TERJEBAK PACAR POSESIF CHAPTER 1-4

1
0
Deskripsi

Cerita ini lahir karena keresahan aku dengan cerita toxic relationship yang diromantasi dimana cowok-cowok kasar dimaklumi perbuatannya, dibuat bucin ke ceweknya. 

Aku pengen membuat ending yang berbeda.

Semoga cerita ini bisa membawa berkat buat yang baca.

Terima kasih sekali lagi sudah mendukung cerita ini dan selamat membaca.
Ditunggu komen dan tanda love, ya.

Blurb:

Tujuan Dinda Anastasia berpacaran dengan Thomas Guinandra hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan kasih sayang yang tidak dia dapatkan...

BAB. 1 KETEMUAN, YUK


My Thomas: Ketemuan, yuk. Aku udah di minimarket sekarang

Aku melebarkan kelopak mata membaca deretan huruf yang dikirim oleh pacarku. Thomas emang gila, bisa-bisanya jam 10 malam dia mengirim pesan ingin bertemu denganku di minimarket depan kompleks perumahan yang memang dibuka 24 jam. Dasar sinting. Udah tahu aku nggak mungkin keluar rumah setelah pulang kantor kalau nggak mau digorok Papa, malah diajak ketemu.

Aku membalas pesan pacarku, memintanya gimana kalau besok saja kita ketemu, tapi balasannya malah ngeselin kayak gini.

My Thomas: Aku rela datang jauh-jauh dari kantor di saat aku lagi sibuk banget. Kamu tega?

Ya, bukan nggak tega, tapi cinta banget sama dia, kok.

Nggak mau buat pacarku kecewa, terpaksa aku harus mengatur strategi agar bisa menemuinya. Setelah lima menit berpikir, akhirnya aku mendapat pencerahan. Aku bergegas membuka laci meja rias, mengambil kunci cadangan pagar belakang rumah, lalu mengendap keluar kamar.

Aku menajamkan pendengaran ketika mendekati kamar orang tua. Aku mengembuskan napas berat ketika mendengar suara Papa meninggi diiringi dengan suara benda jatuh. Apa lagi, sih? Nggak bisa apa sehari saja dilalui tanpa pertengkaran? Kalau nggak di pagi hari pasti malam sebelum tidur. Rasanya ingin menghilang dari rumah ini, tapi aku nggak mau. Bukan nggak bisa. Aku nggak mau meninggalkan Mama sendiri menghadapi Papa yang bisa meledak-ledak di waktu yang nggak bisa diprediksi. Suka-suka si Pak Tua itu meledakan emosinya bahkan pada hal yang sepele sekalipun.

Aku pelan-pelan melangkah menuju pintu depan. Nggak jadi lewat pintu belakang karena sebenarnya di belakang rumahku itu jalan setapak yang penuh dengan pohon pisang milik tetangga dan nggak ada lampu. Ada cerita yang beredar kalau ada yang pernah ketemu pocong di tempat itu. Hiii, ngeri. Mumpung Mama dan Papa masih bertengkar, pasti nggak ada yang sadar kalau aku keluar rumah lewat pintu depan.

Begitu aku menarik gagang pintu, tubuhku mendadak membeku.

"Mau ke mana kamu?!" teriak papaku dengan suaranya yang menggelegar.

"Buang sampah, Pa," balasku dengan degup jantung yang berdetak kencang.

"Mana sampahnya?!"

Aku pun membalik badan lalu berjalan melewati Papa ke arah dapur dengan kepala menunduk.

"Ngapain ke sana?!"

Aku menarik napas panjang, tanpa berbalik ke arah Papa, aku menjawab, "Ngambil sampah, sekalian cuci piring."

"Setelah itu tidur!"

"Ya."

Untung ada beberapa piring dan gelas kotor yang masih ada di bak cuci piring makanya Papa percaya waktu ke dapur buat periksa aku beneran cuci piring apa nggak. Aku sengaja mencuci piring dengan gerakan sangat pelan sambil menajamkan telinga, mengira-ngira Papa sedang di mana.

Aku menarik kedua sudut bibir ke atas ketika mendengar deru motor Papa menjauh dari rumah. Cepat-cepat aku membilas piring, sendok, dan gelas yang sudah diselimuti busa sabun.

Dengan langkah ringan aku keluar rumah tanpa pamit pada Mama. Setelah menempuh waktu berjalan kaki selama lima menit, aku mengetuk kaca pintu mobil Thomas.

"Lama banget!" sungut Thomas dengan nada menyentak dan matanya memelototiku ketika aku baru saja duduk di jok depan.

Aku menarik napas panjang lalu berusaha menjawab dengan nada lembut. "Aku nggak bisa cepat-cepat menemui kamu karena harus mencari cara bisa keluar rumah tanpa ketahuan orang tuaku. Lagian kamu, sih, minta ketemu di tengah malam kayak gini."

Thomas melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Belum tengah malam. Masih jam setengah 11."

Aku memutar bola mata. Sebagai anak yang hidupnya tak pernah diatur oleh orang tua, Thomas tak akan mengerti dengan posisiku. Bagi kami yang memiliki orang tua yang cenderung mengekang anak, jam sembilan malam saja sudah dianggap larut, makanya harus segera masuk rumah.

Malas memperpanjang perkataan Thomas, aku mengalihkan pembicaraan. "Ada perlu apa? Kita jangan gobrol lama-lama, ya, aku harus cepat kembali ke rumah. Takut ketahuan orang tua kalau tahu aku nggak ada di kamar."

Thomas mengambil paper bag yang ia taruh di jok belakang dan menyerahkannya padaku.

"Besok sore pakai baju ini ke acara syukuran anaknya Mala."

Aku terperangah ketika menarik baju yang dia maksud dari paper bag itu. Sebuah long dress berlengan panjang, bermotif floral berwarna dasar merah. Kelihatan cantik sekali, tetapi nggak mungkin aku pakai dress sepanjang ini.

"Aku bisa tenggelam pakai dress ini. Lagian aku udah punya dress yang kemarin aku tunjukin ke kamu." Aku melayangkan protes tak ingin memakai pakaian pemberian Thomas.

"Aku nggak suka dress yang kamu beli itu. Terlalu pendek."

Aku mencubit dagu pacarku lembut. "Nggak pendek-pendek banget, kok. Cuma di atas lutut."

Thomas mengambil tangan kananku, lalu kelima jarinya memenuhi sela-sela jemariku yang kosong. Ia mengeratkan genggaman lalu mencium punggun tanganku. "Teman-teman cowokku banyak yang datang ke acara itu. Mulut mereka juga sering nggak dijaga. Aku khawatir kalau kamu pakai dress itu akan dinilai kurang baik oleh mereka dan berakhir kamu diomongin di belakang."

"Teman-teman kamu suka bergosip?"

Thomas mengangguk. "Iya, suka menghina orang juga. Makanya itu yang jadi alasan aku nggak suka bawa kamu nongkrong sama mereka. Takut kamu dijadikan bahan olok-olokan."

Pantas saja Thomas pun kadang mulutnya bisa jahat banget saat mengomentariku, entah itu riasan wajahku katanya terlalu tebal, baju yang terlalu seksi atau sudah pernah aku pakai beberapa kali, yang pada akhirnya aku dibelikan baju baru, dan banyak protes yang ia lontarkan tiap melihat ada yang nggak sesuai kemauannya yang melekat padaku. Makanya karena udah nggak mau dikritik, mulai lima bulan yang lalu aku hanya pakai bedak tipis dan liptint tiap bertemu Thomas. Dia bilang nggak suka lihat cewek pakai makeup tebal. Padahal aku suka banget bereksperimen dengan makeup di wajahku.

"Nggak sehat banget pergaulan kamu."

Thomas mengedikkan bahu. "Mau gimana lagi. Mereka itu temanku dari SMP. Aku juga banyak dibantu sama mereka yang punya banyak relasi. Nggak mungkin aku meninggalkan mereka begitu aja."

Aku mengusap baju Thomas dengan tanganku yang bebas. "Yang sabar, ya... oke, aku akan pakai dress. Aku nggak mau kamu diomongin, nggak bisa ngasih tau pacar pakai baju yang sopan."

Thomas tersenyum puas. Ia menarikku masuk ke pelukannya. Ia mencium bahu dan tengkukku berkali-kali dengan hidungnya membuat sensasi geli yang berusaha aku tahan.

"Kamu wangi. Aku suka," bisik Thomas lalu mengecup lembut telingaku.

Aku benar-benar dibuat tak berdaya oleh perlakuan lembutnya. "Sayang, aku harus pulang."

Aku sengaja memutus keintiman kami karena bisa-bisa kami akan melakukan hal yang iya-iya. Walaupun Thomas memarkir mobilnya menghadap tembok, tetapi aku tak mau ambil risiko dipergok warga sekitar, terus diarak keliling kompleks dan berakhir aku dimutilasi Papa.

Thomas tak melepaskanku. Dia memang mengendurkan pelukan, tetapi kedua tangannya masih bertengger di bahuku, mengusapnya dua kali lalu beralih merangkum kedua pipiku. "Cantik banget."

Pipiku terasa panas dengan detak jantung tak beraturan. Sungguh luar biasa sekali pengaruh Thomas ini, membuat duniaku berhasil jungkir balik.

Dia adalah orang pertama yang berhasil mengetuk pintu hati yang aku tutup rapat-rapat akibat trauma yang disebabkan papaku. Sosok yang seharusnya menjadi cinta pertama anak perempuannya, justru menjadi momok menakutkan. Aku jadi takut menjalin hubungan karena nggak mau mendapat perlakuan kasar dari laki-laki, seperti Papa memperlakukan Mama.

Thomas datang dengan segala perhatian, kelembutan, dan cinta yang tulus membuatku percaya kalau laki-laki baik itu masih ada. Walaupun dia nggak bilang mencintaiku, tapi aku tahu, betapa dalam perasaannya padaku. Ah, aku tak tahan ingin menumpahkan air mata haru di hadapan pacarku.

"Kok nangis?" tanya Thomas lembut sambil menyapu kedua bawah mataku dengan ibu jarinya.

Aku mengerjap mata cepat. "Terima kasih udah sayang dan terima aku apa adanya.

Bibir pacarku masih membentuk senyuman lalu membalas, "Terima kasih udah jadi pacar yang baik, pengertian, dan nggak pernah menuntut."

Aku reflek menutup mata ketika wajahnya mendekat padaku dan merasakan lembut bibirnya mendarat di dahi, pipi, dan sudut bibirku. Aku kembali menumpahkan cairan bening itu lagi. Bagaimana bisa dia begitu baik mengatakan aku tak pernah menuntut? Padahal aku sering merengek meminta waktunya di saat dia lagi sibuk. Belum lagi seperti saat ini, sebagai CEO pemilik bisnis sepatu, dia masih sempat mengantar dress untukku di sela kesibukannya mempersiapkan peluncuran produk baru.

Pertemuan ini sangat singkat, tetapi mampu membuat dadaku terasa penuh. Rasa sepi dan sesak akibat mendengar pertengkaran orang tua, berganti dengan limpahan bahagia dan cinta kasih dari pacarku. Thomas adalah sumber kebahagiaanku.

Aku berhasil masuk rumah tanpa ketahuan orang tua melewati pintu depan, setelah aku memantau dari luar, ternyata motor Papa masih nggak ada di garasi rumah. Aku bergegas menuju dapur ingin minum air sebanyak-banyaknya.

Saat meminum air, terdengar bel rumah yang dibunyikan berkali-kali. Aku membatin mempertanyakan siapa yang malam-malam begini bertamu di rumah orang, apalagi membunyikan bel terburu-buru begitu. Apa jangan-jangan Papa kecelakaan?

Aku bergegas meletakkan gelas bekas minum di bak cuci piring dan segera ke ruang tamu untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka, sebuah senyuman lebar terpasang di wajah orang yang malam-malam bertamu ke rumah. Telapak tanganku mendadak berkeringat. Reflek aku mengeratkan genggaman pada gagang pintu untuk mencegah tubuhku jatuh ke lantai, sebab kaki ini seperti kehilangan daya untuk berdiri.

Dengan sisa tenaga yang ada, aku segera mendorong pintu, lalu membantingnya lumayan keras. Orang itu mengetuk pintu, sambil memanggil namaku dengan volume keras.

Aku menutup telinga dan mata. Menolak mendengar suaranya memanggil namaku. Seketika kilatan akan peristiwa 13 tahun lalu udah aku kubur dalam-dalam, kini muncul begitu jelas dalam ingatanku. Orang yang aku benci seumur hidup, muncul kembali.


******************************************************************************

BAB. 2 ITU FITNAH

Aku  tidak menyangka dia--orang yang kubenci dan tak ingin disebut namanya--muncul di hadapanku. Rasa yang sudah lama aku kubur ternyata masih ada, terbukti dengan reaksi tubuhku beberapa saat lalu saat bertatap muka dengannya. 

Beruntung Mama cepat datang sehingga aku bisa cepat kabur kembali ke kamar, meninggalkan Mama yang menatapku bingung. 

Beberapa saat kemudian Mama mengetuk pintu.

“Dinda … Dinda.” Mama terus memanggil namaku beberapa kali, tetapi aku menutup mulut.

Aku hanya menangis dan menutup telingaku dengan bantal dan membungkus seluruh tubuh dengan selimut. Perasaan takut dan kilatan akan kenangan pahit 13 tahun yang lalu muncul kembali. 

Gara-gara orang itu, kehidupan rumah tangga Mama dan Papa semakin memburuk. Tidak jarang mereka bertengkar sampai Mama kabur ke rumah keluarga karena dihajar Papa sampai babak belur. 

Setelah itu, Papa minta maaf lalu menjemput Mama pulang ke rumah. Beberapa bulan kemudian mereka kembali bertengkar dan Mama kabur lagi. Siklus itu terus berputar sampai aku menginjak usia ke 20 tahun. Memang sekarang mereka sering bertengkar, tapi Papa sudah nggak memukul Mama lagi. Andai aku bisa ngomong, pengen gitu nyuruh mereka cerai saja daripada hidup hanya saling menyakiti. 

Sekarang sudah pukul 12 malam, tapi masih nggak bisa memejamkan mata. Aku mencoba menghubungi Thomas, tetapi nomornya nggak aktif. Mungkin dia sudah tidur. Sementara itu aku mendengar suara ribut-ribut yang berasal dari luar kamar. Nah ‘kan, baru aja diomongin.

“Kamu itu memang dari dulu nggak pernah sayang dengan keluargaku.” Suara Mama terdengar melengking, disambut dengan suara gelas pecah.

Aku menghembuskan napas kuat-kuat, melepaskan sedikit rasa sesak di dada. Mereka nggak malu apa, selama puluhan tahun bertengkar terus. Apalagi di jam istirahat para tetangga. 

“Buat apa sayang sama adik kamu yang nggak tau diuntung itu. Dulu dia kabur begitu saja setelah mencuri uangku, sekarang datang dan minta bantuan lagi. Nggak tau malu!” Suara papa lebih nyaring terdengar.

Aku menekan telinga dengan bantal lebih kencang lagi, supaya aku tidak mendengar suara teriakan mereka lagi, sambil memejamkan mata dan membiarkan air mata mengalir. Malam ini aku terlalu banyak menangis. Kapan semua ini berakhir Tuhan?

***  

Sekarang jam 3 sore, aku sedang bersiap-siap menunggu dijemput Thomas untuk memenuhi undangan syukuran ulang tahun anak Mala. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk. 

“Siapa?” teriakku was-was.

“Mama masuk, ya.” Aku menghembuskan nafas lega. Untung bukan orang itu yang semalam datang ke rumah.

Tadi pagi tanpa aku bertanya, mama cerita kalau semalam orang itu hanya bertamu sebentar sekitar lima belas menit karena diusir oleh Papa, begitu mengetahui keberadaannya di rumah ini. Aku bersorak dalam hati. Baru kali ini aku begitu menyukai tindakan Papa.

“Ada apa, Ma?” tanyaku saat Mama sudah masuk ke dalam kamarku.

“Kamu punya uang lima ratus ribu? Mama pinjam ya. Boleh?” pinta Mama dengan suara pelan.

“Uangnya untuk apa, Ma?”

“Ada perlu,” jawab Mama singkat.

Aku mengambil dompet dan mengeluarkan lima lembar berwarna merah.

Mama tersenyum lalu mengelus pipiku. “Terima kasih, Nak.”

Sebenarnya uangku tinggal itu aja sementara tanggal gajian masih lama. Nggak apa-apa, mungkin aku bisa ngutang sama Thomas atau Becka. Dari dulu aku sudah berjanji akan berusaha membahagiakan Mama. Selain hanya aku anak satu-satunya yang bisa memberikan kasih sayang kepadanya, Mama adalah wanita paling baik dan sabar yang pernah aku temui. 

Namun sayang, wanita baik itu menikah dengan laki-laki kasar yang sialnya aku sebut Papa.  Pria yang seharusnya melindungi, tetapi nyatanya paling menyakiti fisik dan mental kami. Pria itu termasuk orang kedua yang aku benci di dunia ini.  

Notifikasi chat muncul di ponselku dari Thomas. Dia sudah sampai di depan gang.

Emang dasar manusia lak--- rasanya aku ingin memaki dia, habisnya nggak pernah mau jemput aku di depan rumah. Katanya belum siap ketemu orang tuaku. Sudah  berkali-kali protes bahkan aku sampai ngambek tapi percuma, ujung-ujungnya aku yang dimarahi karena dibilang suka ngatur.

Aku segera bergegas keluar kamar, berpamitan singkat dengan Mama.

“Lama banget sih!” Sambutan hangat dari Thomas begitu aku membuka pintu mobil.

“Maaf. Tadi agak lama pamitan sama Mama karena harus memutar otak mencari jawaban dengan siapa aku keluar. Untungnya Mama percaya aja waktu aku jawab sama teman.”

“Hmmm,” jawabnya dengan bergumam saja.

Ini kebohongan ke sekian kalinya yang aku lakukan kepada Mama, setiap aku keluar dengan Thomas.

****

Kami sudah sampai di rumah temannya Thomas, setelah singgah ke toko mainan anak dan memutuskan membeli mainan lego--menurut informasi anaknya sangat menyukai lego. 

Aku tak bisa menahan laju detak jantung yang mendadak ricuh setelah menemukan teman-teman Thomas yang sedang bergurau di halaman depan rumah Mala. Aku menunduk memandang penampilanku, semoga tak membuat malu Thomas. 

“Woi, Boy. Tambah seger lo.” Teman-teman Thomas menyambut kami--Thomas lebih tepatnya--dengan heboh.

“Tumben bawa pacar, biasanya kalau acara ngumpul-ngumpul gini sukanya jalan sendirian?” sambung seorang perempuan berkulit sawo matang dan berambut ikal.

“Orangnya lagi di luar negeri, makanya Thomas berani baca cewek ke sini,” sambung lainnya. Seketika akibat pernyataan ini membuat pikiranku nggak tenang.

“Lo semua jangan bawel. Kenalin ini cewek gue.” Thomas menarik tanganku dan memperkenalkan ke teman-temannya. Aku menyalami mereka satu-satu dengan senyum canggung dan detak jantung yang masih berisik.

Ternyata teman perempuan Thomas namanya Bella. Cantik banget orangnya, kayaknya model. Kulitnya bersih, nggak belang kayak aku, tubuhnya langsing dan tinggi. Teman laki-laki Thomas juga rata-rata memiliki fitur wajah yang sangat menarik. Aku sampai nggak sanggup menatap wajah mereka lebih lama. Takut hatiku oleng.

“Orangnya nggak mungkin balik ke Indonesia. Lupakan masa lalu dan serius sama yang ini aja," sahut Robbi, laki-laki berambut gondrong.

“Bacot.” Maki Thomas, tapi dari gerak-geriknya dia sedikit salah tingkah. Aku tak mengerti kenapa Thomas bisa bereaksi demikian. 

“Din, kita cari Mala, yuk. Kasihan kelamaan di sini hanya menambah dosa mereka karena fitnah aku terus”.

”Eh fitnah apaan, gila! Kenyataannya kayak gitu," sambung Robbi disambung tawa mengejek karena mendapat lemparan lirikan tajam dari Thomas.

“Lo yang gila! Balik ke rumah sakit jiwa sana!” bentak Thomas.

Aku tak sempat mendengar lanjutan sumpah serapah temannya karena Thomas buru-buru menarik lenganku dan masuk ke dalam rumah, mencari keberadaan Mala dan anaknya.

Sebenarnya aku sangat menikmati waktu bersama teman-teman Thomas. Senang rasanya melihat keramaian malam ini. Aku akan berterima kasih kepada pacarku karena dia sudah membuatku bahagia hari ini. Namun, ada yang mengganjal hati karena candaan teman-temannya. Aku yakin candaan itu ada hubungannya dengan masa lalu Thomas.

Tiba-tiba pikiranku berkelana kesan-kemari. Thomas yang mulai posesif dan nggak pernah mengijinkan aku menyentuh ponselnya. Apa mungkin wanita yang mereka bicarakan itu pacarnya Thomas? Apa mungkin karena wanita itu masih di luar negeri, Thomas pacari aku sebagai selingkuhannya? 

*******************************************************************************

BAB. 3. DIA BUKAN SIAPA-SIAPA

“Yang, siapa itu Danisa?” tanyaku hati-hati sambil memperhatikan  reaksi Thomas.

“Dia bukan siapa-siapa,” balas Thomas galak kemudian membuang mukanya.

“Jangan boong! Tadi Bella cerita, Danisa itu cewek yang buat kamu nggak bisa pacaran sama cewek lain. Betul nggak?” cecarku berusaha mengatur nada suara sesantai mungkin seraya terus melihat figurnya dari samping.

Mendadak Thomas menambah kecepatan mobil yang membuatku sedikit tersentak. Dia selalu gitu tuh, setiap kali marah kalau lagi nyetir. Pasti nambah kecepatan sambil bibirnya mengerucut seratus meter ke depan.  Aku ikutan emosi sekaligus takut kalau dia mulai gila kayak gini. Aku masih sayang nyawa.

“Nggak usah percaya apa pun yang dikatakan oleh teman-temanku. Mereka itu jahil, kalau udah ketemu, segala yang gak ada dibuat ada. Danisa itu hanya teman biasa. Kami nggak akrab.” 

Thomas menghentikan mobil tepat di depan lampu merah lalu dia mengarahkan wajahnya mendekati wajahku. Reflek aku langsung menutup mata, 1 … 2 … 3 … suara ketawanya melengking. Sialan aku dikerjai.

“Pikiran mesum terus,” godanya dengan nada mengejek.

“Nggak, ya.” Aku memukul bahu dengan pipi menghangat. Malu banget, seketika salah tingkah. 

Melihat dia masih tertawa sampai memegang perutnya membuatku takjub dengan perubahan emosi Thomas yang bisa berubah dari marah yang menggebu-gebu, mendadak bisa menjahiliku seperti nggak terjadi apa-apa.

“Beb, aku dan dia nggak pernah ada hubungan apapun. Dulu di tongkrongan selalu dijodoh-jodohin sama anak-anak, tapi kita nggak mau. Lagian sekarang kamu satu-satunya masa depanku, kalau kamu belah dadaku, muka kamu nih yang tercetak di situ," ucap Thomas memberi penjelasan dengan tatapan lembutnya.

“Kresek mana sih? Pengen muntah aku dengar gombalan kamu.” Aku menjulurkan lidah seperti orang yang sedang mual. 

Sebenarnya pipiku kembali memanas dan jantungku berdegub kencang tiap kali mendengar kata-kata romantis yang dia lontarkan. Walaupun kata-katanya yang tadi seperti gombalan sampah, tapi aku tetap suka mendengarnya. Maklum baru pertama kali pacaran, jadi baru digombalin dikit saja rasanya mau terbang.

“Aku serius!” katanya meyakinkanku begitu kembali melajukan mobil setelah lampu lalu lintas berganti ke warna hijau.

“Kalau beneran sayang, pasti aku nggak sering dimarahi,” sindirku dengan nada sedih yang disengaja.

Tapi Thomas tetap Thomas. Bukannya dia simpati atau minta maaf tetap saja menyalahkanku.

“Habisnya kamu nakal. Senang banget buat aku naik darah,” sambungnya cepat, pakai ngegas segala.

“Soalnya kamu suka ngatur. Aku nggak suka diatur-atur,” balasku nggak kalah sengit.

“Aku ngatur buat kebaikan kamu.”

“Udah ah, lupain aja. Sekarang aku butuh penjelasan lebih jelas tentang siapa itu Danisa. Biar aku juga tenang seandainya suatu saat ketemu dia, aku udah tau dan nggak perlu cemburu buta.”

“Aku udah bilang, kami nggak punya hubungan apa-apa … lupakan aja. Nggak penting banget buat dibahas.” Ia membuat penekanan di setiap kata yang diucapkannya lalu menghembus napas keras. “Orangnya menetap di luar negeri dan aku udah kehilangan kontaknya. Jadi, nggak mungkin lagi kita akan jumpa dia.”

“Tapi … oke,” ucapku menutup percakapan kami. Kali ini aku harus mengalah lagi, dari pada diperpanjang yang berujung pertengkaran.

Hanya saja aku masih penasaran banget, siapa itu Danisa. 

Tenang Dinda, kamu bisa menyelidikinya lewat sosial media, jaman udah canggih, jangan mau dibegoin sama pacar sendiri.

***

Selepas percakapan kami di mobil waktu itu, aku memasang wajah cemberut sampai dia mengantarku ke rumah dan bersikap tak ramah tiap kali membalas pesannya. Jadi, demi mengembalikan keceriaanku lagi, dia mentraktir aku di restoran seafood favoritnya. Bukan hanya itu saja, tadi saat dia jemput di kantor, aku dikasih hadiah sebuket bunga, cokelat, dan kalung. 

“Dalam rangka apa sih ngasih aku hadiah ini?” tanyaku sembari mengendus aroma bunga yang masih dalam pelukanku.

“Aku lagi happy karena bentar lagi launching sepatu model baru.” ujar Thomas semringah yang menampakkan cekungan nggak begitu dalam di bagian bawah bibir dekat dagu.

Waktu kami mulai dekat, Thomas baru aja merintis usaha produksi sepatu wanita. Bersyukur banget bisnisnya berkembang pesat. Dia cerita dulu pernah mengalami jatuh bangun di dunia bisnis dan pernah terjerat utang 1 Miliar di usia 20 tahun, tetapi dia bisa menyelesaikannya dengan penuh tanggung jawab. Makanya keberhasilan dia saat ini jadi salah satu alasan kenapa aku sayang dan kagum banget sama dia.

I’m happy for you, Sayang. Sebenarnya aku yang harus kasih kamu hadiah, bukan sebaliknya, jadi nggak enak.”

Thomas terkekeh, “Nggak juga, bisa dibilang ini bentuk permohonan maafku karena buat kamu jadi cemberut. Maaf ya kalau aku ada salah dan sedikit sibuk akhir-akhir ini,” kata Thomas sambil menatap lekat kedua netraku.

Aku langsung menyimpan buket bunga di atas dasboard dan mengganti memeluk lengan pacarku, lalu menongak menatapnya.“ I love you. Sebenarnya kamu gak perlu ngasih hadiah, cukup kamu prioritaskan aku lagi. Itu sudah lebih dari cukup.”

Thomas mengelus kepalaku dengan lengkungan kedua sudut bibir ke atas sehangat mentari pagi. “Iya, aku janji akan luangkan waktu untuk kamu.”

Dia kalau manis  begini gantengnya nambah dua persen, tapi kalau marah-marah rasanya pengen dia menghilang saat itu juga. Aku menerima perlakukan manis Thomas sepanjang malam ini dengan perasaan berbunga-bunga. Berkali-kali aku merasa mual, bukan karena tak suka dengan makanannya, tetapi karena gugup dan gelitik aneh di perut bagaikan ribuan kupu-kupu berterbangan di sana. 

Sikapnya yang seperti inilah, membuatku tak pernah sedikit pun berniat memutus hubungan kami karena aku yakin, Thomas itu lelaki baik. Ia hanya marah jika sedang dikuasai emosi saja. Selebihnya ia tetap menjadi pacar yang perhatian. mau mengatakan maaf setelah menyadari kesalahan sudah menaikan suaranya padaku. Ia sangat jauh berbeda dari Papa yang tak pernah menyesali perbuatan jahat yang sudah menyakiti batin anak dan istrinya.

Setelah selesai menikmati makan malam, aku menggandeng lengan Thomas sembari berjalan keluar dari restoran sambil bersendung kecil. Saat hampir dekat mobil, terdengar ada yang memanggil namaku. 

Satu detik pertama, aku berusaha menepis dugaan pemilik suara itu. Namun, saat dia memanggilku kembali, aku harus akui kalau dia, lelaki pertama yang aku benci di dunia inilah pemilik suara itu. Tubuhku kembali bereaksi seperti malam itu. Thomas menoleh mengamati wajahku kemudian memperhatikan lengan yang sedang dicengkram kuat oleh jari-jariku. 

“Dinda? Apa kabar, Dek?” sapa orang itu dengan ramah, tapi seketika membuatku mual, pusing, dan mata berkunang-kunang secara bersamaan. 


*******************************************************************************

BAB. 4 DIA CEO, MA

Aku enggan memandang wajah pria yang saat ini berada tepat di depan kami. Tanpa membalas sapaannya, aku segera menarik lengan Thomas agar dia mempercepat langkahnya menuju mobil. 

“Kamu kenal dia?” selidik Thomas sambil tangannya mencari-cari tanganku untuk digenggamnya setelah kami sudah duduk di dalam mobil.  “Tangan kamu juga dingin. Ada apa?” sambungnya sambil meremas tanganku pelan.

Thomas belum menjalankan mobilnya, dia masih penasaran siapa pria itu. Aku diam karena bingung jawaban seperti apa yang harus aku katakan. Terlalu banyak kenangan menyakitkan dengan pria itu di masa lalu yang nggak ingin diingat lagi. Namun, Thomas tetaplah Thomas. Dia terus memaksa untuk cerita siapa pria itu. Mau tak mau aku menceritakan tentang pria yang tidak ingin aku sebutkan namanya itu. Walaupun apa yang aku katakan bukan cerita yang utuh dari semua kejadian traumatis yang sudah diperbuat pria itu.

“Dia adik Mama.13 tahun yang lalu pernah tinggal di rumah. Setiap kali Mama dan Papa nggak ada, aku dibentak dan dipukul. Aku nggak pernah berani mengadu kepada orang tuaku karena dia selalu mengancam akan lebih menyakitiku lagi. Luka yang ditinggalkannya membuat trauma. Bahkan sampai hari ini pun, luka itu belum sembuh dan aku nggak mau bertemu dia lagi.”

“Kamu takut akan mengalami hal-hal nggak mengenakan seperti masa kecilmu kalau dia kembali lagi ke rumah?” tanya Thomas memandang lurus mataku. 

“Iya, kamu pintar banget. Pacarku memang paling peka,” candaku sengaja supaya suasana agak mencair dan bisa mengusir rasa takutku.

Candaan garing dan senyum paksa yang sengaja aku perlihatkan ternyata nggak berhasil membuat pacarku ini tersenyum. Wajahnya menegang, tetapi mata teduhnya memancar penuh kekhawatiran. Aku tetap mempertahankan senyum palsu agar dia kekhawatirannya lenyap.

“Kamu tenang aja.  Dia nggak berani ke rumahku lagi. Soalnya Papa benci banget sama dia. Walaupun trauma itu masih ada, tapi aku udah baik-baik aja kok.” 

Syukurlah, wajahnya sudah lebih rileks setelah mendengar penjelasanku. Dia melepaskan tautan jari kami dan mulai menyalakan mesin mobil.

“Tadi aku sempat khawatir, wajah kamu pucat banget. Aku takut kamu pingsan,” kata Thomas sambil mengelus lembut kepalaku lalu melajukan mobilnya. 

“Kelihatan banget ya?” tanyaku lalu mengangkat ponsel untuk kujadikan pengganti kaca.

Thomas mengangguk. Saat mobil sudah berada di jalan raya, tangan kiri yang bebas dari stir kembali menggenggam tangan kananku. “Aku janji akan selalu melindungimu dari siapapun yang jahat sama kamu.”

“Iya.” jawabku singkat karena mati-matian menahan rasa haru atas perhatiannya yang sangat berarti buatku. 

***

Efek bertemu pria itu membuat Thomas berjanji mulai malam ini akan antar jemput aku di depan rumah. Setelah mobil Thomas menghilang di ujung gang, aku melangkah ke dalam rumah.

Saat memasuki ruang tengah, mataku menangkap sosok wanita berparas manis yang tetap awet muda di usianya yang sudah 50 tahun dengan potongan rambut sebahu yang sedang menonton televisi.

“Kok sepi? Papa mana?” tanyaku saat mendaratkan tubuh di atas sofa.

“Papamu udah berangkat ke tempat proyek. Sebulan di sana," jawab Mama tanpa menoleh padaku. Wajahnya tampak serius menyimak adegan sinetron dua orang perempuan sedang beradu mulut.

“Jadi kita akan bebas selama sebulan?” tanyaku semringah.

“Itu Papamu, lho, Nak,” tegur Mama lalu  menyentil dahiku.

“Setidaknya selama sebulan kita nggak dengar ada orang yang marah-marah, suka ngomel dan komplain tiap hari," balasku sembari mengusap dahi yang terasa perih.

Mama tertawa mendengar jawabanku. “Tapi kadang marahnya Papa itu bikin Mama kangen.”

Aku melebarkan kedua kelopak mata. Ucapan Mama sangat di luar nalar. Hanya orang yang terbutakan cinta yang merindukan bentakan seseorang. Aku pun mengejek Mama, “Dasar bucin.” 

Biasanya ibu-ibu yang suka ngomel. Tapi di rumahku sebaliknya, Papaku yang suka ngomel. Selalu komplain hal apa pun yang nggak sesuai dengan penglihatannya.  Kebanyakan berujung pertengkaran dengan Mama. Makanya aku senang kalau Papa ke luar kota.  Suasana jadi damai, berasa ada di surga.

“Kok bisa sih, kangen sama orang kayak Papa?” tanyaku penasaran.

“Orang kayak Papa itu seperti apa?” Mama balik bertanya. Kali ini menoleh padaku dan mengabaikan sinetron itu.

“Jahat, suka ngomel, sering menyakiti Mama, tapi Mama tetap menunjukkan rasa sayang dan hormat kepada Papa. Aku kalau jadi Mama mungkin udah minta cerai dari dulu.”

“Bercerai nggak semudah itu, Nak. Ada banyak hal yang dipertimbangkan. Mama dan Papa membangun rumah tangga ini dari Papamu belum jadi apa-apa sampai banyak proyek seperti sekarang. Perjuangannya nggak main-main. Makanya semuanya akan sia-sia jika kami harus berpisah. Mama juga masih sangat cinta Papa, nggak rela aja dia menikah dengan orang lain setelah kami berpisah.”

“Mama harus mempriotaskan kebahagiaan sendiri.” Aku mengelus punggung tangan Mama. Walaupun aku tetap merasa pengakuannya nggak masuk akal, tetapi aku menghormati keputusan yang diambil oleh orang tuaku. Sekali pun ada pihak yang dirugikan dengan keadaan mereka yang dari dulu tidak pernah membaik yaitu aku anak mereka.

“Ya ampun … rasain!” teriak Mama heboh melihat adegan di televisi,  tidak lagi merespon perkataanku.

Aku masih malas kembali ke kamar, sehingga memilih menemani Mama nonton televisi sambil bermain ponsel.

“Kamu udah punya pacar, Nak? Tadi Mama lihat kamu diantar cowok,” kata Mama santai sambil terus melihat ke depan.

Sontak mataku terbelalak. Nggak menyangka baru sekali Thomas mengantarku ke rumah, langsung ketahuan Mama. Bilang yang sebenarnya atau bohong aja? Hmmm … Jujur aja deh.

“Iya, itu pacarku. Aku boleh pacaran kan, Ma?” ucapku lirih.

“Asal cowoknya baik, Mama nggak masalah. Kamu udah 23 tahun, udah sarjana. Aneh rasanya  melarang kamu pacaran.”

Ada perasaan meletup-letup yang membuncah di dadaku. Aku ingin menjerit bahagia mendapat lampu hijau dari Mama. Namun, aku masih belum bisa sepenuhnya bahagia. Aku masih harus mendapatkan restu dari Papa biar bisa lebih tenang berpacaran dengan Thomas.

“Tapi aku takut dimarahi Papa kalau ketahuan udah punya pacar.”

“Dulu, Papa melarang kamu pacaran karena masih sekolah, sekarang kamu udah kerja, dia pasti akan bebasin kamu pacaran, asalkan orangnya punya latar belakang yang jelas,” balas Mama dengan tutur kata lembut.

“Dia CEO UMKM, Ma. Usaha produksi sepatu walaupun skalanya masih kecil, tapi itu usaha yang dia bangun dari nol. Orangnya ulet, nggak pantang menyerah, terus sayang banget sama aku.”

Mama tersenyum,“Anak Mama pakai pelet apa ini, bisa pacarin CEO?”

“Mama nggak lihat anak mama cantik gini, kata orang aku mirip Mikha Tambayong lho.”Aku menepuk dadaku yang membusung dengan dagu diangkat tinggi.

“Nggak ah, anak Mama lebih cantik.” 

Aku memeluk Mama lalu tertawa bersama. Udah lama banget aku nggak meluk wanita kesayanganku ini.

“Oh iya, Nak. Selama Papamu nggak ada, Om Doni akan tinggal bersama kita di sini.”

Aku mendadak kaku dalam pelukan Mama. Oh, tidak. Ini pertanda buruk. Seketika otakku langsung menyusun rencana untuk melarikan diri dari rumah ini biar nggak bertemu dengan pria itu lagi.


TBC

Yuk, lanjut baca bab 5-8, ya

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya TERJEBAK PACAR POSESIF BAB 9-12
0
0
Daftar bab 9-12 Bab 9. Emang Dia Siapa?Bab 10. Tonic Immobility (Trigger Warning Mengandung Konten Sexual Harassment)Bab 11. Dilarang Pacaran Bab 12. Serunya Backstreet Deskripsi: Tujuan Dinda Anastasia berpacaran dengan Thomas Guinandra hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan kasih sayang yang tidak dia dapatkan dari Papanya.Namun, semakin hari sifat Thomas berubah menjadi kasar, posesif, cemburuan. Membuat Dinda semakin tertekan, tetapi karena sudah terlanjur jatuh cinta dan Thomas yang sudah mengetahui rahasia kelamnya, Dinda tidak bisa memutuskan hubungan mereka. Mampukah Dinda bertahan dalam hubungan toxic ini dan apakah Thomas bisa berubah karena ketulusan cinta dari Dinda?Warning: cerita ini mengandung adegan kekerasan fisik, verbal, dan seksual yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan