
Bermula dari hubungan sahabat, berlanjut jadi pacar, dan berakhir menjadi mantan, lalu bermusuhan.
Wina menyimpan dendam pada Lyon karena diputus dengan kata-kata yang menyakitkan hati gadis itu. Komunikasi di antara mereka benar-benar putus ketika Lyon memilih kuliah di Singapore.
Namun, sejauh apapun jarak yang memisahkan, salah satu di antara mereka menolak untuk move on.
“Sekarang masih deg-degan, nggak?”
“Mungkin, tapi—” Menggantung ucapannya sebentar lalu melanjutkan, “Ada hati yang harus aku jaga… jangan bilang kamu masih belum move on dari aku?”
“Sialan, aku udah move on!”
Wina hanya bisa tertidur pulas dari pukul dua sampai tiga subuh--setelah tersadar dari mimpi aneh yang menghampiri--ia tak bisa memejamkan mata sampai matahari terbit. Bahkan ia pun tahu saat Lyon akan ke bandara karena suara cowok itu terdengar sampai ke kamarnya yang menghadap rumah Lyon.
Mimpi itu tentang Lyon yang mengejarnya sambil membawa pukat harimau. Mantannya itu meneriakinya dengan tuduhan mencuri bunga kesukaan maminya, padahal Wina tak mengambil barang apa pun dari kediamana tetangganya itu.
Hal yang mengenaskan adalah Wina tak mengenakan sendal sampai kakinya melepuh terkena aspal panas yang dipanggang matahari. Akhirnya Wina memilih menyerah ditangkap oleh Lyon.
Wina meringis merasa kepalanya begitu berat diangkat seperti dihantam kayu balok. Ia mengambil ponsel yang berada di sampingnya dan mencari nomor Owen. Wina setia menunggu panggilannya dijawab, tetapi pacarnya tak mengangkat teleponnya. Sampai lima kali panggilan, tak ada tanggapan sama sekali.
Wina butuh Owen saat ini, keadaannya sangat tak baik-baik saja. Ia butuh ditenangkan sekaligus ingin menyampaikan rasa bersalah karena sudah mengizinkan Lyon menyentuhnya. Ia ingin mengaku pada Owen tentang apa yang terjadi tadi malam.
Wina mengetik pesan pada Owen.
Owen: Owen, kalau udah nggak sibuk tolong telepon aku, ya.
Wina mengalihkan tatapan ke samping, memerhatikan adiknya yang masih tidur. Caleb juga baru bisa terlelap pada pukul lima subuh. Wina bersyukur kehadiran Caleb membuatnya bisa menahan diri tak mengobrak abrik kamar karena marah pada Lyon.
Wina mengusap kepala adiknya dan tak lama ia kembali berbaring dan jatuh tertidur.
Jam dua belas siang ia baru bangun dan mendapati Caleb sudah tak ada, ia bergegas turun dari tempat tidur. Namun, langkahnya terhenti dan ia langsung menjerit ketika merasakan sedang menginjak sebuah benda tajam. Ia menunduk dan menemukan ada pecahan botol menggores tepi kakinya.
Bisa-bisanya ia tak sadar ketika adiknya mulai berulah mengeluarkan semua pakaian dan sepatu dari lemari, menjatuhkan parfum, serta peralatan make up di meja riasnya ke lantai.
Kelopak matanya membulat ketika matanya menyapu sekeliling kamar yang hancur lebur seperti baru saja dihantam badai Seroja. Sementara pintu kamar sudah terbuka lebar.
Dengan langkah tertati Wina berjalan setengah lari mencari adiknya. Jantung Wina memompa kencang ketika mendapati pintu depan terbuka.
“Caleb… Adek… Adeeek!” Wina berteriak kencang setelah keluar dari halaman rumahnya.
Ia berjalan mencari Caleb tanpa sendal bahkan mengabaikan rasa sakit di kakinya. Sebenarnya kompleks ini sangat aman karena selama ia tinggal, belum pernah mendengar ada kasus penculikan atau pencurian yang dialami oleh para penghuni kompleks rumah ini.
Namun, Wina tetap saja khawatir akan segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi, adiknya dibawa pergi oleh orang asing yang kebetulan lewat saat Caleb keluar dari halaman rumah. Soalnya Caleb termasuk anak yang tak sulit didekati oleh siapa saja. Ia akan tersenyum manis menyambut siapa pun yang mengajaknya bermain.
Di tengah kekalutan menghilangnya sang adik, dari kejauhan ia melihat satpam komplek menggendong Caleb dari pos satpam yang letaknya bisa dilihat dari depan rumah. Seketika napasnya berembus lega.
“Caleb!” panggil Wina sambil meringis menyadari kakinya sudah berdarah.
Melihat kakaknya, Caleb berontak minta diturunkan. Anak laki-laki itu berlari kecil ke arah Wina dengan senyum lebar, seolah tak menyadari kalau kobaran api amarah sedang melingkupi kakaknya.
Caleb memeluk kaki kakaknya dan langsung minta digendong. Namun, Wina tak mau menuruti permintaan adiknya. Ia hanya menggengam tangan sang adik karena ia ingin memberi hukuman biar Caleb tahu lain kali tak boleh keluar rumah tanpa pamit.
“Gimana adik saya bisa sama Pak Samsul?” tanya Wina pada satpam yang sudah bertugas selama 11 tahun menjadi kepala keamanan di kompleks ini.
“Tiba-tiba aja Caleb muncul di pintu pos. Saya juga kaget gimana anak ini bisa jalan sendiri sampai ke sana.”
“Saya lagi tidur, Pak. Bangun-bangun anaknya udah nggak ada.”
Wina berjongkok agar sejajar dengan adiknya.
“Adek, lain kali kalau keluar rumah harus pamit sama Kakak, ya. Kalau diculik orang jahat gimana?”
“Nggak, aku main sama Om,” balas Caleb dengan kata-kata yang sudah jelas diucapkan.
Satu bulan sebelum ulang tahunnya yang keempat, Caleb sudah lancar bicara bahkan mengucapkan huruf R juga sangat jelas. Semua berkat Wina yang selalu rajin membacakannya buku pada malam hari sebelum tidur dan mengajak Caleb bicara tentang apa pun itu.
“Pokoknya mulai sekarang nggak boleh keluar rumah tanpa pamit. Ingat?”
Caleb mengangguk seolah paham ucapan kakaknya.
“Mbak itu kakinya berdarah.” Pak Samsul menunjuk kaki Wina.
Wina menunduk lalu membalas, “Iya, Pak. Setelah ini akan saya obati.”
Setelah mengucapkan terima kasih pada Pak Samsul, Wina membawa adiknya masuk ke rumah dan mengunci pintu. Sebenarnya Wina sudah kehilangan kesabaran, tetapi ia sudah berjanji tak akan melakukan kekerasan fisik atau lewat ucapan, dan belajar mengelola emosi agar tak membentak adiknya.
Ia ingin meniru orang tuanya yang memberikan peringatan yang lembut, tetapi tegas ketika mereka melanggar perintah, kemudian diikuti dengan hukuman yang akan mereka terima. Dulu waktu Wina ketahuan pacaran dengan Owen, orang tuanya memang marah, tetapi tak mengeluarkan kata-kata kasar padanya dan Wina menerima hukuman berupa penghentian pemberian uang saku selama satu minggu.
Wina mengambil air hangat, dan kotak P3K yang berisi berbagai macam obat untuk mengobati luka yang berbentuk goresan panjang.
Setelah lukanya diobati, Wina membawa Caleb ke kamarnya untuk merapikan semua kekacauan di sana. Walaupun lebih banyak Wina yang merapikan barang-barang, tetapi ia mau mengajari Caleb arti tanggung jawab atas kesalahan yang sudah diperbuat.
Setelah kamarnya sudah kembali rapi dan pesanan makan siang lewat aplikasi transportasi online baru saja tiba. Ditengah menyantap makanan, ponsel Wina berdering.
Ia mengembuskan napas kuat-kuat lalu menonaktifkan ponsel melihat nama Owen muncul di layar. Gadis itu marah karena telepon dan pesannya diabaikan sejak tadi pagi. Sekarang giliran ia membalas perbuatan Owen. Biar lelaki itu tahu rasanya diabaikan.
Satu jam kemudian, bel rumah berbunyi. Wina membuka pintu dan mendapati Owen berdiri dengan ekspresi wajah keruh. Namun, berbanding terbalik dengan penampilannya yang rapi dan harus Wina akui Owen cukup tampan hari ini dengan kaos putih berkerah dan celana jeans.
Wina jadi salah fokus pada otot dan urat-urat yang menonjol di lengan Owen. Memang Owen sudah empat bulan rutin olahraga di gym sehingga otot di beberapa bagian tubuhnya perlahan mulai terbentuk.
Tuhan, gimana rasanya digendong Owen? bisik Wina dalam hati.
Entah kenapa melihat kehadiran Owen saat ini membuat rasa marahnya tiba-tiba luntur begitu saja. Ia sadar memang tak bisa berlama-lama marah pada pacarnya.
“Kenapa nggak jawab teleponku? Ngambek? Aku kuliah pagi, kamu nggak ingat jadwalku, ya. Apa karena sibuk berduaan dengan mantanmu itu sampai lupa?” cecar Owen membangunkan Wina dari lamunan joroknya.
Wina menyipitkan mata dan melirik sinis pada pacarnya. “Bukannya kamu udah libur semester? Kok masih ada jadwal kuliah?”
Mata Owen bergerak tak tenang. Ia membasahi bibirnya dan menjawab, “Aku ambil program kuliah pendek. Biar cepat lulus.”
Wina yang dasarnya tak mengerti soal perkuliahan, menunjukkan ketidakpeduliannya pada penjelasan Owen.
“Bukan kayak kamu yang sibuk berduaan sama mantan tanpa minta izin sama aku,” imbuh Owen.
Emosi Wina mendadak tersulut karena sindiran Owen.
“Kenapa kamu nyindir aku soal Lyon? Aku dandia hanya nganter pesanan aja, kok. Kami nggak selingkuh kalau itu yang kamu kira… katanya nggak cemburu, kenapa sekarang ungkit lagi?”
Owen melihat ke sekeliling. Mereka masih di teras sehingga Owen meminta agar mereka bicara di dalam rumah saja, tak enak dilihat orang kalau mereka sedang bertengkar.
Setelah duduk saling berhadapan, Owen membalas, “Oke, sekarang aku mau jujur, aku nggak suka kamu jalan berduaan dengan Lyon. Kamu udah lihat, ‘kan respon teman-teman yang pesan makananmu dan mereka posting foto kalian ke grup. Semua mengira kalian udah balikan. Dan itu buat aku nggak suka.”
Wina menatap jahil Owen. “Kamu cemburu?”
“Jelas aku cemburu. Kamu jangan kira aku nggak lihat apa yang Lyon lakukan padamu semalam.”
Napas Wina sontak ditahan. Ia membuka dan menutup mulutnya. Gadis itu menggeleng tak percaya dengan ucapan Owen. Kepalanya langsung mengedar memeriksa siapa tahu diam-diam Owen menaruh kamera pengintai di setiap sudut rumah ini.
“Apa yang kamu cari?” selidik Owen.
“Kamu naroh CCTV di sini, ya?”
Owen menyipitkan mata dan menaikan salah satu sudut bibirnya. “Jadi benar ada sesuatu yang kamu dan Lyon lakukan tadi malam?”
Sial. Aku masuk jebakan.
“Nggak ada!” seru Wina dengan nada tinggi.
“Wina, lihat aku. Apa yang kalian berdua lakukan? Hmm.” Owen berpindah duduk di dekat gadis itu lalu menarik dagu Wina sampai mata mereka bertemu.
Wina menggigit bibirnya dan menelisik wajah Owen yang kian mengeras. Ia mendesah perlahan. Menutup mata dan menggeleng. “Nggak ada.”
“Bohong!”
Wina menjatuhkan pandangan ke lantai granit. Menghindari tatapan mengintimidasi pacarnya. Rasa takut menyerang, bibirnya terasa kaku untuk bergerak mengucapkan kata.
Wina menutup mata lagi sambil meyakinkan diri untuk bicara jujur, seperti keinginannya tadi pagi saat menghubungi Owen.
“Semalam Lyon cium---”
“Kalian ciuman?”
Wina berdecak dan melirik tajam Owen. “Nggak! Makanya jangan motong omonganku! Dia cium punggung tanganku.” Wina menunjuk punggung tangan kanannya.
Mata Owen membeliak. Ia mengambil tangan pacarnya dan menggosoknya menggunakan tisu basah yang ia ambil dalam tasnya.
“Biar jigongnya hilang. Enak aja cium tangan pacarku. Emangnya kamu mamanya?” Owen menghentikan kegiatannya dan melempar tatapan menusuk. “Kamu pasti kesenengan ‘kan? Bisa disentuh sama mantan?” tuduh Owen.
“Bicaramu nggak masuk akal. Aku maki-maki dia karena sentuh tanganku tanpa izin.” Wina menarik tanggannya dan mendorong Owen menjauh.
“Kamu masih bela dia? Tau nggak perilaku kalian ini menyakitiku?”
Wina sadar itu. Owen tak perlu menanyakan hal ini pun ia tahu sudah menyakiti Owen. Padahal selama ini pacarnya selalu berusaha menjaga jarak pertemanan dengan perempuan--setahu Wina--soalnya Wina tak pernah mencari tahu tentang teman-teman Owen.
Oleh sebab itu ia mau berkata jujur pada Owen biar laki-laki itu tak merasa Wina menyimpan rahasia darinya. Walaupun akibatnya ia dituduh selingkuh juga. Mau apa dikata, ini sudah resiko dari berkata jujur.
Wina mengulas senyum lalu mengulurkan tangan menyentuh pipi Owen. “Aku minta maaf, Sayang, udah buat kamu sakit hati. Aku janji anak memutus komunikasi dengan Lyon…. aku nggak mau gara-gara dia, hubungan kita jadi rusak.” Setelah mengucapkan itu Wina mencuri cium di pipi Owen dan kabur ke toilet.
Owen seketika membeku mendapat ciuman mengejutkan dari Wina. Ini adalah kali pertama Wina mengambil inisiatif, termasuk memanggilnya dengan kata “sayang”.
Dadanya berdegup kencang, matanya mengikuti langkah Wina yang semakin menjauh dengan senyuman tak lepas dari bibirnya. Bisa-bisanya hanya mendapat ciuman dari pacar membuatnya hampir terbang melayang ke angkasa. Rasanya ia ingin menyusul Wina dan mencium gadis itu.
Sambil menunggu Wina, Owen hendak mengambil ponselnya yang diletakkan di meja, tetapi matanya menangkap ponsel Wina yang ditelatakkan persis di sebelah miliknya.
Owen mengambil benda persegi tipis milik pacarnya dan membuka kunci ponsel yang sudah ia hafal.
“Aku pinjam, Win,” gumam Owen pada dirinya.
Tanpa persetujuan Wina, Owen memblokir dan menghapus nomor Lyon. Mengeluarkan Wina dari semua grup yang ada Lyon, lalu menghapus grup itu. Setelah itu, menghapus semua chat dengan Lyon yang tak pernah dihapus Wina sejak menggunakan ponsel ini.
Setelah satu jam berlalu, Wina baru sadar ponselnya sepi dari notifikasi. Biasanya grup SMA masih ada satu atau dua chat dari beberapa orang yang mencari perhatian di grup karena sedang tak memiliki kegiatan di kehidupan nyata.
“Lho, semua grup kok hilang?” tanya Wina panik.
“Aku udah hapus.” balas Owen santai.
Wina membulatkan kelopak mata, begitu terkejut dengan pengakuan Owen. “Kamu ngapai, hah?! Siapa yang izinkan kamu utak-atik HP-ku!” bentak Wina mengepalkan tangan, rasanya ingin melayangkan tinju ke wajah Owen.
“Katanya nggak mau berhubungan dengan Lyon. Aku keluarkan kamu dari semua grup yang ada Lyon biar kalian nggak ada kesempatan untuk berkomunikasi lagi.”
“Tapi bukan dengan cara seperti ini, Owen! Kamu melanggar privasiku. Apa selama ini aku pernah buka-buka HP-mu? Nggak pernah, kan?!”
Owen menghempas punggungnya di sandaran sofa dan menaikan salah satu kakinya ke kakinya yang lain. “Alah, kamu berlebihan.”
Wina sudah tak tahan lagi. Cukup sudah Lyon tak menghargainya.
“Kamu pulang sekarang atau aku pindahkan vas bunga itu ke kepala kamu!” usir Wina menuding wajah Owen dengan matanya yang menyala.
Dua minggu setelah pertengkaran dengan Owen, mereka masih tak saling bicara. Tak ada permohonan maaf lewat telepon atau pesan. Wina juga sudah tak peduli pada hubungan mereka. Tingkah Owen waktu itu memang sangat keterlaluan.
Wina membuka mata pada pukul lima pagi ketika merasakan nyeri hebat yang menjalar dari perut sampai pinggangnya. Namun, kali ini rasa sakit melebihi yang biasa ia rasakan setiap bulan. Ketika ia berusaha melangkah untuk mengambil pembalut di laci meja rias, ia jatuh tersungkur.
Sakitnya tak dapat tertahankan. Akhirnya ia menghubungi Maya meminta tolong membelikannya obat pereda nyeri. Akan tetapi, sakit itu tak berhenti sampai keesokan harinya. Akhirnya Maya memutuskan membawa Wina ke rumah sakit.
Saat Wina kelas 10 SMA, ia pernah menjalani terapi hormon dengan minum pil KB karena kesakitan saat nyeri haid. Sempat pulih selama satu tahun, tetapi rasa sakit selama periode menstruasi terlebih di hari pertama dan kedua kembali ia rasakan di pertengahan kelas 11 sampai sekarang.
Setelah melewati berbagai rangkaian pemeriksaan, Wina dinyatakan menderita Kista Endometriosis berukuran 12 cm. Penyakit inilah yang membuat Wina selalu merasa kesakitan setiap kali datang bulan. Dokter menyarankan harus segera dioperasi untuk mengangkat kista tersebut karena ukurannya sangat besar dan jika dibiarkan akan membahayakan keselamatannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
