
Sebelum Berpisah | Part 30
Agnita mengikuti saran Tian untuk membujuk Sankara dengan cara lain agar Sankara mau memaafkannya. Tetapi siapa sangka kalau Sankara akan melakukan hal yang lebih gila.
Bagian Tiga Puluh

"Manusia sering sekali merasa menang kala egonya ditinggikan, padahal disaat yang bersamaan sebenarnya ia telah dikalahkan oleh ego itu sendiri."
"Jadi sebelum berpisah, mari berhenti egois."
***
Sensasi dingin seketika langsung terasa kala telapak tangan Agnita menyentuh otot-otot perutnya. Sankara yang awalnya sama sekali tidak merasa terusik, kini terlihat meremas buku di tangannya. Reaksi tubuhnya memang tidak bisa berbohong, mau sekuat apapun Sankara menolak. Terlebih ketika tangan Agnita secara sengaja turun ke miliknya, mengelus sekilas dari luar namun mampu membuat Sankara meremang
Awalnya Sankara ingin menahan tangan itu, awalnya Sankara ingin mengusir perempuan itu untuk kesekian kalinya, biar pun ego Agnita nantinya akan tersenggol di sana, Sankara tidak peduli. Karena sungguh pria itu masih marah dengan Agnita. Bahkan untuk melihat wanita itu saja, ia masih benar-benar malas.
Namun niat untuk mengusir itu terhenti, kala ia menangkap tangan kecil wanita itu terlihat bergetar di atasnya. Terlebih saat mendengar Agnita berusaha mati-matian menahan kegugupannya hanya untuk membujuknya seperti ini. Sialan, Sankara justru ingin melihat lebih lagi. Setidaknya ia pantas untuk mendapatkan hiburan tersebut dari wanita yang sudah menguji kesabarannya hampir setahun ini.
Jadi Sankara putuskan untuk membiarkan Agnita menyentuhnya. Tentu bukan karena Sankara sudah memaafkan wanita itu, melainkan untuk membuat Agnita sadar kalau dirinya bahkan rela menjatuhkan harga dirinya hanya untuk mendapatkan maaf dari Sankara. Dan tentu, setelah hal tersebut, Sankara tidak akan memaafkan Agnita. Ia masih ingin melanjutkan kemarahannya sampai di titik dimana perempuan itu sadar, meminta maaf dan mengakui kesalahannya.
Namun saat ini, mari lupakan sejenak rencananya itu. Untuk saat ini biarkan dirinya hanyut dalam rayuan cantik yang wanita itu siapkan. Biarkan ia tahu sampai mana Agnita mampu menjual harga dirinya yang tinggi itu, dan sampai mana Sankara mampu menahan diri untuk tidak membawa wanita itu ke atas ranjang.
Perlahan tangan Agnita mulai menelusup ke balik celana hitam yang pria itu kenakan. Jantungnya berdegup sangat kencang kala melakukan hal itu, terlebih saat mendapati Sankara yang melirik ke arahnya. Agnita tahu bahwa pria itu sedang memeriksa ekspresinya. Sama seperti Agnita yang menyukai eksperesi gelisah Sankara, pria itu juga menyukainya, kala melihat wanita yang selalu memekik di hadapannya terlihat menciut. Maka dari itu sebisa mungkin Agnita memasang ekspresi bak perempuan yang sudah terbiasa melakukannya.
"Ngga semua masalah bisa diselesaikan dengan hal-hal berbau seksual? But look at you now." Dengan sengaja Agnita mengulang perkataan Sankara yang tadi cukup menodai harga dirinya.
Namun bukannya terpancing, Sankara justru malah melepas kacamatanya. Sembari menepikan buku dan kacamata tersebut, pria itu membuka suara, "You really want to please me, don't you?" Sankara menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa sambil meletakkan tangannya di belakang kepala sebagai tumpuan. Dengan posisi demikian, Sankara kemudian kembali melirik ke arah Agnita. "Then show me, how brave you are," ucap pria itu sembari sedikit melebarkan kakinya. "Coincidentally i haven't had time to do this."
Agnita menggigit bibir bawahnya. Tangan kanannya kemudian mulai bergerak makin bawah, sampai ia menyentuh milik pria itu. Sungguh degup jantungnya makin kencang saat ia merasakan Sankara yang menegang. Terlebih kala melihat tatapan pria itu yang seakan ingin menelanjanginya.
"Shh ..." Sankara mendesis ketika Agnita mulai mengurut pelan miliknya. Jujur saja, gerakan Agnita masih begitu amatir, masih begitu awam untuk membuat Sankara puas. Namun itu tidak menjadi masalah, karena sejak awal pun Sankara tak pernah berekspetasi macam-macam. Dia tahu pengalaman perempuan itu masih sangat minim, jadi ketimbang merasa kurang puas, Sankara justru menjadikan kikuknya wanita itu sebagai hiburan. Hiburan yang kadang justru membuat gairahnya makin memuncak. Sungguh ia suka sekali melihat Agnita yang pura-pura berani, padahal merasa gugup setengah mati.
Perlahan tapi pasti, kecepatan gerak wanita itu makin bertambah. Tatapannya berulang kali tertuju pada wajah pria di samping, memastikan apakah gerakan tersebut sudah benar. Dan kala mendapati ekspresi Sankara yang makin kalut karenanya, Agnita jadi kian bersemangat. "Did i do it right?" tanya wanita itu, masih dengan tangannya yang bergerak di sana.
Sankara berani jamin bahwa dirinya tak selemah itu, tidak semudah itu baginya untuk terangsang tapi sialan, kenapa Agnita harus menampakan ekspresi seperti itu? Seakan wanita itu benar-benar membutuhkan pujian.
"Does it feel good?" Kembali lagi Agnita menanyakan hal tersebut. Kali ini dengan tempo gerakan tangan yang mendadak naik drastis, dan itu berhasil membuat desahan berat lolos dari bibir pria di sampingnya. Pria itu benar-benar berhasil membuat Agnita ikut terbawa suasana. Ia ingin Sankara hilang akal karenanya, sungguh.
Sankara memejamkan matanya kala kocokan wanita itu makin naik ke atas, makin fokus di bagian paling sensitifnya. Sentuhan Agnita sudah tidak terasa malu malu lagi, perempuan itu serius dengan apa yang dia kerjakan. Sankara bisa merasakan dari sentuhan tanpa jeda yang Agnita lakukan, membuat perut pria itu jadi naik turun seirama dengan napasnya yang terburu-buru. Sankara sudah mau sampai, tangannya bahkan sudah meremas jari jemarinya sendiri. Namun sialnya gerakan Agnita justru berhenti. Perempuan itu benar-benar menyudahi beberapa detik sebelum Sankara benar-benar merasa puas.
"Ngga mau gue lanjut, sebelum lo maafin gue."
Perkataan tersebut menambah frustasi Sankara. Yang benar saja, disaat seperti ini Agnita masih sempat-sempatnya mengucapkan ancaman. Terlebih disaat kata maaf sama sekali belum terucap dari bibirnya.
Sankara menghela napas yang terdengar cukup berat. Satu tangannya ia gunakan untuk menyugar helaian rambutnya yang kemana-mana karena aksi kecil Agnita. Setelah cukup mengumpulkan kesadaran, ia menoleh ke samping, ditatapnya dalam-dalam wanita yang masih memegangi kejantanannya itu. "Kamu benar-benar mau saya maafkan?" Suara Sankara terdengar berat. Bahkan kilat gairah masih belum meredup dari manik mata pria itu.
"Gue ngga bakalan lanjut, sampai lo mau damai," ucap Agnita. Wanita itu berusaha untuk terlihat berani, walau nyalinya cukup ciut ketika tatapan Sankara kembali terasa ingin menelanjanginya. Sungguh pria itu menatap Agnita seolah hendak merekam setiap permukaan tubuhnya. Brengseknya, pria itu bahkan secara terang-terangan memandang di daerah privatnya.
"Saya sudah bilang, kali ini tidak akan mudah." Tangan Sankara terulur untuk meraba permukaan wajah perempuan itu. "Kamu menyakiti dirimu sendiri, hanya untuk keinginan impulsif mu itu. Kamu tau kan, saya paling tidak suka kalau kamu sudah main-main dengan tubuhmu sendiri?"
Rabaan itu berubah menjadi sentuhan, Sankara menarik dagu wanita itu, membuat pandangan Agnita benar-benar tertuju kepadanya. Lalu ia pergunakan ibu jarinya untuk menyentuh bagian bawah bibir perempuan itu. Dari sudut kiri hingga kanan, Sankara menciptakan usapan yang begitu sensual di sana. "You made a serious mistake, so accept the consequences. Make me cum with your noisy mouth, or i won't forgive you at all."
Agnita mendelik saat mendengar perkataan Sankara. Ia sudah siap untuk menghardik namun pria itu sudah lebih dulu membuka suara. "I'm not forcing you. You can open your mouth if you agree, and you can also go back to your room now." Tentu Sankara tidak serius dengan perkataannya. Dia hanya ingin menekan nyali perempuan itu yang tinggal sedikit, agar kata maaf keluar dari bibirnya.
Namun siapa sangka yang dilakukan Agnita justru malah sebaliknya. Wanita itu justru benar-benar membuka mulutnya, seakan memohon maaf lebih menghancurkan harga dirinya ketimbang melakukan hal ini. Agnita sudah bersiap untuk turun dari sofa, namun Sankara justru menahan.
"Kamu itu benar-benar ..." Sankara hilang akal untuk mengatai wanita cantik di hadapannya seperti apa. Bahkan disaat dirinya masih diliputi oleh emosi dan gairah yang berkecambuk, Sankara tetap tidak bisa membiarkan Agnita melakukan hal itu. Sungguh ia tak bisa kalau melihat bibir itu harus terpaksa memuaskannya, bahkan sekalipun Sankara pernah membayangkan itu. Namun nyatanya saat itu benar-benar hendak dilakukan, Sankara merasa tak rela. Seperti ada beban moral yang menekan dirinya untuk kembali sadar.
"Jangan pernah sekali-kali kamu merendahkannya. Bibir kamu itu tempatnya di sini, dan selamanya akan selalu di sini." Setelah berkata demikian, Sankara menarik Agnita dalam pangutan bibirnya. Tangannya pun juga bergerak mengangkat wanita itu ke dalam pelukannya, yang kemudian ia bawa menuju ranjang.
"Gue di atas," ucap Agnita di sela-sela lumatan pria itu. Namun sayangnya Sankara tidak menggubris.
Pria itu langsung mengukung tubuh Agnita begitu wanita itu ia rebahkan di atas kasur. Dibungkamnya bibir wanita itu kala hendak kembali menyuarakan protes. "Saya ngga akan berhenti sampai kamu minta maaf dengan benar." Sankara menarik scarf rambut milik Agnita, menjadikannya itu sebagai alat untuk mengikat pergelangan tangan wanita itu di atas kepala.
Membuat Agnita yang berusaha memberontak makin memberontak, "Brengsek! Lepasin!" teriak wanita itu.
Sankara tersenyum kala mendapati sebuah apel utuh masih berada di atas meja. Untuk kali ini nampaknya Sankara harus berterima kasih dengan kebiasaan Agnita yang suka menaruh benda-benda sembarangan di kamarnya. Setidaknya hal tersebut bisa menjadi media untuk permainan tak terencana ini.
"Biarin gue di atas," pinta Agnita lagi. Kali ini tidak lagi berteriak sambil memukul Sankara. "Please—"
Tidak peduli dengan rengekan yang dibuat oleh wanita itu, Sankara menggunakan apel tersebut untuk membuat Agnita bungkam. Dia buat posisinya hampir setengah di dalam, sehingga mustahil bagi Agnita untuk menggigitnya. "Kamu punya banyak waktu tadi untuk minta maaf ke saya, tapi yang kamu ucapin malah hal-hal yang buat saya tambah marah," ujar Sankara, ditatapnya perempuan di hadapannya itu lekat-lekat, "Sesusah itu minta maaf? Sampai kamu mau pakai bibir ini untuk sesuatu yang tidak seharusnya, hm?"
Pria itu kembali mengusap bibir Agnita yang terbuka, ia jatuhkan sebuah kecupan kecil pada sudutnya. "Kita main sebentar, setidaknya sampai saya puas liat kamu kayak gini. Setelah itu baru kamu boleh bicara. Saya mau dengar kata maaf kamu dan alasan sebenarnya kamu buat tato itu."
Agnita menggeleng. Perempuan itu bahkan masih berusaha mendorong tubuh Sankara dengan kedua tangannya yang terikat. Tak peduli dengan berontakan kecil yang wanita itu buat, Sankara melanjutkan aksinya, ia melepas satu persatu kancing kemeja wanita itu sampai akhirnya berhasil menampakan dua gundukan wanita itu yang masih terbalut rapi.
Selama beberapa saat Sankara hanya menatap, memuaskan dirinya dengan visual Agnita yang begitu sempurna. Wanita itu cantik sekali, bahkan berulang kali memuji pun Sankara merasa belum cukup. Sankara tak ingin hanya melalui kata, melainkan ia ingin memuji keindahan wanita itu dalam sentuhannya. Ia ingin Agnita tahu betapa indah dirinya saat ini. Namun Sankara baru memberikan kecupan ringan di bagian atas payudara Agnita, saat ia menyadari bahwa ada yang salah dengan wanitanya.
Saking kalutnya Sankara sampai lupa untuk memastikan kenyamanan wanita itu. Bukan, Sankara bukan lupa, ia hanya ingin sedikit melampaui batasnya. Dia ingin memberikan nuansa baru dalam aktivitas ranjang mereka, terlebih saat ia melihat Agnita sudah siap dengan hal itu.
Akan tetapi sepertinya perkiraannya meleset, karena ketika tatapannya bertemu dengan manik mata wanita itu, untuk pertama kalinya Sankara melihat Agnita seperti itu. Airmatanya mengalir hebat, dengan isakan yang tertahan. Tidak, itu bukan airmata pura-pura yang biasa wanita itu keluarkan, bukan juga tangis saat Agnita tengah merengek. Wanita itu benar-benar ketakutan, bahkan sampai membuat sekujur tubuhnya ikut gemetar. Bukan ini yang Sankara maksud, bukan Agnita yang seperti ini yang dia inginkan.
"Hey, what's wrong?" Suara Sankara melembut. Pria itu menarik apel tadi dengan perlahan agar tak melukai wanita itu, serta melepas ikatan pada pergelangan tangannya. Ia membebaskan Agnita dengan harapan tangis wanita itu bisa berhenti.
Namun sayangnya hal itu justru malah membuat isak tangis perempuan tersebut terdengar. "I told you to stop." Agnita terdengar begitu lirih sampai membuat Sankara jadi membeku selama beberapa saat. "Gue udah bilang, gue ngga mau, kenapa masih maksa?" Suara wanita itu masih bergetar hebat.
Butuh waktu cukup lama bagi Sankara memproses kejadian saat ini, mencari letak kesalahannya yang membuat Agnita ketakutan seperti ini. Makin lama dia berpikir, makin hilang akal dirinya. Terlebih kala tatapannya bertemu dengan manik mata perempuan itu yang masih basah.
Sankara benar-benar tak tahu harus bagaimana, tidak ada hal yang terpikirkan olehnya saat itu, selain mengulurkan tangannya untuk mengusap wanita itu. Akan tetapi remasan pelan di lengannya membuat Sankara menahan gerakannya. Ia kembali menatap Agnita, yang dibalas gelengan lemah dari wanita itu. "Jangan ... gue mohon ... gue ngga mau ... gue takut ..." Detik itu juga Sankara langsung merasa bahwa ia telah berhasil menghancurkan pertahanan diri wanitanya. Agnita yang begitu ingin terlihat kuat, kini justru secara suka rela memohon di hadapannya. Melupakan harga dirinya yang dia junjung tinggi-tinggi.
Namun bukannya merasa senang, karena melihat ego wanita itu telah kalah, pria itu justru merasa ikut terluka. Sankara tak suka hal ini, dia tidak suka melihat wanitanya ketakutan karena kehadiran dirinya. "Jangan takut, saya bukan orang jahat. Saya ngga mungkin bisa nyakitin kamu, Tanisha," ucap Sankara. Pria itu ingin sekali mengelus lembut puncak kepala Agnita, namun ia sadar bahwa saat ini wanita itu tak membutuhkannya. Jadi ia putuskan untuk menarik tubuhnya menjauh.
"Saya buatkan kamu teh hangat sebentar," kata Sankara. "Kamu tenangkan diri terlebih dahulu. Jangan khawatir, saya ngga akan kemana-mana." Seolah paham akan tatapan perempuan itu, Sankara berucap demikian. Ia kemudian menarikan selimut untuk menutupi tubuh Agnita. "Kamu bisa panggil saya kapan pun kamu mau. Saya ada di luar, ngga akan kemana-mana." Sekali lagi, sebelum pergi dari sana, Sankara meyakinkan wanita itu.
[nonamerahmudaa]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
