Menolak Move On - Bab 1 #UnlockNow

1
0
Deskripsi

Bermula dari hubungan sahabat, berlanjut jadi pacar, dan berakhir menjadi mantan, lalu bermusuhan.

Wina menyimpan dendam pada Lyon karena diputus dengan kata-kata yang menyakitkan hati gadis itu. Komunikasi di antara mereka benar-benar putus ketika Lyon memilih kuliah di Singapore.

Namun, sejauh apapun jarak yang memisahkan, salah satu di antara mereka menolak untuk move on.

 “Sekarang masih deg-degan, nggak?”

“Mungkin, tapi—” Menggantung ucapannya sebentar lalu melanjutkan, “Ada hati yang harus aku jaga… jangan bilang kamu masih belum move on dari aku?”

 “Sialan, aku udah move on!” 

2018

 Dilarang pacaran kalau masih sekolah.

 Itulah larangan yang berulang kali diucapkan orang tua Wina ketika anak gadis mereka menginjak usia remaja. Sekarang usia Wina sudah 18 tahun, duduk di kelas 12 SMA di salah satu sekolah swasta favorit yang banyak mencetak orang-orang berprestasi, jurusan IPS.

 Wina memiliki kecantikan yang unik dengan kulit sawo matang, tubuh jangkung di antara teman perempuan lainnya, dan berambut keriting. Ia tak pernah minder ketika berada di antara teman-teman perempuannya yang mayoritas berkulit cerah dan berambut lurus. Wina mengandaikan dirinya bagaikan pelangi yang memberi warna beragam di lingkungan sekolah.

 Wina juga tak sadar kalau banyak kaum hawa di sekolah yang iri padanya karena ia sangat dekat dengan salah satu idola sekolah sang mantan ketua osis, Lyon Mulya.

“Papa kira hubungan persahabatanmu dengan Lyon nggak akan bertahan sampai sekarang. Ternyata awet juga,” kata Daneswara–papanya Wina–yang sedang mengendarai mobil menuju sekolah Wina.

Wina yang sedang menyedot susu kotak sampai tersedak mendengar perkataan papanya. Ia menepuk dada yang mendadak sesak dan berdeham membersihkan tenggorokan yang mendadak serak.

“Perlu saya ingatkan lagi kepada Bapak Daneswara, rumah saya dan Lyon berhadap-hadapan, loh, Pa. Selain itu kami juga selalu satu sekolah dari playgroup sampai SMA, bagaimana mungkin kami tidak bersahabat sampai sekarang?” sahut Wina menggebu-gebu.

Daneswara tertawa kecil mendengar bahasa formal anaknya, lalu melirik sekilas. “Dia anak baik dan pintar, kamu harus banyak belajar dari dia, tapi ingat kalian hanya boleh temenan aja. Nggak boleh pacaran.”

Wina kembali terbatuk-batuk mendengar kalimat terakhir papanya. Ia tak membalas dan memilih memalingkan wajah ke arah kaca pintu samping kirinya. Ia meremas jari-jari kanannya menutupi rasa gugup.

Ketika mobil berhenti di depan pagar sekolah, Wina buru-buru keluar dari kendaraan beroda empat itu untuk menghindar dari aksi memalukan yang sering papanya lakukan. Ia berlari kecil, tetapi sampai langkah kelima ia berhenti dan kembali ke mobil papanya yang belum beranjak.

 “Papa,” panggil Wina mengetuk jendela mobil dekat kemudi lalu menengadah telapak tangan. Kedua sudut bibirnya naik sampai menampilkan susunan giginya. Matanya berbinar penuh harap. Ekspresi wajahnya ini selalu berhasil membuat papanya gemas.

 Daneswara terkekeh sambil menurunkan kaca mobil. Ia menepuk pipi kanannya menggunakan telunjuk sebelum mengabulkan permintaan anaknya.

 Wina mendengus lalu melirik ke kiri dan kanan takut ada temannya yang melihat. Ia mencondongkan tubuhnya dan mengecup pipi papanya secepat kilat sambil menahan malu.

 Walaupun sudah melakukan permintaannya, tetapi Daneswara belum memberikan apa yang diminta Wina. Ia masih ingin mengisengi anaknya.

 Daneswara meraih kepala anaknya dan menarik mendekat pada wajahnya. Ia mengecup kening dan pipi Wina sampai terdengar bunyi kecupan. Gadis itu menjerit tertahan atas perbuatan pria yang berprofesi sebagai pengacara itu.

Wajah Wina memanas menahan malu, saat penglihatannya menangkap sosok Lyon dengan motor, sedang melewati pagar sekolah sambil menertawakannya.

“Papa… maluuuu,” jerit Wina melepas tangan papa dari pipinya.

Daneswara terkekeh lalu mengambil dompet yang ditaruh di dasbor. “Dicium Papa kok malu? Selagi orang tua masih ada jangan malu dicium-cium. Nanti udah nggak ada nyesel, loh.”

“Aku udah besar, Pa. Ntar aku diketawain sama teman-teman yang lihat aku masih dicium orang tua.” Wina menerima dua lembar uang berwarna merah dengan wajah cemberut.

Sebenarnya ada perasaan tak nyaman dengan ucapan Daneswara yang akhir-akhir ini sering menyindirnya dengan kalimat seolah-olah dalam waktu dekat akan dipanggil Tuhan kalau Wina mulai terang-terangan melayangkan protes, tak suka diperlakukan seperti anak kecil di depan umum yang bisa dicium seenaknya.

Wina tak langsung ke kelasnya. Ia sengaja melewati tempat parkir motor karena ada seseorang menunggunya di sana. Nanti seseorang itu akan mengantar Wina ke kelas.

Wina menggigit bibir menahan tawa ketika mendapati orang itu sedang duduk di jok motor membelakanginya sambil bermain ponsel. Wina berjalan dengan langkah hati-hati, ketika mendekati orang itu, Wina menepuk keras bahu cowok berkulit cerah itu.

“Wina, Kribo!” seru Lyon seraya mengusap dada karena kaget dan hampir terjungkal dari duduknya.

Wina tertawa terbahak-bahak lalu mendekati Lyon dan mengacak rambut ikal cowok itu sampai berantakan.

“Wina, hentikan. Nanti aku balas lebih sadis!” kata Lyon dengan nada penuh peringatan.

Bukannya takut, Wina semakin brutal mengacak rambut Lyon. Cowok itu tak terima. Dengan jangkauan tangan lebih panjang dengan Wina, ia berhasil meraih rambut gadis itu.

“Dasar anak Papa. Udah tua masih dicium-cium,” ejek Lyon pada Wina sambil mengacak rambut Wina yang sudah disisir rapi dan dikuncir sampai berantakan.

“Lyon, stop! Kamu nggak tau betapa ribetnya aku rapiin rambut ini.” Wina memarahi Lyon dengan suara cemprengnya yang melengking kuat sambil memukul tangan Lyon yang masih berada di kepalanya.

“Rasain. Emang enak berantakin rambut orang. Giliran dibalas, malah marah-marah. Eh, tapi kalau boleh jujur, kamu nggak cocok rambut digulung kayak gitu, deh. Digerai aja, lebih cantik.”

Wina mengusap rambutnya dan tersenyum menyeringai. “Terima kasih pujiannya, Lyon. Tanpa kamu bilang pun, aku sadar terlahir sebagai gadis cantik, kok, tapi Lyon-ku, aku nggak mau gerai rambut ini untuk menghindari bully-an dari Pak Budi yang sering ngatain aku ‘rambut apa sarang burung’.”

Hari ini Wina ada pelajaran olahraga yang diajar oleh Pak Budi, salah satu guru ‘killer’ di sekolah dan memiliki mulut setajam silet. Guru yang akhir tahun ini akan memasuki masa pensiun itu tak akan segan menghina siswa yang penampilannya tak rapi. Termasuk Wina yang sering dihina jika mendapati gadis itu menggerai rambut keritingnya yang dinilainya tak rapi.

Padahal Wina selalu memakai produk-produk terbaik di rambutnya yang sepanjang punggung itu. Walaupun tanpa diikat masih terlihat rapi dan sangat cantik. Tak jarang ada banyak anak perempuan yang iri pada bentuk rambut dan kepercayaan dirinya mencintai rambut keritingnya.

Lyon tertawa puas melihat gadis itu marah-marah. Ia memandangi wajah Wina sambil senyum-senyum.

“Apa senyum-senyum. Awas naksir!” Wina menyalak galak.

”Kan, udah.” Lyon semakin melebarkan senyuman melihat Wina mendadak salah tingkah.

 “Apa sih… mending kamu rapiin rambutku sekarang. Harus tanggung jawab!”

 Lyon berdecak lalu menarik tangan Wina ke bangku kosong untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, usahanya tak berhasil. Bukannya kembali rapi, rambut Wina malah tambah acak-acakan tak beraturan.

 Wina yang dari tadi memberi arahan sudah sangat lelah dengan kondisi rambutnya yang diikat tak berbentuk itu. Ia jadi semakin emosi pada cowok yang tumben beraroma seperti bayi yang baru selesai mandi.

 “Dasar laki-laki minyak telon. Rambutku kamu apain, hah?!”

 Lyon memegang perutnya karena sudah tertawa terpingkal-pingkal. Walaupun bahunya terasa perih karena pukulan gadis itu, tetapi ia terus menertawakan Wina yang sedang menggerutu. Entah mengapa ada kesenangan tersendiri jika berhasil membuat sahabatnya itu marah.

 Wina menarik karet rambut yang dipakai menguncir rambutnya, kemudian mengatur kaca kecil yang selalu ia simpan dalam tas, dan mulai menata rambutnya. Mulutnya tak berhenti mengeluarkan sumpah serapah pada Lyon.

 “Tadi sebelum ke sekolah aku sakit perut, makanya dibaluri minyak telon sama Mami,” terang Lyon berusaha menjelaskan kenapa tubuhnya beraroma minyak telon.

 Wina melirik dengan sedikit ada raut khawatir, tetapi ia lekas mengganti dengan tatapan sinis. “Azab untuk orang yang suka menjahili perempuan baik-baik kayak aku.”

 Tak jauh dari tempat mereka duduk, ada teman satu kelas Lyon yang baru saja memarkirkan motor. “Cieee… pagi-pagi udah pacaran,”

“Iri lo, Jomlo,” balas Lyon lalu menjulurkan lidah pada temannya itu.

Lyon dan Wina lahir di tahun yang sama dan sudah berteman sejak usia lima tahun saat keluarga mereka pindah di perumahan yang baru dibangun pada 13 tahun yang lalu. Rumah mereka saling berhadap-hadapan dan disekolahkan di tempat yang sama dari playgroup sampai SMA. Otomatis membuat Lyon dan Wina menjadi teman bermain dan tumbuh bersama dalam satu lingkungan.

Sejak kecil orang tua mereka--lebih tepatnya para ibu--sering bercanda menjodohkan keduanya karena ke mana-mana selalu bersama dan tak bisa dipisahkan, tetapi ide perjodohan itu ditentang oleh para ayah karena ingin anak mereka fokus sekolah saja.

Namun, tanpa disadari oleh para orang tua, kedua anak ini ternyata saling menyukai ketika masuk SMP, tetapi salah satu dari mereka baru berani mengungkap rasa itu ketika naik kelas 12 SMA.

Walaupun tahu orang tua melarang untuk pacaran, tetapi darah muda mereka menentang nasihat itu. Mereka diam-diam sepakat untuk mengubah status dari sahabat menjadi pacar.

Mereka tahu betul konsekuensi dari pacaran, makanya mereka menetapkan syarat, yaitu pacaran hanya di kantin sekolah dan mall. Tak boleh di tempat sepi seperti taman kompleks di malam hari atau kamar hotel untuk menghindari hal-hal yang akan mereka sesali di masa depan.

“Karena kamu udah buat aku marah dan sedikit melunturkan kecantikanku di pagi yang cerah ini, sebentar sore kamu harus temani aku ke mall,” ucap Wina saat mereka sedang berjalan menuju kelas setelah memastikan rambutnya sudah rapi.

Lyon menggeleng. “Nggak bisa, aku ada les jam lima.”

Wina memasang tampang sedih. “Ayolah, temani aku setengah jam aja. Waktunya cukup kok.”

Lyon yang tak pernah tega melihat Wina merajuk akhirnya memenuhi ajakan pacarnya itu.

Wina melonjak kegirangan. Gadis manis itu menyambar lengan Lyon dan memeluknya erat sebagai bentuk terima kasih. Lyon langsung diserang panik karena takut dilihat oleh guru yang melarang anak-anak yang pacaran secara terang-terangan memamerkan kemesraan di lingkungan sekolas. Selain itu, terdengar dehaman sengaja dari beberapa para siswa yang berjalan di belakang mereka.

“Wina jaga sikap, please, Ini di sekolah!” tegur Lyon dengan suaranya yang tegas.

Wina langsung menjaga jarak dari Lyon, tetapi seketika ia mengaduh karena tak sengaja menabrak seseorang.

“Maaf, ya. Kamu, sih, nggak lihat ke depan,” kata suara berat dari seorang cowok yang tak asing di telinga Lyon.

Lyon langsung memasang tampang dinginnya seraya menatap cowok yang sedang memegang lengan Wina.

Menyadari kesalahannya, cowok bernama Owen segera menjauhkan tangannya dari lengan Wina.

 “Aku yang minta maaf. Maafin aku, ya, Owen. Kamu nggak kenapa-napa, ‘kan?” Wina menatap Owen dengan raut khawatir karena ia merasa menabrak Owen cukup keras.

 Tanpa mendengar balasan Owen, Lyon langsung menarik tangan Wina agar menjauh dari salah satu saingannya. Sejak kelas 10 Lyon dan Owen sering bersaing meraih prestasi dan bergantian merebut gelar juara. Suatu hari mereka pernah terlibat masalah karena Owen ketahuan mengadu domba Lyon dengan guru pembimbing olimpiade, dengan menyebarkan fitnah kalau Lyon tak suka dibimbing oleh guru itu. Makanya mulai saat itu mereka tak saling bertegur sapa dan setelah masalah itu selesai, prestasi Owen semakin tertinggal jauh dari Lyon.  

Lyon jurusan IPA, pada saat kelas 11 ia menjabat sebagai ketua osis. Prestasinya sangat luar biasa mulai dari masuk klub debat bahasa Inggris, klub matematika dan sering meraih juara olimpiade matematika di tingkat nasional maupun internasional.

“Pacaran teruuus, bosan lihatnya,” goda Ruli, teman semeja Wina sambil memutar bola mata karena jengah melihat kemesraan temannya dengan salah satu cowok idola di sekolah mereka.

Wina baru saja berpisah dengan Lyon di depan kelas, sedang berjalan menuju tempat duduknya dengan senyum semringah.

“Diam-diam deh, wahai perempuan jomlo dari lahir,” balas Wina dengan ledekan yang membuat Ruli menjambak rambut yang sudah dikuncir rapi itu.

Wina menjerit dan balas menjambak rambut Ruli, tetapi usahanya tak berhasil karena rambut Ruli sangat pendek. Rambutnya dibabat habis, hanya menyisakan lima sentimeter dari kulit kepala akibat psoriasis yang muncul di seluruh kepalanya yang membuat kulit kepalanya seperti banyak ketombe dan bersisik.

“Mending kamu bantu salin catatan pelajaran ekonomi. Pusing aku, nggak paham ibunya ngajar apa.” Wina mengambil buku catatan pelajaran ekonomi yang baru dipakai lima halaman itu.

Temannya itu mendorong kepala Wina karena sudah tak tahan menghadapi perempuan pemalas ini.

Banyak orang yang menyayangkan Lyon memilih Wina sebagai pacar karea dirasa tak seimbang dalam hal kepintaran. Mereka lebih rela kalau Lyon berpacaran dengan Cantika, siswi cantik yang berprofesi sebagai model sekaligus memiliki kepintaran yang setara dengan Lyon dan terang-terangan menunjukkan rasa suka pada cowok itu.

Ketika ditanya kenapa lebih memilih Wina daripada Cantika, cowok yang memiliki tinggi 170 cm itu menjawab enteng. “Wina nembak duluan dan kebetulan aku belum pernah ngerasain pacaran… ya, udah terima aja.”

 Begitu pun dengan Wina ketika ditanya kenapa pacaran dengan Lyon dia hanya menjawab, “Orang tuaku melarang nggak boleh pacaran, tapi aku merasa tertantang pengen ngerasain pacaran. Ya, udah aku coba nembak Lyon dan dia terima. Ternyata seru juga pacaran sembunyi-sembunyi. Deg-degannya kayak naik roller coaster.”

 Keduanya seolah menunjukkan pada khalayak ramai kalau mereka pacaran hanya iseng tanpa rasa sayang. Padahal di lubuk hati paling dalam, mereka saling menyayangi melebihi sahabat dan salah satu di antaranya begitu menginginkan hubungan ini terus berlanjut sampai dewasa nanti.

  Tinggal tiga bulan jadwal ujian akhir untuk menentukan kelulusan SMA, yaitu di bulan April. Semua sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nasional tahun 2018, termasuk Lyon yang rela waktu tidurnya terpotong karena harus belajar untuk ujian masuk jurusan matematika di Nanyang Technological University-Singapore. Kabar baiknya, cowok itu sudah mendapat undangan untuk tes tertulis yang dijadwalkan pada akhir Februari.

 Makanya ketika Wina mengajaknya berkeliling mall yang memperbolehkan anak sekolah masuk mengenakan seragam, cowok itu mulai resah. Bukan setengah jam seperti yang dijanjikan Wina di pagi tadi, melainkan sudah hampir dua jam mereka berkeliling menyusuri satu outlet ke outlet yang lain.

 Sekarang sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, tetapi Wina masih belum menemukan barang yang ingin ia beli, sebuah tas transparan yang akan ia pakai untuk konser KPOP yang baru akan diselenggarakan bulan Mei.

 “Semua tas modelnya sama aja. Kenapa nggak ambil yang itu aja, sih,” gerutu Lyon dengan nada yang tak santai. Ia mulai tak tenang karena sudah dipastikan akan terlambat ke tempat les.

 “Gambarnya nggak bagus. Aku mau gambar Pokemon, tapi belum nemu.”

 Padahal ini adalah akal-akalan Wina karena sebenarnya ia menginginkan tas transparan tanpa gambar dan sudah memesannya lewat toko online. Ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan Lyon di luar sekolah.

“Cari di e-commerce aja.”

“Nggak mau.”

Wina beranjak ke etalase lain. Lyon melihat jam tangan dengan perasaan gelisah. Ia mulai resah karena Wina beralih melihat aksesoris. “Sebenarnya apa sih yang kamu cari?”

”Tas, tapi ini juga lucu, Lyon. Bisa sabar dikit nggak, sih?”  

 Sudah, Lyon tak mau lagi menunggu Wina. Melihat gadis itu sedang sibuk memilih kunciran rambut yang warnanya bikin Wina ingin membeli semuanya, Lyon langsung beranjak keluar dari toko aksesoris. Ia marah pada Wina karena sejak awal bilangnya ingin membeli tas, tetapi masih singgah ke toko baju, mengajak bermain di time zone, dan sekarang masuk ke toko aksesoris.

 Lima menit kemudian, Wina baru menyadari kalau Lyon sudah meninggalkannya.

 Rasanya sesak luar biasa ditinggal pergi begitu saja tanpa pamit. Ia mengambil ponsel dan melihat Lyon mengirim pesan.

 Lyon: Aku ke tempat les. Sorry nggak bisa temani lebih lama.

 Wina merasakan matanya mulai memanas dan tanpa permisi, air mata jatuh begitu saja. Ini bukan pertama kali Lyon meninggalkannya. Pertama kali Lyon meninggalkannya saat menemaninya nonton, di tengah tayangan film, cowok itu pergi begitu saja. Kalau dihitung lebih dari enam kali. Semuanya dengan alasan sudah mendekati waktunya belajar.

 Wina mengambil ponsel dan menghubungi temannya untuk datang menemani atau menjemputnya di mall, tetapi tak ada satu pun yang bersedia. Dengan perasaan sedih, ia pulang menumpang taksi.

 Sesampainya di rumah, Wina langsung berendam air hangat dan keramas untuk melemaskan syarafnya yang tegang dan mendinginkan kepalanya. Setelah itu, ia mengajak bermain adiknya, Caleb yang berusia tiga tahun, tetapi rasa marah pada Lyon belum padam juga. Makanya, ia meminta Lyon menemuinya di depan rumah cowok itu.

 Wina melipat kedua tangan di depan dada. Ia menyorot mata pacarnya dengan tatapan tajam. “Lyon, aku kecewa sama kamu yang selalu ninggalin aku.”

Lyon menatap sekilas Wina dan lekas membuang wajahnya ke tempat lain, lalu menjawab, “Kamu kelamaan. Maaf.”

 Wina mencibir. Ia masih belum bisa menerima maaf dari cowok itu. “Lain kali nggak boleh gitu lagi. Nggak apa-apa banget kalau pulang duluan, tapi setidaknya pamitan.”

 Lyon menarik napas lelah. Ia mengamati wajah Wina yang sedang marah dan mengucapkan sebuah keputusan. “Win, kita putus aja.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Menolak Move On
Selanjutnya Menolak Move On - Bab 2 #UnlockNow
0
0
Bermula dari hubungan sahabat, berlanjut jadi pacar, dan berakhir menjadi mantan, lalu bermusuhan.Wina menyimpan dendam pada Lyon karena diputus dengan kata-kata yang menyakitkan hati gadis itu. Komunikasi di antara mereka benar-benar putus ketika Lyon memilih kuliah di Singapore.Namun, sejauh apapun jarak yang memisahkan, salah satu di antara mereka menolak untuk move on. “Sekarang masih deg-degan, nggak?”“Mungkin, tapi—” Menggantung ucapannya sebentar lalu melanjutkan, “Ada hati yang harus aku jaga… jangan bilang kamu masih belum move on dari aku?” “Sialan, aku udah move on!” 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan