Sebelum Berpisah | Part 8

106
1
Deskripsi

Sebelum Berpisah | Part 8

Rencana Agnita kali ini berubah. Untuk bisa bercerai dengan Sankara tanpa tanda tangan pria itu, dia harus mempunyai alasan. Dan kali ini dia ingin membuat alasan tersebut dengan memesankan wanita panggilan untuk pria itu.

Bagian Delapan : Sebelum Berpisah

"Kita terjebak dalam situasi, yang mengharuskan kita menerima pernikahan yang tidak kita inginkan."

"Jadi sebelum berpisah, mari saling menginginkan."

***

Tujuan Tian datang ke rumah Agnita adalah untuk membahas pekerjaannya yang jadi menumpuk akibat wanita itu tidak masuk kerja. Bahkan saking banyaknya pekerjaan yang harus di handle kemarin, Tian jadi benar-benar tidak tertidur. Lihat saja kantung mata laki-laki itu begitu hitam.

"Mbak, parah banget sih lo, masa sekarang ga masuk kantor lagi? Gue beneran ga tidur loh, ini buat handle semua kerjaan," keluh Tian dengan wajah yang terlihat pias. Laki-laki itu benar-benar terlihat seperti habis disiksa selama seharian penuh. "Mana lo tau sendiri artis-artis lo itu ribet banget. Si Baskara gamau syuting kalau ga lo yang temenin, jadi gue harus negosiasi sama kru dan produsernya biar jadwal syuting bisa diundur. Terus juga Veronica, dia masa lupa kalau harus recording kemarin, tiba-tiba udah ada di Paris aja. Sumpah gue gedeg banget sama ini cewek. Lagak bener gayanya setelah jadi simpenan aki-aki bule di sana, dia jadi nyepelein kerjaan banget, padahal dulu dia sendiri yang ngemis-ngemis job ke kita." 

"Baskara mah, gampang, nanti gue yang ngomong. Terus kalau Veronica, ya udah lah biarin aja, dia lagian emang lebih laku jual diri ketimbang nyanyi," ucap Agnita enteng. Wanita itu berjalan mendekati Tian yang duduk di sofa dengan membawa semangkuk salad. "Mau ga?" tawar Agnita setelah duduk di samping pria itu.

Tian terlihat ragu dengan makanan yang dibawa oleh Agnita.

"Tenang, bukan gue yang buat. Ini punya Sankara gue curi," ucap Agnita. Tanpa dosa wanita itu menyuap sayur-sayuran tersebut ke dalam mulutnya.

"Emang parah lo, Mbak, ga takut diomelin emang?" celetuk Tian.

Agnita mengangkat bahunya acuh, "Kalau dia berani ngomel, tinggal gue omelin balik aja."

Tian ikut-ikutan memakan salad tersebut dengan sendok yang Agnita sediakan di sana. "Kadang gue kasian sama Mas Sankara karena berakhir nikah sama lo, Mbak," celetuk Tian yang tentunya langsung dihadiahi pukulan di kepalanya.

"Sembarangan banget! Yang ada gue kali yang kasian."

Tian meringis, "Ini lo udah sehat walafiat kenapa ga masuk kerja aja sih, Mbak?" protes laki-laki itu.

"Tadi pagi gue masih demam, ga diijinin kerja."

"Lah, sejak kapan lo perlu ijin dari Mas Sankara? Perasaan dari dulu lo hidup seenaknya."

Entahlah, Agnita juga tidak paham dengan dirinya sendiri. Terkadang ada saat dimana dia tanpa sadar bahkan secara sukarela menuruti perkataan Sankara. Misalnya saat ini, saat pria itu tak mengijinkannya pergi kerja. Ia bahkan tidak berpikir untuk mendebat perkataan pria itu, seolah alam bawah sadarnya memahami mana perkataan Sankara yang mutlak untuk ia turuti.

"Ya ... ya gue juga males, kepala gue masih pusing, lo mau gue pingsan di kantor?" 

"Tapi jangan lama lama juga kali, Mbak. Yang ada pas lo sembuh, giliran gue yang tipes," balas Tian.

"Iya, besok juga gue kerja. Lagian gue mana betah di rumah mulu."

Tian manggut-manggut. Pria itu menusuk beberapa potong sayuran pada mangkuk yang dipegang Agnita. "Oh, iya, gue sampe lupa." Tiba-tiba ia terlihat bersemangat, "Gimana Mas Sankara? Dia beneran gay?" 

"Kayaknya ngga."

"Hah? Seriusan? Lo yakin?"

Agnita mengangguk.

"Lo tau darimana?"

"Abisnya dia kemarin lempeng lempeng aja gue ajak tidur bareng."

Tian melotot, "Anjir, lo berdua beneran tidur bareng?"

Agnita mengangguk, "Ya, gitulah."

"Berapa ronde, Mbak? Doi tahan lama ga?"

Kini giliran Agnita yang melotot, "Gue ga begituan sama dia ya! Najis banget gila!" umpatnya sembari bergidik ngeri. Membayangkan dirinya berada di posisi tersebut saja sudah bisa membuat Agnita jijik.

"Lah, tadi katanya tidur bareng."

"Ya, tidur bareng aja, ga pake embel-embel lain. Mana mau gue nyerahin tubuh gue buat cowok bejat kayak dia," ujar Agnita. Pembicaraan ini membuat dirinya kembali teringat akan kejadian kemarin, dimana Sankara mengancam akan melakukan sesuatu kepadanya jika dia tidak menurut. Ah, sialan, harusnya kemarin Agnita langsung menggebuk pria itu, bukannya malah menurut. Sepertinya memang benar, ada yang salah dengan alam bawah sadarnya itu. "Anjing, mood gue jadi jelek lagi kan!" umpat wanita itu sembari menaruh mangkoknya ke atas meja dengan kasar.

"Yah, jangan bete dulu lah, Mbak. Lo kan, belum cerita kenapa yakin doi ga belok?"

"Ya intinya dia ga mungkin gay, orang semalem dia ada niatan pengen ngelecehin gue," ucap Agnita enteng.

"Ga ke balik, Mbak?" celetuk Tian.

"Yan, jangan sampe ini garpu gue tancepin di mulut lo," ancam Agnita sembari menunjukkan garpu di tangannya.

Mendengar hal tersebut Tian jadi buru-buru mengoreksi ucapannya, seakan benar-benar takut dengan ancaman Agnita. Kan terkadang tingkah perempuan itu memang tidak bisa ditebak.

"Maksud gue tuh, kan lo emang suka ngelakuin skinship tanpa sadar, Mbak. Kayak sekarang ini," ucap Tian sembari menunjuk salah satu tangan Agnita yang entah sejak kapan sudah berada di atas paha lelaki itu. "Ini kalau gue ga kenal sama lo dari kecil, gue bisa aja salah sangka, terus khilaf, Mbak."

Agnita tertawa mendengar hal tersebut, "Bocah kayak lo? Khilaf?" 

Tian mendengus, "Gue udah dua tiga kalau lo lupa, Mbak."

Agnita mencibir, "Mau lo umur lima puluh juga gue ga peduli, sekalinya bocah tetep bocah. Gila aja lo kalau berani macem-macem sama gue."

"Nah, itu, gue aja ga berani macem-macem, apalagi Mas Sankara. Paling doi cuma gertak lo aja. Ya kali dia berani aneh aneh setelah lo minta cerai, yang ada nanti lo gugatan lo bisa dikabulin tanpa perlu tanda tangan dia."

Sebentar, sepertinya Agnita melupakan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya kemarin ia cari tahu, namun terinterupsi oleh sikap menyebalkan dari Sankara. 

"Mau kemana?" tanya Tian kala Agnita tiba-tiba bangkit dari duduknya.

"Wait the minute," ucap wanita itu. Tak sampai dua menit, Agnita telah kembali dengan macbook di tanganya. Buru-buru ia menaruhnya di atas meja dan membukanya.

"Ngapain sih, Mbak?" tanya Tian. 

"Bentar." Agnita sibuk menggerakan jari jemarinya di atas keyboard tersebut. 

Karena penasaran, akhirnya Tian memepetkan tubuhnya kepada Agnita untuk curi-curi lihat tampilan layar tersebut. "Istri ingin cerai tidak perlu tanda tangan suami, asalkan alasannya memenuhi ketentuan undang— Mbak lo seriusan?" tanya Tian heran.

Bukannya menjawab, wanita itu malah terlihat begitu serius membaca isi artikel tersebut. 

"Maksud gue, kalau dugaan yang kemarin bener, ya wajar lah lo minta cerai. Dia jelas-jelas manfaatin lo buat nutupin orientasi seksualnya, apalagi ada rencana bejat terselubung. Tapi kalau emang ngga, lo harusnya mempertimbangkan lagi niat lo untuk pisah sama Mas Sankara. Karena kalau dia ngga gay, dia bener-bener ga ada kurangnya, Mbak. Like he's the most perfect guy in this world," seru Tian dengan menggebu-gebu.

Agnita berdecak, "Berisik ah lu, Yan. Kalau lo gini terus, lama-lama gue curiga kalau yang gay selama ini bukan dia, tapi lo," celetuk Agnita.

"Heh! Gue normal seratus persen!" Tian tak terima.

"Abisan lo tuh, suka banget ga tetap pendirian. Kadang curiga, kadang muji dia habis-habisan."

"Ngaca neng, lo juga gitu."

"Dih ngga ya, gue konsisten dalam membenci keturunan Admoejo yang satu itu."

"Heleh!" 

"Udah ah, diem dulu." Agnita kemudian kembali fokus untuk melanjutkan bacaannya. "Ini gue berarti masih punya chance untuk cerai sama dia tanpa harus nurutin kemauan dia. Enak aja dia mau manfaatin gue disaat saat kayak gini," ujar Agnita.

"Yakin lo?"

Agnita mengangguk mantap.

"Mana sini, gue baca isinya." Tian menarik laptop milik Agnita tersebut, "Berikut alasan cerai yang bisa dikabulkan tanpa perlu tanda tangan suami menurut Undang-Undang."

"Pertama, salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan." Tian lalu melirik ke arah Agnita, "Emang Mas Sankara pernah selingkuh?"

Agnita menggeleng, "Dia bilang sih, ngga. Katanya habis nikahin gue dia ga pernah berhubungan sama perempuan mana pun. Ya walaupun gue ga percaya kalau dia beneran ga pernah minimal sekali lah nge-room sama cewek. Ngga masuk akal banget buat cowok dewasa jaman sekarang, bisa tahan ga berhubungan badan selama satu tahun."

"Iya sih, cuma mengingat ini Mas Sankara, yang bahkan serumah sama cewek modelan kayak lo aja bisa tahan, ya nothing impossible sih," ujar Tian. "Buat poin lainnya udah ga masuk."

"Kedua, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun— udahlah, ini ga masuk, lo nikah aja masih setahun. Lanjut yang ketiga, salah satu pihak mendapat hukuman penjara— ini apalagi, ya kali. Keempat, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Nah, kalau ini, emang pernah, Mbak?"

"Kalau pernah ya dia udah di dalem tanah sekarang," jawab Agnita.

Tian mengangguk setuju, "Iya, dibanding lo yang disiksa, gue bakalan lebih percaya kalau Mas Sankara yang lo siksa."

"Sialan."

"Lanjut, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Ini juga ga mung—"

"Nah, that's can be possible," potong Agnita. 

Tian mengernyit bingung, "Jelas-jelas Mas Sankara sehat gitu— Heh, atau jangan jangan lo lagi nyusun rencana buat bikin doi cacat?" tanyanya curiga.

Agnita menggeleng, namun raut wajahnya terlihat mencurigakan.

"Mbak, seriusan, lo jangan sembarangan."

"Ngga, astaga. Gue emang punya rencana, tapi bukan itu. Ya kali, gue sejahat itu, Yan."

"Terus apa?"

"Gini." Agnita memindahkan macbook miliknya ke atas meja, lalu menghadap ke arah Tian. "Kan tadi tertulis kalu salah satu pihak cacat dan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami. Nah, kalau bener dia selama ini ga pernah ngapa-ngapain sama cewek lain, padahal dia straight, berarti bisa aja kan dia ada gangguan."

"Gangguan?"

"Ya ... disfungsi ereksi, misalnya," ujar Agnita dengan enteng.

Tian mendelik, "Wah, gila lo, Mbak. Suami setia dan ga macem-macem sama cewek lain malah lu tuduh disfungsi ereksi."

"Lo juga nuduh dia gay ya," balas Agnita.

"Ya itu kan, karena ada rumornya, Mbak. Sekarang gini deh, gimana caranya lo buktiin itu? Maksud gue, bukti secara ga langsung aja lo ga punya, secara lo ga pernah ngajak dia berhubungan badan."

"Gampang lah, tinggal gue cari tau aja."

"Jangan bilang lo mau cek sendiri?" 

Lagi-lagi kepala Tian menjadi sasaran empuk kepalan tangan Agnita. "Ngga lah, gila aja lo gue harus liatin daleman dia."

"Ya terus apa, Mbak? Mau lo bawa ke dokter?"

Agnita menggeleng, di ambilnya kembali macbook miliknya. Dia sibuk mencari sesuatu selama beberapa detik, sebelum akhirnya menunjukkan kepada Tian. "Gue bakalan buktiin lewat sini."

"Hah? Lewat situs porno? Lo mau ngirimin link—"

"Ck, otak lo tuh, bloon banget! Ini tempat buat order PSK," ujar Agnita.

Kini Tian menatap ngeri ke arah Agnita, "Lo mau ngapain, Mbak?"

"Gue bakalan booking buat dia."

"Seumur-umur gue belum pernah liat istri sengaja mesenin cewek buat suaminya sendiri. Sumpah cuma lo doang, Mbak."

"Please, gausah samain sama pasangan di luar sana yang nikah emang karena mau, bukan karena terpaksa sama keadaan. Gue kalau ada pilihan waktu itu juga gamau nikah sama dia. Lo tau sendiri gue orang yang merencakan hidup gue dengan sangat runut. Bahkan waktu itu gue udah punya rencana selama lima tahun ke depan, yang terpaksa harus gue susun ulang karena pernikahan ini," ujar Agnita.

"Dan ini adalah bagian rencana yang udah lo susun ulang jauh-jauh hari, Mbak?"

Agnita mengangguk, "Cerai dan terbebas dari status istri adalah sesuatu yang udah gue rencanain tepat ketika gue mengiyakan ajakan dia. Cuma ya rencana ini baru kepikiran tadi, karena emang gue ga expect dia bakalan manfaatin gue setelahnya."

"Oke, jadi lo pengen pesenin cewek buat suami lo, dan buktiin kalau dugaan lo bener, terkait disfungsi ereksi itu?" Tian mencoba memahami rencana licik wanita di hadapannya itu.

"Yes."

"Terus kalau semisalnya dugaan lo salah gimana?" tanya Tian. "Gimana kalau Mas Sankara malah beneran tidur sama pesenan lo itu? Lo yakin ga bakalan sakit hati, Mbak? Maksud gue walaupun lo ga ada rasa, tapi kan lo istrinya."

"Not at all," jawab Agnita mantap. "Malah itu juga bagian dari rencana. Kalau dugaan gue salah, dan dia beneran tidur, berarti gue bisa manfaatin itu untuk tetep ngelayangin gugatan cerai."

"Gue gatau mau ngomong apa lagi, Mbak. Ini rencana lo beneran jahat banget," ujar Tian. "Gimana kalau Mas Sankara tahu?"

"Ya, dia bisa apa? Orang semua bukti di gue," ujar Agnita enteng.

"Lo ga takut gitu dia benci sama lo? Atau at least dia bakalan marah besar."

Agnita mengangkat bahunya acuh, "Justru bagus kalau gitu, jadi proses cerainya bakalan cepet, karena ga ada alasan buat dia ga setuju untuk pisah."

"Serius, Mbak? Lo segitunya pengen cerai sama Mas Sankara? Kayak ini bukan sesuatu yang bisa lo mainin, lo harus pikirin ini mateng-mateng. Gue takutnya kalau semua ini cuma gara-gara ego lo aja, karena udah terlanjur minta itu di awal."

"Gue bukan anak kecil, Yan. Gue tau apa yang terbaik buat hidup gue."

"Atau mending lo jujur ke gue deh, Mbak. Mas Sankara pernah lakuin sesuatu yang akhirnya bikin lo sampai di tahap ini?"

Terjadi hening selama beberapa saat. Agnita diam tidak menjawab.

"Mbak, beneran? Mas Sankara pernah ngapain lo?" Tian kini terlihat khawatir akan fakta yang mungkin saja tidak diketahui oleh orang lain, selain Agnita.

Namun belum sampai beberapa saat kekhawatiran itu muncul, Agnita sudah menghapusnya dengan tawa puas karena berhasil menipu sang sahabat. "C'mon man, it's not that deep," seru perempuan itu. "Gue cuma mau balikin kehidupan gue ke jalur yang seharusnya. Karena sejak awal dia ga pernah ada dalam rencana kehidupan gue, dan begitu juga sebaliknya. Gue ga pernah ada di dalam rencana kehidupan dia. Kita ini cuma dua orang yang terpaksa harus menikah, karena terjebak oleh situasi. And i think is not weird if we end up with getting divorce."

 

[nonamerahmudaa]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sebelum Berpisah | Part 9
103
1
Sebelum Berpisah | Part 9Dengan dalih ajakan makan malam, Agnita membuat Sankara bertemu dengan wanita panggilan yang sudah ia sewa. Sementara Sankara bertemu, ia sembunyi di salah satu meja dekat pria itu. Namun rencananya gagal, karena Sankara tidak tergoda. Pertengkaran pun kembali terjadi, dan kali ini Sankara benar-benar marah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan