bibit bebet dan bobotnya. Sudah dosen, anak e rektor pula. Masa tidak mau ...."
"Lain kali, Pa. Jodoh tidak ke mana," sergah Budhe santai.
Yasmin tidak marah ketika doanya tidak dikabulkan oleh Allah. Dia berpikir bahwa dirinya mungkin masih menyakiti hati orang lain tanpa sengaja sehingga doanya tertunda. Sebagai seorang manusia Yasmin tahu bahwa dirinya tentu tidak luput dari kesalahan yang dia sengaja atau tidak.
"Aku aja deh, Pa. Kalau Pak Rektor punya anak perempuan. Itu kalau papa beneran pengen jadi Pak Comblang," kata Titan asal.
"Beneran?" tanya Pakdhe antusias.
"Iya. Taaruf kan? Kalau nggak cocok ya batal," lanjut Titan.
"Oke. Papa tanyakan nanti," kata Pakdhe akhirnya.
"Aslinya wong Papa yang niat punya besan rektor. Ngaku aja, Pa," cibir Budhe.
Pakdhe tergelak merasa niatnya terbaca dengan baik oleh sang istri. "Kelihatan banget ya?" tanya Pakdhe
"Banget, Papa!" Budhe dan Titan kompak menjawab.
"Ndak jadi piknik?" tanya Yasmin.
"Siapa bilang piknik?" Budhe giliran bertanya.
"Mas Titan. Tadi waktu panggil Yasmin ngajak piknik."
"Ya sudah. Ayo siap-siap kita mantai. Biar seru," kata Pakdhe akhirnya.
Yasmin hanya bisa tersenyum melihat keluarga kompak yang juga menyayanginya itu. Hatinya lega karena tidak ada desakan untuk bertaaruf dengan siapapun itu. Keinginannya saat ini adalah fokus pada kuliahnya sebaik mungkin.
BAB 5 Beranjak Pulang
Yasmin sedang mengerjakan tugas di kamarnya ketika budhe datang dan langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Wanita yang sudah Yasmin anggap seperti ibu sendiri itu menatapnya penuh kasih lalu membelai rambut panjang Yasmin.
"Nduk, Yas. Budhe tau kamu kerasan di sini. Budhe karo pakdhe juga seneng. Mas Titanmu malah yang paling bahagia," kata Bundhe.
"Njih, Budhe."
"Kamu ndak pengen pulang?"
"Budhe bosan sama Yasmin? Yasmin buat salah?"
Budhe menyentil telinga Yasmin pelan. Mata budhe menyorot galak mendengar pertanyaan Yasmin. Beliau tidak suka dengan pemikiran Yasmin.
"Kupingmu itu pantes kalo tak sentil, Yas. Ngomong kok ngawur."
"Maaf, Budhe. Jadi maksud Budhe apa bertanya tentang pulang?"
"Tiga tahun lo, Yas. Kamu belum pulang sama sekali. Tidak kangen sama bapak ibumu?"
Yasmin terdiam sejenak. "Ya kangen, Budhe. Tapi Yasmin kepingin selesai kuliah dulu baru pulang."
"Ndak bener, Yas. Mumpung libur, muliho. Ndak kangen sama bapak ibumu?," tanya Budhe.
"Njih, Budhe," jawab Yasmin akhirnya.
Budhe keluar dari kamar Yasmin. Pintu tertutup dari luar sementara Yasmin terdiam menatap komputernya. Niatnya mengerjakan tugas menghilang, pikirannya pulang ke kampung halaman.
Yasmin tidak tahu seperti apa rumahnya sekarang. Selama ini komunikasinya hanya melalui video call dengan ibu bapaknya sementara dengan Ibrahim mereka terbiasa saling kirim pesan melalui aplikasi percakapan kekinian.
Bapak dan ibunya sehat. Yasmin bisa melihatnya sendiri ketika mereka berkomunikasi atau foto-foto yang dikirimkan Ibrahim di berbagai kesempatan. Yasmin tenang karena tidak pernah ketinggalan kabar berita tentang bapak dan ibunya.
Berkali-kali Yasmin menggumamkan kata pulang dan hasilnya tetap sama. Tidak sedikitpun dalam benaknya memiliki keinginan untuk itu. Yasmin merasa belum saatnya dia pulang tetapi budhenya juga benar. Bapak ibunya bisa saja terlihat baik-baik saja tetapi hati mereka siapa yang tahu?
Yasmin mulai mencari tiket online melalui gawainya. Jarinya terus menyentuh layar dan menggulir beberapa kali hingga melakukan transaksi. Dia mendapatkan tiket perjalanan tiga hari kemudian jam 2 siang.
Yasmin turun dari kamarnya menuju ruang makan. Ada pakdhe yang duduk di meja makan ngemil dadar jagung sementara budhenya masih menggoreng ikan dan memasak sayur.
"Yasmin bantu apa, Budhe?" tanya Yasmin begitu masuk dapur.
Budhe menoleh dan tersenyum. "Kamu buat sambel aja. Terus hidangan yang sudah mateng kamu bawa ke meja."
Yasmin mengangguk lalu meraih cobek yang sudah berisi bahan sambal racikan budhe. Yasmin menghaluskan semua dengan mudah dan segera menyiapkannya di meja makan. Sebentar saja semuanya siap dan hanya menunggu ikan yang masih digoreng.
"Duduk sini, Yas. Pakdhe mau ngomong sama kamu," kata Pakdhe tiba-tiba.
Yasmin mengangguk dan duduk di samping pakdhenya. Tangannya mengambil dadar jagung lalu memakannya. Yasmin tersenyum kecil begitu perpaduan rasa manis dan gurih terasa di mulutnya.
"Makan dadar jagung saja kamu senyum, Yas. Gimana kalau makan piza?" Pakdhe bertanya jenaka.
"Dadar jagung lebih enak daripada piza, Pakdhe."
"Kamu jadi pulang kapan, Yas?" Budhe giliran bertanya.
"Tiga hari lagi, Budhe. Itu yang paling cepat."
"Tak apa, Yas. Pakdhe tidak bermaksud mengusirmu. Tapi bapak ibumu kan kangen. Kamu ndak pulang tiga tahun, lho," nasehat Pakdhe.
Yasmin mengangguk dan berlari membuka pintu ketika mendengar suara motor Titan masuk ke garasi. Sepupunya itu mengulurkan kantong plastik berisi es rumput laut kesukaannya. Yasmin tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih yang hanya diangguki oleh Titan.
Yasmin membawa es itu ke ruang makan dan menuangkannya ke dalam mangkok besar lalu menghidangkannya bersama menu lainnya. Suasana makan siang berlangsung penuh keakraban dalam keluarga. Sesekali pakdhe minta tambah ini dan itu sementara budhe melayani dengan telaten.
"Gimana taarufmu, Mas Titan?" Yasmin bertanya iseng.
Titan melirik Yasmin dan melanjutkan mengunyah keripik tempe. "Biasa aja, lagian kepo banget."
"Cuma nanya. Kalau gak mau jawab ya santuy aja sih, Mas."
"Dih, Arek Solo wes dadi Arek Malang."
"Iya, dong. Yasmin gitu," ujar Yasmin bangga.
Pakdhe menertawakan tingkah Yasmin dan Titan. "Jadi gimana anak Pak Rektor itu, Tan?" giliran Pakdhe bertanya.
"Nggak gimana-gimana. Kakak dia itu yang sering nanyakan Yasmin."
"Masa?" Pakdhe tidak percaya.
"Iya, Pa. Sering malah."
"Gimana, Yas? Mau taaruf sekarang?" Pakdhe mendesak halus.
Laki-laki yang mengerjarmu mungkin mencintaimu tetapi laki-laki yang memintamu dalam doa setelah shalatnya ... dialah yang pantas menjadi imam untukmu. Jangan menaruh hati di luar ajaran karena yang kau suka belum tentu ditakdirkan bersamamu, Yasmin mengingat ucapan Ibrahim.
Yasmin sudah pernah merasakan pedihnya patah hati di usia muda dan dia tidak berkeinginan untuk mengulangi kesalahan. Hatinya sudah bulat jika dia tidak akan mengambil langkah apapun hingga dia siap untuk menikah.
"Nanti dulu, Pakdhe. Yasmin belum kepikiran," elak Yasmin seperti biasanya.
"Ngelak aja terus, lama-lama kau bisa dapat jelek, Yas," canda Titan.
Yasmin tersenyum tenang menanggapi kelakar Titan atau pakdhe. Sama sekali tidak ada perasaan marah atau emosi di hatinya. Semuanya malah membuat Yasmin semakin menyayangi keluarga pakdhe.
Yasmin sedang membereskan kamarnya, memasukkan baju yang sudah dilipat ke almari, merapikan meja belajarnya, dan tempat tidurnya supaya bersih. Dia tidak tahu berapa hari akan berada di rumahnya. Pikirannya hanya pulang bertemu bapak ibunya lalu kembali ke Malang secepatnya.
Tidak ada perasaan sakit di hati Yasmin ketika tanpa sengaja mengingat peristiwa tiga tahun yang lalu. Baginya itu adalah cerita lama yang sudah mengendap di dasar hatinya dan tidak akan muncul lagi. Tiga tahun yang berlalu sudah cukup untuk menenangkan diri dan dia sudah memasuki hidup baru meski masa lalu masih muncul sesekali.
"Yas," Titan mengetuk pintu dan meneriakkan namanya.
"Ya, Mas. Sebentar," jawab Yasmin lalu bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke pintu.
"Bawaanmu banyak?"
"Nggak. Cuma bawa ransel. Ada apa, Mas?"
"Mama titip oleh-oleh buat ibu bapakmu. Ada di bawah."
"Iya."
"Keretamu jam berapa? Sampai sana bagaimana?" Titan tak dapat menutupi kekhawatirannya.
"Berangkat jam 2, sampai sana jam 7. Di jemput Mas Ibrahim. Mas Titan nggak usah kepikiran. Atau ikut aja, yuk," ajak Yasmin bersemangat.
"Halah. Dikira aku ini pengangguran bisa pergi-pergi semaunya."
"Mas Titan sih banyak alasannya. Bilang aja nggak mau pisah dari anak Pak Rektor."
Titan tergelak keras mendengar kelakar Yasmin. Yasmin hanya bisa menatap Titan dengan sorot mata yang aneh. Sepanjang masa pertumbuhannya, belum pernah dia melihat bapak, ibu, atau kakaknya tertawa keras dan lepas seperti Titan atau pakdhenya.
"Ayo berangkat, Yas. Aku antar supaya lebih cepat."
Yasmin mengangguk tanpa suara. Tangannya mengangkat ransel sedangnya dan langsung keluar kamar. Sejenak dia melihat kamarnya sebelum benar-benar menutup pintu dan berlalu. Di bawah ada budhe dan pakde yang memeluknya sebentar ketika Yasmin berpamitan pada keduanya.
BAB 6 Sambutan Hangat
Yasmin turun dari kereta api tepat pada jam 7 malam. Kakinya kembali berpijak di Stasiun Solo Balapan untuk yang kedua kalinya. Tatapan matanya berkelana mengamati tiap sudut tempat itu. Semuanya masih sama seperti yang Yasmin ingat malam itu ketika dia berangkat ke Malang membawa serpihan hatinya.
Yasmin menghela napas panjang lalu berjalan sambil mengangkat sebuah tas berisi oleh-oleh titipan budhe. Langkahnya pelan dan pasti menuju pintu keluar yang masih ramai karena penumpang yang turun di waktu yang sama. Yasmin sabar menunggu hingga dia bisa keluar dari stasiun.
Di luar Yasmin langsung melihat Ibrahim sudah menunggunya. Kakak tersayangnya itu berjalan menghampiri dan mengambil alih ransel dari punggung Yasmin beserta tas oleh-oleh di tangannya. Senyumnya lebar seolah mengatakan bahwa dia bahagia bisa pulang.
"Yas, Cah Ayu, sudah makin gede. Kerasan ya di Malang sampai nggak nate mulih," protes Ibrahim.
"Repot, Mas. Males bolak-balik. Yang penting sekarang sudah ketemu, kan?"
Ibrahim menggandeng tangan Yasmin
Yasmin langsung masuk mobil tanpa menunggu dipersilakan. Yasmin duduk di depan lalu Ibrahim menyusulnya setelah meletakkan tas dan oleh-oleh di jok belakang. Dengan terampil Ibrahim mengemudikan mobil yang tak lama kemudian sudah bergabung bersama mobil lain di jalan raya.
"Mas, mau makan Nasi Liwet Bu Wongso," kata Yasmin tiba-tiba.
"Siap, Ndoro Putri. Kita langsung ke warungnya," ujar Ibrahim.
Yasmin tersenyum senang ketika melihat Ibrahim sudah mengarahkan mobilnya ke arah Keprabon Kulon Surakarta. Jalanan Solo masih sama seperti yang ada dalam ingatan Yasmin. Telinganya seperti dimanjakan ketika mendengar pengamen jalanan menyanyikan lagu dalam bahasa jawa.
"Senyum-senyum sendiri to, Yas. Neng opo (ada apa)?" tegur Ibrahim ingin tahu.
"Aku merasa pulang ke rumah," jawab Yasmin.
"Kan memang pulang ke rumah to, Yas. Omahmu neng Solo. Wonogiri tepat e, kowe ra kena lali asalmu (Wonogiri tepatnya, kamu tidak bisa lupa asalmu)," nasehat Ibrahim.
"Aku ini ndak lupa, Mas. Hanya karena aku lama merantau."
"Ya bagus nek ngono (kalau begitu)."
***
Warung nasi liwet itu ramai oleh pengunjung. Mereka berdua sudah duduk di salah satu meja panjang menunggu makanan yang tadi dipesan Ibrahim. Yasmin hanya menyimak percakapan orang-orang di sekelilingnya mengenai hobi atau berita terkini.
Tidak lama kemudian makanan datang. Nasi liwet yang disajikan di atas daun pisang bersama suwiran ayam, sayur labu siam, telur, dan ayam ingkung bumbu opor dalam sebuah piring. Menyusul es teh dan es jeruk tanpa gula yang selalu menjadi kesukaan Yasmin.
Yasmin tertegun menghadapi hidangan yang ada di depannya. Ibrahim memesan semua makanan kesukaan Yasmin, bahkan sampai dengan emping melinjo. Kakaknya benar-benar memperhatikannya sampai ke hal-hal kecil.
"Ngelamunin apa, Yas?" tanya Ibrahim memutus lamunan Yasmin.
"Ndak ada, Mas. Ayo kita makan!"
Mereka makan diselingi percakapan ringan. Yasmin tak terlalu menanggapi karena dia lebih tertarik pada ayam ingkung dengan rasa khas itu. Sesekali Yasmin menyesap es jeruknya dengan penuh syukur.
"Bagaimana kuliahmu, Yas?" tanya Ibrahim yang baru ini menanyakan sesuatu pada Yasmin.
"Biasa saja, Mas Ibra tumben kepo," jawab Yasmin.
"Lancar ndak ada halangan? Kepo itu apa to, Yas?" Ibrahim tidak mengerti.
"Pengen tau aja."
"Oalah, bahasamu. Aku ra reti, kuwi nek Malang wong-wongane opo yo koyo ngono kabeh omonge (tidak mengerti, itu kalau di Malang orangnya apa semua berbicara seperti itu semua)?"
"Ya nggak semua. Begitu itu kan tergantung pergaulan, Mas."
"Pergaulanmu baik to, Yas?"
"Baik, Mas. Jangan khawatir."
Mereka melanjutkan makan dalam diam sampai semua pesanan tandas. Ibrahim membayar semua setelahnya lalu mereka kembali berkendara menuju Wonogiri. Tidak ada suara dalam mobil karena Yasmin lebih asik melihat semua yang ada di sepanjang perjalanan.
"Mas, aku pengen serabi notosuman," ujar Yasmin tiba-tiba.
"Biyuh, wetengmu durung wareg to, Yas (astaga, perutmu belum kenyang to, Yas)?" Ibrahim bertanya saking terkejutnya.
"Belum, Mas," jawab Yasmin dengan senyum lebar di wajah.
Yasmin hanya bisa melihat Ibrahim menggelengkan kepala mendengar jawabannya. Dia tersenyum senang ketika berhenti di depan penjual serabi dan mereka turun untuk membelinya.
"Tiga kotak, Mas," pesan Yasmin.
"Banyak sekali, Yas. Siapa yang mau makan?"
"Kita makan di mobil sama buat bapak ibu di rumah."
Yasmin dan Ibrahim sampai di rumah jam 10 malam. Pondokan sudah sepi saat Yasmin berjalan menuju rumahnya. Kakinya menginjak jalan setapak yang masih sama seperti ketika dia masih ada di sana.
"Yas," Ibunya sudah terlebih dulu berlari keluar rumah dan langsung mendekap Yasmin erat.
Yasmin tidak sempat mengucapkan salam karena pelukan sang ibu yang sedang menangis bahagia karena kedatangannya. Yasmin balas memeluk ibu dengan erat, mengusap punggung wanita penyayang yang sudah mendidiknya dengan baik. Mereka berangkulan dan duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu.
"Jangan nangis, Bu. Yasmin sedih," kata Yasmin mengurai pelukan mereka dan mengusap air mata di pipi ibu.
"Tidak, Yas. Ibu bahagia kamu pulang," jelas Ibu.
"Bapak ke mana, Bu?"
"Bapakmu masih ada pengajian, sebentar lagi juga pulang."
"Assalamualaikum," sebuah salam terdengar dari depan.
"Waalaikumsalam," jawab Yasmin dan Ibu bersamaan.
Bapak masuk ke rumah dan langsung menatap Yasmin. "Eh ono dayoh saka adoh (eh, ada tamu dari jauh)."
"Bapak ...," Yasmin menghambur dan memeluk bapaknya.
Bapak mengelus kepala Yasmin yang hari itu berhijab biru. "Tak kira wes lali ngomah nganti telung taun ora gelem bali. Kayane betah dadi wong Malang, nganti lali karo Bapak (Ku kira sudah lupa rumah sampai tiga tahun tidak mau pulang. Sepertinya kerasan jadi orang Malang, sampai lupa sama Bapak).
Yasmin menggeleng lalu menggandeng tangan bapaknya dan duduk di kursi. Dia menyusul duduk lalu bersandar di bahu bapak sambil memeluk lengan beliau erat. Bapak terkekeh pelan dengan kemanjaan Yasmin.
"Anggonmu lunga apa wes iso nambahi kepinteranmu, Yas (kepergianmu apa sudah bisa menambahi kepandaianmu, Yas)?" tanya Bapak.
"Belum lulus, Pak. Masih sedikit lagi."
Ibrahim masuk menenteng tas yang dia letakkan dekat pintu dan serabi yang dia berikan pada ibu. Ibu membuka kotak serabi dan bapak mengambil satu lalu memakannya, sementara Ibrahim langsung masuk ke kamarnya.
"Oleh oleh dari anak gadis," canda Ibu.
"Bukan, Bu. Itu beli di jalan. Oleh-olehnya di tas itu," jelas Yasmin menunjuk tas lain yang di letakkan Ibrahim dekat pintu.
Ibu mengangguk dan membuka kardus bawaan Yasmin. Setelah kardus terbuka tampak keripik tempe dan keripik buah. Ada juga kerupuk buah naga yang siap goreng.
"Buah bisa dibikin keripik. Ibu baru ngerti, Yas."
"Didhahar kemawon, Bu. Menika eco (dimakan saja, Bu. Itu enak)."
Ibu membuka keripik apel dan memasukkannya dalam toples yang ada di meja. Bapak mencicipi sementara Yasmin tidak mau melepas pelukannya di lengan bapak. Tangannya tetap erat tidak mau bapaknya pergi.
Yasmin tidak mendengar ibunya yang sibuk berbicara dengan bapak tentang rencana membagikan oleh-oleh itu pada pengurus pondok pesantren. Yasmin hanya menikmati kenyamanan bahu bapaknya serta suasana rumah yang dia rindukan.
BAB 7 Berserah
Yasmin melangkah ke teras belakang dan langsung duduk di samping bapak. Bapak masih menegenakan sarung dan koko lengkap dengan songkok di kepala sepulang dari kajian pagi, jadwal rutin di pondok pesantren selepas subuh hingga menjelang fajar.
"Ngalem, ning wani rantau adoh nggo sekolah yo, Yas (manja, tapi berani merantau jauh buat sekolah ya)?"
"Bapak kan nyindir terus itu. Yasmin balik Malang nih ...," rajuk Yasmin sedikit cemberut.
Yasmin mendengar tawa lirih bapaknya, hal yang sudah begitu lama tidak dia dengar. Hatinya sangat bahagia hanya dengan mendengar tawa dari sosok arif itu. Kemanjaannya muncul lagi dengan kembali mendekap satu lengan bapak dan menyandarkan kepala di bahu beliau.
"Delengen anakmu, Bu. Bocah ngaleme kaya ngene kok wani lungo adoh, ya. Opo ra kangen karo bapak naliko ing paran (lihatlah anakmu, Bu. Anak manja seperti ini kok berani pergi jauh, ya. Apa tidak kangen sama Bapak waktu di perantauan)?" goda Bapak sambil menarik lengannya tetapi Yasmin justru memeluknya semakin erat.
"Hanya ke rumah budhe saja. Itu nggak jauh, Pak," sergah Yasmin.
Ibu datang dari arah dapur membawa lentho yang lengkap dengan cabe dan roti tawar serta selai coklat. Semua diletakkan di meja bersama teh manis yang sudah lebih dulu tersedia. Ibu kembali ke dapur lalu muncul kembali dengan sepiring apel dan segelas susu.
"Kuwi ngapa ono susu karo roti? Ibu mendadak bule iki, ya (itu mengapa ada susu sama roti? Ibu mendadak bule ini, ya)?"
"Mbak Yu telpon, dhawuh Yasmin sak meniko sarapane roti kalian susu. Ibu samar nek amung lentho malah ra doyan, telung taun maem roti yo, Yas (kakak telpon, mengatakan Yasmin sekarang sarapan roti sama susu. Ibu kawatir kalau hanya lentho dia malah nggak doyan, tiga tahun makan roti ya, Yas)?" Ibu menggoda Yasmin setelah memberi jawaban pada bapak.
"Yasmin ndak begitu, Bu. Di sana kan budhe memang ndak pernah masak pagi, jadi makannya ya roti sama susu. Yasmin mau masak nggak boleh," jelas Yasmin.
"Masih doyan lentho berarti, Yas?"
"Masih, Bu."
"Bagus. Tapi tetep kamu harus makan roti dan minum susu. Masmu ndak doyan itu."
Yasmin mengangguk. Meraih roti tawar dan mengolesinya selai coklat, lalu memakannya setelah memaksa bapak mencicipi sedikit. Selesai dengan rotinya, Yasmin mengambil satu lentho dan cabe. Matanya terpejam menikmati makanan dari kacang hijau tersebut. Rasa gurih dan asin serta pedasnya cabe terasa pas di lidahnya.
Ibrahim datang tepat setelah Yasmin menghabiskan segelas susu. Matanya menyorot heran melihat si adik yang menandaskan segelas susu. Dia juga menautkan alis saat pandangannya menangkap sebungkus roti tawar dan selai coklat.
"Ada makanan bule di sini," ujar Ibrahim seraya menuang teh manis.
"Kelakuane adimu to ngono kuwi. Neng Malang sarapane bedo (perbuatan adikmu begitu itu. Di Malang sarapannya beda)."
"Bapak kan terus aja godain Yasmin."
Bapak tidak berkomentar lebih tentang omongan Yasmin. Beliau hanya mengusap kepala Yasmin dengan rasa sayang dan kelembutan yang tak disembunyikan. Ditatapnya anaknya yang sudah menjadi seorang gadis rupawan.
"Umurmu piro, Yas? Rong puluh (umurmu berapa, Yas? Dua puluh)?" tanya bapak tiba-tiba.
"Dua puluh satu," jawab Yasmin.
"Bapak arep takon, Yas. Ojo kok dadekne pikirmu lan ojo ngasi kowe mikir sing rena-rena (Bapak mau tanya, Yas. Jangan dijadikan pikiran dan jangan sampai kamu berpikir macam-macam).
Yasmin meletakkan gelas tehnya di meja. Hatinya mengatakan bahwa bapak akan membahas sesuatu yang penting dan itu sudah pasti tentang masa depannya. Yasmin bisa merasakan itu karena bapak tidak pernah berbicara dengan nada yang serius jika tak ada hal penting.
"Njih, Pak. Monggo ngendikan (iya, Pak. Silakan berbicara)," ucap Yasmin.
"Jajal omongo, Bapak kepengen krungu soko lathimu dewe. Apa rencanamu yen kowe lulus kuliah (coba bicaralah, Balak ingin mendengar dari bibirmu sendiri. Apa rencanamu setelah kamu lulus kuliah)."
"Yasmin ingin melanjutkan kuliah lagi, kata Pakdhe bisa ikut beasiswa. Yasmin mau jadi dosen."
"Dadi ngono karepmu, Yas? Kowe anak wadon nanging Bapak ora bakal menggak opo sing dadi karepmu. Tapi Bapak dadi wong tua sih dueni hak marang kowe nganti kowe omah-omah. Bener (jadi begitu maumu, Yas? Kamu anak perempuan tapi Bapak tidak akan menghentikan apa yang menjadi keinginanmu. Tapi Bapak sebagai orang tua masih berhak atas dirimu sampai kamu menikah. Benar)?"
"Iya, Pak."
"Kowe kena neruske karemu tapi kowe kudu omah-omah. Ben Bapak ayem lan ora kepikiran kowe, Yas. Piye (kamu bisa meneruskan keinginanmu tapi kamu harus menikah. Biar Bapak tenang dan tidak kepikiran kamu, Yas. Gimana)?"
"Yasmin ingin lulus kuliah lalu mikir menikah," tolak Yasmin halus.
"Taaruf saiki, kena omah-omah bar lulus. Banjur kowe bisa neruske karepmu terus sekolah (taaruf sekarang, bisa menikah setelah lulus. Lalu kamu bisa meneruskan keinginanmu melanjutkan kuliah)," tegas Bapak.
Rabb, inikah jawaban atas doa-doaku hampir di setiap malam. Telah tiba waktuku untuk menemui pemilik hati sesuai yang telah Kau suratkan di Lauhul Mahfudz.
Aku menerima Ya Rabb, sekiranya dia adalah sebaik-baiknya pilihan-Mu, lelaki yang akan membimbingku ke surga-Mu. Aku tidak meminta dia sempurna, tolong jadikan aku pantas untuknya demi mendapatkan ridho-Mu, ucap Yasmin dalam hati.
"Yas ...."
"Injih, Pak. Yasmin Manut Bapak kemawon (iya, Pak. Yasmin menurut apa kata Bapak saja)."
"Kowe ndueni karep taaruf karo sopo, (kamu punya keinginan taaruf dengan siapa), Yas?"
"Tidak ada. Terserah Bapak saja, asal menurut Bapak dan Ibu dia baik maka Yasmin setuju," ungkap Yasmin.
"Bener kuwi, Yas? Ora bakal kok getuni? Miliho sopo wae sing ono kene, lamaran nggo kowe ora sithik (betul itu, Yas? Tidak akan kau sesali? Pilihlah siapapun yang ada di sini, lamaran untukmu tidak sedikit)."
Yasmin memejamkan mata sebentar, mencoba menyelami rasa hatinya. Bagaimanapun dia sudah bertekad untuk melupakan masa lalunya. Matanya terbuka sesaat kemudian dengan sebuah keyakinan baru.
Rabb ... apapun yang terjadi nanti, sungguh aku berpasrah kepada-Mu. Tak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya. Aku menerima jalan takdirku, ucap Yasmin lagi dan lagi dalam hatinya.
"Sak kerso Bapak. Yasmin manut Bapak (Terserah Bapak. Yasmin menurut Bapak)."
"Bu, hara dijupukke telpone nok kamar (Bu, coba ambilkan telponnya di kamar)," titah Bapak yang langsung diikuti oleh ibu.
Ibu bergegas meninggalkan tempat duduknya dan berlalu. Yasmin tidak mau berpikir apapun saat itu selain memasrahkan masa depannya pada bapak. Beliau orang yang selalu Yasmin percaya untuk memilih kebaikan untuknya.
"Ini telponnya, Pak," kata Ibu setelah kembali lalu mengulurkan gawai bapak.
"Wehno nomer telpon e, Bu. Yen wis, ben iso mulai taaruf (berikan nomor telponnya, Bu, kalau sudah biar bisa mulai taaruf)."
Ibu mengangguk memahami titah bapak. "Di simpan nomernya, Yas," kata ibu.
Ibu menyebutkan sederet angka yang langsung disimpan Yasmin di gawainya.
"Asmane (namanya) itu Mas ...."
"Ndak usah nama, Bu. Biar Yasmin bertaaruf tanpa tahu orangnya. Yang penting Bapak dan Ibu sudah cocok, jadi Yasmin tinggal menjalani."
Bapak mengelus kepala Yasmin untuk yang kesekian kalinya. Netra tuanya begitu teduh memberikan tatap pada putri yang dia sayangi. Yasmin kembali bermanja dengan memeluk lengan bapak dan menyandarkan kepala di bahu beliau.
"Bu ...," panggil Yasmin kalem.
"Mau makan lagi?" tanya Ibu.
Yasmin menggeleng dengan kepala yang masih ada di bahu bapak. "Yasmin hanya ingin tahu satu hal, yang taaruf dengan Yasmin orang mana?"
Ibu mengulas senyum bijak yang menentramkan dan tidak kalah dengan keteduhan senyum bapak. "Orang Malang, dekat dengan rumah pakdhe dan budemu. Mungkin jarak rumahnya 30 menit kalau ndak macet."
Yasmin seketika teringat akan desakan pakdhe. Pikirannya tertuju pada dosen yang juga anak rektor di kampusnya. Yasmin tidak pernah datang ke fakultas ekonomi memenuhi undangan pakdhe, sehingga dia tidak tahu rupa dari dosen yang dimaksud.
Yasmin menyembunyikan rasa gentar yang tiba-tiba merambati hatinya. Selama ini dia begitu acuh terhadap dosen itu, lalu tiba-tiba ditaarufkan. Apa yang akan dipikirkan dosen itu nanti.
Yasmin pasrah dan menerima bahwa semua sudah diatur oleh Allah. Telah Dia rencanakan sesuatu yang indah dengan mempertemukan mereka kelak di saat sudah benar-benar siap dan pantas. Sebuah keyakinan yang tak akan Yasmin rusak oleh prasangka buruk.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
