Sebelum Berpisah | Part 11

120
2
Deskripsi

Sebelum Berpisah | Part 11

Akibat frustasi dengan situasinya, Agnita akhirnya memutuskan untuk pergi minum-minum di bar. Di sana dia tanpa sengaja bertemu dengan Baskara, dan berakhir diajak mabuk. Sankara yang mengetahui itu pun langsung menjemput Agnita. Namun semuanya menjadi makin di luar batas, karena Agnita yang terpengaruh oleh alkohol meminta sesuatu yang tak semestinya kepada Sankara.

Bagian Sebelas : Sebelum Berpisah

"Sejak awal memang tidak pernah ada kata cinta dalam pernikahan kita."

"Jadi sebelum berpisah, mari saling bercinta."

***

"Gimana menurut lo, Yan?" Agnita menatap ke arah Tian. Sementara lelaki itu sibuk menatap layar macbook yang menampilkan rekaman CCTV —tidak itu lebih dari sekedar rekaman CCTV. 

"Mmm ..." Tian nampak menimang-nimang dengan serius. "Ini fiks seratus persen Mas Sankara straight sih, liat cara dia nyium lo, terus nindih lo, gila mbak bisa-bisanya cewek seagresif lo didominasi dalam sejenak," ujarnya.

Agnita berdecak, "Lo bisa fokus ke permasalahannya ga sih?" protes Agnita kesal.

Tian hanya dapat membalas dengan tatapan bingungnya. Emangnya dia salah apa?

"First, gue ga didominasi apalagi ditaklukan sama dia, jadi hapus semua persepsi ga valid lo itu. Second, bisa-bisanya lo ngomong kayak gitu ke korban pelecehan seksual, lo ga mikir apa trauma yang gue alami setelah kejadian semalem?" protes Agnita panjang lebar.

"Bentar ... bentar ... siapa yang korban pelecehan seksual?" tanya Tian makin bingung.

Agnita mengarahkan jari telunjuknya ke arahnya, "Me, i'm here! Agnita Tanisha Putri Hirawan korban pelecehan dari Bapak Pejabat kita, Raden Sankara Adi Admoejo! Udah cocok buat jadi headline news, belum?" tanyanya tanpa dosa.

Tian melongo, heran bukan kepalang, "Serius lo, Mbak? Setelah cara penjebakan dengan wanita panggilan ngga berhasil, sekarang lo mau melayangkan fitnah keji?" Tian memasang ekspresi dramatis, seakan wanita yang saat ini berdiri di hadapannya adalah spesies wanita terkejam di muka bumi ini.

"Gue ngga ngefitnah ya, enak aja! Ini bukti jelas di depan mata lo!" seru Agnita.

"Maksud lo ini? Astaga, Mbak, ini mah cuma adegan biasa yang dilakuin pasutri doang, just a normal situation in a married life! Mana bisa dijadiin alasan buat nuduh beliau?"

"It's not just a normal situation. Please deh, ini ada unsur pemaksaannya, masa lo ga liat sih?" Agnita masih bersikukuh.

Tian kembali mengamati rekaman yang diulang oleh Agnita. "Ya, adegan intim biasa, cuma genre-nya agak hard coredikit. Kan banyak tuh orang yang demen ngelakuin dengan kasar. Mungkin Mas Sankara salah satunya, apalagi tiap hari dizalimi sama lo kan, ya bales dendam lah itu," celetuknya.

"Sialan! Sana lo jauh-jauh!" usirnya.

Tian tertawa lepas saat melihat atasannya itu dongkol. Didudukinya kursi yang berada di sebelah Agnita. "Udahlah, Mbak, nyerah aja, cara-cara lo dari kemarin gatot semua, alias gagal total. Mau gamau, lo tuh harus akui kalau suami lo tuh emang ga ada kurangnya. Lo mau nyari celah ribuan kali juga ga bisa, yang ada malah bikin situasi runyam. Jadi mending lo manut aja sama permintaan Mas Sankara kalau emang mau pisah secara baik-baik."

"Tiga bulan jadi istri benerannya dia gitu?"

"Ya, kalau emang itu mau Mas Sankara, ya udah jalanin aja."

Agnita menggeleng kuat, "Ngga, ga bakalan gue ngikutin mau dia, enak aja!" Perempuan itu mengarahkan jarinya di atas kursor macbook-nya. 

"Emangnya kenapa sih, Mbak? Tiga bulan beneran jadi istri Mas Sankara perasaan ga berat-berat banget. Kan lo juga udah setahun jadi istri sah doi, ya walaupun prakteknya masih asal-asalan."

"Lo gatau aja gambaran 'istri' di otak dia kayak gimana," ujar Agnita pelan. "Udah pokoknya bukti ini bakalan gue manfaatin. Gue bakalan maksa dia tanda tangan gugatan cerai pakai ini. Kalau dia masih nolak, ya udah gue tinggal ajuin ini ke pengadilan. Gue bakalan tuntut dia atas tindakan pelecehan seksual!" pungkas Agnita. 

***

Jari telunjuk pria itu mengetuk-ngetuk pelan meja di depannya sesuai ritme. Dengan kacamata yang bertengger di batang hidungnya, Sankara menatap cermat grafik-grafik yang ditampilkan melalui layar proyektor, sementara telinganya dengan seksama mendengar penjelasan dari perwakilan perusahaan tersebut.

"Nah, dilihat dari grafik di depan, jelas menunjukkan perkembangan yang signifikan terhadap perusahaan setelah dijalankan proyek digitalisasi ini. Namun ..."

Sankara yang sejak tadi fokus menyimak, sedikit terinterupsi oleh layar ponselnya yang tiba-tiba menyala. Ada sebuah pesan yang masuk di sana. Sankara hanya melirik, tidak terlalu berminat untuk mengalihkan fokus. Namun nama pengirim pesan berhasil membuatnya kembali menatap ke arah layar ponselnya. 

Nona Tanisha

Nama yang begitu jarang tampil di antara deretan notifikasinya. Bahkan Sankara sampai lupa bahwa dia menamai nomor Agnita seperti itu. Lantaran terakhir kali mereka bercakap-cakap melalui chat sudah begitu lama, mungkin beberapa hari sebelum pernikahan berlangsung. Itu pun isinya benar-benar pembahasan penting. Selebihnya tidak ada lagi, mereka memang sebegitu minimnya berinteraksi satu sama lain. Mungkin jika tidak karena tingkah Agnita yang sering membuat keributan belakangan ini, Sankara bisa jamin kehidupan pernikahan mereka akan berjalan lurus, sebagaimana yang sejak awal pria itu inginkan.

Bagi Sankara semua itu tak masalah, mau sering interaksi atau tidak, selama hal tersebut membawa kestabilan dalam rumah tangga mereka, kenapa tidak? Sankara tidak begitu sependapat dengan konsep pernikahan yang menjadikan kedua insan yang telah berikrar sumpah sehidup semati, harus hidup saling berkaitan. 

Baginya pernikahan adalah bagaimana kita bernegosiasi untuk hidup berdampingan dengan orang yang kita pilih, tanpa mebebankan satu sama lain. Pernikahan ada untuk menaikkan taraf kehidupan kita, bukannya malah memperburuk apalagi menghancurkan. Walaupun memang setelah menikah, taraf hidup Sankara belum ada kenaikan, tapi setidaknya dia sudah mendapatkan keuntungan dari hilangnya gosip-gosip miring tentang dirinya yang beredar. Dan ya, hidup bersama Agnita membuat rasa toleransi Sankara jadi lebih tinggi. 

Tangan pria itu bergerak meraih ponsel tersebut. Pandangannya kemudian turun, untuk membaca pesan yang dikirimkan oleh Agnita.

Nona Tanisha

[send a video]

Bukti gue udah kuat banget

Gue beneran bakalan nuntut!

You will go to jail Mr. Admoejo!

Ekspresi wajah Sankara sempat berubah saat menyaksikan video yang dikirimkan oleh Agnita. Pria itu bahkan refleks langsung menjaga layar ponselnya agar tak terlihat oleh siapapun. 

Tuan Sankara

go ahead.

Nona Tanisha

Ini gue masih baik ngasi lo kesempatan

So buruan tanda tanganin gugatan gue

And everything will be clear

Bukti ini bakalan gue hapus

Tuan Sankara

bukti?

Nona Tanisha 

Ya itu video yang gue kirim

Play dulu makanya!

Tuan Sankara

do you mean our first sex tape?

i already have the full copy to be honest

dan punya saya lebih hd, mau lihat?

Nona Tanisha

Go to the hell, you idiot!

Tanpa sadar Sankara terkekeh pelan kala membaca respon Agnita. Membuat pria itu akhirnya ditatap oleh seisi ruang. "Maaf, silahkan diteruskan," ucap Sankara kemudian.

***

Malam itu ketimbang langsung pulang, Agnita lebih memilih untuk singgah ke salah satu bar favoritnya. Dulu, karena setelah menikah dengan Sankara, Agnita benar-benar menghindari tempat-tempat seperti ini. Agnita cukup tahu diri untuk tidak macam-macam apalagi membuat ulah yang nantinya akan mencemarkan reputasi Sankara sebagai pejabat publik. Lagipula setelah menikah, Agnita tidak punya cukup alasan untuk datang ke bar.

Jika dulu keributan di dalam rumah yang membuat Agnita akhirnya memutuskan untuk datang. Namun setelah menikah, tak ada lagi keributan yang harus Agnita dengar, karena ia berhasil pergi dari rumahnya dan tinggal bersama Sankara. Sekali pun ada, itu pasti Agnita yang menjadi penyebab utama keributan tersebut. Sementara Sankara akan menjadi pihak yang berusaha abai atau memberi balasan jika diperlukan. Jadi kalau dipikir-pikir, kenyamanan hidup Agnita justru meningkat jauh setelah menikah dengan Sankara. Buktinya saja ia tidak lagi membutuhkan alkohol untuk menghilangkan segala penat.

Ya, setidaknya sampai beberapa hari lalu. Karena mulai detik ini, hidup bersama Sankara benar-benar hukuman buatnya. Iya, hukuman seumur hidup, jika dia tidak berhasil membuat pria itu menandatangani gugatan cerai.

"Wait, gue ngga salah liat nih?" Tiba-tiba dari arah belakang datang seorang laki-laki yang langsung menghampiri Agnita. Tak hanya itu, tangannya pun langsung menyentuh pinggang sang perempuan.

Refleks Agnita menoleh. Kalau saja lampu remang di bar tersebut tak berhasil menampakkan sosok familiar sang empunya tangan, bisa dipastikan, Agnita akan terlebih dahulu melayangkan tinjuan.

"Who the hell— Baskara? What the fuck are you doing here?" Berhenti mengumpat yang satu, Agnita malah mengumpati hal lain. Iya, itu Baskara, artis papan atas, yang dulu sempat berskandal dengannya. "Lo gila? Nanti kalau ada yang liat gimana?"

"Sttt ... gausah heboh sayang, ini gue udah nyamar, lo nggak liat?" Baskara menunjukan topi yang dia kenakan, beserta masker yang ia turunkan di bawah hidung sehingga hanya menutupi mulutnya.

"Nyamar apaan? Bahkan gue sekali liat langsung tau itu lo. Udah sana, ini gue bisa aduin ke management kalau lo ternyata masih suka sembunyi-sembunyi ke club," ancam Agnita.

Baskara terkekeh. Pria berusia sama dengan Agnita itu duduk pada kursi sebelah. "Ibu Agnita, masih galak aja ya?" ledek Baskara. "Lagian ini cuma bar, bukan club, santai aja kali."

"Harusnya lo bilang gitu dulu, ke fans-fans militan lo."

"Mau gue bilangin sekarang, hm?"

"Gausah sinting. Gue gamau nikah dua kali," celetuk Agnita.

Baskara tertawa, "Gapapa lah, yang kedua nanti bareng gue tapi."

Sialan. Begitulah Baskara, senang flirting sana-sini tapi terkadang lupa bahwa dirinya adalah artis papan atas yang tengah digandrungi fans yang kelewat ngefans.

"Gimana kabar pernikahan lo?" tanya Baskara. Namun dalam beberapa detik langsung berkata, "Gue tebak ga seharmonis di berita. Karena kalau iya, ngga mungkin sekarang seorang istri pejabat paling terpuji duduk di meja bar dan minum hampir tiga gelas cocktail," celetuknya.

"Shut up, Bas! Seriusan, kata gue mending lo cabut. Gue capek ngeladenin wartawan kalau semisalnya ini masuk berita lagi."

"Ayolah, c'mon Bu Agnita, bisa ngga sih kita chill kayak dulu aja? Let's forget everything! Lupain kalau gue artis, lupain kalau lo istri orang penting. Malem ini kita nikmatin waktu berdua bareng, udah lama kan?" Baskara makin mendekat, ditaruhnya tangannya pada punggung kursi Agnita sementara wajahnya benar-benar tinggal beberapa jengkal dari wajah perempuan itu. "Gue cuma nemenin, ngga bakalan ribut. Lagian apa enaknya minum sendiri?" Baskara merayu.

"One vodka, please," ucap Agnita yang membuat senyum Baskara mengembang.

Pergantian minuman dari cocktail ke vodka menjadi tanda setuju Agnita akan perkataan Baskara. "Two," koreksi Baskara kepada sang bartender. "Nice choice, Ibu Agnita," ucap Baskara.

***

Ada satu tempat yang paling Sankara hindari, yaitu tempat dimana orang-orang mabuk berkumpul. Bukannya tak pernah datang, justru Sankara lebih dari cukup datang ke tempat-tempat seperti ini, entah kenapa para petinggi dan pembisnis senang sekali menjadwalkan pertemuan di sana. Makanya ketika Sankara sekarang sudah menjabat, dirinya akan menjadi orang pertama yang menjadwalkan pertemuan. Tentunya dengan maksud agar tempat yang dipilih tidak nyeleneh.

Sebenarnya bukan tempatnya yang Sankara benci, karena ada banyak bar-bar yang memberikan kesan menenangkan dan hangat, membuat siapa saja pasti nyaman berada di sana. Namun Sankara benci dengan orang-orang mabuk, dia benci ketika harus berhadapan dengan mereka yang sedang tidak bisa menjalankan logikanya. Berlaku seenaknya seolah tak ada hari esok yang harus dipertanggungjawabkan. Dia membenci kebodohan yang timbul akibat minuman beralkohol itu. Maka dari itu Sankara selalu menghindar untuk datang ke tempat seperti bar, club dan lain-lain. Bahkan beberapa tahun terakhir, kedatangannya di tempat seperti itu bisa dihitung dengan jari, alias jarang sekali.

Akan tetapi lihatlah dimana Sankara berdiri sekarang. Masih dengan kemeja kerjanya yang sudah sedikit berantakan, dengan jas yang sudah ia tanggal sejak tadi dan ditinggal di mobil. Pria itu berdiri mengamati seisi bar untuk mencari sosok wanita yang menjadi penyebab kedatangannya.

Sankara masih berusaha bersikap tenang. Walaupun rahangnya sempat mengeras begitu mendapat kabar dari koleganya, kalau dia melihat Agnita tengah berduaan bersama seorang laki-laki di bar

Tentu Sankara marah bukan karena merasa cemburu. Mana mungkin dia merasa begitu? Pria itu hanya marah akibat makin hari Agnita makin sulit diatur, ada saja kelakuannya yang membuat kepala Sankara pening. 

"Look who's coming," ucap Baskara begitu Sankara tiba di sana.

Pandangan Sankara langsung tertuju pada meja di hadapan Agnita. 

Satu kata, berantakan. 

Gelas bekas minuman dimana-mana, ditambah asbak berisikan beberapa puntung rokok. Pantas saja penciumannya sejak tadi tak enak.

"Istri lo, kuat banget minumnya," celetuk Baskara lagi. Seakan tak merasa bersalah, laki-laki itu bahkan tidak menggeser Agnita yang masih bersandar di bahunya, bahkan tangan laki-laki itu masih santai merangkul pinggang Agnita.

"Tanisha."

Suara itu cukup untuk membuat wanitanya mengangkat kepala, ditatapnya lamat-lamat wajah Sankara. Lalu tanpa diminta Agnita bangkit dari duduknya, hendak menghampiri pria itu. Namun baru melangkah sedikit, tubuh wanita itu hampir limbung.

Untung saja Sankara sigap melangkah maju dan menangkap wanita itu. "Be careful," ucap Sankara kepada Agnita yang kini sudah ada digenggamannya. Tanpa mau berlama-lama di sana, Sankara mengambil tas milik Agnita lalu membawa wanita itu pergi.

Tidak seperti biasanya, Sankara kali ini pergi tanpa pamit. Padahal setidak suka apapun pria itu terhadap seseorang, etika dan sopan santun selalu ia utamakan. Namun sepertinya pengecualian untuk hari ini. Sankara sudah cukup berusaha menahan emosi saat Baskara menyentuh istrinya tanpa ijin seperti itu.

Dan Baskara, walaupun setengah mabuk, pria itu cukup sadar untuk melihat apa yang barusan terjadi. Hanya dengan satu panggilan, Sankara berhasil membuat Agnita mendatanginya. 

"Nghhh ... pusing banget," keluh wanita itu. Tangannya melingkar erat pada pinggang Sankara, menjadikan pria itu sebagai tumpuannya. 

Sankara menghela napas. Ditatapnya wanita yang kini mendekapnya. "Masuk dulu," ucap pria itu. Entah sejak kapan mereka telah sampai di depan mobil putih milik Sankara. Bahkan pria itu telah membukakan pintu untuk Agnita.

"No, i hate your car." Agnita geleng-geleng. 

"Kamu benci saya, bukan mobil saya," koreksi Sankara. 

Pria itu berusaha melepas rangkulan wanita itu agar bisa ia arahkan masuk ke dalam mobil. Bahkan dengan sisa amarahnya pada Agnita, sikap Sankara masih saja tak berubah. Pria itu masih begitu lembut dan hati-hati tiap menyentuh tubuh Agnita, seakan tubuh itu sangat rentan akan sentuhannya. Padahal bisa saja Sankara sedikit mengerahkan tenaganya untuk melawan tenaga Agnita yang tak ada apa-apanya.

"Tanisha, nurut sama saya," pinta Sankara karena wanita itu masih saja tak mau melepas pelukannya.

"I said i hate your car," ucap Agnita.

Sankara menghela napas, menyerah untuk membuat wanita itu melepasnya, karena sudah dilakukan berulang kali, tapi Agnita masih saja tak mau melepas. Jadi dibiarkannya saja dirinya dan Agnita berdiri di sana selama beberapa saat.

"Belakangan ini kamu benar-benar merepotkan, kamu tahu kan?" Sankara berkata sembari menatap wanita yang kini tengah menyandarkan kepalanya pada dada bidangnya. "Saya belum dengar kata maaf setelah ulah kamu yang kemarin, tapi sekarang kamu udah buat ulah lagi."

Tangan Sankara terulur, merapikan rambut Agnita yang berantakan. "Ngga berhasil nyariin perempuan buat saya, sekarang malah kamu yang gantian nyari laki-laki lain, gitu?" 

Agnita bergumam pelan, sembari kepalanya terus bergerak seakan mencari kenyamanan pada pria itu.

"Ini kalau bukan kamu yang berbuat, saya udah ngga tahu lagi sejauh apa saya akan membalas," ujar Sankara. "Saya bukan orang yang sabar, Tanisha, kamu pasti tahu itu. Saya hanya orang yang mengedepankan akal pikiran sebelum melakukan sesuatu."

Sankara tahu bahwa perempuan itu tidak akan mendengarkannya, namun entahlah melihat Agnita tadi begitu dekat dengan pria bernama Baskara membuat Sankara tak bisa menahan diri. "Tapi kalau sama kamu, saya berubah jadi orang yang sabar sekali. Bahkan sekarang saya masih bisa tahan diri, padahal asal kamu tahu, saya ini marah sekali sama kamu."

"Jadi besok, kamu harus siap kalau saya marahi," lanjut pria itu sembari mengetuk pelan kening wanitanya.

***

"Sankara!" Agnita berteriak. Wanita itu sudah lebih dulu beringsut pergi masuk ke dalam, sementara Sankara masih berada di luar. "Sankara!"

Lagi-lagi Agnita memanggil, membuat Sankara yang baru saja selesai menutup gerbang buru-buru berjalan masuk. "Sebentar," balasnya. 

"Sankara ..."

"Iya, iya, saya di sini, kenapa?" tanya Sankara ketika ia telah berhasil menghampiri Agnita yang ternyata masih berada di dekat pintu masuk. Wanita itu tampak kesusahan membuka flat shoes-nya. "Pelan-pelan, kaki kamu baru luka, jangan dihentak-hentak— loh nangis?" Sankara terkejut ketika mendapati Agnita yang kini menghadap ke arahnya sedang sesegukan.

Perasaan tadi bicaranya tidak keras, bahkan cukup lembut. Lalu kenapa wanita itu malah menangis?

"Hey, kenapa?" tanya Sankara pelan. Diusapnya airmata Agnita yang mengalir membasahi pipi perempuan itu.

"Nyebelin banget ... sepatu gue ... ini ... gamau lepas." Sambil sesegukan Agnita menjelaskan.

Jadi hanya karena itu?

Terkadang Agnita memang bisa sekekanak-kanakan itu. Entah pada saat datang bulan, atau pada saat wanita itu mabuk. Intinya ketika wanita itu tengah berada dalam posisi yang lemah, Agnita akan berubah seratus delapan puluh derajat. Dari yang awalnya tidak memerlukan Sankara sama sekali, menjadi seakan sangat bergantungan pada pria itu. 

Sankara menunduk, ditaruhnya tas serta jas yang dia pegang di atas lantai, kemudian dengan perlahan ia menyentuh pergelangan kaki Agnita. Tak butuh waktu lama untuk melepas sepasang flat shoes yang bertengger pada kaki perempuan itu.

"Udah saya lepas, sekarang ayo saya antar ke kamar." Sankara sudah siap menuntun wanita itu ke lantai dua, namun baru saja mereka sampai di ruang tengah, Agnita kembali merengek. "Apa lagi sekarang?" tanya Sankara.

"Bantuin lepasin."

"Apanya? Sepatu kamu kan, udah saya lepasin tadi. Tuh, lihat udah ngga ada." Sankara menunjuk ke arah kaki perempuan itu.

Agnita menggeleng, "Bukan itu. Ini ..." Kini giliran Agnita yang menunjuk. 

"Baju kamu?"

"Lepasin ini gerah banget!" Agnita menarik-narik bajunya sendiri.

"Nanti di kamar aja kalau itu."

"Gue bilang sekarang! Lo tuh, budeg ya?" balas Agnita sengit. "Lo tuh!" Perempuan itu kembali berkaca-kaca. "Gue terpaksa harus pake baju ini gara-gara lo," ujarnya. "Jadi sekarang lepasin!"

Sankara menghela napas, ditatapnya sejenak kedua mata Agnita yang masih berair itu. "Kamu jangan minum lagi besok-besok," ujar Sankara sembari mendekat. Diikutinya permintaan perempuan itu, dengan menarik baju turtle neck tersebut agar terlepas dari badan pemiliknya. "Saya beneran ngga kasi ijin," lanjutnya.

Baju itu akhirnya terlepas, menyisakan tanktop hitam yang masih membalut tubuh Agnita. Ternyata benar, bekasnya masih ada di leher wanita itu, cukup jelas sehingga harus ditutupi.

"Udah ayo, sekarang kita ke kamar," ajak Sankara. Dia takut jika berlama-lama di sini bersama Agnita, dirinya jadi terbawa suasana. Sankara tidak mau jika nantinya Agnita kembali melabelinya dengan istilah penjahat kelamin atau sejenisnya. Ayolah, Sankara bukan pria asusila yang akan memanfaatkan perempuan yang tengah mabuk.

Tidak mungkinkan dia akan mencari kesempatan dalam kesempitan— 

Bruk.

Tubuh Sankara terjatuh di atas sofa, akibat didorong oleh Agnita. Belum sempat Sankara protes, wanita itu sudah lebih dulu naik ke atas pangkuannya, menduduki tubuhnya yang bersandar pada punggung sofa. Sankara hendak bangkit, namun dengan tangannya Agnita menahan dua bahu Sankara.

"Diem dulu," pinta wanita itu.

"Kamu mau apa lagi?" Suara Sankara terdengar frustasi. "Beneran, saya ngga bakalan ijinin kamu—"

Sebuah kecupan berhasil menghentikan perkataan Sankara. Tidak, Agnita tidak mendaratkan bibirnya di atas bibir pria itu, melainkan di bagian leher. Bahkan perlahan-lahan kecupan itu berubah menjadi sesapan pelan, membuat Sankara jadi memejamkan matanya.

"Tanisha." Dengan suara seraknya, Sankara memanggil.

Namun sang wanita masih belum mau berhenti, sampai rona kemerahan berhasil ia ciptakan. "Satu sama," bisik wanita itu pelan. 

Kemudian seolah tanpa dosa ia malah menjatuhkan kepalanya di dada pria itu. Ia terlelap dalam posisi terduduk di pangkuan Sankara sembari memeluknya erat.

Sungguh Sankara bersumpah akan memarahi wanita ini besok. Tapi sekarang, sepertinya tidak dulu, Sankara masih terlalu sibuk memandangi wajah cantik Agnita yang tertidur di atasnya, sembari berusaha menahan diri untuk tidak memanfaatkan posisi mereka saat ini.

Cukup lama Sankara menatap, berusaha untuk puas menikmati wanita itu hanya dengan indra penglihatannya. 

Namun sepertinya Agnita yang belum puas, karena ketika Sankara mengira bahwa Agnita sudah benar-benar terlelap, wanita itu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan berkata, "Let's fuck."

 

[nonamerahmudaa]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sebelum Berpisah | Part 12
138
4
Sebelum Berpisah | Part 12Agnita benar-benar mabuk dan Sankara hilang kendali, membuat malam itu menjadi diluar batas. Untuk pertama kalinya keduanya melakukannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan