
Skala dan Galaxya akhirnya tiba di lokasi ditemukannya korban bunuh diri. Ia mencoba menyelidiki dan menemukan sebuah bukti. Serbuk Konte.
Penyelidikan pun berlanjut, tetapi Taufik Pimpinan Divisi Pidana Umum justru menghentikan penyelidikan dan menutup kasus.
***
Halo2 Skala balik lagi teman-teman. Salam kenal dan terimakasih banyak untuk yang sudah mampir. Selamat membaca.
Chapter 2 - Serbuk Konte
Skala memarkirkan mobilnya sedikit lebih jauh dari lokasi kejadian. Mayat korban masih berada di tempatnya, hanya ditutupi dengan kertas koran dan terpal, lalu ditutup dengan garis polisi agar tidak ada masyarakat yang dapat menerobos masuk.
Skala menatap sekelilingnya, tatapannya terhenti pada balkon lantai lima belas yang tampak terlihat gorden yang diterpa angin.
"Bang, ini tas milik korban. Isinya uang, atm, dan kartu tanda pengenal. Semuanya lengkap. Sepertinya tidak ada yang hilang, " ucap Satya seraya memberikan tas kecil pada Skala.
Skala mengernyit seraya membaca kartu identitas dan kartu mahasiswa korban.
"Dia mahasiswa Universitas Pattimura?"
Satya mengangguk. "Sesuai dengan kartu mahasiswanya. Dia anak Teknik Industri," ucap Satya tegas.
Skala mengembuskan napas kasar. Ia menatap ke arah kerumunan masyarakat yang kian lama kian ramai orang. Banyak dari mereka mengabadikan kejadian tersebut. Merasa tidak ada yang mencurigakan, Skala kembali menatap Satya.
"Minta izin pada managemen apartemen, kita minta salininan cctv dan pemilik kamar terutama di lantai lima belas kamar itu," ucap Skala seraya menunjuk ke atas.
Satya berujar siap. Skala berjalan cepat menuju ke lantai lima belas dengan menggunakan lift. Sesampainya di lantai itu, Skala mengedarkan pandangan ke segala arah termasuk pintu darurat lantai lima belas. Skala membuka pintu darurat itu dan mulai memeriksa sekitarnya. Tidak ada hal yang membuat Skala tertarik. Ia segera berjalan ke kamar nomor 1557, kamar yang diduga tempat mahasiswa tadi melompat.
Skala masuk dan menatap kamar tersebut dengan saksama. Ia memperhatikan setiap detail yang ada si kamar tersebut. Dari posisi barang-barang, posisi ponsel milik korban, dan sebuah wasiat yang ditulis tangan.
"Sepertinya tidak ada yang mencurigakan disini. Dia benar-benar bunuh diri," ucap Galaxya saat mendekati Skala di sisi balkon.
Skala mengeryit. Tatapannya masih terus menajam seolah sedang mencari sesuatu yang lain.
"Apa ini kamar apartemen milik korban?" tanya Skala pada salah seorang petugas apartemen yang dimintai keterangannya.
"Siap. Menurut catatan, Nona Fauzia menyewa kamar apartemen di awal bulan ini," ucap orang yang bernama Deden itu.
Skala mengangguk. Ia kembali melihat sekelilingnya, ada satu yang mencuri perhatian Skala di lantai apartemen. Ia berjongkok dan dengan tangan sudah tertutup handsgloves Skala menyentuh sesuatu yang mencurigakan itu.
"Apa ini?"
Galaxya mendekat dan menghampiri Skala.
"Ini serbuk konte," jawabnya.
Skala mengernyit. "Konte?"
"Iya. Biasanya orang yang gemar melukis sering menggunakan serbuk konte sebagai ganti pensil. Sering disebut serbuk konte karena memang merk dari alat tersebut Conté, " jawab Galaxya memberikan penjelasan.
Skala mengangguk paham. Ia segera meminta pihak forensik untuk membawa serbuk tersebut. Skala kemudian beralih pada barang pribadi milik korban.
"Tidak ada serbuk konte yang kamu maksud disini," ucap Skala saat menggekedah almari milik korban.
Galaxya mengernyit. "Tidak ada alat menggambar lain di sini. Sepertinya dia tidak hobi menggambar. Apa mungkin ada orang lain yang datang?" ucap Galaxya.
Skala diam sejenak. Ia segera mengambil ponsel pintarnya dan mulai menghubungi Satya yang berada di lantai bawah.
"Minta pihak apartemen memberikan salinan rekaman cctv sejak awal bulan. Sepertinya ada orang lain yang berkunjung di kamar apartemen korban. Segera bawa korban ke rumah sakit untuk di autopsi. Gue dan Galaxya akan coba cari informasi tentang korban di kampusnya," ucap Skala tegas.
***
"Fauzia tidak terlalu menonjol di kampus. Namun, kesan dari para dosen terhadap dia juga tidak buruk. Nilainya pun bagus di semester yang lalu. Sepertinya tidak memiliki masalah juga dengan mahasiswa lainnya, " ucap Kepala Tata Usaha Fakultas Teknik Industri tempat Fauzia menuntut ilmu.
"Bisa kami berkeliling, Bu?" tanya Skala memohon izin yang segera mendapatkan izin langsung dari pihak Fakultas.
"Ini aneh. Orang itu bunuh diri di siang bolong, gila!" ucap Galaxya lirih.
"Jika frustrasi memang tidak berpikir sesuai logika. Kita hanya perlu menyelidiki alasan dari bunuh dirinya itu," ucap Skala tegas.
Skala telah mendapatkan izin untuk menemui beberapa teman korban yang mengenal korban dekat, termasuk Martin, mantan kekasih korban.
"Jadi, kamu mantannya?" tanya Skala tegas.
"Benar, Pak. "
"Alasan putus?"
Martin mengernyit dan menatap Skala tidak suka. "Bukan untuk konsumsi publik, Pak. Saya tidak bisa jawab!"
Skala mendengus, lalu tertawa. "Memang kamu siapa bisa bilang bukan konsumsi publik? Kamu artis? Selebgram? Youtuber? Tolong, jawab saja pertanyaan saya sebelum kesabaran saya habis."
Martin menelan salivanya susah payah.
"Kami putus karena ...Zia memergoki saya selingkuh dengan Ria, teman nongkrongnya."
Mendengar itu Galaxya mendengus, lalu tertawa. Gadis itu berjalan mendekati Skala.
"Sesama buaya saling berkumpul. Sepertinya kaummu itu memang menyebar di segela penjuru. Seharusnya dimusnahkan saja sampai ke akarnya!" bisik Galaxya kesal.
Skala tidak menjawab, pria itu hanya menatap Galaxya tajam. Pandangan Skala kembali beralih pada Martin.
"Apa kamu pernah ke apartemennya akhir-akhir ini?"
Martin mengernyit. "Saya nggak tahu kalau Zia punya apartemen. Setau saja dia ngekos di belakang kampus."
Mendengar jawaban itu Skala dan Galaxya saling menatap. Merasa cukup meminta keterangan dari beberapa rekan korban, Skala dan Galaxya pun kembali menanyakan perihal status ekonomi dari korban.
"Ayahnya seorang Auditor Bank Dagang Nasional, ibunya punya toko pakaian. Jika dilihat dari kemampuan ekonomi, sepertinya Fauzia termasuk dari keluarga mampu," jawab petugas tata usaha itu.
Skala mengangguk. Merasa cukup mendapatkan informasi ia kembali berjalan keluar dari ruang tata usaha itu. Ia mengernyit saat melihat salah seorang mahasiswi menunggunya di depan pintu keluar.
"Ada yang bisa saya bantu, Dek?" tanya Skala saat melihat orang itu.
Gadis berkacamata itu meminta untuk berbicara secara pribadi dengan Skala dan Galaxya.
"Jadi menurut kamu Fauzia punya kenalan baru begitu? Orang asing? Bukan dari kampus ini?" tanya Galaxya.
"Benar, Kak. Saya pernah melihat dia masuk ke mobil seseorang. Dia tinggi dan sangat tampan."
Galaxya menatap Skala yang masih terdiam.
“Kalau begitu terimakasih untuk informasinya.”
Usai orang itu turun dari mobil Skala, ia kembali melaju ke kantor divisi pidana umum.
"Menurutmu dia punya kenalan orang asing dari mana?" tanya Skala.
Galaxya mengembuskan napas panjang. "Orang yang sakit hati biasanya mencari pelampiasan dengan mencari jodoh melalui aplikasi online. Ini ada nama dia di aplikasi JodohKu." Galaxya menunjukkan wajah Fauzia yang ada di dalam aplikasi pencarian jodoh itu.
Skala mengernyit. "Kamu pakai aplikasi aneh itu, Xya? Jangan bilang jodoh jaksamu itu juga kamu dapat dari aplikasi itu," ucap Skala seraya menatap Galaxya remeh.
"Sembarangan! Aku download aplikasi ini untuk kepentingan penyidikan dari kasus yang aku tangani dulu."
"Sambil menyelam minum air."
Galaxya memutar kedua matanya malas. Ia mengembuskan napas kasar seraya kembali menatap ponselnya.
"Sebagai pendatang baru di aplikasi pencari jodoh, dia cukup diminati. Ada beberapa orang yang mengajaknya berjanji temu."
Skala memicingkan matanya menatap hasil pencarian Galaxya.
Ia mengembuskan napas malas. “Bisa kamu lihat siapa saja yang ia izinkan bertemu?”
Galaxya menggeleng. "Hanya pemilik akun yang dapat melihatnya. Pengunjung lain hanya bisa melihat permintaan pertemuan seperti ini saja."
Skala mengangguk. Ia melaju cepat kembali ke kantornya dan meminta Astro, rekannya di bidang cybercrime untuk melacak akun milik Fauzia.
"Cari tahu siapa yang dia temui," ucap Skala seraya memberikan nama akun Fauzia dalam aplikasi JodohKu pada Astro.
Ia duduk seraya mengambil minuman dingin dan kembali menatap berkas atas nama Ranita dan Fauzia bergantian. Skala mulai memeriksa lebih mendetail mengenai latar belakang kedua korban.
"Persamaannya mereka sama-sama berkuliah di Universitas Pattimura. Tunggu, mereka dari SMU yang sama?" gumam Skala saat melihat riwayat kehidupan kedua korban.
"Ada yang kamu temukan?" tanya Galaxya saat duduk di hadapan Skala.
Pemuda itu mengangguk. "Mereka murid SMA N 57 ... satu angkatan," jawab Skala seraya menunjukkan hasil temuannya.
"Menurutmu mereka saling terhubung?" tanya Galaxya tidak terlalu yakin.
Skala menggedikkan bahunya. Ia kemudian menyandarkan kepalanya di atas sandaran kursi seraya memijat pangkal hidungnya yang tiba-tiba terasa nyeri.
"Kenapa kamu selalu berpikir lain dari kebanyakan orang?" tanya Galaxya.
Skala yang semula terpejam itu pun membuka matanya perlahan dan menatap Galaxya dengan alis bertaut.
"Maksud kamu apa?"
"Semua orang bahkan kepala divisi menyatakan kasus ini adalah murni bunuh diri. Sepertinya dokter forensik pun akan menyatakan hal yang sama dengan korban sebelumnya. Kenapa bersikeras menyelidiki kasus ini?" tanya Galaxya heran.
Skala membuang napas kasar. Ia mendengus, lalu tersenyum menatap Gakaxya.
"Anggap saja aku orang yang suka repot. Banyak orang tidak mau ambil pusing terlebih dengan kasus bunuh diri. Namun, nyawa sudah hilang. Jika pada akhirnya nanti jawaban yang ditemukan adalah bunuh diri, paling tidak kita sudah mencoba memeriksa sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.
"Pelaku kejahatan itu sekarang kian pintar. Otak mereka cerdas seiring dengan kemajuan telekomunikasi dan teknologi. Kita juga harus berpikir kritis dan melihat sebuah kasus dari berbagai sudut," ucap Skala tegas.
Galaxya mengangguk paham. Ia ingat betul cerita seniornya saat menjelaskan bagaimana seorang polisi bernama Skala bersikeras membuka kembali kasus gantung diri Direktur PT. Farmasindo yang viral. Skala bersikeras jika kasus tersebut adalah pembunuhan dan hasilnya, sudut pandang Skala benar.
Galaxya menatap wajah mantan kekasihnya yang tampak lelah itu.
"Keyakinan dikasus yang lalu itu juga yang membuat kamu bersikeras menyelidiki kasus bunuh diri ini?" tanya Galaxya lirih.
Skala menatap Galaxya. Ia tersenyum sembari mengangguk.
Galaxya mendengus, lalu tersenyum. "Itu sebabnya aku sering mendengar seorang perwira selalu dimarahi oleh kepala divisi karena bersikeras melakukan penyelidikan," ucap Galaxya.
Skala menatap gadis itu dengan saksama.
"Senyummu masih sama manisnya seperti dulu," ucap Skala lirih.
Galaxya mengatupkan bibirnya dan kembali merubah ekspresinya menjadi datar. Skala yang mengetahui perubahan ekspresi itu pun tersenyum miris.
"Sudah lama menjalin hubungan dengan jaksa itu?" tanya Skala kemudian.
"Itu bukan urusanmu. "
"Dia cukup baik denganmu?"
"Tolong, hentikanlah bertanya hal yang tidak penting," ucap Galaxya mulai kesal.
Skala mendengus, lalu tertawa. "Jujur saja, putus denganmu adalah satu hal terberat dalam hidupku. Banyak harapan yang aku gantungkan. Aku merasa kita sudah sangat cocok. Bertahan hingga dua tahun lamanya, tetapi diputuskan karena sebuah kesalahpahaman."
Skala kembali tertawa miris. "Sampai saat ini aku masih belum bisa menerima keputusanmu sembilan tahun yang lalu, Xya. Namun, sepertinya semua sudah tidak ada artinya lagi untuk kamu. Aku hanya ingin memastikan kamu bersama dengan orang yang tepat. Jika kamu bahagia, walaupun rasanya sulit, tetapi aku akan merasa lebih lega," ucap Skala lirih.
Ia berdiri saat Astro telah selesai dengan pekerjaannya. Skala berjalan pelan memuju meja kerja Astro. Galaxya terus menatap pria yang pernah dua tahun mengisi hari-harinya selama SMU.
"Ada tiga orang yang mendapatkan izin untuk bertemu dengan korban. Aku sudah dapat identitas mereka. Kau mau ikut atau tinggal di sini?" tanya Skala dengan wajah datarnya.
Galaxya diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
Skala memberikan berkas data itu pada Galaxya. Skala benar-benar serius mendatangi ketiga orang itu.
"Fauzia ini cantik, nyaris sempurna. Dia juga cerdas, berasal dari keluarga mampu, anak tunggak pula. Rasanya janggal jika dia memutuskan untuk mengakhiri kehidupannya yang nyaris sempurna ini," gumam Galaxya yang masih dapat didengar oleh Skala.
"Apa karena itu kamu memilih menyelidikinya?" tanya Galaxya.
Skala mengangguk pasti.
"Kesamaan dengan kasus Ranita selain mereka bersekolah di SMA yang sama dan berkuliah di universitas yang sama, ada kesamaan lain yang menarik. Mereka sama-sama anak tunggal dari keluarga berada. Hidup mereka sempurna, tetapi mereka memilih mengakhiri hidupnya.
"Dari investigasi kasus sebelumnya, orang tua Ranita tampak sangat menyayangi Ranita. Kehidupannya juga biasa saja, hubunganya dengan keluarga juga hangat. Dia baru saja menjalin hubungan dengan seorang pria yang juga seorang dokter residen di Rumah Sakit Sarwono. Hubungan dengan kekasihnya pun terjalin baik. Ada yang bilang mungkin frustrasi dengan mata kuliah di kampus. Alasan itu dapat dipatahkan dengan melihat nilai akademisnya yang berada di atas rata-rata. Tidak ada hal yang bisa menjadi alasan kuat dia bunuh diri."
Galaxya mengangguk. Ia mulai paham mengapa Skala bersikeras menyelidiki kasus bunuh diri ini. Galaxya mengernyit saat ponselnya berbunyi menampilkan sebuah notifikasi pesan.
Luna : Hasil autopsi sudah keluar. Gue kirim filenya. Intinya dokter menyatakan jika korban murni bunuh diri.
"Hasil autopsinya sudah keluar.... "
Skala menoleh dan tersenyum. "Bunuh diri, kan?"
Galaxya mengembuskan napas panjang dan mengangguk. Rasanya ia malas sekali melanjutkan kasus ini, tetapi penasaran juga apakah pemikiran Skala kali ini benar.
"Kalau kamu ingin berhenti silakan. Masih banyak kasus bergengsi yang bisa kamu kerjakan. Aku nggak mau menyeret anak buah kalau nanti Pindiv marah," ucap Skala seraya tersenyum.
Galaxya mengembuskan napas kasar.
"Aku inginnya berhenti. Namun, hati kecilku berkata ingin membuktikan sudut pandangmu."
Skala tertawa. "Ingin mengumpati aku jika ternyata aku salah?"
Galaxya memutar kedua matanya malas. Ia tidak lagi menanggapi Skala dan memilih diam.
***
"Jadi, Anda tidak berkunjung ke apartemen korban?" tanya Skala saat menanyai Roni orang pertama yang bertemu dengan Fauzia melalui aplikasi mencari jodoh. Roni bekerja di sebuah toko buku MediaTama sebagai manager personalia. Ia juga dapat membuktikan alibinya jika menemui Fauzia di Restoran Steak tidak jauh dari apartemen Fauzia.Tersangka pertama dicoret. Ia beralih menemui tersangka. Kali ini ia menemui seorang pemilik bengkel mobil. Ko Yuan namanya.
"Saya memang meminta bertemu. Dia memang mengiyakan, tetapi saya belum sempat bertemu dengan orang yang Anda maksud. Awalnya kami ingin bertemu hari sabtu di awal bulan, tetapi orang itu menundanya sampai waktu yang belum ditentukan. Apa ada masalah, Pak?" Tanya Ko Yuan.
Skala tersenyum tipis. "Orang yang ingin Anda temui barusaja bunuh diri."
Jawaban Skala rupanya cukup mengagetkan Ko Yuan. Ia justru bercerita ingin menemui Fauzia lantaran korban memiliki wajah yang mirip dengan mantan istrinya yang sudah lama meninggal.
"Sekarang orang ketiga. Dia ... pelukis," ucap Galaxya.
Skala memicingkan matanya saat sampai di sebuah Galery melukis Andreas. Orang dengan tubuh tinggi dan bertubuh kekar itu keluar menemui Skala dan Galaxya. Wajahnya juga tidak dapat dikatakan jelek. Andreas terlihat sempurna dengan balutan tubuh atletisnya.
"Maaf mengganggu waktu Anda, kami hanya ingin menanyakan apakah Anda mengenal orang ini?" tanya Skala seraya menunjukkan foto Fauzia.
Andreas mengangguk cepat. "Ada masalah apa, Pak?"
"Kalau boleh tahu, apa hubungan Anda dengan Nona Fauzia?"
"Saya mengenalnya melalui aplikasi JodohKu. Saya beberapa kali bertemu dengan Zia. Karena dia tahu saya pelukis, dia ingin melukis wajahnya sendirian dan saya baru saja menyelesaikannya hari ini," ucap Andreas seraya menunjukkan hasil lukisan wajah Fauzia yang mirip seperti aslinya hanya dikerjakan dengan menggunakan pensil.
Galaxya melihat peralatan melukis Andreas dan mengernyit saat menemukan serbuk konte berceceran disana.
"Apa Anda menggunakan serbuk konte untuk melukis wajah Fauzia?" tanya Gakaxya.
Andreas mengangguk cepat. "Benar. Rata-rata semua lukisan saya menggunakan konte." .Skala menatap Andreas sekali lagi. Ia memastikan serbuk konte yang tercecer di galeri itu sama dengan serbuk konte yang ditemukan di kamar apartemen Fauzia.
"Apakah Anda pernah menemui Fauzia di apartemen dan kampusnya?" tanya Skala.
Andreas lagi-lagi mengangguk tanpa pikir panjang. " Saya melukis sketsa wajah Fauzia di kamar apartemennya karena dia ingin dilukis langsung. Sebelum itu, saya menjemput dia di kampusnya. Sebenarnya ada masalah apa ini, Pak? Apa ada yang terjadi dengan Fauzia?" tanya Andreas mulai khawatir.
"Fauzia ditemukan tewas dengan melompat dari balkon apartemennya. Dan kami menemukan serbuk konte di lantai apartemen korban. Untuk itu kami menanyai Anda, Tuan," ucap Skala tegas.
Andreas tampak sangat terkejut.
"Dia bunuh diri?" tanya Andreas tidak percaya.
Skala mengernyit. "Apa itu masuk akal?"
Andreas menggeleng. "Entahlah. Saya mengenalnya belum lama. Namun, sejauh saya mengenal dia, sepertinya bunuh diri bukan caranya untuk menyelesaikan masalah. Apa benar dia melompat dari balkon?"
Skala mengangguk.
"Apa Anda mengenal orang lain yang dekat dengan Zia?" tanya Galaxya.
Andreas diam sejenak. Ia mencoba mengingat kembali pertemuannya dengan Fauzia.
"Tidak. Dia termasuk orang yang tidak memiliki banyak teman. Hanya sempat bercerita tentang teman SMA nya yang juga bunuh diri. Dia bilang mereka cukup dekat saat SMA."
Skala dan Galaxya mengangguk bersamaan.
"Dia sempat bertemu dengan teman SMA nya yang lain dua hari lalu. Hanya saja saya lupa siapa namanya."
"Dia perempuan?" tanya Galaxya.
Andreas menggeleng. "Bukan. Laki-laki."
Skala dan Galaxya mengangguk paham. Sepertinya tidak ada alibi lain yang menunjukkan jika kematian Fauzia adalah sebuah pembunuhan, meskipun Skala belum menemukan juga penyebab utama Fauzia memilih mengakhiri hidupnya.
"Bagaimana apa kau sudah puas menyelidiki, Iptu Skala?" tanya Taufik saat Skala belum juga menyerahkan laporan penyelidikannya pada sang atasan.
Skala diam sejenak. Ia mengembuskan napas panjang. "Izin, Pak, tolong berikan saya tambahan waktu. Saya masih belum menemukan yang saya cari, Pak. Tolong, izinkan saya, Pak," Ucap Skala setengah memaksa.
Taufik mengembuskan napas kasar. "Kasus sekarang, berbeda dengan kasus beberapa waktu lalu, Skala! Tolong dipahami!" ucap Taufik tegas.
Skala mengembuskan napas kasar. "Saya hanya masih belum menemukan alasan mengapa kedua korban tersebut bunuh diri, Ndan. Tidak ada alasan khusus yang dapat dikatakan sebagai unsur pendorong seseorang berbuat nekat mengakhiri hidupnya sendiri."
"CUKUP! Saya sudah memutuskan kasus ini sebagai murni bunuh diri dan saya nyatakan kasus ditutup!" ucap Taufik tegas seraya membubuhkan cap pada dua buah berkas di atas mejanya.
Skala menahan napasnya. Ia menatap tajam ke arah Taufik sebelum akhirnya mengacak kepalanya frustrasi. Skala berjalan menuju meja kerjanya. Wajahnya memerah dengan rahang kokoh yang mengeras.
Ketiga anak buahnya hanya menatapnya nanar seraya saling melemparkan pandangan satu dengan yang lainnya tanpa ada yang berani memberikan interupsi.
Skala menunduk dengan kedua tangan berada di atas meja kerjanya. Ia membuang napas kasar, lalu melemparkan senyuman dipaksakan pada ketiga anak buahnya.
"Sudah malam, lebih baik kita makan."
Bersambung ....
_______________________
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
