
Kemenangan Hampa dan Hilangnya Jejak...
Lia meraih puncak kebahagiaan dalam perlombaan puisi, namun hampa terasa tanpa Reno di sisinya. Hari demi hari berlalu tanpa kabar, kecemasan mencengkeram hati Lia. Ke mana perginya Reno, sang juara umum yang selalu bersinar?
Bersama Mia dan Rina, pencarian pun dimulai. Pertanyaan demi pertanyaan dilayangkan, namun jawaban tak kunjung tiba. Jejak Reno seolah lenyap ditelan bumi. Sebuah firasat buruk mulai menghantui benak Lia. Ada rahasia apa di balik kepergian...
Kenyataan Pahit
Kemenangan Lia dalam perlombaan puisi membawa kebahagiaan tersendiri, namun kebahagiaan itu terasa hambar tanpa kehadiran Reno. Sejak hari perlombaan itu, Reno tidak terlihat lagi di sekolah. Awalnya, Lia mengira Reno sedang sibuk dengan urusan pribadinya, atau mungkin sedang sakit. Namun, hari demi hari berlalu, dan Reno tetap tidak muncul.
Lia mulai merasa khawatir. Ia mencoba menghubungi Reno melalui telepon dan pesan singkat, tetapi tidak ada jawaban. Ia bertanya kepada teman-teman sekelas Reno, tetapi tidak ada yang tahu ke mana Reno pergi.
"Ini aneh," kata Lia kepada Mia dan Rina, yang sedang berkumpul di taman sekolah. "Ke mana Reno pergi?"
Mia dan Rina saling pandang, lalu menggelengkan kepala. Mereka juga merasa bingung dengan hilangnya Reno.
"Mungkin dia sedang ada urusan keluarga," kata Rina, mencoba mencari penjelasan logis.
"Tapi kenapa dia tidak memberi tahu kita?" tanya Lia, merasa tidak tenang. "Dia tidak pernah seperti ini."
Mereka bertiga terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka tahu, ada sesuatu yang tidak beres. Mereka juga tahu, mereka harus mencari tahu ke mana Reno pergi.
"Kita harus mencari tahu," kata Lia, matanya berkilat-kilat. "Kita harus mencari Reno."
Mereka bertiga mulai mencari informasi. Mereka bertanya kepada guru-guru Reno, kepada teman-teman dekat Reno, kepada siapa pun yang mungkin tahu sesuatu. Namun, tidak ada yang tahu apa pun. Semua orang tampak bingung dan khawatir dengan hilangnya Reno.
"Ini seperti menghilang ditelan bumi," kata Mia, frustrasi. "Tidak ada jejak sama sekali."
Lia teringat percakapan terakhirnya dengan Reno sebelum perlombaan puisi. Reno tampak bahagia dan bersemangat. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan pergi.
"Ada yang aneh," gumam Lia. "Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan."
Mereka bertiga memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam. Mereka menjelajahi tempat-tempat yang sering dikunjungi Reno, berharap bisa menemukan petunjuk. Mereka memeriksa akun media sosial Reno, tetapi tidak ada unggahan baru.
"Kita tidak bisa menyerah," kata Lia, penuh semangat. "Kita harus menemukan Reno."
Mereka bertiga berjanji untuk terus mencari, sampai mereka menemukan jawaban atas misteri hilangnya Reno.
Hari-hari tanpa Reno di klub menulis terasa hampa. Ruangan yang biasanya riuh dengan diskusi sastra kini terasa sunyi dan sepi. Meja tempat Reno biasa duduk kini kosong, kursi tempatnya biasa bersandar kini dingin. Lia, Mia, dan anggota klub lainnya berusaha untuk tetap bersemangat, tetapi bayangan Reno selalu menghantui mereka.
Setiap kali seseorang membaca puisi atau cerpen, Lia teringat akan suara Reno yang merdu, membacakan kata-kata dengan penuh penghayatan. Setiap kali seseorang melontarkan ide brilian, Lia teringat akan senyum Reno yang cerdas, mengangguk setuju. Setiap kali seseorang tertawa lepas, Lia teringat akan tawa Reno yang hangat, menular.
Lia merasa seperti kehilangan separuh jiwanya. Ia merindukan Reno, bukan hanya sebagai teman satu klub, tetapi juga sebagai seseorang yang ia cintai. Ia merindukan percakapan mereka, tawa mereka, dan dukungan mereka.
Mia dan anggota klub lainnya berusaha menghibur Lia, tetapi mereka tahu, tidak ada yang bisa menggantikan Reno. Mereka hanya bisa menunggu, berharap Reno akan segera kembali.
Suatu sore, saat klub menulis sedang berlangsung, Lia tidak bisa menahan air matanya. Ia keluar dari ruangan, berjalan menuju taman sekolah, tempat ia dan Reno sering menghabiskan waktu bersama.
Di bangku taman, Lia duduk sendirian, menatap langit senja yang mulai kelabu. Ia merasa seperti sedang berada dalam mimpi buruk, di mana ia kehilangan segalanya.
"Reno, di mana kamu?" bisik Lia, air matanya menetes. "Aku merindukanmu."
Tiba-tiba, Lia merasakan seseorang duduk di sampingnya. Ia menoleh, dan melihat Mia menatapnya dengan tatapan penuh simpati.
"Kamu tidak sendirian, Lia," kata Mia, menggenggam tangan Lia. "Kami semua merindukan Reno."
Lia tersenyum tipis, merasa sedikit lega. Ia tahu, ia tidak sendirian. Ia memiliki Mia dan teman-teman klub menulisnya, yang akan selalu ada di sisinya.
"Kita harus menemukan Reno," kata Lia, matanya berkilat-kilat. "Kita tidak boleh menyerah."
Mia mengangguk setuju. "Kita akan mencarinya bersama-sama, Lia. Kita akan menemukan Reno."
Rasa penasaran dan kekhawatiran yang semakin besar mendorong Lia, Mia, dan Rina untuk mencari tahu alamat rumah Reno. Mereka mendatangi sekolah dan mencari data siswa, namun informasi yang mereka dapatkan sangat terbatas. Mereka hanya menemukan alamat rumah Reno, namun tidak ada nomor telepon yang tercantum.
Dengan tekad bulat, mereka memutuskan untuk mendatangi rumah Reno. Rumah itu terletak di sebuah kompleks perumahan yang tenang, jauh dari keramaian kota. Mereka mengetuk pintu rumah itu, dan seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Wajahnya tampak lelah dan sedih.
"Kalian teman-teman Reno?" tanya wanita itu, suaranya serak.
Lia, Mia, dan Rina mengangguk.
"Kami mencari Reno," kata Lia, suaranya pelan. "Apakah dia ada di rumah?"
Wanita itu menggelengkan kepala. "Reno... dia di rumah sakit."
Lia, Mia, dan Rina terkejut. "Rumah sakit? Sakit apa?" tanya Mia, khawatir.
Wanita itu menghela napas panjang. "Reno... dia... dia membutuhkan perawatan khusus. Perawatan yang tidak mudah."
Lia, Mia, dan Rina terdiam. Mereka merasakan kesedihan yang mendalam. Mereka tahu, ada sesuatu yang serius sedang terjadi.
"Kami ingin menjenguknya," kata Lia, suaranya bergetar. "Di rumah sakit mana dia dirawat?"
Wanita itu menyebutkan nama rumah sakit dan nomor kamar Reno. Lia, Mia, dan Rina berterima kasih kepada wanita itu dan segera bergegas menuju rumah sakit.
Di rumah sakit, mereka menemukan Reno terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, matanya sayu. Namun, ketika melihat Lia, Mia, dan Rina, ia tersenyum tipis.
"Kalian datang," bisik Reno, suaranya lemah.
Lia, Mia, dan Rina mendekati ranjang Reno dan menggenggam tangannya. Mereka merasakan kesedihan yang mendalam, melihat kondisi Reno yang memprihatinkan.
"Kami akan membantumu, Reno," kata Lia, air matanya menetes. "Kami akan mencari cara untuk membantumu."
Reno tersenyum, merasa terharu dengan kebaikan teman-temannya. Ia tahu, ia tidak sendirian.
Setelah mengunjungi Reno di rumah sakit, Lia, Mia, dan Rina menyadari betapa mendesaknya situasi ini. Biaya operasi Reno sangat besar, dan keluarga Reno tampak kesulitan untuk memenuhinya. Mereka bertiga merasa terpanggil untuk membantu.
"Kita harus melakukan sesuatu," kata Lia, matanya berkilat-kilat. "Kita tidak bisa membiarkan Reno sendirian."
Mia dan Rina mengangguk setuju. Mereka bertiga memutuskan untuk menggalang dana dari teman-teman sekolah. Mereka membuat pengumuman di media sosial sekolah, menjelaskan situasi Reno dan meminta sumbangan sukarela.
Awalnya, mereka merasa pesimis. Namun, mereka terkejut dengan respons yang mereka terima. Banyak siswa yang bersimpati dengan kondisi Reno dan bersedia memberikan sumbangan. Dalam waktu singkat, mereka berhasil mengumpulkan sejumlah uang yang cukup besar.
"Kita berhasil!" seru Mia, matanya berbinar. "Kita bisa membantu Reno!"
Mereka bertiga bergegas menuju rumah sakit, membawa serta uang hasil sumbangan. Mereka merasa lega dan bahagia, membayangkan senyum Reno ketika menerima bantuan mereka.
Namun, ketika mereka tiba di rumah sakit, suasana di sana tampak berbeda. Ruang tunggu dipenuhi dengan wajah-wajah muram. Mereka melihat ibu Reno duduk di sudut ruangan, menangis tersedu-sedu.
"Ada apa?" tanya Lia, suaranya bergetar.
Ibu Reno menatap mereka dengan mata sembab. "Reno... dia..."
Kata-kata itu tidak perlu diucapkan. Lia, Mia, dan Rina mengerti. Mereka merasa dunia mereka runtuh. Harapan mereka hancur berkeping-keping.
Mereka terlambat.
Reno telah pergi.
Ruang tunggu itu dipenuhi dengan isak tangis. Lia, Mia, dan Rina duduk terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka merasa bersalah, menyesal karena tidak datang lebih cepat.
Mereka telah kehilangan seorang sahabat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
