
Sebelum Berpisah | Part 9
Dengan dalih ajakan makan malam, Agnita membuat Sankara bertemu dengan wanita panggilan yang sudah ia sewa. Sementara Sankara bertemu, ia sembunyi di salah satu meja dekat pria itu. Namun rencananya gagal, karena Sankara tidak tergoda. Pertengkaran pun kembali terjadi, dan kali ini Sankara benar-benar marah.
Bagian Sembilan : Sebelum Berpisah

"Kebencian itu meluap, amarah itu meledak, tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain membalas luka satu sama lain."
"Jadi sebelum berpisah, mari berhenti menyakiti."
***
"Duh, gue balik aja deh, Mbak. Gamau gue nanti malah ikutan dosa," ujar Tian memelas. Niat hati kemari untuk membahas pekerjaan, malah berujung diberikan kerjaan tambahan oleh bosnya, mana pekerjaannya kelewat gila lagi.
Walaupun Tian tidak terlalu dekat dengan Sankara, dan kadang juga mencurigai pria itu, lantaran gosip-gosip yang beredar, namun tetap saja Tian tidak seberani itu untuk bekerja sama merealisasikan ide keji nan jahanam Agnita. Dia juga menaruh cukup rasa hormat kepada Sankara, karena sempat beberapa kali berbincang. Bahkan baru saja pria itu menelponnya kemarin, mengatakan bahwa Agnita tidak bisa pergi bekerja, dan meminta Tian untuk tidak mengganggu wanita itu dengan alasan apapun. Makanya Tian baru berani membicarakannya sekarang, padahal kemarin ia sempat hampir botak karena tanggungan kerjaan yang jadi berkali-kali lipat.
Agnita mencebik, "Kayak lo takut buat dosa aja. Udah lah, Yan, dosa lo tuh udah banyak, nambah satu dua ga bakalan ngaruh."
"Ya, tapi ini beda, Mbak. Bukan dosa doang, tapi nyawa gue juga bisa terancam kalau ketauan bantuin lo. Emang lo beneran ga takut apa? Kalau tiba-tiba Mas Sankara yang setenang samudra itu jadi meledak gara-gara ini?"
"Berisik ah! Dibilangin bantuin aja, gue janji ga bakalan bocorin," ucap Agnita merasa jengkel. "Lagian ini gue kalau ngerti order-order begini ya gue ga bakalan minta bantuan lo. Kan yang sering order lo, Yan."
"Sembarangan banget! Mana ada gue sering!" kata Tian tak terima. "Cuma sekali dua kali aja, ga sering," tambahnya.
Agnita memutar bola matanya malas, "Sama aja."
"Ya udah mana sini." Lelaki itu kemudian menarik macbook dari pangkuan Agnita. "Lo mau cari yang kayak gimana?"
Agnita terdiam sejenak, nampak menimang-nimang bagaimana selera dari suaminya itu. "Cariin yang cantik, yang badannya bagus, pokoknya yang service-nya paling top," ujarnya. Agnita ikut menatap layar tersebut kala Tian mulai melihat-lihat foto-foto perempuan di sana. "No, jangan yang itu, terlalu binal look-nya, Sankara tuh suka yang kalem." Kemudian Tian kembali menggulir, sehingga menampakan foto-foto lainnya, "Cantik sih, cuma blasteran. Dia sukanya yang lokal, tanpa ada mix gitu."
"Tau darimana, Mbak?"
"Ya ... tau aja." Agnita nampak tak terlalu ingin menjawab. Ditatapnya satu persatu foto di sana, sampai akhirnya telunjuknya berhenti pada sebuah foto, "Ini aja, Yan, ini paling mendekati tipe dia."
"Ini?" tanya Tian memastikan. Sebenarnya Tian sedikit tak enak hati saat mendengar perempuan itu menyebutkan 'selera' suaminya —yang ia tahu entah darimana. Lantaran penjabaran itu kelewat jauh dari penampilan Agnita sendiri.
Agnita tanpa pikir panjang langsung mengangguk. "Udah langsung dichat aja, nanti sisanya biar gue atur. Lo ga perlu ikutan lagi."
"Mbak." Tian kembali memanggil, "Ini gue beneran pesenin?" tanyanya lagi. "Lo beneran yakin, Mbak?"
Seolah tanpa beban, Agnita mengangguk. "Udah buru, gausah bawel lagi, gue mau ke atas dulu. Mau telpon target utama," ucapnya lalu tanpa menunggu langsung melenggang pergi.
Tentu yang dimaksud target utama tak lain tak bukan adalah Sankara —suaminya sendiri yang nanti malam akan ia jebak dalam suatu perangkap bersama perempuan lain.
***
Rapat yang harusnya terlaksana malam ini, terpaksa dijadwalkan kembali akibat Sankara menyatakan tidak bisa hadir. Tentu itu cukup menganggetkan pegawai-pegawai, lantaran semua mengetahui betul bahwa pejabat satu ini begitu gila kerja. Jangankan melewatkan jadwal rapat, meninggalkan kantor pun rasanya pria itu sangat berat.
Jadi wajar saja ketika Sankara bertanya apakah rapat rutin tersebut bisa ditunda, Banyu tak kuasa menahan pertanyaannya, "Ada masalah, San?" tanya Banyu dengan gaya bicara informalnya.
Sankara menggeleng, "Ngga ada, cuma kalau bisa, coba diatur ulang."
Banyu mengernyitkan dahinya bingung, "Lo lagi kesambet apa gimana?"
"Bukan gue, Tanisha," jawab Sankara. "Dia pengen makan malem bareng gue di luar."
Perkataan itu sukses membuat pria di hadapannya menganga. "Serius? Ga salah orang?"
"Ngga, udah gue pastiin tadi," ujar Sankara. Pria itu untuk sekian kalinya masih saja tenang, padahal ini merupakan kejadian langka yang bisa saja terjadi sekali seumur hidup.
"Lo ngga kaget sama sekali? Istri buas lo itu tiba-tiba minta makan malem bareng," tanya Banyu.
Mungkin Sankara sedikit kaget tadi, namun karena belakangan Agnita sudah sering melakukan sesuatu yang menganggetkannya, jadi Sankara sudah cukup terbiasa. Makanya dia bisa biasa biasa saja seolah itu bukan hal yang besar. Dan juga, tidak ada alasan Sankara untuk menolak, karena setelah beberapa keributan yang terjadi di awal pernikahaan, Sankara sudah memutuskan untuk men-setting dirinya sebagai pihak yang akan selalu mengalah dan menuruti semua permintaan Agnita —asalkan tidak melampaui batas dan di luar dari kemampuan Sankara.
Bukannya tanpa alasan, hanya saja dalam waktu beberapa hari, Sankara yang memang terbiasa beradaptasi dalam situasi apapun, langsung paham akan karakter sang istri. Dan dari pemahamannya, Agnita adalah wanita yang begitu keras kepala, egonya menjulang setinggi langit, wanita yang benci diatur dan diperintah, intinya dia itu wanita yang memiliki prinsipnya sendiri, sama seperti Sankara.
Dua-duanya sama-sama keras dengan caranya masing-masing. Agnita dengan sikap nyolotnya merasa dirinya paling benar, sedangkan Sankara dengan sikap tenangnya namun seringkali terlihat ingin memegang kendali. Maka dari itu, untuk menjaga ketentraman dalam rumah dan ketenangan hubungan pernikahannya, solusi yang Sankara dapatkan adalah dengan mengalah. Apapun yang diinginkan Agnita, apapun yang didebat Agnita, apapun situasinya, Sankara akan mengalah dan memberikan semuanya. Apapun itu, asal tidak menyenggol prinsip pria itu. Dan terbukti berkat hal ini, kehidupan pernikahan keduanya jadi tak seburuk saat awal, ya setidaknya sampai setahun sebelum kata cerai diucap oleh Agnita.
Jika ditanya apakah selama memasang diri sebagai pihak yang selalu mengalah, Sankara pernah merasa terbebani, jawabannya tidak juga. Mungkin jika sedikit kelimpungan dan lelah, iya. Namun situasi itu sudah biasa ia lalui bahkan sebelum bersama Agnita. Sejak remaja, Sankara telah diajarkan untuk bersikap tenang, namun penuh perhitungan tiap kali menghadapi situasi tidak terkendali. Karena hanya dengan itulah, ia akan mendapatkan solusi terbaik.
Lagipula siapa bilang mengalah berarti dia seratus persen menurut? Sankara juga punya cara tersendiri untuk mengendalikan apa yang mau dia kendalikan terhadap wanitanya. Dan sejauh ini semua kemauannya terlaksana dengan baik, tanpa harus membuat Agnita marah, bahkan menyadarinya.
"Atur jadwal rapatnya lagi. Sekalian kasi tahu anak-anak. Gue cabut duluan." Tak ingin berlama-lama menanggapi pertanyaan temannya, Sankara memutuskan untuk mengangkat tasnya yang sudah rangkum sejak tadi dan berjalan keluar dari ruangan tersebut.
***
Sebenarnya Sankara cukup heran ketika Agnita memintanya untuk datang ke sebuah hotel. Heran karena wanita itu lebih memilih untuk melangsungkan makan malam di restoran hotel, ketimbang restoran lain yang jauh lebih terkenal.
Dan tambah heran lagi pria itu kala mendapati meja yang direservasi atas nama istrinya malah diisi oleh seorang perempuan asing. "Maaf sebelumnya, apa benar ini meja yang direservasikan atas nama Agnita Hirawan?" Sankara langsung mengajukan pertanyaan kepada sang pelayan yang menunjukkan meja tersebut padanya.
Membuat perempuan yang duduk di sana akhirnya menengok dan menatap ke arah Sankara. Tampak raut wajah kaget dari perempuan itu. Tak menyangka jika kliennya kali ini merupakan sosok yang cukup terkenal.
"Iya, Pak, benar ini meja nomor 16 yang dipesan atas nama Ibu Agnita," ucap sang pelayan setelah memeriksa kembali catatannya.
"Mungkin boleh duduk dulu, Mas?" Perempuan yang tampak asing itu berbicara pada Sankara. Raut wajahnya terlihat ramah, membuat Sankara akhirnya mengalihkan pandangannya pada perempuan itu sejenak.
Cantik, itu adalah satu kata yang pantas untuk menggambarkan perempuan di hadapannya saat ini. Walaupun dress yang dikenakan cukup terbuka dengan tali spageti yang nampak mempertontonkan kulit kuning langsatnya, namun tetap sopan lantaran dress berwarna putih itu menjulang sampai betis.
"Kalau begitu ... saya permisi dulu ya." Pelayan tersebut memutuskan untuk menarik diri, meninggalkan Sankara yang masih diam di tempat.
"Saya diminta ke sini," lanjut perempuan itu karena melihat Sankara yang tidak kunjung bergerak.
Barulah setelah pernyataan itu, Sankara memutuskan untuk duduk. Semata-mata untuk menjaga kesopanannya di hadapan orang asing.
Sebelum sempat Sankara membuka suara, perempuan itu sudah lebih dulu mendorong gelas berisi air yang berada di samping Sankara ke hadapan pria itu. "Minum dulu, Mas."
Perempuan itu memberikan senyum kepada Sankara. Sanyum yang terlihat ramah, namun sirat akan tujuan menggoda. Dan hal tersebut tentu membuat Sankara tak nyaman, namun dengan sabar tak ia tunjukkan.
"Diminta siapa?" tanya Sankara tak ingin basa-basi setelah menegak air di gelas itu.
"Ibu Agnita," ucapnya. "Saya diminta untuk menemani."
Detik itu juga Sankara langsung paham arah pembicaraan perempuan itu, terlebih ketika tubuhnya yang tadinya normal, mulai terasa panas dan gelisah. Diliriknya sisa air pada gelas yang baru saja dia minum, seolah yakin bahwa itu adalah penyebabnya. Kemudian ditelusurinya satu persatu orang yang hadir di restoran tersebut. Matanya dengan teliti memindah setiap perempuan yang ada di sana, sampai tatapannya jatuh pada seorang perempuan yang duduk di meja beberapa jarak dari mejanya. Perempuan itu tampak menyebunyikan wajahnya dengan buku menu.
Bahkan tanpa perlu melihat rupa perempuan itu, Sankara langsung yakin bahwa perempuan yang duduk di situ adalah Agnita. Ia mengenali setiap jengkal dari wanitanya. Proporsi tubuh, cara duduk, cara berpakaian, bahkan cara berpikir wanita itu. Sankara paham betul, namun tidak menyangka Agnita akan berani benar-benar melewati batas, melampaui hal yang bisa dimaklumi olehnya dan bahkan mencoreng harga diri pria itu.
"Jadi gimana, Mas? Mau langsung pesan kamar atau mau—" Setelah didiami cukup lama, perempuan tersebut akhirnya memberanikan diri untuk bersuara, namun siapa sangka jika ucapannya langsung di potong.
"Saya rasa ada kesalahpahaman di sini," ucap Sankara lalu bangkit dari duduknya, "Permisi."
Agnita yang sejak tadi mencuri-curi pandang, tanpa sadar menurunkan buku menunya. Seketika itu tatapannya bertemu dengan tatapan pria itu. Begitu tajam, dan begitu mencekam, Agnita bisa merasakan pancaran amarah dari tatapan tersebut. Sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya, emosi Sankara akhirnya berhasil ia sulut, bahkan sampai titik tersulit.
***
Tadinya Agnita berpikir bahwa Sankara akan langsung menghampirinya dan melayangkan kata-kata penuh emosi. Walaupun untuk yang terakhir itu rasanya tak mungkin dilakukan oleh seorang Sankara. Namun mengingat kilatan amarah dari tatapan pria itu tadi, hal tersebut menjadi tak begitu mustahil.
Namun tebakan-tebakan di tengah degup jantungnya yang kian cepat tak terlaksana, karena yang terjadi ketika pria itu sudah begitu dekat, ia hanya melenggang pergi, meninggalkan tempat tersebut seolah tak pernah bersitatap dengan Agnita di sana. Tentu itu membuat Agnita yang sudah tertangkap basah merasa sedikit lega, namun tetap curiga. Lantaran dia yakin betul bahwa tatapannya telah bertemu dengan Sankara, dan pria itu pastinya cukup pintar untuk menyimpulkan semuanya.
Maka ketika ia hendak masuk ke rumah, setelah selama hampir tiga puluh menit berdiam diri di dalam mobilnya, tujuan Agnita adalah satu yaitu buru-buru ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya. Sungguh ia tidak bisa kembali bertatapan dengan pria itu setelah rencana yang dia susun gagal total. Padahal Agnita tadinya yakin betul Sankara akan terjebak setelah pria itu menegak hampir setengah dari isi gelas.
Obat ga mujarab, liat aja ntar gue tuntut yang jual! umpat Agnita sembari akhirnya memutuskan untuk melangkah masuk.
Tubuhnya seketika menegang kala mendapati Sankara duduk di sofa ruang tengah dengan posisi kedua tangan yang menyatu, bertumpu pada kedua pahanya dengan tubuh yang sedikit merunduk, seolah memang menunggu kedatangan Agnita.
Shit, kenapa gue jadi takut gini sih?
Agnita sudah siap sekali untuk melangkah lurus menuju tangga, tanpa niat untuk berhenti atau menyapa Sankara. Namun ketika langkahnya tepat hampir melewati pria itu, sebuah suara memanggil.
"Tanisha."
Langkah Agnita seketika terhenti. Jantungnya memompa cepat, seirama dengan tubuhnya yang mulai berkeringat dingin. Sungguh Agnita tidak tahu kenapa dia bisa setakut ini, padahal sejak awal dia berencana, kemarahan Sankara juga menjadi salah satu bagiannya.
Namun Agnita tidak pernah menyangka jika kemarahan pria yang selalu tenang itu begitu mencengkam. Tidak ada bentakan, tidak ada perilaku kasar, hanya hawa tak mengenakkan yang sayangnya sangat mencekik.
Agnita berbalik, menghadap ke arah Sankara. Sorot tajam itu kembali terarah padanya, begitu menusuk seolah ingin melukai. "Duduk," perintah Sankara setelah beberapa detik bersitatap.
"Gue mau—"
"Saya bilang duduk."
Mutlak, itu perintah, bukan permintaan. Sankara sedang tidak mau dibantah, jadi Agnita menurut. Dia duduk di sofa tepat di hadapan Sankara.
Cukup lama Sankara diam, hanya mencekram jari tangannya sendiri yang saling bertautan. Pikirannya benar-benar buntu, tak tahu harus melakukan apa kepada wanita di hadapannya ini. Luapan amarah dan emosi membuat otaknya seakan berhenti berfungsi. Sankara benci terbelenggu dalam emosi, dia selama ini selalu berhasil untuk melepas tiap kali amarah datang. Namun malam ini rasanya begitu sulit, Sankara merasa marah, sangat marah.
Dia merasa Agnita begitu meremehkannya sehingga berani menginjak-injak harga dirinya. Ia merasa begitu terhina oleh tindakan perempuan itu.
"Saya kasi kamu kesempatan, satu menit untuk menjelaskan semuanya," ujar Sankara sembari menilik wanita itu dengan tatapan tajamnya. Pria itu ternyata masih berusaha untuk mencari alasan agar amarahnya reda. Mencari cara agar ia bisa memaklumi tingkah yang telah mencoreng prinsip hidupnya.
Dibegitukan membuat Agnita jadi kikuk. Perempuan itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Apa yang harus dia lakukan? Jujur atau berakting?
Agnita berdecak, "Oke sori, gue tau lo marah, tapi gue tuh, cuma iseng aja. Gue liat itu cewek, kayak selera lo banget, dan karena tadi lo udah ngajakin damai, jadi sekarang giliran gue. Itu hadiah tanda damai gue," jelas Agnita ngalor ngidul. Entahlah apa yang keluar dari bibirnya benar-benar tak dia rencanakan, alias situasi ini lebih buruk dari perkiraannya.
Sankara lagi-lagi tak langsung menjawab. Ditatapnya sang wanita sambil terus meremat jari. Ternyata jawaban Agnita bukan menenangkannya, melainkan semakin menyulut. Hadiah tanda damai katanya? Ah, jika saat ini perempuan ini tidak mengenakan dress minim merahnya, dia pastikan ia sudah mengangkat kerah bajunya sejak tadi.
"Jadi begini cara kamu berterima kasih?" Pria itu bertanya lagi. Kini jauh lebih sinis dari sebelumnya, "Selera saya? Tahu apa kamu soal itu?"
Masih punya keberanian, Agnita menjawab dengan congkak, "Ya kan, emang selera lo begitu. Cewek ayu yang sopan santun, kalem, nurut, gampang diatur, mau disuruh apa aja, ya itu gue kasi. Cuma minusnya ya dia cewek panggilan, atau mau gue carii—"
"What is your real plan?" Sankara memotong, muak dengan perkataan yang ia dengar.
"Mmm ... untuk menghibur lo? Gue tuh sejujurnya kasian pas tau ternyata lo sama sekali—"
"Your real plan." Lagi-lagi Sankara memotong.
"Gue—"
"Oke enough, time is up," ucap pria itu. Ia bangkit dari duduknya, hendak melenggang pergi begitu saja. Tidak, Sankara bukannya ingin menyudahi ini semua. Namun ia kembali merasa panas, tubuhnya kembali bergairah hanya karena melihat perempuan di hadapannya itu. Padahal ia sudah sempat melepaskannya tadi di kamar mandi. Bahkan ia sudah mandi air dingin untuk memadamkan gairahnya.
Harusnya Agnita bersyukur karena hal itu. Harusnya wanita itu langsung kabur detik itu juga. Namun namanya Agnita, mana suka membuat suasana tenang? Hobinya kan memperkeruh keadaan. Dia merasa tak senang karena Sankara memotong ucapannya terus menerus, sehingga ia ikut bangkit juga. "Lo tuh, pernah diajarin sopan santun ga sih? Motong omongan orang seenaknya," gerutu perempuan itu.
"Kalau saya tidak punya sopan santun, sudah saya telanjangi kamu sejak tadi," jawab Sankara lugas. Pria itu benar-benar bermaksud demikian.
"Lo—"
"Kamu benar-benar berpikir saya takut sama kamu, makanya kamu berani bertingkah seenaknya begini?" Sankara menghapus jarak, melangkah mendekat ke arah Agnita. "Kamu kira saya selama ini menuruti semuanya, semata-mata hanya karena saya tidak punya pilihan lain?" Pria itu menarik dagu Agnita, memaksa wanita itu untuk membalas tatapannya.
"Don't touch me!" seru Agnita tak suka kala Sankara seenaknya mendekat.
Bukannya menurut, Sankara justru malah semakin tersulut. Dia tarik pinggang wanitnya, melingkarkan satu tangan di sana, mendekap dengan begitu kuat. "I can touch you, Tanisha." Sankara berkata dengan penuh penekanan. "Saya bisa, tapi saya hargai keinginanmu. Saya turuti semua ego mu itu," kata Sankara lagi.
"But you really want to please me, aren't you?" Sankara menunduk menatap wanitanya. Tatapan penuh amarahnya kini bercampur dengan kilat gairah yang sulit dibendung. Terlebih ketika ada wanita yang jelas-jelas menantang saat ini. Keinginan untuk menaklukan dan menundukkan Agnita seketika meraung-raung.
Fuck, obatnya kerja ternyata? Tapi kenapa tadi ga berhasil? Agnita membatin.
Sementara tangan Sankara sudah bergerak mengusap pelan pipi perempuan itu. "Tanda damai, hm?" tanya pria itu sedikit meledek.
Agnita mengangguk, "Beneran, gue cuma—"
"Then do it, please me now," perintah Sankara. Ibu jarinya menyentuh bibir bawah Agnita, "You can start with this lips."
Tangan Agnita melayang, hendak mendaratkan sebuah tamparan di pipi pria itu.
Namun ia kalah cepat, karena Sankara lebih dulu mencekal pergelangan tangannya. "Or do you want to start with a hand service?"
"Sialan! Brengsek lo!" umpat Agnita sembari melayangkan pukulan bertubi-tubi ke tubuh pria itu.
Sakit, pukulan Agnita begitu kuat, menyasar tubuh Sankara secara sembarang. Membuat emosi pria itu makin menjadi, sehingga ia tak pikir dua kali lagi untuk mencekram pipi sang wanita dan menjatuhkan bibirnya di atas bibir yang sejak tadi menggoda untuk dibungkam.
Agnita meronta, tak terima, perempuan itu berusaha untuk melepas, namun Sankara malah makin menekan, memperdalam ciumannya, menyesap dan melumat. Tidak ada kelembutan di sana, tidak ada kasih sayang, apalagi cinta, yang ada hanya ciuman yang begitu menuntut, kasar, liar dan sirat akan emosi serta napsu yang kuat, dan sayangnya itu menjadi ciuman yang pertama kali mereka lakukan —mungkin lebih tepatnya yang Sankara lakukan sepihak, karena sampai detik ini Agnita masih memberontak tak membalas.
Sampai akhirnya perempuan itu berhenti melawan, setelah berulang kali memukul, meronta bahkan menggigit bibir kurang ajar itu sehingga mengeluarkan darah, namun Sankara tak kunjung berhenti. Pria itu berbeda, seperti terlepas dari kekang dan begitu liar, sehingga membuat Agnita lelah. Wanita itu diam dengan harapan Sankara berhenti.
Namun nampaknya tidak, karena Sankara memanfaatkan situasi itu untuk menjatuhkan tubuh Agnita ke atas sofa, mengukung perempuan itu di sana. Sankara tidak memiliki niat untuk berhenti, dia sudah berapi-api menyerang Agnita di titik terlemah wanita itu, di titik yang paling terlarang, menghancurkan semua janji yang dia buat.
[nonamerahmudaa]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
