
Sebelum Berpisah | Part 16
Flashback sejenak ke saat dimana mereka berdua pertama kali bertemu. Saat dimana Agnita berusaha menggagalkan kencan buta mereka, namun yang dia hadapi adalah sosok Sankara.
Bagian Enam Belas : Sebelum Berpisah

"Kata siapa kebencian hanya bagian dari ego pribadi? Nyatanya banyak kebencian yang tercipta sebagai bentuk pertahanan terakhir manusia."
"Jadi sebelum berpisah, mari renung sejenak."
***
Apa yang akan kalian persiapkan ketika akan kencan buta dengan sosok pria yang katanya punya prospek masa depan yang baik, citra yang bersih di mata publik dan tidak pernah muluk-muluk soal wanita?
Pakaian yang anggun? Make up senatural mungkin? Atau biar perlu berkaca dari mantan-mantan sebelumnya?
Tentu semua itu akan Agnita lakukan jika wanita itu tertarik dengan pria terbaik sejagat raya menurut versi keluarganya itu. Nyatanya yang Agnita lakukan adalah sebaliknya, dia saat ini tengah menebalkan riasannya di toilet restoran yang menjadi tempat kencan buta itu akan berlangsung.
Pakaiannya? Jangan ditanya, Agnita memilih dress paling terbuka, paling seksi, paling fenomenal dari lemari pakaiannya. Pokoknya dress yang sekali lihat saja sudah berhasil membuat semua orang melabeli dirinya dengan cap 'wanita tidak benar'. Tentu Agnita tidak masalah dengan hal itu, selama hal itu bisa membuat partner kencan butanya ilfeel, dianggap perempuan murahan pun dia tak masalah. Apalagi jika partner kencan butanya seperti pria yang saat ini sudah duduk di meja tempat mereka berjanji.
Raden Sankara Adi Admoejo.
Dari namanya saja Agnita sudah dapat membayangkan seberapa terjebaknya ia nanti jika perjodohan ini berhasil. Hidupnya pasti akan diatur sedemikian rupa oleh pria itu, dibuat tunduk dan takluk di bawah kakinya, pokoknya kebebasannya pasti direnggut dengan alasan harus melayani suami. Ah, membayangkannya saja sudah berhasil membuat Agnita emosi sendiri.
Oke, tenang Agnita, itu semua tidak akan terjadi. Karena detik ini juga, dia akan menghancurkan nama baiknya di depan pria bernama Sankara itu. Lihat saja, tidak sampai sepuluh menit dari kedatangannya, Sankara pasti akan meninggalkan meja tersebut.
***
Sejujurnya alasan Sankara hadir pada kencan buta dengan Agnita malam itu tidak muluk-muluk. Pria itu hanya ingin menghormati undangan keluarga Hirawan yang mana cukup dekat dengan keluarganya. Jadi tidak satu pun terbersit di benak Sankara akan melanjutkan ke jenjang yang lebih serius dengan perempuan itu. Dia hanya berencana hadir, berbincang sejenak lalu pamit undur diri.
Namun siapa sangka jika malam itu Sankara justru disambut dengan penampilan menarik dari Agnita?
Bukan, Sankara tidak sedang membicarakan bagaimana dress ketat itu membungkus tubuh Agnita dengan begitu sempurna. Melainkan bagaimana perempuan itu yang terlalu menaruh effort untuk menggagalkan kencan ini. Padahal perempuan itu bisa saja langsung mengatakan bahwa dia tidak tertarik dengan Sankara, tanpa perlu susah payah menjatuhkan harga dirinya di depan pria itu. Kecuali jika Agnita memang benar-benar tidak punya kuasa untuk sekadar menolak Sankara.
"Gue beneran jadi ngga enak deh, gue pikir lo ngga bakalan seformal ini. I mean semalem gue juga sempat bareng cowok yang setipe kaya lo gini, politikus muda juga. But, dia orangnya santai banget, jadi kita open table bareng, terus habis itu book kamar hotel."
Sankara tersenyum tipis. Ia menghentikan potongan pada steak-nya dan menatap ke arah Agnita, "Saya juga santai, jadi kamu tidak perlu khawatir," jawab Sankara.
"Oh ya? Lo ngga masalah gitu kalau harus duduk bareng cewek kayak gue?" pancing Agnita. Perempuan itu menopang dagunya, menatap fokus ke pria di hadapannya.
Sankara menaikan satu alisnya, tanda bertanya.
"Ya ... orang kayak lo kan, mentingin banget citra di mata publik," tambah Agnita. "Jadi apa kata orang-orang kalau lo duduk bareng cewek kayak gue?"
"Memang ada yang salah dari kamu?" Sankara bertanya. Pria itu kemudian menelisik wanita di hadapannya dari atas sampai bawah. Tubuh Agnita benar-benar ideal, wanita itu tidak terlalu kurus, tapi juga tidak gemuk —bahkan jauh dari kata gemuk, melihat pinggangnya yang cukup ramping, namun disaat bersamaan juga nampak berisi di bagian-bagian tertentu. Agnita juga terlihat cantik, walau nampaknya wanita itu berusaha keras untuk menyamarkan paras wajahnya dengan make up yang begitu tebal. Namun sepertinya usaha itu tak cukup untuk menutupi kecantikan Agnita.
Tinggi wanita itu juga sangat pas, tidak terlalu pendek, namun tidak cukup tinggi untuk menyaingi tinggi Sankara. Bahkan dengan heels tersebut, Agnita hanya bisa mencapai ujung dagu Sankara. Jadi pas sekali jika wanita itu bersebelahan dengannya.
"Kamu cukup well-presented," ucap Sankara pada akhirnya, setelah puas menilai fisik sang perempuan.
Agnita membeku selama beberapa saat. Tatapan Sankara tadi nampaknya cukup membuat Agnita panas dingin. Bagaimana tidak? Pria itu benar-benar mengamati Agnita dari atas sampai bawah, bahkan dia sama sekali tidak terlihat terganggu dengan pakaian Agnita yang sangat terbuka, seolah hal tersebut tidak cukup untuk memancing Sankara.
Dan apa-apaan jawaban Sankara itu? Well-presented dia bilang? Jelas-jelas pakaian Agnita sudah seperti ini. Apa itu kurang memperlihatkan seberapa tidak terhormatnya perempuan itu?
"Pakaian gue, lo ngga liat?" tanya Agnita nyolot.
Lagi-lagi Sankara tak menjawab, hanya menaikan alisnya tanda pria itu ingin Agnita lebih memperjelas maksudnya.
"Ya ini, gue suka pakai pakaian terbuka kayak gini di depan semua orang. Gue suka mempertontonkan tubuh gue. Apalagi kalau di depan cowok yang pengen gue ajak tidur," ujar Agnita blak-blakan. Persetan soal harga dirinya, Agnita ingin pertemuannya dengan Sankara segera berakhir.
Sankara mengangguk mengerti. Pria itu menyesap wine-nya sejenak, lalu kembali menatap ke arah Agnita. "Berarti kamu tertarik untuk tidur dengan saya?" Sankara bertanya.
Agnita lagi-lagi mematung. Sepertinya perempuan itu tidak siap dengan jawaban Sankara. Apalagi melihat pria itu nampak begitu tenang saat menanyakan hal tersebut, namun disaat bersamaan tatapannya begitu mengintimidasi.
Astaga kemana Agnita yang selalu percaya diri di depan para pria yang hendak dijodohkan olehnya?
"Jujur saya bukan tipe orang yang bisa tidur dengan sembarang wanita," ujar Sankara memecah keheningan.
Mendengar hal tersebut tentu membuat Agnita kembali sadar. Ia buru-buru membuka suara, "Nah, itu, gue tau lo pasti bukan tipe orang yang suka tidur sama sembarang cewek. Sedangkan gue, gue tuh suka banget nyoba sana sini. Udah ngga kehitung deh, body count gue berapa. Makanya gue tuh, agak ga percaya diri kalau dijodohin sama orang kayak lo. Kayak kita beda banget ga sih, ibarat bumi dan langit. Gue ngga bakal tersinggung sih, kalau lo mutusin ngga lanjut. Lagian siapa sih, yang mau punya istri yang udah dipakai sana sini, iya kan?" cerocos Agnita sembari mengangkat gelas wine-nya.
Sankara tersenyum. Wanita di hadapannya ini benar-benar berusaha terlalu keras untuk membuatnya hilang minat. Dan itu justru malah membuat Sankara makin tertarik. Sankara penasaran akan alasan yang membuat wanita keras kepala seperti Agnita, lebih memilih untuk merendahkan dirinya di depan Sankara ketimbang menolak pria itu secara blak-blakan.
"Saya ngga masalah kalau kamu ngga perawan."
Agnita hampir saja tersedak wine yang baru saja dia minum. Sungguh ada apa dengan pria satu ini? Kenapa responnya setenang ini? Padahal Agnita sudah cukup menjatuhkan harga dirinya di depan Sankara.
"I think you miss my point, Mr. Admoejo," ujar Agnita. Wanita itu menegak wine di dalam gelasnya hingga kandas, kemudian ia bangkit dari duduknya. Setidaknya dia butuh sedikit pengaruh alkohol untuk melakukan hal gila berikutnya.
Agnita melangkah secara perlahan ke arah Sankara. "Poinnya itu bukan soal perawan atau ngga nya. Tapi lebih ke ... jam terbang?" Agnita menjeda kalimatnya sejenak sembari menundukan tubuhnya. Tatapannya sama sekali tak teralih dari manik mata pria itu, sekalipun yang ditatap juga balas menatap tak kalah intens.
Dengan gerakan yang sensual, Agnita mendekatkan bibirnya di sebelah daun telinga pria itu. "Even in a public space like this, i feel so needy," bisiknya. Agnita sedikit mengambil jarak untuk menatap wajah pria itu. Tangannya kemudian tanpa ijin mengusap pipi kanan Sankara, "So are you sure you can handle a girl like me, Mr. Admoejo?"
Senyum Agnita mengembang kala melihat wajah Sankara yang sejak tadi tampak begitu tenang, kini perlahan mulai berubah. Sepertinya yang satu ini cukup berhasil. Agnita sudah bersiap menjauh dari Sankara, namun sialnya ia malah kehilangan keseimbangan lantaran heels yang saat itu ia kenakan. Tubuhnya hampir saja jatuh di pangkuan Sankara, jika pria itu tak menahan pinggangnya.
"Be careful, you seem so needy, Nona Tanisha," ucap Sankara, sengaja meledek.
Agnita mendelik. Cukup terkejut dengan panggilan 'Nona Tanisha' yang diucapkan oleh Sankara. Tahu darimana pria itu tentang panggilan rumahnya itu?
"Don't be surprised, you know it." Sankara sedikit mengeratkan rangkulannya pada pinggang wanita itu. "Kalau saya itu calon menantu idaman keluarga Hirawan. Menurut kamu gimana respon mereka, kalau sampai tahu Nona Tanisha-nya ini malah menjatuhkan nama baik keluarga Hirawan di depan saya?"
Sankara tersenyum puas saat melihat ekspresi percaya diri yang sejak tadi dipasang oleh Agnita perlahan mulai luntur, digantikan dengan ekspresi gugup perempuan itu.
Pria itu kemudian bangkit dari duduknya. "I think enough for today. Saya sudah cukup mengenal kamu." Sankara meraih ponselnya yang masih tergeletak di atas meja. Pria itu sudah bersiap untuk pergi, namun sebelum itu ia masih menyepatkan diri untuk membisikan sebuah kalimat kepada Agnita. "By the way, your waist fits perfectly in my hand."
Walau tak begitu keras, namun Sankara masih dapat mendengar umpatan pelan dari wanita itu.
Ah, Sankara cukup menyukainya.
"Lo apain itu cewek sampe gedeg gitu mukanya?" Banyu yang sejak tadi menunggu Sankara di meja lain, akhirnya menghampiri pria itu yang sedang melangkah keluar.
"Search more about her." Bukannya menjawab, Sankara malah mengatakan hal yang justru semakin membuat Banyu kebingungan.
"Wait, are you interested in her?" tanya Banyu memastikan.
Sankara menggeleng. "Just curious," jawabnya sembari melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Jangan gila lo! Terus Antari gimana?"
"She's still the best option, selama Pak Aryo bersih."
"Gue masih coba cari tahu itu," ujar Banyu. " But what if kalau bener bokap dia nerima suap? Lo beneran bakal batal bareng Antari?"
Sankara menatap Banyu sejenak, "You know the anser."
"But you're already engaged bro! Bahkan kalian bentar lahi mau married!"
"That's why i need the second option."
"Dan anak Pak Hartanto adalah second option lo? Yakin lo bisa ngendaliin dia? Dia ngga kayak Antari yang bakalan langsung nurut kalau lo ajakin nikah."
"Don't worry, i have a plan," ucap Sankara seakan tanpa beban. "Gue ngga mungkin milih dia kalau ngga ada sesuatu yang bisa gue jadiin sebagai kendali. Dan yang terpenting, gue cukup kenal dengan keluarga Hirawan. Mereka ngga mungkin main di bawah meja."
"Pernikahan bulan depan ngga boleh sampai batal. Mau Antari atau Tanisha mempelainya, gue ngga ada masalah."
"Udah ngga perlu diraguin lagi, lo emang seratus persen keturunan Admoejo," ucap Banyu sambil geleng-geleng kepala. "Ngga ada yang lebih penting selain bisnis dan politik, iya kan?"
Sankara hanya tersenyum menanggapi perkataan Banyu. "Lo balik naik taksi aman kan? Antari nungguin gue di apartemen," tanya pria itu yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Banyu, karena saking habis kata untuk merespon.
[nonamerahmudaa]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
