
Sebelum Berpisah | Part 17
Sankara marah karena saat ia bangun ia mendapati Agnita tidak berada di sampingnya. Terlebih ketika tahu bahwa wanita itu sedang bersama Baskara di hotel.
Bagian Tujuh Belas : Sebelum Berpisah

"Kamu selalu punya cara untuk membuatku marah, lalu reda dalam beberapa saat."
"Jadi sebelum berpisah, mari redam emosi."
***
Baru saja semalam mereka bermesraan di atas ranjang, namun lihatlah bagaimana suasana pagi ini. Benar-benar hening tanpa suara. Sankara duduk di meja makan. Gerak pria itu masih tetap tenang dengan ipad di tangannya. Ia terlihat sedang membaca beberapa pesan email yang masuk. Walau tidak dapat dipungkiri aura yang dipancarkan begitu mencekam. Bahkan tatapan datar pria itu mampu membuat siapapun merasa terintimidasi, termasuk Agnita yang baru kembali beberapa saat lalu.
Wanita itu terlihat berdiri di dekat sudut meja makan. Raut wajahnya terlihat kebingungan lantaran di kepalanya kini ia sibuk merangkai kata untuk memulai percakapan dengan Sankara. Apalagi setelah balasan pesannya tadi yang begitu nyolot. Sungguh Agnita tidak bermaksud demikian, dia hanya terlanjur terbiasa dengan sikap abai Sankara. Jadi ketika pria itu banyak tanya, Agnita entah kenapa jadi risih sendiri.
"Gue ngga ngapa-ngapain sama Baskara." Akhirnya kalimat itu yang Agnita pilih sebagai pembuka. "Gue cuma nganterin dia ke hotel, udah," jelas Agnita singkat.
"Pagi pagi buta, kamu pergi nganterin pria lain ke hotel tanpa minta ijin dari saya?" Sankara akhirnya balas menatap wanita itu. Suaranya terdengar begitu mengintimidasi.
Agnita berdecak, "Ngga pagi pagi buta, gue nganterin dia jam 4 an tadi. And come on, it's not even a big deal, gue cuma nganterin Baskara ke hotel karena dia mabuk berat, dan di apartemennya banyak wartawan, that's all. Masa iya, untuk hal seremeh ini gue harus minta ijin dari lo?"
"Saya tadi pagi masih tidur di sebelah kamu, Tanisha." Sankara terlihat tidak terima dengan ucapan Agnita barusan. "Apa kamu ngga bisa gunain sedikit waktu kamu untuk minta ijin ke saya?"
Lagi-lagi Agnita berdecak, "Lo tuh, apaan sih? Gue cuma keluar bentar astaga, masa iya gitu aja haris minta ijin segala? Bisa ngga sih, gausah mendramatisir hal yang simple kayak gini?"
"Saya suami kamu, wajar saya marah kalau kamu keluar tanpa seijin saya. Kamu lupa perjanjian kita semalam?"
"Gue inget, inget banget malah. Poin ketiga, kita setuju buat ngga ngeganggu pekerjaan satu sama lain, lupa hah?!" balas Agnita tak kalah nyalang.
"Kalau yang kamu maksud pekerjaan itu adalah pergi pagi pagi buta dengan pria lain, saya bisa minta saat ini juga untuk kamu berhenti dari pekerjaan itu. Saya tidak mau punya istri yang suka menghabiskan waktunya di hotel dengan pria lain."
Agnita mendelik, tangannya mengepal, tak terima dengan perkataan Sankara barusan. "Maksud lo apaan?!"
"Jangan tinggikan nada bicaramu ketika bicara dengan saya, Tanisha," ucap Sankara. Pria itu tampak tak goyah, meskipun wanita di hadapannya sudah menatap dengan berapi-api.
Sungguh jika Agnita tidak ingat kalau saat ini dia sedang dalam masa tiga bulan itu, ia berani jamin bahwa sebuah piring pasti sudah melayang tepat mengenai wajah Sankara.
Agnita menarik napas, kemudian menghembuskannya. secara perlahan. Oke, untuk saat ini Agnita harus mengalah. Dia tidak boleh emosi hanya karena perkataan Sankara, yang bisa saja disengajakan oleh pria itu untuk menggagalkan Agnita di hari pertama.
"Oke fine, gue salah," ucap Agnita pada akhirnya. Wanita itu mendekati Sankara, lalu mengulurkan sebuah totebag yang sejak tadi dia pegang. "Sebagai permintaan maaf," ucapnya.
Sankara tak langsung menerima. Pria itu menatap sejenak totebag tersebut lalu beralih menatap ke arah Agnita. Tak ada suara, namun Agnita langsung paham bahwa Sankara meminta penjelasan.
"Ini gue tadi pas di hotel sekalian pesenin sarapan buat lo," ujar Agnita sembari mengeluarkan kotak plastik dari totebag tersebut. "Coba deh, ini—"
Belum selesai Agnita berkata, Sankara sudah terlebih dahulu menolak dengan mendorong kotak yang disodorkan oleh wanita itu.
"Ihhh ... coba dulu, ini seriusan enak—"
"Saya mau sarapan dari kamu, bukan dari hotel tempat kamu menghabiskan waktu dengan pria lain," ujar Sankara tegas.
Agnita mencebik, "Sumpah ya, tingkah lo kenapa jadi kayak bocah gini sih? Lo kan, tau sendiri gue ngga bisa masak! Gue udah berbaik hati loh, ini beliin lo makanan, tapi respon lo masa kayak gini? Ngga ada terima kasihnya sama sekali," cerocos Agnita.
Sankara tak merespon.
"Seriusan, gue ngga bisa, Sankara! Lo mau emang dapur lo kebakar?" Agnita masih berusaha membujuk. "Ini juga udah jam segini, lo pasti perlu buru-buru ke kantor kan? Mana sempat nungguin gue masak."
Masih tak ada respon.
"Next time beneran gue bakalan masakin, tapi ngga sekarang. Waktu gue mepet, ada kerjaan yang harus gue urus, ngga cuma lo doang."
Satu detik, dua detik, tiga detik. Bahkan sampai setengah menit berlalu, Sankara masih bergeming. Ia malah kembali sibuk dengan ipad-nya, tampak tidak berminat memberikan tanggapan apapun.
Habis sudah kesabaran Agnita. Persetan dengan perjanjian tiga bulan itu, dia tidak bisa menoleransi kelakuan Sankara yang kelewat batas itu. Maka dari itu, tanpa pikir panjang Agnita langsung meraih gelas berisi air yang ada di depannya, dan menyiramnya ke arah Sankara.
Agnita tersenyum puas. Siramannya mengenai Sankara dengan sempurna. Membuat hampir seluruh badan bagian atas pria itu basah, terutama bagian wajahnya yang memang menjadi target sasaran Agnita. Bahkan ipad di tangannya juga ikut basah karena siraman tersebut.
"Makanya kalau orang ngomong itu dengerin. Gue udah cukup sabar loh, nanggepin tingkah lo yang kekanakan gini." Agnita masih sempat-sempatnya berkata demikian.
Wanita itu nampaknya belum sadar jika telah berhasil membuat emosi Sankara memuncak. Karena tak sampai dua detik setelah perkataan tersebut, Sankara bangkit dari duduknya. Pria itu menatap tajam ke arah Agnita, membuat senyum wanita itu seketika langsung sirnah, digantikan ekspresi tegangnya.
Dengan perlahan Agnita menaruh gelas yang masih ada di tangannya ke atas meja, sembari melangkah mundur tatkala Sankara semakin menipiskan jarak. "Kekanakan? Saya kekanakan?" Kali ini tak ada lagi sikap kelewat tenang dari Sankara, yang ada hanyalah tatapan tajam pria itu beserta nada bicara penuh penekanan.
Tangan Sankara lalu terulur, ketika Agnita semakin memundurkan tubuhnya. Pria itu meraih kedua lengan sang wanita, meremasnya dengan cukup kuat. "Tanisha ... jangan kelewatan. Saya juga punya batas kesabaran, saya juga bisa marah, Tanisha."
Dua kali pria itu menyebut namanya, seolah benar-benar ingin menekankan perkataannya itu.
"Sankara ... sakit ..." Agnita berucap pelan, kala makin lama remasan pada kedua lengannya semakin kuat.
Sankara memejamkan matanya. Dilepaskannya tangannya itu dari lengan sang perempuan. Cukup lama Sankara diam, membiarkan suasana dalam keadaaan hening. Sebelum akhirnya ia kembali menatap wanita di hadapannya, "Selesai saya mandi, sarapan harus sudah siap di atas meja. Saya tidak mau berkompromi lagi. Pilihan kamu cuma dua, menurut atau kita batalkan saja perjanjian kemarin."
Setelah berkata demikian, Sankara langsung beranjak pergi dari sana, meninggalkan Agnita yang masih mematung di tempat. Untuk saat ini, Sankara tak peduli dengan kondisi wanita itu, yang dia pedulikan hanya satu, yaitu meredam emosinya yang benar-benar berada di puncaknya.
***
"Lo mandi atau ngapain sih? Lama banget." Agnita berucap saat akhirnya Sankara keluar dari kamarnya. Pria itu sudah rapi, dengan kemeja dan celana kainnya.
Bukannya menanggapi perkataan Agnita, Sankara justru malah melirik ke arah dapur.
"Nanti gue beresin," kata Agnita.
Sankara hanya menghela napas, lalu berjalan menuju meja makan. Setidaknya Agnita menuruti perkataan yang satu ini. Perempuan itu benar-benar menyiapkan sarapan.
"I tried my best," ucap Agnita begitu Sankara menatap piring di hadapannya. "Itu telurnya gosong gatau kenapa, padahal gue ngerebus bukan ngegoreng," tambahnya.
Pada akhirnya Agnita benar-benar menyiapkan sarapan untuk Sankara. Walaupun masih asal-asalan. Wanita itu hanya memotong sosis menjadi beberapa bagian, memotong wortel dan brokoli, kemudian merebusnya ke dalam air yang telah mendidih bersamaan dengan sebutir telur. Ya akibat insiden perusakan dapur kemarin, Agnita jadi sedikit trauma berurusan dengan minyak. Alhasil wanita itu mengganti cara memasak dengan yang menurutnya paling aman, yaitu merebus.
"Rebusan lebih sehat tau," tambah wanita itu.
Sankara masih saja belum merespon.
Agnita berdecak, "Ya udah kalau ngga mau dimakan, buang aja. Gue kan udah bilang gue ngga—" Perkataan Agnita terputus lantaran Sankara menyuap potongan sosis di sana menggunakan garpu ke dalam mulutnya. "Eh, beneran lo makan?" Bukannya senang, Agnita jadi khawatir sendiri. Bagaimana jika Sankara sakit perut setelah memakan makanannya?
"Sumpah serius, kalau ngga enak, ngga usah dimakan gapapa. Mending makan yang gue beli—"
"Saya mau makan, kamu bisa diam sebentar?"
Bibir Agnita mengatup rapat. Ternyata Sankara masih marah padanya. Padahal kan, Agnita sudah menuruti keinginan pria itu. Walaupun memang hasilnya masih kacau balau, akan tetapi Agnita sudah berusaha keras menyiapkan sarapan tersebut. Bahkan hampir tiga puluh menit waktunya terbuang untuk membuat sarapan yang sebenarnya bisa dipesan dengan cepat.
"Mau kemana?" Sankara membuka suara kala Agnita hendak membalikan badannya.
"Mau ke kamar, biar ngga ganggu lo makan," jawab Agnita ketus.
Sankara menggeleng, "Duduk di sini, sarapan bareng saya," ajak pria itu.
"Gue udah sarapan tadi di hotel. Lagian lo kan, ngga mau sarapan semeja sama gue. Lupa?" Agnita mengungkit perihal kejadian saat awal mereka menikah. Dimana yang membuat Agnita jadi tidak pernah berminat untuk duduk bersama di meja makan dengan Sankara.
Sankara lagi-lagi tak menjawab, hanya menatap ke arah Agnita, membuat wanita itu mau tak mau menurut untuk duduk di hadapan Sankara.
"Enak banget ya, jadi lo. Kalau ngga cocok, tinggal usir, kalau cocok ya tinggal paksa aja," cibir Agnita. "Emang kalau orang sekalinya patriarki tuh, susah. Mau sosoan baik juga tetep aja, nantinya balik lagi ke sifat awal."
Decitan kursi terdengar, Sankara bangkit dari duduknya.
"Lo ... lo mau ngapain?" Agnita tidak bisa menahan kepanikannya saat Sankara menghunuskan tatapannya ke arah Agnita, ditambah langkah pria itu menuju kepadanya. "Sankara, lo bisa gue laporin ke komnas perempuan, kalau sampai berani ngelakuin KDRT!"
Sankara tidak menggubris perkataan Agnita. Pria itu tetap melanjutkan langkahnya sampai benar-benar berdiri di hadapan Agnita. Cukup lama Sankara hanya menatap, membuat wanita tersebut makin panik. Terlebih ketika tangan kanan Sankara mulai terulur.
Agnita sudah tak berani mengeluarkan suara lagi. Matanya terpejam kuat dengan kedua tangan yang meremas erat ujung kaosnya. Jantungnya sudah berdebar begitu kencang. Agnita bahkan sudah sampai dititik menyiapkan diri menerima pukulan Sankara.
Namun apa yang didapat beberapa detik setelahnya mampu membuat Agnita terenyuh. Segala ketegangan dalam dirinya seakan sirnah tatkala Sankara menjatuhkan sebuah kecupan di keningnya. Tak hanya itu, pria itu juga mengusap lembut puncak kepalanya, sembari berkata. "Saya berangkat dulu," ucapnya sebelum akhirnya berlalu pergi, meninggalkan Agnita sendiri di kursi meja makan dengan perasaan yang campur aduk.
[nonamerahmudaa]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
