Ritual Angka Ganjil

18
0
Deskripsi

Ini adalah cerita pendek asli karya author yang dipublikasikan tahun 2019. Genre saga (keluarga). Kalian bisa baca gratis tanpa dukungan. Tapi kalau mau kasih tip, author nggak nolak hahaha

RITUAL ANGKA GANJIL

Jingga tergores makin rapat di langit raya. Burung-burung mencicit, mengepakkan sayap yang membawa tubuh ringkih mereka menuju sarang. Daun mangga pasrah terbawa tiupan angin, menjatuhkannya di tanah kering yang seharian tertempa terik kemarau. Ia menatap kosong di depan jendela yang terbuka daunnya. Sesekali sapu tangan putih bersih ia usapkan di telapak tangan. Hatinya terasa hampa. Sesuatu dari masa lalu menyeruak, menghantam pikirannya dengan bisikan-bisikan aneh yang meracuninya.

Pintu kamar berderik, suaranya terdengar jelek karena engselnya telah lama berkarat. Kepalanya tertoleh. Sesosok lelaki berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka. Wajahnya terlihat lelah, dengan jeans robek-robek di lutut dan jaket butut membungkus kemeja kotak-kotak, melekat di tubuh tegapnya. Ia menyunggingkan senyum polos pada lelaki itu. Rambutnya berkibar menutupi separuh wajah. Ia mengernyit sebal.

"Abang pulang." Lelaki itu menggenggam handle pintu dengan erat. Senyumnya tersungging tipis.

Ia kembali mengernyit tak suka. Matanya mengarah ke tangan lelaki itu. "Jangan pegang. Itu kotor."

Lelaki itu terdiam, melepaskan tangannya dari handle pintu. Ekspresi di wajah tegas itu berubah datar saat mendekatinya. Ia menahan napas saat tangan besar dan kasar itu memegang pergelangan tangannya.

"Abang baru gajian, tadi," si lelaki berkata dengan nada sedikit lunak. "Malam ini kita makan di restoran Koh Leon saja, ya?"

Ia mengangguk kaku. Seperti robot. Tangannya terasa tidak nyaman karena masih berada di genggaman lelaki itu. Terasa janggal. Ia tidak suka perasaan ini. Benaknya berpikir untuk segera lepas, tapi sorot tajam namun lembut orang di hadapannya membuat saraf geraknya kaku.

"Ganti baju sana. Abang tunggu di depan," kata lelaki itu sebelum melepaskan tangannya dan berbalik keluar dari kamar.

Ia terdiam, memandangi daun pintu yang ditutup dari luar. Lagi-lagi suara derikannya terdengar mengganggu di telinga. Pandangannya turun ke pergelangan tangan. Bibirnya menyeringai.

"Kotor," gumamnya sebelum berlari menuju kamar mandi secepat yang kakinya bisa. Ia harus segera menghilangkan kotoran itu sampai bersih sempurna karena ia masih ingin hidup.

Lima puluh tujuh menit dua puluh dua detik. Ia keluar dari kamar. Pandangannya berkunang-kunang. Dahinya terasa berat. Wajah dan kedua tangannya masih basah dan terasa kebas. Tapi ia cukup puas karena akhirnya merasa lumayan bersih.

"Kau ketiduran?"

Matanya mengerjap. Lelaki itu sudah berdiri di ambang pintu depan, dengan setelan yang sama seperti tadi, hanya berganti kemeja. Ia bingung, tidak paham kenapa rahang lelaki itu mengetat seolah menahan emosi. Ia bahkan tak merasa melakukan kesalahan.

"Aku baru selesai mandi," katanya kalem.

Lelaki itu menatapnya lurus seperti menembus bola matanya. "Berapa kali kau menggosok badan? Tiga? Tujuh? Sebelas? Tujuh belas? Berapa kali ini kau mengulangnya?"

Ia memiringkan kepala, bingung. Kendati begitu, jemarinya bergerak menghitung. Lalu mulutnya bersuara dengan suara tenang, "Seingatku tujuh belas. Kotorannya susah dihilangkan."

Lelaki itu terkekeh menatap langit-langit. Ia bisa melihat bibir kehitaman akibat rokok itu menggumamkan sesuatu yang gagal terjangkau indera pendengarannya.

"Kapan kita berangkat?" tanyanya polos.

Lelaki itu menoleh cepat ke arahnya. Terkekeh, lalu berjalan keluar tanpa kata-kata lagi. Ia mengedipkan kedua mata berkali-kali. Tidak mengerti. Memilih ikut keluar. Lelaki itu sudah duduk di atas jok motor matic saat ia sampai di depan rumah. Ia segera mendekat.

"Naik," perintah lelaki itu.

Ia membuka tas, mengambil beberapa lembar tisu dan mengelap jok motor bagian boncengan. Ia lakukan berulang-ulang sampai lelaki itu mendecakkan lidah tapi tak bisa berkata apa pun. Setelah merasa yakin jok itu bersih, ia baru bisa duduk dengan tenang. Motor bergerak dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang ramai oleh kendaraan beroda dua maupun empat. Ia memejamkan mata rapat, sekilas bayangan sosok gadis berpakaian kotor dan lusuh berjalan tertatih di tepi trotoar berkelebat di benaknya. Tubuhnya terasa panas. Napasnya sesak.

Paru-parunya kembali dihampiri oksigen dengan leluasa saat motor yang ia tumpangi berhenti di depan sebuah restoran kelas menengah. Ia segera melompat turun. Wangi masakan menyeruak ke hidung ketika mereka berjalan beriringan menuju salah satu meja dekat jendela. Ia diam. Tak menuruti perintah lelaki yang saat ini sudah duduk terlebih dahulu. Justru sorot matanya terarah ke kursi, meneliti dan mengamati dengan jeli seolah ada sesuatu yang mengganggu di permukaan benda dari plastik itu.

"Duduk." Lelaki di depannya kembali bersuara. "Tunggu apa lagi?"

"Ada kotoran," gumamnya pelan.

Tangannya merogoh beberapa lembar tisu dari tas kemudian menggosok-gosokkannya ke permukaan kursi. Seolah sedang membersihkan kaca jendela yang penuh debu, ia melakukannya berulang-ulang. Hampir seperempat isi kotak tisu berukuran sedang ia habiskan hanya untuk membuatnya yakin mendaratkan pantat dengan aman di sana, dan meletakkan kedua tangan di atas meja yang sebelumnya ia perlakukan seperti kursi tadi. Bibirnya tersungging tipis, membalas tatapan datar lelaki itu.

Lelaki di depannya mengangkat tangan, memberi isyatat pada seorang pelayan agar mendekat.

"Bakso beranak dan es jeruk, masing-masing dua."

"Baik. Tunggu sebentar."

Pelayan pergi undur diri. Ia mengatupkan mulut. Kedua telapak tangannya sesekali ia usapkan di tepian rok. Kakinya bergerak tak nyaman. Beberapa pengunjung menyantap pesanan mereka sembari tertawa keras. Tak lama kemudian, sang pelayan datang dan meletakkan dua mangkuk bakso serta dua gelas es jeruk di atas meja.

Ia menatap permukaan meja dengan kerutan di kening. Tangannya bergerak cepat, mengambil selembar tisu dari dalam tas, menggunakannya untuk mengelap sendok yang tergeletak di sebelah mangkuk. Tak menghiraukan sorot penasaran orang-orang di dekatnya, ia terus mengelap benda itu berulang-ulang. Membuang bekas tisu itu di tempat sampah tak jauh dari kursi tempatnya duduk, ia merogoh sepembar tisu lagi. Mengelap sendok itu lagi. Mengulangnya hingga habis berlembar-lembar.

Sang pelayan yang ternyata masih di situ, terperangah. Ia tak peduli. Merasa lebih penting untuk menghilangkan sesuatu di sendok dan garpu itu, daripada memedulikan sang pelayan dan beberapa orang yang menatapnya aneh.

"Ran, berhenti!" hardik lelaki itu dengan wajah merah padam.

Ia spontan mendongak. Menatap lelaki itu seolah tidak ada yang salah. "Ini belum bersih," katanya polos.

"Berhenti bersikap tidak sopan. Buang tisu itu!" perintah lelaki itu.

"Tapi aku baru sampai angka enam. Tinggal sekali lagi," jawabnya.

Lelaki itu menggeram. "Kubilang, buang!"

Sang pelayan bergegas pergi. Beberapa pengunjung masih memperhatikan dengan raut penasaran yang kentara. Lelaki itu mengepalkan kedua tangan hingga buku-buku jarinya memutih.

"Ini kotor. Aku tidak bisa makan dengan sendok kot-"

"Tidak ada yang kotor, Kiran!" potong lelaki itu dengan nada tinggi. Beberapa pengunjung di dekat mereka terlonjak. Ia juga ikut terkejut. Lelaki itu menatapnya tajam, sebelum beranjak berdiri. "Kita pulang. Nafsu makanku sudah hilang."

Ia tidak mengerti kenapa matanya memanas melihat lelaki itu meletakkan selembar uang berwarna biru di atas meja sebelum berjalan keluar bahkan tanpa mengajaknya. Sama seperti tidak mengertinya ia, kenapa lelaki itu marah hanya karena ia membersihkan sendok dan garpu itu. Ia hanya tidak mau kotor. Tidak akan ada yang mau berteman dan dekat dengannya jika ia kotor, bukan?

"Aku tidak mengerti kenapa sikapmu semakin menjadi-jadi seperti ini!"

Lelaki itu marah. Itu yang ia simpulkan saat mendengar makiannya begitu mereka sampai di rumah.

"Kenapa kau marah?" tanyanya.

"Marah?" Lelaki itu terkekeh sinis, berkacak pinggang membalas tatapan bingungnya. "Aku tidak marah. Aku hanya muak melihat sikapmu yang semakin hari berubah semakin aneh. Mencuci tangan berulang-ulang. Menggosok badan berkali-kali. Kau selalu memandang jijik pada benda-benda yang akan kau pegang. Bahkan kulit kakakmu sendiri kau anggap penuh kotoran. Aku tidak mengerti kenapa kau menjadi segila ini."

Ia mengerjap bingung. Semua aktifitas yang ia lalui sehari-hari berjejalan masuk memenuhi kepalanya. Ia menggeleng panik. Hatinya terus berbisik, bahwa apa yang ia lakukan sudah sangat benar. Ia tidak segila itu. Ia tidak gila.

"Aku hanya menjaga kebersihan. Apa yang salah dengan itu?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Menjaga kebersihan tidak salah. Yang salah adalah kegilaanmu terhadap kebersihan itu sendiri, yang membuatmu harus terus menerus menjalankan ritual itu. Gosok gigi sebelas kali. Cuci tangan dan wajah tujuh belas kali. Mandi sehari tujuh kali. Aku benar-benar tidak tahan dengan kombinasi angka ganjil itu!  Kau tahu? Dua tahun aku menunggumu, berharap kau menjadi Kiran yang dulu. Adikku yang ceria dan penuh tata krama. Bukan gadis gila sepertimu!"

"Aku tidak gila! Aku hanya menghindari kotoran. Orang-orang tidak mau dekat denganku kalau aku kotor. Aku akan dihina kalau tidak bersih!" bantahnya setengah membentak.

Lelaki itu menggeram marah. Raut frustasi tampak jelas di wajahnya. Tubuh tegapnya berbalik, melangkah tergesa menuju pintu. Ia yang melihatnya semakin panik. Ia berlari mengejar, dan tanpa pikir panjang mencekal lengan lelaki itu.

"Abang, jangan pergi."

Ia tersentak saat tangannya diempaskan begitu saja. Ia menatap terperangah pada punggung lelaki yang pernah tinggal empat tahun lebih dulu di rahim yang sama dengannya itu.

"Jangan sentuh aku." Lelaki itu berucap dengan nada dingin, "Tanganmu kotor. Tubuhmu penuh kotoran. Aku tidak tahan berada dekat denganmu."

Suara bedebum bantingan pintu disusul raungan mesin motor yang menjauh, terdengar samar di telinganya. Ia mematung. Kalimat terakhir lelaki itu berputar-putar di kepalanya, terulang-ulang seperti kaset rusak. Adrenalinnya terpacu tinggi. Keringat dingin mulai bertitik di pori-pori kulitnya. Suara tawa dan cemooh di masa remaja kembali terngiang dengan kejam, menyakiti indera pendengarannya. Pandangannya menurun. Ia terlonjak. Warna cokelat gelap membalut seluruh tubuhnya yang mengenakan seragam putih biru. Bau busuk memenuhi indera penciumannya. Kakinya mundur beberapa langkah, sebelum ia berteriak amat keras penuh kepanikan.

***

"Tumben kau meninggalkan Kiran malam-malam begini?"

Dani menoleh sekilas pada Rian yang duduk di sebelahnya, sebelum menatap lurus pertandingan sepak bola di layar datar itu. Ia mengisap rokok yang terselip di kedua bibirnya dengan pelan. Benaknya kembali mengingat getar suara adiknya saat ia pergi tadi.

"Dia sudah keterlaluan. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapinya," tuturnya pelan.

"Keterlaluan bagaimana? Seingatku, dia tidak pernah membuat kesal orang lain," balas Rian bingung.

"Kau bahkan bertemu dia sudah dua tahun lalu," gumam Dani. Lelaki itu mendesah. "Dia sudah amat berubah."

"Berubah bagaimana?"

Dani lagi-lagi mendesah. Sangat berat baginya menceritakan keadaan Kiran saat kekesalan masih menggelayuti hatinya seperti ini. Tapi kalau tidak bercerita pada Rian, pada siapa lagi? Hanya lelaki itu satu-satunya teman yang ia punya.

"Dia jadi gila kebersihan. Apa pun yang terlihat di matanya, selalu penuh kotoran. Ekspresinya selalu jijik saat melihat apa pun. Dia selalu membersihkan semuanya berulang-ulang, tidak peduli aku mengatakan bahwa itu sudah bersih. Dia juga seperti terobsesi dengan pengulangan angka ganjil. Ritual kebersihan yang dia lakukan selalu berhenti di angka ganjil. Paling sedikit tujuh kali, paling banyak? Tak terhingga, yang penting ganjil." Dani menggeleng frustasi. "Dia seperti hilang kewarasan."

Rian terdiam. Ekspresinya seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Dani masih terlarut dalam pikirannya, hingga seruan temannya itu membuatnya terlonjak kaget.

"Kenapa kau?" tanya Dani heran.

Rian menjentikkan jari, "Sebentar."

Dani terheran-heran melihat Rian menghilang di balik pintu kamarnya. Tak berselang lama, lelaki tinggi kurus itu kembali keluar dengan koran di tangannya.

"Kau yang keterlaluan kalau menganggap Kiran gila," ucap Rian sembari duduk kembali di sebelah Dani.

"Ya aku akui itu. Tapi kenyataannya memang begitu," balas Dani tak semangat.

Rian meletakkan koran itu di tangan Dani. "Baca ini!"

Dani menatap judul artikel yang ditunjuk Rian dengan bingung, "OCD?"

Rian mengangguk, "Baca dulu."

Masih dengan ekspresi bingung, Dani menekuri kata per kata dari artikel itu. Semakin banyak kalimat yang dibacanya, semakin tegang raut wajahnya. Jemarinya agak bergetar mencengkeram erat koran itu. Di akhir kalimat, Rian menunjuk ke paragraf terbawah.

"Apa dia pernah mengalami kejadian yang membuatnya trauma?"

Dani terdiam, menerawang. Ingatannya terlempar ke masa dua tahun lalu, bulan-bulan awal ia dan Kiran menjadi yatim piatu. Hampir tiap hari adiknya itu pulang sekolah dengan kondisi kacau. Sekujur tubuhnya selalu dipenuhi kotoran, kadang lumpur, air bekas cucian piring, atau bahkan cairan kental dan pekat berbau busuk. Ia tidak pernah bertanya, karena gadis itu berubah tertutup setelah kematian orang tua mereka. Dan juga, ia sendiri sedang fokus mengumpulkan uang untuk kehidupan sehari-hari dan juga biaya sekolah adiknya itu. Bahkan saat itu ia tidak peduli kuliahnya yang baru dua semester, terhenti begitu saja.

"Kurasa dia memang mengalami OCD." Rian kembali berbicara. "Sebaiknya kau pulang dan bicarakan ini dengan adikmu."

Dani tiba-tiba terlonjak berdiri. Hatinya terasa tertampar saat ingat ucapannya kepada Kiran sebelum pergi tadi. Ia mengusap wajahnya kasar. Bagaimana bisa ia berkata sekasar itu?

"Aku pulang!" gumam Dani sembari berlari keluar dari rumah Rian.

Lelaki itu mengendarai motornya dengan kecepatan tak beraturan. Pikirannya berkecamuk. Obsessive Compulsive Disorder. Penderitanya mudah terpengaruh, dan bisa saja menyakiti diri sendiri kalau sedang panik. Bagaimana kalau perkataan kasarnya memengaruhi Kiran? Bagaimana kalau gadis itu melakukan hal buruk untuk menghilangkan kotoran dari tubuhnya—yang sebenarnya tidak ada?

Dani segera lompat dari motor dan berlari masuk ke dalam rumah. Ia bergegas membuka kamar tidur Kiran, dan langsung panik karena ruangan itu kosong. Saat telinganya mendengar aliran air dari kamar mandi, ia segera melesat ke sana. Dibukanya pintu itu dengan kasar. Ia terperangah mendapati apa yang ada di sana. Gadis itu tengah bersimpuh di bawah keran setinggi semeter yang mengalir, masih dengan pakaian seperti saat mereka pergi bersama beberapa jam lalu.

Tubuh Kiran terlihat menggigil hebat, membuat Dani ketakutan sendiri menebak berapa lama adiknya itu terguyur air. Wajahnya seputih kertas. Bibir merah alaminya berubah kebiru-biruan. Dan yang membuat hatinya mencelos, kulit lengan terbuka gadis itu sudah dipenuhi luka garukan dengan titik-titik darah keluar dari sana. Lelaki itu mematikan keran dengan hati bergejolak dan emosi tak tertahankan.

"Apa yang kau lakukan?!" Dani menatap marah hingga kedua tangannya terkepal kuat.

Kiran mendongak. Tatapan sayu itu sangat mirip dengan tatapan gadis itu ketika pulang dari sekolah dengan keadaan 'kotor'. Kesepuluh jemarinya masih menggaruk-garuk kulitnya yang terekspos.

"Abang, aku kotor."

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
FreeCerpen
Selanjutnya Amnesia (Bentuk Tulisan)
20
0
Selama lima tahun ini aku berusaha melupakan tentangnya. Tentang dia yang kucinta, tapi ternyata dia juga yang melupakanku.Note: cerpen ini aku tulis sudah lama sekali, tapi mungkin saja kalian belum pernah membaca. Genre romance.***1Delete. Klik.Aku memejamkan mata sambil menekan salah satu tombol di keyboard laptop. Ini foto kelima puluh satu yang sudah kuhapus malam ini, dari memori laptopku. Ini benar-benar menyedihkan. Sudah hampir sepuluh tahun aku menyimpan foto-foto itu, memandanginya tiap malam sebagai pengantar tidur, mengenang masa-masa yang telah lalu. Sebagian foto itu kuambil saat umurku masih tujuh belas, di saat keberadaannya bagiku hanya tak lebih dari sekadar kakak dari sahabatku.Ya, saat kami masih akrab satu sama lain dan sering berswafoto bersama. Saat itu, virus merah jambu ini sama sekali belum kusadari keberadaannya dalam hatiku. Tak pernah sedikit pun aku berpikir bahwa aku menyukainya, mulai menganggapnya lebih dari seorang kakak.Hingga suatu hari, aku menyadari perasaanku, yaitu saat dia sering mengajak teman perempuannya bergabung bersama kami, saat hang out. Aku merasa cemburu. Jika tiap kali keluar, dia selalu berjalan berdampingan denganku, kali itu tidak. Dia berdampingan dengan temannya itu, tertawa bersama seolah aku dan adiknya tidak ada di antara mereka. Saat itulah aku mulai merasakan benih-benih cinta tumbuh dalam hatiku atas namanya.Dia, cinta pertamaku. Yang berhasil membuatku terpesona dengan apa pun yang dilakukannya. Yang membuat jantungku menggedor-gedor tak keruan saat kami berdekatan. Yang senyumnya mampu melelehkan salju dalam hatiku. Yang keberadaannya sangat penting untuk hari- hariku. Namun, tak pernah sedikit pun aku berpikir untuk mengungkapkan perasaan ini, karena aku terlalu takut untuk itu. Aku takut kami menjadi orang asing jika dia mengetahui perasaan ini. Jadilah aku hanya memendamnya, karena hanya dengan memendamnya seperti ini saja, aku sudah cukup bahagia.Hingga suatu hari, tiga tahun sejak aku jatuh cinta padanya, sesuatu terjadi. Sebuah kejadian yang membuat semuanya berubah, dan hari itu menjadi hari terakhirku bertemu dengannya. Hari itu, hari ulang tahunku yang ke-20, dan orang tuaku yang kebetulan sedang berada di Jakarta, mengadakan sebuah pesta ulang tahun untukku. Semua teman-teman kuundang, baik teman-teman se-fakultas, maupun teman-teman seangkatan SMA dulu. Bahkan aku mengundang Rani, rivalku dalam bidang akademik dan organisasi di SMA.Dan berkat Rani-lah, sesuatu itu terjadi.Sampai sekarang aku masih terus mengutuk diriku sendiri karena mengundangnya dalam acara perayaan ulang tahunku waktu itu. Saat itu, setelah acara potong kue, tiba-tiba Rani naik ke panggung, merencanakan sesuatu untukku.Aku akan memberikan hadiah padamu yang tak akan pernah kau lupakan seumur hidupmu, kata Rani, waktu itu.Aku tidak tahu apa yang direncanakannya, tapi saat itu aku sudah merasakan firasat buruk. Dan benar saja, Rani mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Buku yang sangat kukenal, yang sudah bertahun-tahun ini hilang.Baru kusadari bahwa pencuri buku harianku adalah Rani!Aku beranjak, berniat merebut buku itu dari tangan Rani. Tapi sialnya, teman Rani mengunci tanganku dari belakang, menahanku agar tidak menghampiri Rani. Dan semuanya terjadi begitu saja, Rani membacakan seluruh isi buku harianku yang menceritakan tentangnya. Tentang perasaanku padanya. Hingga semua orang yang hadir di sana tahu, dan pesta menjadi kacau. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain menunduk dengan wajah memerah menahan malu. Sesaat, aku melirik ke arahnya, dan jantungku terasa seperti berhenti berdetak.Wajahnya merah padam, tampak menahan marah. Kurasa sebentar lagi akan muncul tanduk di kepalanya, yang bersiap akan menyerudukku hingga remuk. Dan aku semakin menunduk saat semua orang menatapku, dan juga menatapnya. Sahabatku, Diana, hanya terdiam sambil menatapku iba.Sejak hari itu, aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Selain karena merasa sudah tidak punya muka lagi di depannya, aku juga langsung memutuskan untuk pindah kuliah ke kota tempat tinggal orangtuaku di Medan.Hari ini tepat delapan tahun sejak terakhir kali kami bertemu. Dan ya, aku memutuskan untuk menghapus semua yang berhubungan dengannya, termasuk foto-foto yang kusimpan di memori laptop. Perjuanganku selama delapan tahun untuk melupakannya, sepertinya membuahkan hasil saat kegiatan sehari-hariku disibukkan dengan profesiku sebagai seorang psikiater.***Dukung untuk lanjut membaca ♡
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan