
Sebelum Berpisah | Part 7
Sankara berhasil meyakinkan Agnita, namun kini perempuan itu malah curiga kalau Sankara memiliki wanita simpanan atau sejenisnya. Berakhir dengan perdebatan yang membuat Agnita kesal.
Bagian Tujuh : Sebelum Berpisah

"Selalu ada emosi ditiap pertengkaran, dan selalu ada tawa di balik sebuah perdamaian."
"Jadi sebelum berpisah, mari membuat tawa."
***
Sudah bukan rahasia lagi bahwa seorang Agnita Hirawan memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi. Terlahir di keluarga yang berkecukupan dengan fisik yang sempurna, membuat Agnita tidak memiliki alasan untuk merasa minder. Belum lagi di usianya yang baru menginjak dua puluh delapan tahun, dia sudah mencapai puncak kariernya tanpa bantuan dari siapapun.
Maka tak heran jika Agnita begitu mengagungkan dirinya sendiri. Dia selalu menganggap bahwa semua tindakan yang dia ambil sudah pasti benar. Sehingga tak jarang perempuan itu melakukan suatu hal tanpa pikir panjang, seperti apa yang saat ini terjadi.
Berkat ajakan impulsif yang ia ucapkan beberapa saat lalu, kini Agnita terpaksa berakhir tidur satu ranjang dengan Sankara.
Sungguh Agnita tidak menyangka jika Sankara akan mengiyakan ajakan tersebut. Dia pikir pria itu akan menolak dan mengusir Agnita pergi. Ayolah mereka ini bukan baru sehari dua hari menjaga jarak, melainkan sudah satu tahun penuh. Jadi jika pun yang dikatakan Sankara benar, terkait orientasi seksualnya sendiri yang sempat Agnita curigai. Tetap saja itu tidak mengubah fakta kalau Sankara sejak awal tidak terlihat memiliki ketertarikan terhadap Agnita.
Selama satu tahun ini, Agnita telah terbiasa hidup dengan Sankara yang abai. Sankara yang tidak pernah menyapa. Sankara yang tidak pernah bertanya. Sankara yang tidak pernah melarang. Bahkan Sankara yang tidak pernah mau disentuh, barang sedikitpun olehnya.
Makanya ketika Sankara mengajukan persyaratan saat Agnita meminta tanda tangannya di atas kertas gugatan cerai, ia cukup terkejut. Terlebih ketika Agnita mulai perlahan-lahan menerobos batasan yang sudah mereka buat, namun respon Sankara malah biasa-biasa saja. Seakan dirusuhi oleh Agnita bukanlah masalah besar baginya.
Sama seperti saat ini, di saat Agnita tengah sibuk berdebat di kepalanya, Sankara malah tampak begitu nyaman berbaring di sebelahnya. Seolah kehadiran seorang wanita di ranjangnya bukanlah hal yang bisa membuat Sankara terganggu. Kalau begini ceritanya, Agnita jadi kembali meragukan pengakuan pria itu yang katanya tidak pernah memiliki teman tidur. Ayolah pernyataan itu sungguh tak masuk akal untuk ukuran pria dewasa seperti Sankara.
"Ah, sumpah, ngga bisa gue!" Setelah menahan diri cukup lama, Agnita akhirnya mengubah posisinya menjadi terduduk. Langsung pula ia tekan saklar yang berada di dekat ranjang, sehingga membuat kamar tersebut kembali terang.
Sankara yang sejak tadi memang sudah cukup terusik dengan pergerakan Agnita pun akhirnya membuka matanya. Belum sempat Sankara bersuara, karena masih sibuk menyesuaikan indra penglihatannya dengan cahaya yang tiba-tiba datang, Agnita sudah terlebih dahulu menyemprot.
Dengan wajah yang terlihat jengkel, Agnita menatap ke arah Sankara. "Lo bohong kan, kalau ga pernah punya temen tidur selama ini?" todong Agnita sengit.
Kening pria itu tampak mengkerut, bingung karena Agnita tiba-tiba menuduhnya.
"Lo tuh keliatan berpengalaman seranjang sama cewek. Liat aja sekarang, lo sama sekali ga merasa terganggu dengan kehadiran gue di sini. Jawab jujur, lo udah pernah tidur sama berapa banyak cewek?"
"Kalau dihitung sama kamu, berarti udah tiga." Sankara menjawab dengan enteng. Bahkan pria itu sempat menunjukkan tiga jari kanannya untuk menyinkronisasi ucapan tersebut.
"Gue ga pernah tidur sama lo, jangan ngaco!" ujar Agnita tak terima. "Yang sekarang ini ngga kehitung, orang cuma sebelahan doang. Please deh, maksud gue tuh, lo udah pernah have sex sama berapa banyak cewek?" tambahnya.
Walaupun masih belum paham dengan maksud sang istri bertanya demikian, Sankara memutuskan untuk tetap menjawab. Pria itu mengubah posisinya menjadi terduduk, "Ngga banyak, cuma dua. Dua-duanya mantan pacar saya, sebelum saya bareng kamu," jelas Sankara.
"Terus selama setahun ini? Masa ga pernah sih?" Agnita masih saja ngotot. "Seriusan lo ga perlu sok jadi cowok baik-baik gitu depan gue. Kan gue udah bilang kalau pun lo sering juga gue ga masalah."
Sankara menghela napas. Sepertinya ia mulai lelah dengan pertanyaan Agnita itu. "Ngga ada, Tanisha. Ini kamu lagi curiga saya punya selingkuhan?" tanya Sankara to the point.
"Dih, ya kali gue musingin lo punya selingkuhan atau ngga," ujar Agnita.
"Terus kenapa tiba-tiba penasaran saya pernah tidur sama siapa? Kamu lagi cari alasan supaya gugatan kamu disetujui tanpa perlu tanda tangan saya?"
"Hah? Emang bisa?" Kini giliran dahi Agnita yang mengerut.
"Ngga bisa," jawab Sankara cepat. Sial, dia malah salah bicara.
"Bentar, kayaknya bisa deh. Gue soalnya pernah denger kalau ada undang-undangnya." Agnita berkata sembari meraih ponselnya.
Buru-buru Sankara merebut ponsel Agnita sebelum ia sempat mencari informasi.
"Heh! Lo ngapain? Balikan ngga?" protesnya.
"Udah malem, tidur," ucap pria itu setelah menyimpan ponsel tersebut jauh dari jangkauan pemiliknya.
"Gamau, gue udah tidur seharian tadi. Udah mana sini hape gue!" Agnita berusaha mengambil ponselnya yang diletakkan di lantai oleh pria itu.
Sankara berdecak. Wanita ini memang kepala batu, alias sulit untuk diberitahu. Lihat saja sekarang ini Agnita malah menindih tubuhnya untuk meraih ponsel tersebut. "Kamu nyentuh saya," tegur Sankara.
Sedangkan yang ditegur masih sibuk menjulurkan tangannya untuk meraih ponsel tersebut. "Ya bentar dulu, ini gue mau ambil—"
Tangan Agnita tiba-tiba diraih oleh Sankara, dicekalnya tangan perempuan itu. "Jangan karena saya ngga pernah marah tiap kali kamu melewati batas, kamu jadi merasa bisa seenaknya." Sankara tak punya cara lain untuk menghentikan wanita keras kepala itu selain dengan mengancamnya. "Kamu ngga lupa kan sama janji kamu? Kalau saya mau, saya bisa lakuin apapun ke kamu sekarang. Jadi sebelum saya berubah pikiran, lebih baik kamu kembali ke posisi dan tidur."
Sankara cukup puas karena perkataan tersebut membuat Agnita buru-buru menarik tubuhnya menjauh. Belum lagi ekspresi wanita itu jadi terlihat was-was padanya. Setidaknya Agnita masih punya rasa takut terhadap perkataan Sankara. Karena jika tidak, Sankara mungkin saja akan benar-benar melakukan sesuatu.
Agnita harus tetap memiliki kelemahan, agar Sankara bisa menggertak mundur wanita itu kala ia melewati batas. Diamnya Sankara selama ini bukan berarti pria itu tak bisa apa-apa, hanya saja pria itu merasa tak perlu berbuat apa-apa selama tindakan konyol Agnita tidak mengancam apapun. Sebagai orang yang telah biasa menangani berbagai jenis manusia, Sankara tahu betul kapan dia harus diam dan kapan dia harus bergerak.
Kelemahan Agnita terletak pada keantipatian wanita itu terhadap dirinya. Maka ketika wanita itu meminta sesuatu yang tidak seharusnya, Sankara tinggal menekannya dengan kelemahan tersebut.
Namun belakangan ini sepertinya kartu AS milik Sankara sudah mulai terancam. Lihat saja bagaimana Agnita yang terus menerus menempel dengannya secara sengaja, belum lagi ajakan wanita itu untuk tidur bersama. Tentu ini menjadi alarm bagi Sankara untuk segera bertindak.
"Lampu."
Agnita mendengus, "You such a dictator," cibirnya. Dengan malas ia menekan saklar lampu di sisinya sehingga membuat ruangan kembali gelap. Dalam hati ia sibuk mengumpat pria di sebelahnya itu, dan kebodohan dirinya sendiri yang tidak melawan kala diancam tadi.
***
Pagi itu Sankara disambut dengan tatapan penuh dendam dari Agnita, yang sudah lama tak dia dapatkan, dan entah kenapa hal itu cukup menyenangkan. Setidaknya Sankara jadi mendapat hiburan kecil sembari menikmati secangkir kopinya.
"An asshole," umpat Agnita pelan kala melewati Sankara.
Sankara hanya tersenyum mendengar hal itu. "Lihat ke depan, jangan ke saya," tegurnya kepada Agnita yang masih tak ingin mengalihkan tatapannya padahal jelas-jelas wanita itu tengah berjalan untuk mengambil makanan di pantry.
"Mata punya gue, terserah lah mau liat kemana," balas Agnita sengit. "Emang kalau dasarnya udah penganut patriarki, ya susah. Ngerasa dirinya paling berhak mendominasi di dalam rumah tangga."
Begitulah Agnita, suka seenaknya menuduh jika kalah dalam pembicaraan. Padahal semuanya juga tahu dibanding Sankara, Agnita jauh lebih mendominasi di sini. Perempuan itu selalu tak mau kalah dan menang sendiri. Makanya dibanding mendebat, Sankara lebih sering membiarkan Agnita berlaku sesukanya. Walaupun memang benar, bahwa Sankara diam-diam tetap memegang kendali. Namun itu semata-mata ia lakukan untuk menjaga pernikahan mereka agar tetap tenang dan tidak keluar dari jalur yang seharusnya.
"Ngancem perempuan dengan hal-hal berbau seksual. Yakin masih ngerasa sebagai pria terhormat?" Agnita masih saja mendumel, bahkan ketika dirinya tengah menikmati sandwich buatan Sankara.
Sementara itu, Sankara bangkit dari duduknya menuju wastafel untuk mencuci cangkir kopi yang telah selesai ia minum. Di rumah ini memang tidak ada asisten rumah tangga, akibat Sankara yang tidak begitu senang dengan kehadiran orang asing.
Sankara sudah terbiasa membereskan pekerjaan rumah sendiri, mengingat sebelum menikah dengan Agnita, Sankara sudah tinggal di sini selama lebih dari lima tahun. Lagipula rumah ini juga tidak begitu besar, berbeda dengan rumah keluarga Admoejo yang luasnya mencapai satu hektar lebih. Paling jika memang diperlukan, biasanya Sankara akan memanggil asisten rumah tangga keluarganya untuk bersih-bersih di hari minggu.
"Sok paling terhormat, padahal aslinya manipulatif abis. Kasian banget rakyat kita harus punya pemimpin bangsa yang ga berintelektual tinggi, ga punya nilai kemanusiaan, ga bermoral—"
"Kamu tuh." Sankara yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. Pria itu berdiri beberapa jarak dari sang perempuan.
"Apa?" balasnya sengit.
Sankara menghela napasnya. Pria itu geleng-geleng kepala melihat tingkah Agnita yang tidak pernah berubah sejak hari pertama mereka bertemu. "Duduk. Berapa kali harus saya tegur kalau makan itu harus duduk?" Sankara berucap sembari memegang bahu Agnita, mengarahkan perempuannya itu ke kursi di depan pantry.
Agnita memutar bola matanya malas, "Harus ini, harus itu, kaku banget hidup lo," cibirnya. Perempuan itu kemudian kembali menggigit sandwich di tangannya.
Sankara terkekeh pelan, "Enak?" tanya pria itu.
Tanpa sadar perempuan itu mengangguk.
"Emang saya bikin khusus buat kamu, cheese-nya double, sebagai tanda damai buat kemarin." Pria itu menaruh cangkir yang baru selesai dia cuci di rak samping.
Baru saja ia hendak melenggang pergi, setelah mengeringkan tangannya, namun secara tiba-tiba Agnita menyodorkan piring kepada Sankara. Tatapan penuh tanya diberikan oleh Sankara pada perempuan itu.
"Mau damai kan?" tanya Agnita, masih sengak seperti biasa. "Ya udah, cuciin ini." Tanpa menunggu persetujuan Sankara, wanita itu langsung menaruh piring tersebut di dalam wastafel.
"Sini deketan." Sankara tiba-tiba mengulurkan tangannya ke arah Agnita, membuat perempuan itu refleks menghindar.
"Anjing, lo mau KDRT—"
Perkataan Agnita terhenti ketika telapak tangan Sankara mendarat pada keningnya. "Masih panas, kamu hari ini jangan kerja dulu, istirahat," pesannya.
"Terserah gue mau kerja atau—"
"Yang ini ngga bisa di debat. Saya ngga mau kondisi kamu drop, nanti makin ngerepotin," ujar Sankara. Pria itu kemudian kembali menyalakan keran air di depannya, "Ini biar saya cuciin, kamu bisa lanjut tidur lagi."
Walaupun sebenarnya malas menuruti perkataan Sankara, namun Agnita tidak bisa mengelak bahwa tubuhnya masih lemas hari ini. Ditambah kepalanya masih saja terasa pusing akibat macaroni sialan itu. Jadi Agnita tak punya pilihan lain, selain melangkah pergi dari sana menuju kamarnya.
Sebelum melangkah, Agnita masih sempat-sempatnya menyeletuk, "Cuci yang bersih, gue gamau sakit perut gara-gara alat makan yang ga higienis."
Tawa pelan lolos dari bibir pria itu kala sang penyebab tawa sudah melenggang pergi. Agnita memang tidak pernah berubah. Masih sama seperti saat pertama mereka bertemu.
[nonamerahmudaa]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
