(Ekstra Part Saja) Hello, Gajah

3
3
Terkunci
Deskripsi

Yang baca Hello, Gajah! sampai tamat di Wattpad dan belum punya kesempatan beli PDF, aku ready ekstra part secara terpisah ya. Harga 20k. Promo 17k sampai 10 Januari 2024. Isi 1 bab ending, 5 ekstra part, dan 2 special part. Gunakan kode voucher PRADIPTA untuk mendapatkan potongan harga sebesar 3k.

Note: Yang udah beli PDF nggak perlu beli ini yaa hehe

1 file untuk di-download

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
200
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Kategori
Ekstra Part
Selanjutnya Never Goodbye (Full+ ekstra part)
1
0
Never Goodbye by Septi Nofia SariHarga normal: 50k Harga promo: 40k (sampai 26 Maret 2025)Isi: 860 halaman  Versi PDF: 40 bab+3 ekstra part  Versi Wattpad: 27 bab (tamat versi wp)Blurb:Di umur 24 tahun ini, kehidupan Lola Lolita sudah cukup sibuk. Mulai dari jadi komikus, drakoran, hingga fangirling. Itu sudah sempurna untuk jomlo sepertinya. Namun sejak tinggal di rumah Eyang, kesibukan Lola bertambah satu lagi.Mau tahu apa itu? Mengamankan hati dan pikirannya dari Kefan, anak tetangga sebelah sekaligus mantan yang Lola putuskan empat tahun lalu karena bosan. Gawat sekali kalau Lola terbawa perasaan karena sikap ambigu Kefan, bukan? That's big no!Apa lebih baik Lola menerima tawaran Tante Eni untuk kencan buta saja?NOTE: Gunakan kode voucher Ayobalikan untuk mendapatkan diskon sebesar 10k. PREVIEW1. Dari Segi Apa?Tante itu, ya, Mbak Lola, dulu habis putus hubungan, ya sudah nggak ada kontak lagi. Apalagi Tante fokus sekolah perawat. Jadi nggak ada waktu buat meratapi patah hati. Lagi pula, buat apa mikirin masa lalu? Betul tidak, Mbak Lola?Mami udah cerita tentang itu puluhan kali, tahu.Mami ceritanya sama Mbak Lola, loh, bukan Adek. Mbak Lola keberatan?Bilang keberatan, Kak.Aku tertawa kecil saat mendengar bisikan dari Mitha—remaja dengan tubuh berisi yang duduk di samping kananku. Sementara Tante Eni mencebikkan bibir karena pasti dengan jelas melihat dan mendengar anaknya berbisik.Enggak, kok, Tante. Lola sama sekali nggak keberatan. Lalu kutaruh telapak tangan di dekat mulut. Lola suka banget malahan kalau dengar tentang kisah perjalanan cinta orang-orang. Kan lumayan buat inspirasi, Tante.Nah, dengar, Adek. Cerita Mami bisa jadi inspirasi Mbak Lola. Tante Eni tersenyum bangga, sementara Mitha memajukan bibir.Terserah Mami aja, deh.Tante Eni terkikik, kemudian kembali melanjutkan kisah perjalanan cintanya bersama mantan pacar saat SMA. Om Haris, mantan yang kini jadi papi dari anak-anaknya Tante Eni.Kata Tante Eni, Om Haris adalah seniornya saat SMA. Mereka berpacaran saat Om Haris di kelas tiga. Namun setelah kelulusan, tiba-tiba Om Haris memutuskan hubungan tanpa alasan yang jelas. Setelah itu Om Haris tidak bisa dihubungi. Rumahnya pun sudah pindah. Sejak itu Tante Eni memutuskan untuk fokus sekolah dan melanjutkan pendidikan di jurusan keperawatan.Bertahun-tahun kemudian, Tante Eni berhasil menjadi perawat yang ditempatkan di sebuah rumah sakit swasta. Yang tak disangka adalah Tante Eni kembali bertemu dengan mantan pacarnya yaitu Om Haris. Di rumah sakit itu, Om Haris ternyata merupakan salah satu dokter anak—departemen yang sama dengan tempat Tante Eni bekerja. Dari situlah mereka kembali dekat.Tante sadar kok, Om mau pedekate lagi. Tapi Tante jual mahal, dong. Nggak semudah itu, kan?Aku tertawa. Tapi Om Haris ngejar Tante?Sembari memakan keripik, Tante Eni mengangguk. Hampir satu tahun Tante cuekin Om.Keren! Aku mengacungkan dua jempol dan Tante Eni tersenyum bangga.Kasihan Papi. Mitha menyeletuk.Kasihan Mami, dong, Dek. Mami diputusin tanpa alasan. Adek mah belum pengalaman patah hati. Pacar aja nggak punya.Emang Adek boleh pacaran sekarang, Mi? Sepasang mata Mitha langsung berbinar.Nggak boleh, enak aja! Tante Eni mengacungkan jari telunjuk. Kamu boleh punya pacar kalau udah lulus SMA. Itu pun dengan syarat dan ketentuan berlaku dari Papi sama Abang.Tuh kan, Kak Lola. Mitha memeluk lenganku sembari cemberut. Suka gitu Mami tuh. Hobinya ngeledek aku, tapi giliran aku mau pacaran, nggak boleh.Loh, kan Mami ikut peraturan Papi sama Abang. Daripada dimarahin, hayo?Ya jangan sampai ketahuan Papi sama Abang, Mi. Mitha setengah berbisik, Diem-diem aja.Apanya yang diem-diem?Suara bariton itu mengagetkan kami bertiga. Leherku sontak bergerak, menoleh ke arah pintu depan rumah Tante Eni di mana seseorang muncul. Sosok pria tinggi yang kelihatan keren dengan jin putih dan kemeja hitam. Rambut under cut-nya ditata rapi. Kacamata berbingkai hitam melengkapi visualnya yang makin hari makin tampan. Aku tidak menyalahkan mataku yang terpesona selama beberapa detik sebelum tersadarkan begitu kami bertemu tatap. Pria itu mengedikkan dagu dengan ekspresi kaku seperti biasa. Menipiskan bibir, aku melengos dan buang muka.Eh, udah pulang, Bang? Tante Eni bersuara lebih dulu. Kok Mami nggak dengar suara motor kamu?Asyik ngobrol, sih. Pria itu mendekat dan tiba-tiba duduk di sebelah kiriku. Aku menoleh dengan tatapan sengit, tapi dia mengabaikanku. Dengan santai melepas tas selempang, dia menoleh ke arah Mitha yang cengar-cengir. Adek mau pacaran diam-diam?Abang salah dengar.Nggak salah dengar. Adek memang mau pacaran, Bang.Aku menahan senyum begitu Tante Eni mengatakannya dengan jujur. Mitha memajukan bibir. Pria di sebelahku menoleh. Karena tak ingin menghalangi pandangannya ke arah Mitha, aku memundurkan punggung dan bersandar di sandaran sofa. Pria itu melirikku tapi aku langsung melarikan tatapan ke arah lain.Berani, Dek?Bercanda, Yang Mulia Abang Kefan Terhormat. Mitha melempar cengiran lebar. Jangan dibawa serius.Awas ya kalau ketahuan Abang, kamu pacaran.Kalau nggak ketahuan?Berani?Enggak!Mitha terkikik, sementara Tante Eni sudah tertawa renyah menyaksikan interaksi dua anak beliau ini. Aku sendiri hanya tersenyum kecil.Mami belajar bikin kue lagi? Bang Kefan, kakak Mitha itu menunjuk kotak mika berisi potongan kue bronis. Kenapa nggak beli aja? Yang udah pasti berhasilnya.Kamu ngejek Mami, Bang? Tante Eni melirik tajam.Saran aja. Bang Kefan menjawab dengan santai, kemudian menoleh kepada Mitha yang sedang menggigit sepotong bronis. Enak, Dek?Enak, Bang, enak! Tante Eni menjawab sebelum Mitha membuka mulut. Itu bikinan Mbak Lola, bukan Mami.Aku bisa merasakan Bang Kefan langsung menoleh ke arahku. Bisa?Nada bicaranya yang seolah meragukan, membuatku membalas tatapannya. Bisalah.Salah satu sudut bibirnya terangkat. Belajar dari mana?Dari Chef Tikta.Siapa Chef Tikta?Dih Abang kepo! Mitha yang menjawab. Chef Tikta itu cowok kesukaan Kak Lola. Abang nggak bakal kenal.Bang Kefan menyipitkan mata, dan kubalas dengan mengangkat dagu. Dia menipiskan bibir, kemudian mengalihkan pandangan. Sudut bibirku berkedut. Dia pikir bisa mengintimidasiku?Papi belum pulang, Mi?Belum, Bang. Lembur, jawab Tante Eni. Udah sana, mandi. Habis itu kita makan malam.Bang Kefan mengangguk, kemudian bangkit. Satu tangannya meraih tas, sementara tangan lain tanpa terduga mencomot sepotong bronis.Itu Mbak Lola kasih ke Mami sama Adek, loh. Tante Eni berceletuk jail.Bang Kefan melirikku. Aku nggak boleh?Mengangkat sudut bibir, aku mengangguk. Boleh.Tuh, Mi, boleh.Tante Eni terkikik mendengar ucapan Bang Kefan. Setelahnya, pria itu berlalu begitu saja menuju kamarnya.Jangan masukin hati sikapnya Abang, ya, Mbak Lola. Dia emang gitu dari kecil. Jutek dan kelihatan galak. Padahal aslinya baik dan peduli, kok.Aku hanya tertawa garing. Aku setuju. Bang Kefan memang jutek dan kelihatan galak. Tapi dia baik dan peduli. Bertanggung jawab juga.Oh ya tadi Tante cerita sampai mana?Sampai Om Haris yang ngejar Tante Eni selama hampir satu tahun. Aku menyengir.Setelahnya, Tante Eni kembali melanjutkan ceritanya. Dan aku mendengarkan dengan antusias. Bukan hanya karena ingin menghargai, tapi aku memang senang sekali mendengarkan kisah perjalanan orang-orang di dunia nyata. Rasanya menyenangkan saja bisa bertemu dengan banyak bentuk cinta yang memiliki lika-liku masing-masing. Siapa tahu aku dapat bonus menemukan inspirasi dan ide untuk dituangkan ke dalam cerita webcomic terbaruku, bukan?Dan tamaat. Tante Eni bertepuk tangan. Lahirlah Abang Kefan dan Adek Mitha.Aku ikut bertepuk tangan. Lucu banget Om Haris bucin sama Tante. Lola kira Om Haris itu serius gitu.Emang serius, Tante Eni melanjutkannya dengan berbisik, tapi orang yang serius dan kaku itu kalau bucin jadi lucu lho, Mbak Lola.Bukan lucu lagi, tapi garing, celetuk Mitha.Aku tertawa kecil.Kalau orang tua Mbak Lola gimana?Tante Eni bertanya begitu, tepat ketika Bang Kefan datang dengan rambut basah. Aku yang tak sengaja menoleh, bertemu tatap dengan pria itu. Hanya sedetik karena setelahnya aku mengalihkan pandangan.Ya gitu, Tante. Aku menyengir. Karena sama-sama kerja, Mama Papa jarang cerita soal masa muda mereka.Tante Eni menatapku dengan senyum lembut. Nggak apa-apa. Kan kerja juga buat anak-anak.Iya, Tante.Aku tersenyum lebar. Itulah ketika berkenalan dengan keluarga Mitha, aku merasa agak iri. Sejak aku kecil, orang tuaku selalu sibuk bekerja. Mereka berdua sama-sama seorang pengacara. Waktu berkumpul kami hanya di pagi hari saat sarapan. Itu pun jika Papa atau Mama tidak buru-buru berangkat pagi karena meeting. Bukan berarti mereka tidak menyayangi aku dan kedua kakak laki-lakiku. Justru karena sayang, mereka bekerja keras agar kami tidak kekurangan apa pun. Aku menghormati mereka lebih dari apa pun.Kalau Mbak Lola, pernah punya pacar?Pertanyaan mendadak dari Tante Eni membuatku agak terkejut. Aku mengerjapkan mata, lalu meringis. Pernah, Tante.Kapan, Kak? Mitha menatapku penuh rasa penasaran. Pas SMA?Aku menggeleng. Pas awal kuliah.Woah! Tatapan Mitha berbinar. Sekarang masih pacaran?Adek.Aku menoleh ketika Bang Kefan menegur Mitha. Pria yang sedang duduk di pegangan sofa itu, menatapku lurus. Kali ini aku tak mengalihkan pandangan.Udah putus, kataku dengan santai.Putus? Mitha mendesah kecewa. Padahal mau kenalan sama pacarnya Kak Lola.Ketika Bang Kefan menyipitkan mata, barulah aku melarikan tatapan ke arah lain. Aku tersenyum kecil ke arah Mitha dan Tante Eni.Iya, udah putus pas dia mau lulus kuliah.Dulu satu kampus?Iya, Tante. Aku menyengir. Lola juniornya dia.Aku bisa merasakan tatapan lekat dari arah kiri. Rasanya kepalaku seperti akan terlubangi karena tajamnya sorot mata itu.Mirip Tante dan Om Haris, dong. Senior dan junior. Tante Eni tersenyum lebar. Hayo, nanti kalau ketemu bisa balikan lagi, loh.Aku hanya tertawa karena tahu betul Tante Eni hanya bercanda.Emang kenapa putus, Kak?Adek, jangan kepo. Bang Kefan lagi-lagi menegur.Aku menyengir saja. Nggak cocok aja.Nggak apa-apa, Mbak Lola. Kalau nggak cocok bisa cari yang baru.Ih Mami tim mana, sih? Mitha protes. Tim balikan apa tim move on?Tim yang terbaik, dong, Dek. Kalau Mbak Lola udah nggak cinta, kenapa harus balikan? Bikin sakit hati aja. Mbak Lola nanti bisa cari yang jauh lebih baik dari dia, muka maupun sifatnya. Tante Eni memajukan wajah. Tipe idealnya Mbak Lola yang gimana? Barangkali Tante punya kenalan yang pas sama tipe Mbak Lola.Tersenyum kalem, aku menjawab, Yang mirip Moon Taeil NCT, Tante.Mitha langsung memekik dan mengajak tos. Itu mah aku juga mau, Kak!Aku terkikik. Kalau soal Kpop, aku dan Mitha memang tidak usah diragukan lagi. Sejak aku pindah ke sini dan menjadi tetangga mereka, hal itulah yang membuat kami jadi klop. Kami sama-sama pencinta drama dan musik Korea. Boy grup idola kami juga sama, yaitu NCT. Tiada hari tanpa membahas Kpop jika kami sudah bertemu. Perbedaan umur kami yang tujuh tahun tak menghalangi pembahasan itu.Yang bukan Kpop dong, Mbak. Tante Eni protes.Aku tertawa. Kalau cowok lokal, maunya Chef Tikta.Chef Tikta yang koki ganteng dan kalem itu, kan?Iya, Tante. Aku cengar-cengir. Dia idaman banget.Jauh lebih sempurna dari mantan Mbak Lola?Aku tersenyum kalem. Berkali-kali lipat, Tante.Mi, kapan makan? Bang Kefan menyela, kemudian berlalu begitu saja menuju dapur.Oh iya. Tante Eni ikut bangkit. Mbak Lola makan di sini aja bareng-bareng.Nggak usah, Tante. Eyang pasti nunggu Lola buat makan malam. Aku menyengir. Ya udah, Lola pulang ya, Tante, Mitha.Beneran nggak makan di sini?Aku menggeleng sambil berdiri. Makasih, Tante. Lain kali aja.Ya sudah, makasih ya bronisnya. Sampaikan makasih juga buat Eyang.Iya, Tante. Aku menepuk kepala Mitha. Dadah.Dadah, Kak.Aku berpamitan sekali lagi sebelum berjalan menuju pintu depan. Padahal niatnya tadi aku ke sini hanya ingin memberikan bronis, tapi justru tertahan selama hampir dua jam. Kata Eyang, kalau ke rumah Tante Eni pasti tidak bisa cepat pulang. Ada saja yang digosipkan. Belum lagi aku dan Mitha yang membahas Kpop dan drakor terbaru.Aku baru menuruni undakan di beranda, saat tiba-tiba pintu depan terbuka kembali dari dalam. Tampak sosok Bang Kefan muncul dengan jari telunjuk memainkan gantungan kunci motor. Dia menatapku cuek.Masih di sini?Hm. Aku memutar badan dan kembali melanjutkan langkah.Aku kaget saat Bang Kefan mendahuluiku menuruni undakan. Cemberut, aku menatap punggung tegapnya dengan sebal. Namun saat sampai di undakan terbawah, tiba-tiba Bang Kefan berbalik. Otomatis aku menghentikan langkah. Terpaut jarak dua undakan, Bang Kefan mendongak. Tatapannya lekat. Rambut bagian depannya jatuh dan setengah menutupi mata. Itu terlihat cukup menarik, tapi aku buru-buru menyadarkan diri sendiri.Siapa Chef Tikta? Pertanyaan tak terduga itu keluar dari mulut Bang Kefan.Tentu saja aku sedikit kaget. Namun setelahnya, kedua sudut bibirku terangkat. Menyilangkan kedua tangan di belakang punggung, aku menuruni satu undakan. Dengan gerakan pelan, aku sedikit membungkuk. Bang Kefan mengerutkan kening dan matanya menyipit.Tersenyum lebar, aku berbisik, Kepo!Setelah itu, aku melewatinya begitu saja dengan perasaan ringan. Namun baru beberapa langkah menjauh, dia bertanya,Dia berkali-kali lipat lebih sempurna dari aku?Iyalah! jawabku sambil tetap melangkah.Dari segi apa?Berhenti di pintu pagar, aku menoleh ke arahnya. Bukan untuk menjawab, tapi hanya melambaikan tangan. Bang Kefan sedikit berseru saat memanggil namaku, tapi kuabaikan. Ah, aku lapar dan tidak sabar ingin makan sayur nangka buatan Eyang.***2. Mau KamuSetelah Akung meninggal, Eyang Putri tinggal sendirian. Mama dan Tante Sani—dua putri Eyang—sudah berkali-kali meminta Eyang agar ikut bersama salah satu dari mereka. Eyang tinggal memilih di mana yang nyaman. Namun Eyang tidak bersedia. Beliau masih merasa berat hati jika rumah penuh kenangan bersama Akung harus dibiarkan kosong.Keluarga kami jadi khawatir jika membiarkan Eyang sendirian. Ingin disewakan seorang asisten rumah tangga, Eyang juga tidak mau. Aneh jika harus serumah dengan orang asing, kata beliau. Sedangkan Mama dan Tante Sani tidak bisa setiap hari datang karena tempat tinggal kami cukup jauh jaraknya. Karena itulah aku mengajukan diri untuk menemani Eyang.Tentu saja aku sudah mempertimbangkannya matang-matang. Tempat kerja kedua kakakku sangat jauh dari rumah Eyang. Anak-anak Tante Sani masih bersekolah dan kuliah. Hanya aku yang bisa bekerja tanpa terikat tempat dan waktu. Jadi akhirnya mereka menyetujui usulanku.Sebulan lalu, aku pindah ke rumah Eyang. Bukan hanya Eyang, tapi juga tetangga sebelah rumah yang menyambutku dengan senyuman lebar dan bersahabat. Karena seringnya Eyang yang datang menjenguk cucunya daripada kami datang ke rumah beliau, jadi aku belum kenal tetangga itu.Dan ya, karena itulah aku cukup terkejut. Bukan karena keramahtamahan dan sikap hangat mereka, tapi pada satu anggota keluarga mereka yang juga muncul hari itu. Bang Kefan, seseorang yang sudah empat tahun tak pernah kulihat presensinya di sekitarku.Gerakan tanganku di layar tab terhenti saat lagu yang terputar di ponsel sampai pada lirik itu. White Night, salah satu lagu favorit yang dinyanyikan NCT, boy grup idolaku. Aku menyukai lagu itu karena melodinya sangat nyaman di telinga. Meski awalnya tak tahu arti liriknya yang berbahasa Korea, tapi aku sudah naksir. Kemudian ketika mencari tahu maknanya, aku makin suka. Lagu ini menjadi salah satu playlist yang menemaniku bekerja setiap harinya. Juga pernah mengiringi masa-masa galau empat tahun lalu.Ajikdo nan ireohge jinae Aljanha jogeum ihaehaejwo nal Oneuldo nan yeogiseo Tto jam mot deun chae neoreul ijeogaHonjamanui gin annyeong (Better eatin’ nice sleepin’ don’t know what it is) Jam mot deuneun oneuldo All night long Cham gireojyeo beorin Ibyeore useupge boil najiman Insareul geonne annyeongLagi-lagi aku tertampar pada liriknya. Yang mengingatkanku tentang beratnya melupakan seseorang yang istimewa di hati. Ketika malam sulit tertidur. Ketika merasakan betapa lucunya perpisahan, lalu mengucapkan 'halo' saat bertemu lagi.Tentu saja yang kubahas di sini berhubungan dengan Bang Kefan. Seseorang dari masa lalu yang tiba-tiba muncul lagi di hadapanku dan parahnya kini kami bertetangga. Mantan pacar, sebutannya. Seseorang yang kubilang tidak ada apa-apanya dibanding Chef Tikta apalagi Moon Taeil. Bagaimana reaksi Tante Eni dan Mitha jika mereka tahu bahwa seseorang yang kubicarakan saat itu adalah anggota keluarga mereka sendiri?La.Suara itu mengagetkanku yang tengah termenung. Melihat stylus pen terlepas dari genggaman, aku mengembuskan napas kuat-kuat sebelum memandang ke arah luar jendela kamarku yang dilindungi teralis. Di jendela kamar seberang, tampak seseorang yang baru kupikirkan sedang berdiri di sana tengah menatap ke arahku.Belum tidur? tanyanya sembari duduk di kusen jendela. Di tangan kanannya terdapat sebuah cangkir yang kutebak berisi kopi.Retoris, Bang. Aku memutar bola mata, kemudian meraih mug berisu susu cokelat hangat yang tadi sempat kubuat di sela bekerja.Kalau dipikir-pikir, kamu sekarang jadi galak.Aku kembali memutar bola mata sebelum menyeruput susu. Rasa hangat mengaliri tenggorokanku.Dan makin berani, tambah Bang Kefan.Mengangkat pandangan, aku menatap lurus ke arahnya yang berjarak dua meter dari tempatku. Ya, selain rumah yang bersebelahan, kamar kami juga bersebelahan. Hanya dipisahkan oleh halaman yang ditanami beberapa pot pohon jeruk santang milik Eyang, jendela kami berhadapan. Dan karena kebetulan sama-sama lembur di malam hari dalam keadaan jendela terbuka, kami jadi sering berinteraksi seperti ini. Awalnya aku merasa canggung, tapi lama-lama jadi terbiasa. Toh aku tidak merasa harus menghindari Bang Kefan.Manusia itu nggak konstan, Bang, kataku pelan. Pasti ada perubahan.Aku nggak berubah.Mendengar ucapannya, tawa kecilku pecah. Emang.Yang kumaksud bukan wajah tampannya yang tidak berubah, tapi sifatnya kurasa. Setidaknya itu yang kupikirkan setelah bertemu dan berinteraksi kembali dengannya sebulan ini.Kamu masih bikin komik tentang cinta pertama itu?Menaruh mug ke atas meja, aku memandangnya yang masih di posisi sama seperti tadi. Dia tengah menatapku lurus.Abang baca?Bang Kefan mengangkat bahu. Temanku ada yang kerja di Sky High Media. Kebetulan proyek kamu, dia yang pegang.Aku mengerutkan kening. Mas Dharma?Hm.Kok kalian kenal?Bang Kefan menyeruput minumannya lagi, masih dengan tetap menatapku. Nggak boleh kenal?Aku memiringkan bibir. Abang baca?Hm. Bang Kefan memiringkan kepala. Penasaran.Pengakuannya yang terkesan sama sekali tidak ditutupi itu membuatku menggembungkan pipi.Itu aku?Aku mengernyit. Apa?Male lead.Aku mengerjapkan mata untuk sesaat, sebelum tertawa. Nggak usah kepedean.Bang Kefan menaruh cangkir di kusen jendela, sebelum melipat kedua lengan di depan dada. Bukan?Bukanlah!Kenapa bukan?Ya kenapa harus nggak bukan?Dulu kamu bilang aku cinta pertamamu.Ucapannya yang sangat-sangat enteng tanpa menunjukkan kecanggungan sedikit pun membuatku tak bisa berkata-kata. Lihat, kan? Bang Kefan memang tak pernah berubah. Dia masih seperti dulu. Terlalu berpikir rasional dan blak-blakan!Menarik napas, aku menyeringai. Dulu aku juga sering bilang, Abang itu cinta pertama di real life. Dengerin, real life. Dunia nyata!Bang Kefan tidak lagi menjawab, dan aku malas berdebat lagi. Aku memilih untuk berdiri, melambaikan tangan, kemudian menutup jendela agar bisa terhindar memandangnya. Huh. Padahal aku sedang menggambar pohon jeruk santang dengan latar langit malam untuk salah satu adegan di webcomic-ku.Lagi pula, Bang Kefan itu benar-benar menyebalkan, kan? Di mana ada mantan yang terus terang membicarakan tentang masa lalu tanpa terlihat malu seperti itu? Dan bagaimana dia begitu percaya diri menganggap tokoh utama pria di ceritaku terinspirasi dari dia? Padahal kan aku membayangkan Moon Taeil, cinta pertamaku di dunia halu. Dasar Bang Kefan kegeeran!Tok tok tok.Belum juga aku kembali mendapatkan fokus untuk menggambar, tiba-tiba jendela diketuk pelan. Aku menyipitkan mata sembari mengerucutkan bibir.Lola.Aku berdecak ketika mendengar panggilan itu. Ingin kuabaikan, tapi ketukannya tak berhenti. Karena takut mengganggu tidur Eyang di kamar sebelah, akhirnya aku membukanya. Dan benar saja, Bang Kefan sudah berdiri di luar jendela dengan santai.Mau apa? ketusku.Bang Kefan tidak langsung menjawab. Dia justru menatapku lekat tanpa berkedip di balik kacamata. Sebagian rambutnya jatuh di depan dahi, terlihat berantakan dan tampan secara bersamaan. Sial, aku terpana lagi.Apa? ulangku.Aku ..., Menumpukan tangan di kusen jendela, Bang Kefan sedikit mendekatkan wajah, mau kamu,Mataku mendelik. Apa-apaan, Bang Kefan?!***  3. Sok NgaturMaksud Abang apa?Belum selesai, katanya dengan kalem. Aku mau kamu buat collab. Gimana?Aku menatapnya skeptis. Maksudnya?Kita bikin proyek webcomic. Aku yang bikin alur cerita dan keseluruhan adegan, kamu yang bikin gambar komiknya.Memahami apa maksudnya, aku melongo untuk sejenak. Sedetik setelahnya, aku menggeleng. Nggak mau.Bang Kefan mengerutkan kening. Kenapa nggak mau?Aku berkacak pinggang. Kenapa nggak boleh nggak mau?Bang Kefan menyipitkan mata. Kamu jago debat, ya, sekarang?Udah aku bilang, manusia itu nggak konstan, Abang.Bang Kefan mengernyit. Jadi kenapa nggak mau?Mengembuskan napas kesal, aku berkata, Nggak minat.Kenapa nggak minat?Nggak minat aja. Nggak ada alasan.Alurku bagus. Pernah dipilih pemred buat diterbitkan tapi aku belum minat. Kamu melewatkan kesempatan bagus kalau nolak.Nggak peduli, balasku.Kalau kamu nggak mau, aku collab sama komikus lain.Tetep nggak peduli.Bang Kefan menatapku dalam. Aku tentu membalasnya dengan berani—lebih seperti menantang. Kami adu tatap selama beberapa detik sebelum dia memutuskan kontak mata terlebih dahulu. Aku menyeringai.Besok bilang kalau berubah pikiran.Nggak akan.Bang Kefan mendesis, tapi tidak melakukan apa-apa. Aku menggembungkan pipi, menunggunya pergi. Namun dia malah tetap berdiri di sana.Hush. Hush. Aku mengibaskan tangan. Sana. Jangan ganggu aku lembur.Tidur. Bang Kefan melongok ke bagian dalam kamarku. Udah hampir jam dua belas.Aku mengangkat kedua alis. Terus?Nanti ada setan.Abang setannya.Tatapan Bang Kefan menajam. Heh.Apa? tantangku.Berani?Berani, lah! Aku mengangkat dagu. Aku bukan Mitha.Salah satu sudut bibir Bang Kefan terangkat. Setelahnya, dia menyentuh daun jendela dan mendorongnya hingga setengah tertutup. Dia melambaikan tangan, kemudian benar-benar menutup jendela sepenuhnya. Mendesah, aku mencondongkan badan untuk mengunci jendela.Aku mau kamu. Aku bergumam sendiri, lalu berdecak menatap jendela. Dasar mantan nyebelin!***Dulu, aku dan Bang Kefan berkuliah di jurusan yang sama yaitu sastra Indonesia. Saat aku menjadi mahasiswa baru, dia sudah menginjak semester tujuh. Usia kami terpaut tiga tahun.Saat OSPEK, Bang Kefan terkenal galak dan tidak pilih kasih dalam memberi hukuman kepada mahasiswa baru yang melanggar aturan. Aku sendiri pernah dihukum satu kali, gara-gara motor Mas Theo—kakak keduaku—mogok di tengah jalan ketika kami berangkat ke kampus. Aku terlambat dan Mas Theo meminta keringanan kepada Bang Kefan.Terlambatnya nggak disengaja, Bang, kata Mas Theo saat mengantarkanku ke lapangan hari itu.Nggak ada telat yang disengaja. Bang Kefan dengan raut kakunya, menunjuk beberapa mahasiswa baru yang tengah dihukum lari keliling lapangan. Mereka juga nggak sengaja telat.Adikku udah siap-siap dari Subuh. Nggak kasihan?Aku yang di sebelah Mas Theo, mengangguk sembari memasang ekspresi se-memelas mungkin.Aturan tetap aturan, Yo. Bang Kefan menunjukku. Lari keliling lapangan tiga kali.Begitulah akhirnya. Aku tetap dihukum. Mas Theo yang saat itu adalah mahasiswa teknik mesin semester lima, terlebih bukan panitia OSPEK, tidak bisa membantu apa-apa. Dan meski hanya lari tiga kali keliling lapangan, aku tetap jadi sebal kepada Bang Kefan.Mas Dharma—editorku di Sky High Media—tertawa saat aku menceritakan tentang Bang Kefan di masa kuliah. Hari ini kami bertemu untuk membahas sinopsis webcomic-ku yang baru. Dan ketika aku mengonfirmasi pengakuan Bang Kefan beberapa hari lalu soal dia yang berteman dengan Mas Dharma, pria di depanku ini mengiyakan.Dia emang terlalu lurus, kata Mas Dharma sambil menggigit donat toping matcha yang tadi aku pesan.Aku ikut menggigit yang ber-toping cokelat lumer. Emang dulu pas masih jadi teman kerja Mas Dharma, Bang Kefan juga kaku kayak gitu?Mas Dharma mengangguk. Dia itungannya sih junior kan di Amazon. Tapi kebanyakan senior segan sama dia.Karena terlalu kaku?Mas Dharma tertawa. Betul.Aku terkekeh sembari mengunyah donat. Mas Dharma ternyata dulu pernah bekerja di Amazon Publisher. Penerbitan itu adalah kantor tempat Bang Kefan bekerja jadi editor sampai sekarang. Mereka berteman saat menjadi rekan kerja di sana, hingga Mas Dharma pindah ke Sky High Media.Sky High Media adalah studio agensi webcomic yang cukup populer di negara ini. Sudah hampir setahun aku bergabung dan terikat kontrak dengan mereka. Dari situ juga namaku mulai dikenal di platform baca komik daring sebagai komikus bergenre romance. Aku bisa mengaplikasikan pengetahuan sastra saat kuliah sekaligus menelurkan hobiku sejak kecil yaitu menggambar. Rasanya aku seolah-olah menemukan takdirku di agensi ini. Hobi yang menghasilkan uang. Bukankah itu menyenangkan?Jadi Baqi ini cuma bisa bereksistensi di dalam kamar kos dan selalu gagal tiap mau keluar?Mas Dharma kembali membahas sinopsis untuk webcomic yang kuajukan sebulan lalu. Jika pengajuan ini disetujui, kemungkinan beberapa minggu lagi aku bisa memulainya.Iya, aku menyeruput milkshake cokelat terlebih dahulu sebelum melanjutkan, jadi setiap kali mau keluar dari pintu kamar kos, hantu ini justru masuk lagi lewat jendela.Jendela tempat dia duduk ini? Mas Dharma menunjuk sketsa kasar yang kulampirkan di sinopsis.Yup.Kasihan. Mas Dharma geleng-geleng dan aku tertawa.Keren nggak, Mas?Keren. Mas Dharma mengacungkan jempol. Baru kali ini kan kamu mix genre sama fantasi? Menurutku ini ide yang bagus. Fresh. Bakal bikin pembaca tertarik.Aku tersenyum lebar. Jadi ACC nih?Mas Dharma mengetuk kepalaku dengan kertas yang baru digulungnya. Nggak semudah itu, Cantik. Aku harus diskusi dulu sama tim.Aku menggembungkan pipi. Bikin mereka setuju, ya, Mas.Mas Dharma mengangkat kedua alis. Remember magic word?Aku menyengir, kemudian menangkupkan kedua telapak tangan. Please. Tolong. Lalu kutangkup wajah dan mengedip-ngedipkan mata. Jebal.Bukannya terharu karena aku mengerahkan usaha untuk berpose imut, Mas Dharma malah mengernyit geli sembari mendorong dahiku. Nggilani.Aku mencebikkan bibir.Tanpa kamu minta tolong pun aku juga bakal bikin mereka setuju kalau emang sinopsisnya layak. Bukan cuma kamu, tapi Jira juga. Nggak usah geer jadi anak emas.Aku memasang wajah terluka. Mak jleb.Makasihnya mana?Tersenyum hiperbolis, aku kembali berpose imut. Makasih, editorku yang ganteng dan kadang galak dan kadang manis dan kadang nyebelin dan kadang—La.Kalimatku tertelan lagi karena panggilan dari suara familiar itu. Melihat Mas Dharma tertawa sembari mengangkat tangan, aku menoleh. Di belakangku, Bang Kefan berdiri dengan ekspresi kaku seperti biasa. Hari ini dia mengenakan jeans hitam dan hoodie abu-abu tua.Ngapain sok imut kayak tadi? Tanpa dipersilakan, dia duduk di sebelahku. Salah obat?Aku menatapnya sengit. Suka-suka, lah.Bang Kefan menatapku datar, kemudian menoleh ke arah Mas Dharma yang hanya tertawa. Dia suka ngeyel?Lumayan.Jawaban Mas Dharma membuatku melempar tatapan protes. Kapan aku ngeyel?Nggak sadar?Aku berdecak, tapi tak membantah lagi dan memilih untuk menikmati donat. Bang Kefan bilang dia baru saja bertemu penulis di sekitar kedai roti ini dan ingin membeli donat untuk Mitha. Kedua pria ini kemudian mengobrol ringan. Aku mendengarkan saja karena malas nimbrung. Yang kuinginkan adalah menghabiskan donat dan segera pulang. Namun saat aku benar-benar sudah bersiap ingin pulang, Bang Kefan menahanku.Bareng aku.Aku yang sudah berdiri, menggeleng cepat. Nggak mau.Bang Kefan menyipitkan mata. Lola.Aku mau naik ojol.Daripada bayar ojol, mending sama Kefan aja, La. Gratis.Aku mengangkat dagu. Aku punya duit.Bang Kefan dengan seenaknya menarik ujung kardiganku. Nggak usah sombong.Aku memutar bola mata.Kardiganku ditarik lagi. Yang sopan.Aku menepis tangannya agar terlepas dari kardiganku. Aku mau mampir ke tempat lain abis ini.Ke mana?Ke mana-mana hatiku senang.Makin nggak sopan. Bang Kefan bangkit dan berkacak pinggang. Dilaporin Eyang, mau?Aku balas berkacak pinggang. Ngancem?Bang Kefan menggeleng kalem. Peringatan.Aku mencebikkan bibir. Namun langsung mendelik saat Bang Kefan merebut ponselku dari genggaman dan memasukkannya di saku celana.Aku beli donat dulu habis itu pulang.Menganga tak percaya, aku menatapnya kesal. Namun dia justru melengos dan berlalu ke etalase tempat berbagai macam roti dipajang. Ketika aku menoleh ke arah Mas Dharma yang tertawa-tawa, pria itu mengangkat kedua tangan. Aku mendesis sebal. Memangnya Bang Kefan itu siapa, sih? Saudara bukan, pacar bukan, tapi masih sok ngatur!***  4. PhotocardKak Lola, Kak Lola!Sore hari ketika aku sedang fokus menggambar, Mitha tiba-tiba muncul di luar jendela kamarku. Dia masih memakai seragam SMA, lengkap dengan tas di punggung.Apa?Lihat, apa yang aku bawa!Mengalihkan pandangan dari layar tab, aku menatap Mitha yang tersenyum lebar dengan kedua tangan di belakang punggung. Keningku berkerut.Bawa makanan buat aku?Mitha terbahak. Geer!Aku terkikik. Terus apa?Tebak lagi.Aku melipat lengan di atas meja. Merch baru NCT?Mitha tertawa dan mengangguk-angguk. Salah.Aku menggembungkan pipi. Terus?Tersenyum makin lebar, Mitha menarik tangannya ke depan dengan gerakan lambat sekali. Aku menyipitkan mata, berusaha melihat apa yang dia pegang. Namun benda itu dia tangkup dengan kedua telapak tangan.Taraa! Dan setelahnya, Mitha membuka telapak tangannya.Melihat apa yang dia pegang, mataku membulat. Renjun!Mitha mengangguk-angguk sembari menempelkan photocard itu di pipinya yang berisi. Bias aku!Official?Jelas, dong!Wah. Kudekatkan telapak tangan ke mulut. Kamu diem-diem beli album lagi? Kan dua minggu lalu udah beli. Diomelin Bang Kefan, loh.Enggak. Mitha menggeleng. Aku nggak beli album.Beli photocard-nya doang?Album, sih. Lalu Mitha buru-buru melanjutkan dengan berbisik, Gebetan aku yang beli.Aku melongo. Gebetan kamu yang di ekskul karate itu?Dengan mata berbinar, Mitha mengangguk semangat. Yang itu.Dia beli album NCT? Aku mengingat-ingat. Oh, gara-gara pas kamu beli album, dapetnya bukan photocard Renjun?Iyaa! Mitha terkikik. Terus dia beli album, berharap dapat biasku. Dan kejadian dong!Dia suka kamu kayaknya.Wajah Mitha memerah saat aku berceletuk seperti itu. Aku tertawa kecil. Namun saat mengamati photocard itu, tiba-tiba ingatanku terlempar ke masa lalu. Di mana aku untuk pertama kalinya berkonflik dengan Bang Kefan, setelah beberapa minggu OSPEK berlalu.Hari itu aku baru keluar dari kelas terakhir. Seperti biasa di hari Rabu, aku akan menunggu Mas Theo di pujasera untuk pulang bersama. Dari gedung jurusan sastra ke pujasera, aku harus melewati taman kampus dan parkiran. Kondisinya saat itu hujan. Karena tak membawa payung, aku memutuskan untuk berlari. Ketika memasuki parkiran, tiba-tiba saja seseorang menabrakku dari depan. Tas yang kubawa jatuh ke tanah.Hati-hati, dong! Tentu saja aku langsung berseru sebal.Cowok bersweater hitam itu berhenti, kemudian menunduk dan meraih tasku yang jatuh tepat di bawahnya. Ketika dia menoleh, jujur saja aku agak kaget karena ternyata itu Bang Kefan.Sorry. Dia mengatakan itu sembari mengulurkan tasku.Aku merebut tas selempang itu dan memeriksa bagian belakangnya yang ternyata sudah basah dan kotor karena tanah. Tanpa menutupi perasaan, aku menatapnya kesal.Tasku kotor.Bang Kefan yang saat itu juga tidak membawa payung, menatapku datar di bawah hujan. Kan udah bilang sorry.Aku merengut. Lain kali hati-hati.Bang Kefan mengangguk sekilas. Kamu juga hati-hati. Ngapain lari-larian? Mau rebutan sembako di mana?Aku kembali merengut, tapi memilih mengabaikan dan membersihkan tasku dengan telapak tangan. Ekor mataku menangkap Bang Kefan yang berlalu begitu saja. Detik setelahnya, aku merasa ada yang aneh. Dan langsung terkejut saat tak menemukan sesuatu yang biasanya menggantung di bagian kiri tas.Ketika mendongak, aku mendapati Bang Kefan berhenti melangkah dan mengibaskan lengan sweaternya yang berbahan rajut. Sebuah benda terlempar dari lengannya dan mataku membelalak. Baru juga aku berniat mendekat, tiba-tiba sebuah motor lewat dan bannya melindas benda itu. Aku membeku. Mulutku menganga.Begitu motor itu pergi, aku berlari secepat kilat menghampiri benda itu. Berjongkok dan memungutnya dengan kedua tangan. Yang kutakutkan terjadi. Hatiku patah karena melihat bingkai benda itu sudah terbagi jadi dua dan isinya rusak, lecek, kotor, dan basah.Mama. Aku bergumam lirih, meratapi gantungan kunci yang sangat berharga untukku.Hei, ngapain?Aku tak memedulikan teguran itu dan mulai menangis.Kenapa malah jongkok di situ? Nggak mau neduh?Aku tetap menangis.Itu punya kamu? Tadi nyangkut di bajuku.Aku masih menangis. Namun karena ucapannya, aku mendongak. Ternyata Bang Kefan sudah berdiri di dekatku dan menunduk.Loh, nangis?Merengut, aku memukul kakinya dengan tas. Bang Kefan jahat!Lah? Dia menunjuk wajahnya sendiri. Aku?Gara-gara Bang Kefan, Taeil-ku jadi rusak! Aku menunjukkan benda tak berbentuk di tanganku dan kembali menangis.Ya sorry. Kan nggak tahu. Dia mengulurkan tangan. Sini berdiri. Jangan jongkok di sini, pup itu di toilet.Menatapnya sengit, aku bangkit. Manusia jahat.Setelahnya, aku dengan sengaja menabrak bahunya dan pergi begitu saja. Hari itu aku sangat sedih. Gantungan kunci itu berupa bingkai berbahan mika yang di dalamnya kuisi photocard Moon Taeil, idol favoritku sejak SMA. Aku mendapatkannya beberapa bulan sebelum lulus SMA, dari album pertama NCT 127 sebagai hadiah dari Mama. Itu adalah awal aku begitu menggilai Taeil. Mama yang kupikir abai dengan hobiku menonton Kpop, ternyata justru diam-diam membelikanku album sebagai kado ulang tahun.Photocard Taeil yang kudapatkan itu kuanggap sebagai bentuk cinta Mama. Karena itulah aku ingin membawanya ke mana pun aku pergi. Aku menjadikannya sebagai gantungan kunci. Namun hari itu Bang Kefan merusaknya.Kak Lola!Seruan itu membuat lamunanku buyar. Mitha menggerakkan tangan di depan wajahku dengan kening berkerut.Kakak bengong?Menyengir, aku mengembalikan photocard itu. Dijaga baik-baik, jangan sampai rusak. Entar patah hati.Mitha memasang pose hormat. Siap!Lewat depan, yuk, masuk. Tadi Kakak sama Eyang bikin bola-bola ubi.Entar, deh. Aku mau ganti baju dulu. Mumpung Mami sama Abang belum pulang. Entar diomelin.Tertawa kecil, aku mengangguk. Ya udah, sana.Mitha melambaikan tangan, tapi kemudian menunjuk pohon jeruk di halaman samping rumah. Kakak, aku mau jeruknya. Boleh?Aku mengacungkan jempol. Ambil aja.Gomawo!Setelah berseru begitu, Mitha meloncat dan berjongkok untuk memetik beberapa butir jeruk santang yang sudah terlihat matang dengan warna oren cerah yang cantik. Setelah itu dia melambaikan tangan dan berlari ke rumahnya sendiri. Aku memperhatikan anak itu hingga dia tak tampak lagi.Lho, mana Mitha?' Eyang masuk ke kamar, membawa piring berisi bola-bola ubi. Tadi Eyang dengar ada suara Mitha."Udah pulang, Eyang.Eyang mau kasih makanan, loh.Aku menyengir. Entar aja, Eyang. Mitha mau ganti baju dulu katanya. Abis itu ke sini lagi.Ya sudah makanannya Eyang taruh di sini, ya. Eyang meletakkan piring itu di atas meja. Nanti suruh masuk lewat pintu saja. Jangan ngobrol di jendela.Aku tertawa. Siap, Eyang.Setelah Eyang berlalu, aku kembali duduk di kursi dan ingin melanjutkan pekerjaan. Namun saat tak sengaja melihat susunan kotak penyimpanan koleksi photocard, aku urung mengambil stylus pen. Tanganku bergerak sendirinya meraih salah satu kotak dan membukanya. Mengambil selembar photocard yang tentu saja  terdapat wajah idolaku di sana.Aku ingat sekali kapan mendapatkannya. Masih berhubungan dengan kejadian saat gantungan kunci itu rusak. Hari itu saat sampai rumah, aku mengadu kepada Mas Theo dan Mas Juan—kakak pertamaku—tentang betapa jahatnya Bang Kefan. Mas Juan bilang aku lebai, tapi Mas Theo hanya memeluk dan menenangkan meski aku tahu dia juga menahan tawa. Aku tidak peduli. Saat itu yang kuinginkan hanyalah menumpahkan kekesalan kepada dua orang yang memang lebih sering menemani daripada orang tuaku.Sejak hari itu tiap kali berpapasan dengan Bang Kefan di kampus, aku akan mengeluarkan aura permusuhan. Melempar tatapan sengit dan tak mau repot-repot untuk menyapa hormat seperti yang dilakukan junior kepada senior. Beberapa temanku menegur karena takut aku kena masalah, tapi aku tak peduli. Aku bukan tipe yang bisa beramah tamah kepada orang yang membuatku kesal.Hingga beberapa minggu kemudian, di sore hari ketika aku mengerjakan tugas kuliah, Mas Theo datang dengan sebuah amplop cantik di tangannya. Dia memberikan dan menyuruhku membukanya. Dan aku sangat terkejut saat melihat isinya berupa selembar photocard sama persis seperti yang kutangisi sebelumnya. Benar-benar sama dan official. Sebagai pencinta photocard, aku jelas sudah mempelajari cara membedakan mana yang asli dari agensi dan mana yang buatan penggemar.Itu dari Bang Kefan.Tentu saja aku terkejut saat Mas Theo mengatakan itu. Lalu kakakku itu bercerita jika selama beberapa minggu ini Bang Kefan berusaha mencari photocard yang sama persis untuk menggantikan milikku. Dia berkali-kali membeli album tapi photocard yang didapat adalah member lain. Hingga percobaan kelima, barulah dia mendapatkan yang diinginkan.Mendengar cerita Mas Theo, saat itu aku merasa terharu. Membayangkan banyaknya uang yang dikeluarkan Bang Kefan, aku jadi sedikit merasa bersalah. Jadi besok paginya, aku sengaja datang pagi-pagi ke kampus padahal kelasku dimulai siang. Tentu saja untuk menemui Bang Kefan dan berterima kasih secara langsung.Makasih udah balikin Taeil-ku, kataku saat itu, di samping gedung fakultas sastra.Hm. Bang Kefan menatapku datar. Disimpan baik-baik. Jangan jadi gantungan kunci. Rusak lagi, nangis kejer nanti.Mengerucutkan bibir, aku mengangguk. Lalu aku berkata, Bang Kefan keluar uang banyak buat beli albumnya?Bang Kefan melipat kedua lengan di depan dada. Itung aja sendiri. Tahu harga per album, kan?Aku meringis. Maaf.Sebelah alis Bang Kefan terangkat. Nggak salah, ngapain minta maaf?Aku menyengir. Terus album yang dapat photocard member lain, diapain?Masih disimpan.Abang pencinta Kpop bukan?'Bukanlah."Kalau gitu, aku menatapnya ragu, albumnya buat aku aja gimana?Bang Kefan menyipitkan mata. Ngelunjak adiknya Theo ini.Daripada mubazir, elakku.Mau dijual lagi setengah harga.Aku menatapnya keberatan. Ah sayang banget.Menegakkan badan, Bang Kefan melirikku datar. Suka-suka aku.Dan ya, hari itu Bang Kefan tetap tidak mau merelakan album lain itu kepadaku. Dia benar-benar menjualnya dengan mempromosikan di grup kampus, story Whatsapp, dan berbagai macam cara. Karena masih merasa bersalah, aku ingin membeli semuanya dengan uang tabunganku. Namun bukan hanya diomeli Mas Juan, Bang Kefan pun juga mengomel saat aku menemuinya.Yang dimau udah didapat. Nggak usah buang duit sama yang lain lagi. Album lainnya tanggung jawabku. Kuliah aja yang bener. Fangirling tahu batasan.Masih memandangi photocard di dalam kotak, aku tersenyum kecil. Jika mengingat kalimat ketusnya itu, aku jadi merasa lucu. Saat itu pandanganku kepada Bang Kefan sedikit berubah. Di balik sikapnya yang kaku, jutek, dan galak, ternyata dia bertanggung jawab. Dia bukan manusia jahat seperti yang kukatakan.***5. BahayaHujan turun saat aku sedang membeli kebutuhan di minimarket. Meski jaraknya tidak terlalu jauh, tapi bajuku tetap akan basah jika nekat menerobos hujan. Apalagi aku ke sini berjalan kaki dan sama sekali tidak membawa payung. Sebenarnya bisa saja membeli jas hujan atau payung, tapi aku sedang ingin menikmati pemandangan hujan dari jalanan. Jadi begitulah, akhirnya aku memilih untuk berdiam di gazebo depan minimarket sembari menyantap makanan hangat.Sambil menggigit setusuk odeng, aku mengarahkan kamera ponsel ke jalan basah yang dipenuhi lalu lalang kendaraan. Rintik hujan, kendaraan, dan jalanan basah adalah perpaduan yang pas untuk sebuah potret. Seperti menggali kenangan yang telah lama tersisih dari ingatan.Aku tersenyum geli karena kalimat itu terangkai begitu saja di benak. Sayang sekali kalau tidak diabadikan. Jadi kubuka aplikasi Instagram dan menekan tombol postingan. Kupilih foto yang paling aestetik dan melengkapinya dengan caption persis seperti kalimatku tadi. Sekali-kali bikin postingan galau, kan? Hehe.Setelahnya, aku tidak langsung keluar dari aplikasi. Ibu jariku malah menggulir feed yang muncul. Dan mataku berbinar begitu melihat postingan baru dari Moon Taeil.Ganteng banget. Bahkan tanpa sadar aku bergumam sendiri memuji foto selfie idol favoritku itu.Dan seperti kebiasaan jelek kalau sudah membuka sosial media, waktu akan terasa cepat berlalu. Ibu jari keterusan scroll, yang kebanyakan memang unggahan menarik dan menghibur dari konten boyband idolaku. Di antara suara rintik hujan bercampur mesin kendaraan yang lewat, aku tenggelam dalam aktifitas sendiri. Tertawa, senyum-senyum, atau bahkan ikut bersenandung ketika lagu Kpop yang kukenal dijadikan sound konten.Hingga entah berapa lama kemudian, tiba-tiba permukaan meja di depanku diketuk pelan. Aku spontan mendongak dan mengerjapkan mata saat mendapati Bang Kefan berdiri dengan payung di tangan.Abang?Bang Kefan meletakkan payung di tanah, sebelum berkacak pinggang dan menatapku datar. Senyum-senyum sendiri di pinggir jalan. Nggak takut dianggap gila?Aku tertawa singkat. Senyum-senyum sendiri pas scroll sosmed tuh udah penyakit umum buat kaum milenial, Abang.Bang Kefan berdecak. Seenggaknya lakuin di rumah.Aku mengedikkan bahu. Suka-suka aku.Bang Kefan tidak berkomentar lagi, tapi dia masih menatapku lekat selama beberapa detik. Tentu saja aku membalasnya dengan berani. Kita lihat siapa yang kalah dalam adu tatap ini. Dan aku tersenyum lebar saat dia memutus kontak lebih dulu. Selalu seperti ini sejak kami bertemu lagi. Bang Kefan sok-sokan mau mengintimidasi, tapi saat aku ladeni, dia sendiri yang kalah. Lucu, kan?Abang ngapain ke sini? tanyaku sembari mengamati pakaian yang dia pakai. Celana bahan warna putih tulang dan kemeja jeans biru pudar. Masih sama seperti tadi pagi saat aku melihatnya berangkat kerja. Nggak ganti baju dulu, gitu?Suka-suka aku.Aku menyeringai karena balasannya. Jadi mau ngapain?Beli sesuatu.Aku menopang dagu di meja. Sesuatu apa?Bang Kefan menatapku tanpa kedip. Rokok.Heh! Refleks, aku berdiri dan memolotot. Abang ngerokok? Sejak kapan? Ngapain Abang ngerokok segala? Dulu kan Abang nggak suka bau rokok, pernah muntah pas nyobain rokok Bang Fajri, tapi sekarang Abang ngerokok? Ih Abang tuh—Bercanda.Ucapanku terpotong begitu saja karena celetukannya yang dilontarkan dengan amat sangat kalem dan tanpa dosa. Mulutku menganga.Bang Kefan! seruku kesal.Dan mau tahu apa yang dia lakukan? Dia terkekeh ringan, sebelum mengulurkan tangan dan mengusap singkat pipi kiriku dengan punggung jari telunjuknya. Aku membeku. Kulitnya yang dingin seolah-olah merambatkan sengatan listrik. Bahkan hingga dia masuk ke dalam minimarket, aku masih membatu.Lalu suara klakson dari kendaraan yang lewat, menyadarkanka dari keterpatungan. Kusentuh hidungku sembari menoleh ke arah punggung Bang Kefan yang terlihat melalui dinding kaca minimarket.Apa-apaan tadi? gumanku sambil bergidik merinding.Kembali duduk, aku buru-buru menyeruput kuah odeng dan menggeleng kuat-kuat. Jangan sampai aku berpikir terlalu berlebihan karena tindakan Bang Kefan tadi. Itu sangat tidak diperbolehkan.Menarik napas dalam-dalam, aku mencari pengalihan dengan kembali melihat sosial media. Ada update dari Chef Tikta, seseorang yang beberapa bulan ini cukup menarik perhatianku. Dia sering mengunggah konten makanan lengkap disertai bahan dan tutorial memasak. Selain itu, Chef Tikta juga jago menyanyi. Dia membuat video cover lagu bersama teman-teman grup yang dinamai Rumpang Project. Aku juga mengikuti akun grup itu. Anggotanya ada 9 orang termasuk Chef Tikta, dan semua memiliki paras yang memanjakan mata. Melihat mereka seolah-olah melihat boyband lokal dengan visual yang layak jadi bahan halu.Jangan pergi dari diriku Tak sanggup harus hidup tanpamu Kar'na jauh lebih indah Bila kita bersama Seperti yang terjadi kemarinDi unggahan tiga puluh menit yang lalu ini, Chef Tikta membagikan video itu. Di mana dia tampak duduk di sofa, bersama anggota Rumpang Project yang tengah memangku gitar. Pria berwajah blasteran itu bernama Damian.Lihat apa?Aku mengangkat kepala. Tampak Bang Kefan sudah kembali sambil menenteng bungkusan plastik. Dia menduduki kursi di depanku dan menaruh bungkusan itu di atas meja.Kepo, kataku.Bang Kefan menyipitkan mata, tapi tak mengatakan apa-apa. Dia mengeluarkan susu kotak dan botol yang bertuliskan minuman instan dari plastik, kemudian mengulurkan salah satunya kepadaku.Buat aku?Siapa lagi? Bang Kefan menggoyangkan susu kotak itu.Tersenyum lebar, aku menerimanya dengan senang hati. Lumayan rezeki.  Makasih.Bang Kefan mengangguk, kemudian meneguk minuman kopi itu.Sembari menyedot susu cokelat, aku menatapnya. Nggak jadi beli rokok?Bang Kefan malah melempar senyum tipis. Diomelin kamu nanti.Aku memutar bola mata. Geer.Senyum Bang Kefan berubah jadi smirk. Dia melirik layar ponselku. Cover?Aku mengangguk. Tanpa keberatan, kugeser ponselku agar lebih kepadanya. Ganteng, kan?Bang Kefan tidak mengomentari pertanyaanku, tapi malah mendekatkan wajah ke layar. Jadi dia?Aku mengerutkan kening. Apa?Orang selain idol yang kamu bilang berkali-kali lipat lebih sempurna dari aku?Pertanyaannya sangat terus terang. Dan tentu saja, aku tak bisa menahan tawa karena merasa geli.Iya, dia Chef Tikta, kataku. Gantengan dia kan daripada Abang?Bang Kefan mendengus, kemudian tiba-tiba menekan tombol home sehingga aplikasi Instagram tertutup. Mata dia menyipit saat menatap wallpaper ponselku yang merupakan foto Moon Taeil. Yang tak kusangka, dia menekan bagian samping ponsel dan membuat layarnya off.Apa sih, Bang?Bang Kefan tidak menanggapi protesanku. Kedua lengannya terlipat di atas meja, dengan punggung bersandar di sandaran kursi.Kenapa? Kuikuti pose duduknya. Iri, ya, karena Chef Tikta sama Moon Taeil lebih sempurna dari Abang?Bang Kefan menatapku datar. Mereka punya kekurangan.Aku mengangkat dagu. Apa?Nggak bisa di sini. Dia menunjuk tempat duduknya sendiri, lalu beralih ke arah susu kotak yang belum kuhabiskan. Dan nggak bisa kasih kamu itu.Aku melipat bibir. Aku bisa beli sendiri tuh, nggak harus dibeliin.Tiba-tiba Bang Kefan mengambil susu kotak itu dan menyedot isinya hingga terdengar suara nyaring akibatnya kuatnya sedotannya. Aku menganga tak percaya. Bang Kefan meremas kotak kertas itu dan melemparnya ke tempat sampah dekat meja, lalu bangkit berdiri.Satu tangannya menyambar bungkusan plastik, sebelum menunduk dan mengambil payung. Kemudian Kefan menoleh, menatapku lama, sebelum tiba-tiba mengambil plastik belanjaanku.Itu punyaku!Bang Kefan mengedikkan dagu. Ayo.Nggak mau, kataku. Masih mau di sini.Udah mau Maghrib. Dia menyipitkan mata. Cepet.Aku bisa pulang sendiri.Mau diomelin Eyang?Eyang nggak pernah ngomel.Sebelah alis Bang Kefan terangkat. Theo? Orang tua?Refleks, aku berdiri. Bisa kutangkap senyum miringnya tersungging sebelum dia menggerakkan tangan sebagai isyarat agar aku mendekat.Nggak mau payungan. Aku menatap gerimis yang masih turun agak lebat. Cuma gerimis.Lola.Tatapan tajam Bang Kefan membuatku memajukan bibir. Sembari mengantongi ponsel, aku mendekat dan bergabung di bawah payungnya.Bawa ini, Bang Kefan mengangkat bungkusan plastik di tangannya, atau pegang payung?Aku memilih untuk membawa dua plastik itu. Toh isinya ringan. Setelah itu, bukannya mulai melangkah, Bang Kefan malah menatapku.Apa lagi? ketusku.Bang Kefan menggeleng. Tangan kirinya terangkat dan menyentuh tudung jaket yang kupakai lalu menutupkannya ke kepalaku. Setelahnya dia mulai melangkah, tapi aku masih terheran-heran dengan tindakannya.La.Aku terpaksa melangkah karena dia menatapku tajam. Awalnya tidak ada percakapan apa-apa selama beberapa menit, hingga akhirnya tiba-tiba Bang Kefan berkata dengan pelan,Satu lagi yang chef sama idol kesukaan kamu nggak bisa.Masih membahas itu? Aku menatapnya geli. Apa?Bang Kefan menoleh dengan tatapan dalam. Bibirnya menipis sebelum detik selanjutnya aku merasakan tarikan di bahu. Mataku membulat karena lengan kananku kini menempel di dada kirinya. Dan saat menoleh ke kiri, kudapati telapak tangan Bang Kefan memegang bahuku.Mereka nggak bisa gini, katanya dengan nada rendah.Mataku berkedip pelan, seiring dengan langkahku yang melambat. Bang Kefan tersenyum tipis, sebelum merangkul sekaligus menarikku agar berjalan lebih cepat. Itu membuatku tersadar dan spontan bergerak menjauh, tapi Bang Kefan menahan sehingga aku gagal memberi jarak.Abang.Nanti basah. Dan itu adalah ucapan terakhir, sebelum kami benar-benar tidak saling bicara hingga sampai rumah.Dan sepanjang perjalanan, otakku terus meneriaki hati agar tidak goyah. Gawat. Bang Kefan yang sekarang ternyata jauh lebih bahaya daripada empat tahun lalu!***6. BuburMeski aku sudah tinggal di rumah ini menemani Eyang, bukan berarti anggota keluarga yang lain jadi tidak peduli. Entah itu Tante Sani, Mama, atau cucu Eyang yang lain, pasti sesekali akan datang. Tentu saja kepedulian kami sama kadarnya. Karena Eyang adalah tipe nenek dengan pemikiran terbuka yang jarang sekali marah kepada cucu, jadi kami semua sangat menyayangi beliau.Dan di Minggu ini, giliran Mas Juan yang datang. Saat aku kembali dari joging di taman dekat rumah, mobilnya sudah berada di halaman. Aku langsung berlari masuk ke dalam rumah.Lola pulang, Eyang! Seperti biasa setiap pulang, aku akan berseru seperti itu.Wa'alaikumsalam.Jawaban dari arah dapur membuatku menyengir. Tanpa pikir panjang, aku melangkah ke asal suara bariton itu. Dan benar saja, Mas Juan tengah berdiri di depan kompor dengan spatula di tangan.Mas Juan! Mendekat, aku memeluk lengannya yang bebas.Salam dulu. Mas Juan menaruh spatula dan menyodorkan tangan kanannya.Menyengir, kucium punggung tangannya dan berkata, Assalamu’alaikum, Mas Ganteng.Wa'alaikumsalam. Mas Juan tersenyum tipis, lalu mengacak rambutku. Dia mengernyit. Lepek.Ya kan abis olahraga. Aku melongok wajan. Roti goreng? Mas Juan beli di mana?Theo beli frozen kemarin. Mas Juan membalik roti dengan spatula. Sana mandi.Menggembungkan pipi, aku mengangguk. Eyang mana?Di kamar.Jadi mau check up?Mas Juan mengangguk. Mau ikut?Enggak ah. Aku ada gambar yang kudu kelar.Mas Juan mengangguk, kemudian mengibaskan tangan menyuruhku agar segera mandi. Menempelkan jari telunjuk dan tengah di pelipis, aku segera membalikkan badan dan keluar dari dapur.Sifat kedua kakakku sangat berbeda. Mas Theo itu jail, banyak bicara, dan kadang tak mau mengalah denganku. Bahkan jika dia sedang mode mengesalkan, aku bisa menangis saking sebalnya karena diganggu. Namun jika kumat konyolnya, maka dia akan jadi pengobat badmood yang paling ampuh. Mungkin karena jarak umur yang hanya dua tahun sehingga kami dekat seperti Tom dan Jerry.Lain Mas Theo, lain pula Mas Juan. Kakak pertamaku justru kebalikannya. Dia pendiam dan tipe yang serius. Dia tak pernah jail atau menggangguku. Kalimat panjang lebar yang akan dia ucapkan kepadaku biasanya hanya omelan. Kalau sedang ingin menuruti kemauanku, maka dia akan melakukan tanpa banyak bicara.Meski begitu, aku tetap saja sering mengisenginya. Berharap dia balas meledek atau jail. Namun aku tidak bisa berharap banyak. Karena jika kuganggu, Mas Juan hanya akan mendesis dan menatapku datar. Pokoknya omelannya itu hanya jika aku bandel dan tidak mendengarkan larangan atau perintahnya. Tipe bapak-bapak yang tidak ingin anak perempuannya terluka.Dan sejak tinggal bersama Eyang, mustahil jika aku tak merindukan Mas Juan. Dia menggantikan peran orang tua setiap Papa dan Mama sibuk di kantor. Jadi ketika menjalani hari-hari tanpa Mas Juan, aku merasa ada yang kurang. Untungnya dia tak pernah menolak saat aku memintanya datang dua atau tiga minggu sekali.Lola tidak ikut? Eyang bertanya ketika aku selesai berganti baju dan keluar kamar. Beliau tampak sudah siap dengan pakaian rapi.Enggak, Eyang. Aku menyengir. Jajanin aja, ya, Mas?Mas Juan meletakkan telapak tangan di kepalaku. Mau apa?Seblak super pedes.Mas Juan mengernyit. Nggak pedes.Ih Mas. Aku bergerak memeluk lengannya. Yang pedes. Ya?Mas Juan menggeleng tegas.Ya udah pedes aja. Nggak super. Aku buru-buru melanjutkan saat Mas Juan menatapku tajam. Dikit aja pedesnya. Nggak super, tapi agak pedes. Pokoknya ada kandungan cabenya. Ya ya ya?Meraup wajahku, Mas Juan berdeham. Aku tersenyum lebar, sementara Eyang terkekeh.Kalau gitu Eyang minta tolong Lola, boleh?Boleh dong, Eyang. Aku menyengir sambil menggosok rambut yang basah dengan handuk. Minta tolong apa?Itu roti goreng yang di piring plastik tolong diantar ke rumah Mitha ya. Sama ditanya mereka sudah makan atau belum. Kasihan kan orang tuanya pergi ke luar kota.Meringis, aku melirik ke arah Mas Juan yang langsung berekspresi datar. Aku menggaruk alis, menunggu ucapan kakakku itu. Namun karena dia tidak berbicara apa-apa, artinya memang tak ada larangan darinya.Siap, Eyang.Terima kasih. Eyang dan Mas Juan berangkat dulu ya. Baik-baik di rumah.Iya, Eyang.Setelah aku mencium punggung tangan Eyang dan Mas Juan, mereka langsung berangkat. Hari ini memang jadwal check up rutin Eyang di rumah sakit. Karena meski termasuk sehat dan jarang sekali sakit, keluarga kami tetap ingin kondisi Eyang terus terpantau.Setelah mengembalikan handuk ke kamar, aku segera ke dapur untuk mengambil makanan yang dimaksud Eyang. Dari kemarin, Tante Eni dan Om Haris memang sedang ada tugas ke luar kota. Sejak aku tinggal di sini, sudah dua kali ini mereka dinas ke sebuah pemukiman terpencil untuk kegiatan sosial layanan kesehatan warga secara gratis. Mulia sekali, bukan?Ketika aku mengetuk pintu rumah Tante Eni, tak ada jawaban dari dalam. Aku tidak berani masuk begitu saja meski ketika kucek, pintu tidak terkunci. Jadi aku kembali mengetuknya sedikit lebih keras sambil memanggil Mitha.Masuk.Dan jawaban bernada pelan sekali dari arah ruang tengah, membuatku agak terkejut. Namun aku mengenali suara itu sebagai milik Bang Kefan, meski terdengar serak. Karena itu aku langsung masuk dan mengucap salam.Bang? panggilku ketika sampai di ruang tamu.Di sini.Benar saja, suaranya dari ruang tengah. Aku segera melangkah ke sana. Pandanganku langsung tertuju ke arah sofa bed di mana Bang Kefan berbaring telungkup dengan kepala membelakangiku. Aku mengernyit. Tiduran pagi-pagi begini? Tumben?Bang Kefan. Aku memanggilnya pelan. Dia merespons dengan gumaman. Aku bawain roti goreng.Kepalanya bergerak, kini menoleh ke arahku. Namun kedua matanya masih terpejam. Makasih. Taruh aja di meja.Sembari menaruh piring di meja, aku memperhatikan Bang Kefan yang masih memejamkan mata. Namun fokusku tertuju pada wajahnya yang ternyata agak pucat. Dia sakit?Abang udah makan?Kelopak mata Bang Kefan perlahan terbuka. Sudut bibirnya terangkat saat dia menatapku. Tumben perhatian?Eyang yang nyuruh aku nanya. Jangan geer. Bang Kefan tersenyum tipis saat aku menjawab begitu. Kalau Abang sama Mitha belum makan, disuruh makan di rumah Eyang.Bang Kefan memejamkan mata lagi. Hm.Aku berdecak. Mitha mana?Lagi mandi.Keningku berkerut. Mau pergi?Ketemu temennya. Tugas kelompok.Aku mengangguk-angguk. Jadi udah makan apa belum kalian? Atau udah order makanan?Udah tadi Mitha.Beli apa?Nggak tahu, kata Bang Kefan sambil masih memejamkan mata.Kok nggak tahu?Nggak makan.Berkacak pinggang, aku menatapnya dengan mata menyipit. Abang sakit?Hm.Mataku membulat. Dan secara spontan, aku mendekat dan menempelkan punggung tangan ke dahinya. Bang Kefan tidak bohong. Badannya panas sekali. Pantas saja di kelihatan malas-malasan.Kenapa nggak bilang dari tadi? Kupindahkan punggung tanganku ke pipinya. Dan panasnya makin terasa. Udah minum obat?Belum. Bang Kefan membuka mata, menatapku yang membungkuk.Terserang gugup tiba-tiba, aku menarik tangan. Dia masih memandangiku dengan dalam. Aku segera menegakkan badan.Eyang masak ayam goreng sama perkedel. Aku meringis. Abang nggak bisa makan itu, kan, kalau sakit?Mata Bang Kefan berkedip pelan. Lalu perlahan, senyumnya terbit. Masih inget?Aku mengerjapkan mata. Ah, benar juga. Empat tahun berlalu, tapi ternyata aku masih ingat kebiasaannya yang hanya bisa makan bubur manis saat sedang sakit.La. Aku hanya diam ketika dia memanggilku lirih. Aku mau minum obat.Aku mengangguk kaku. Makan dulu.Tatapan Bang Kefan makin intens bercampur sayu. Aku terkejut saat tiba-tiba tangannya terangkat, kemudian terulur dan menyentuh pergelangan tanganku. Seketika, seperti ada aliran listrik merambat dari kulit hingga jantungku. Degupnya terasa begitu kencang. Aku belum lupa dan mengenal dengan jelas reaksi apa ini.Bikinin bubur.Dan aku tercenung.***7. Dari KamuSoal sakit, aku jadi ingat kali pertama tahu bahwa Bang Kefan tidak bisa memakan makanan selain bubur manis jika badannya sedang tidak fit. Katanya, lidah jadi hambar.Truth or dare? Winda, temanku yang merupakan pacar teman Bang Kefan, langsung menunjukku begitu botol berhenti.Saat itu kami berempat iseng mengisi waktu dengan bermain. Karena teman Bang Kefan adalah pacar temanku, dia kadang ikut bergabung makan di pujasera bersama kami. Seperti hari itu.Aku mengangkat dagu. Truth.Winda dan Bang Fajri—pacar Winda—bersorak. Sementara Bang Kefan yang duduk di depanku, hanya memperhatikan.Aku yang nanya, ya. Bang Fajri mengacungkan tangan ke atas. Aku mengangguk. Kamu lagi naksir siapa sekarang?Aku menyeringai saat melihat Bang Fajri menaik-turunkan alis setelah bertanya begitu. Sementara di sebelahku, Winda tersenyum penuh arti. Aku jelas paham maksud mereka. Winda tahu persis jika saat itu aku sudah mulai menyukai Bang Kefan. Iya, hanya karena perkara photocard sebelumnya, aku jadi naksir.Ditambah, ada alasan lain yaitu tentang kebiasaan yang membuatku terpesona. Aku sering sekali melihat Bang Kefan memungut sampah yang ditemuinya. Entah itu di kampus atau di jalan, dia sering memungut dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. Bahkan pernah satu kali aku melihatnya yang yang turun dari motor hanya karena ada botol minuman dibuang di dekat gerbang kampus. Tindakan kecil memang, tapi mampu menambah rasa kagumku kepadanya.Setiap harinya aku akan memperhatikan Bang Kefan. Mengagumi dan menganggapnya sebagai cowok paling perfect di dunia setelah Moon Taeil. Namun Bang Kefan tidak tahu. Entah tidak peka atau pura-pura saja. Padahal aku sama sekali tidak menutupi rasa sukaku. Walaupun tidak terang-terangan juga, sih.Jelas dong. Siapa lagi kalau bukan, aku menjeda ucapan, membiarkan Winda dan Bang Fajri tersenyum-senyum, Moon Taeil Oppa?Senyum Winda dan Bang Fajri luntur. Mereka berdua berdecak. Bang Kefan hanya bertopang dagu memperhatikan.Nggak gitu juga, La, protes Winda.Kan emang bener. Aku naksir Moon Taeil.Cowok beneran.Emang Taeil bukan cowok beneran? Dia asli, tahu. Tulen. Mana ganteng dan gemesin, lagi. Aku menangkup wajah sambil tersenyum-senyum.Di real life, La. Kamu naksir siapa? tanya Winda lagi.Satu pertanyaan dapat satu jawaban. Aku tersenyum lebar. Jadi aku nggak mau jawab.Winda mencebikkan bibir, kemudian kembali memutar botol. Kali itu mulut botol mengarah ke Bang Kefan.Truth or dare?Truth. Bang Kefan menjawab dengan yakin.Ada yang mau nanya? Bang Fajri bertanya kepadaku dan Winda.Aku menggeleng. Begitu pula Winda.Oke, aku aja, kata Bang Fajri. Sebutin salah satu kelemahan kamu.Bang Kefan melipat kedua lengan di depan dada dan menjawab, Kalau sakit cuma bisa makan bubur manis.Aku mengernyit. Itu kelemahan?Bang Kefan mengangguk.Kenapa dianggap kelemahan?Salah satu alis Bang Kefan terangkat. Satu jawaban untuk satu pertanyaan.Tapi aku penasaran, kataku. Kenapa yang kayak gitu Abang anggap kelemahan?Karena aku maunya makan ayam goreng, bukan bubur lembek.Tentu saja jawabannya yang lugas saat itu membuatku tertawa. Bukan hanya aku, tapi juga Winda dan Bang Fajri. Lagi pula aneh-aneh saja Bang Kefan. Orang sakit kan memang umumnya makan yang lembut seperti bubur.Lola udah nggak penasaran lagi?Aku menyengir karena pertanyaan Bang Fajri. Enggak.Oke kita putar lagi. Bang Fajri memutar botol, tapi secara tak terduga, benda itu kembali mengarah ke aku.Ih Winda kan belum! protesku.Salahin botolnya, lah! kata Winda.Aku cemberut. Aku pilih dare.Wooo! Winda dan Bang Fajri bertos.Kefan mau kasih tantangan? tanya Bang Fajri.Kalian aja. Bang Kefan tampak tak tertarik, dan itu membuatku mencebikkan bibir.Aku aja! Winda mengangkat tangan. Dia menatapku penuh arti. Sekarang juga, kamu tembak cowok real life yang kamu sukai.Tentu saja saat itu aku melongo kaget. Heh, Win!Kamu sendiri yang dari kemarin-kemarin bilang mau nembak secepatnya. Winda menaik-turunkan alis. Sekarang kesempatannya.Aku menatapnya memelas. Pipiku tiba-tiba terasa panas. Ganti aja.Nggak.Bang Fajri. Aku beralih kepada Bang Fajri dan cowok itu mengangkat kedua tangan. Ih kalian ngeselin.Justru ini dorongan.Aku merengut sebal. Bahkan saat itu aku sempat tidak berani menatap Bang Kefan. Oke, aku memang pernah bilang kepada Winda tentang rencanaku mengungkapkan perasaan kepada Bang Kefan. Namun bukan tanpa persiapan seperti itu, kan? Winda benar-benar tega!Dan lagi, dua orang itu terus saja mendesakku agar melakukan tantangan itu. Jadi setelah beberapa detik mengumpulkan keberanian, aku menatap Bang Kefan yang lagi-lagi hanya memosisikan diri sebagai pengamat.B-bang Kefan. Aku memanggilnya ragu.Bang Kefan menyipitkan mata. Dia menunjuk wajahnya sendiri. Aku?Aku mengangguk. Masih sangat kuingat sampai hari ini bagaimana perasaanku saat itu. Jantung yang berdegup sangat kencang. Pipi dan daun telinga yang terasa panas. Kegugupan yang kututupi dengan meremas telapak tangan.Apa? Bang Kefan menatapku dalam.BangKefanmaunggakjadipacarku?Aku menutup mata rapat-rapat setelah menanyakan itu dalam sekali tarikan napas. Aku malu dan gugup. Suasana tiba-tiba hening. Aku bahkan tidak berani membuka mata.Oke.Dan jawaban itu begitu tak terduga. Aku bahkan refleks membuka mata dan menatapnya terkejut. Tak beda jauh dengan Winda dan Bang Fajri yang melongo karena Bang Kefan mengucapkannya dengan super enteng.Hah? Aku mendekatkan wajah, mengonfirmasi.Aku mau. Bang Kefan tersenyum tipis, kemudian mengacak rambutku.Memandangi bubur sumsum yang sedari tadi kuaduk, aku tercenung. Sepanjang membuatkan bubur untuk Bang Kefan, kenangan lima tahun lalu itu kembali membayangi benakku. Momen jadian yang terasa agak aneh, tapi berhasil membuatku senang setengah mati. Bahkan melebihi rasa senangku ketika mengetahui Moon Taeil untuk pertama kalinya akan tampil di Indonesia bersama member NCT 127 lain dalam acara konser gabungan Spotify on Stage.Menghela napas, aku mematikan kompor dan mengambil mangkuk. Setelah memindahkan bubur itu ke mangkuk, aku bergegas meninggalkan dapur. Terdengar suara percakapan dari ruang tamu yang didominasi oleh Mitha. Iya, anak itu akhirnya batal pergi karena abangnya sedang sakit. Sebagai ganti, teman-temannya yang datang ke sini.Ketika aku sampai di ruang tengah, Bang Kefan masih tertidur pulas. Napasnya terdengar berat. Karena bubur yang kubuat masih sangat panas, aku meletakkannya dulu ke atas meja. Dan sambil menunggu bubur dingin, aku menduduki sofa single. Memandangi wajah Bang Kefan yang terlihat pucat dan kuyu.Bang Kefan itu baik dan peduli. Aku tahu itu sejak dulu. Tentu saja itu alasan selain kebiasaannya soal sampah yang membuatku naksir. Namun setelah menjadi pacarnya, bertambahlah alasan yang makin membuatku jatuh cinta dan mengaguminya. Contohnya saja soal aku yang menjadi fangirl Kpop. Bang Kefan sama sekali tidak mempermasalahkannya.Tidak seperti yang kutahu bahwa kebanyakan cowok tidak suka cewek yang hobi fangirling, Bang Kefan justru membiarkanku. Setiap kali aku membahas Kpop, dia akan mendengarkan dengan terus menatapku. Dia tahu cara menghargai orang yang sedang berbicara, yaitu tidak dengan dibarengi kegiatan lain entah membaca buku atau main ponsel. Bahkan saat ada konten baru dari boy grup favoritku dan aku belum tahu, Bang Kefan akan memberitahu.Selain masalah Kpop, Bang Kefan juga perhatian dalam banyak hal. Dia memang kaku dan tampak jutek, tapi aku merasakan sendiri kepeduliannya. Dia menyuruhku berjalan di sisi dalam jalan agar aku tidak tertabrak orang. Dia akan membelikan kue-kue manis setiap melihatku bad mood. Dia menyediakan susu kotak rasa cokelat di tasnya karena tahu aku penggila minuman itu. Bang Kefan itu tipe yang tidak banyak bicara dan lebih suka langsung ke aksi. Hampir mirip dengan Mas Juan. Karena itu aku merasa aman dan terlindungi jika bersamanya.La.Lamunanku buyar ketika mendengar Bang Kefan memanggil. Menoleh, aku mendapati dia sudah membuka mata.Duduk dulu, Bang. Aku bangkit dan mengambil mangkuk di atas meja. Buburnya udah nggak panas.Bang Kefan bergumam, lalu dia bangkit perlahan untuk duduk.Mau dibantu? tawarku.Bang Kefan menggeleng. Karena itu aku menunggunya benar-benar duduk bersandar di sandaran sofa. Setelahnya aku duduk di sebelahnya.Nih. Kuulurkan sendok. Bisa makan sendiri, kan?Bang Kefan melirikku dengan senyum tipis menghias bibirnya. Mau suapin?Aku menyipitkan mata. Beneran selemes itu?Mau bilang iya tapi kamu cuma mantan.Jawabannya membuatku berdecak. Beneran bisa makan sendiri apa enggak?Bisa. Senyum Bang Kefan melebar. Dia menerima sendok itu. Makasih.Aku mengangguk. Karena khawatir dia tidak bisa memegang mangkuk dengan benar, jadi aku bantu memegangnya. Sementara Bang Kefan dengan pelan menyendok dan menyuapkan ke mulutnya. Tidak perlu diaduk karena aku sengaja mencampur air gula merah ke dalam bubur saat memasaknya tadi. Jadi tidak kupisah.Enak? tanyaku.Bang Kefan mengangguk. Masih sama kayak dulu.Aku mendesis. Namun tak urung, pipiku menghangat juga. Dulu ketika kami masih menjalin hubungan, aku pernah membuatkan bubur sumsum saat Bang Kefan sakit. Aku mengantarkan ke kosnya, kemudian menemaninya makan. Momen itu tak pernah kulupakan. Aku mengenangnya sebagai hal indah yang tak kusesali.Nostalgia?Aku merengut karena celetukannya. Nggak usah geer.Tapi aku iya.Aku mengerutkan kening. Iya apa? Geer?Bang Kefan menggeleng sembari menyuapkan sesendok bubur ke mulut. Nostalgia.Aku tertegun. Namun berusaha segera mungkin menyingkirkan rasa salah tingkah yang tidak seharusnya muncul. Bang Kefan pasti hanya bercanda soal menyinggung tentang status mantan dan nostalgia barusan. Mungkin efek demam?Udah. Bang Kefan meletakkan sendok.Aku menatap sisa bubur di mangkuk. Tapi baru setengah.Kenyang. Karena jarak kami yang dekat, suara Bang Kefan terdengar berat di telingaku. Mual.Aku mengangakan mulut. Abang hamil?Dia berdecak. Tolong obatnya.Kuletakkan kembali mangkuk ke atas meja, lalu aku beralih mengambil bungkus obat yang dibeli Mitha tadi di minimarket dekat rumah. Kuberikan sebutir beserta segelas air putih. Bang Kefan menenggak pil itu dengan mudah.Tidur lagi aja, Bang. Setelah menutup mangkuk agar tidak didatangi semut, aku berdiri di depan Bang Kefan yang mendongak. Tapi pindah ke kamar biar nggak keganggu Mitha sama temen-temennya.Karena jujur saja, sedari tadi suara perbincangan Mitha dan teman-temannya cukup keras. Bahkan mereka tertawa renyah entah membicarakan apa. Aku yakin sebenarnya Bang Kefan terganggu, tapi terlalu mager untuk bangun.Bisa bangun, kan?Bang Kefan bergumam, lalu bangkit berdiri. Namun lagi-lagi karena dirundung khawatir, aku refleks memegang lengannya. Bang Kefan menoleh, tapi tak menolak saat aku memapahnya ke kamar. Untungnya tipe rumah Tante Eni ini sama seperti punya Eyang—berlantai satu. Jadi tidak terlalu merepotkan untuk naik turun tangga.Ketika memasuki kamar Bang Kefan, nuansa hitam putih langsung menyambut. Dinding dan furniturnya didominasi oleh dua warna itu. Bahkan selimut pun berwarna hitam. Hanya saja, sebuah benda yang tergelak di atas kasur, mampu menarik fokusku.Makasih, kata Bang Kefan saat aku membantunya duduk di kasur.Aku mengangguk, tapi pandanganku masih tertuju pada benda itu. Sebuah bantal berbentuk bulan bundar, dengan warna putih kekuningan. Meski kamar kami berhadapan dan jendelanya sering terbuka, tapi aku tidak pernah berniat mengintip bagian dalam kamar Bang Kefan. Jadi selama ini aku memang benar-benar tidak tahu seperti apa kondisi ruangan ini. Siapa sangka hari ini aku malah melihat bantal itu?Tanpa pikir panjang, aku meraih bantal itu dan memeluknya. Abang masih simpen ini?Dia yang kini bersandar di kepala ranjang, menatapku lekat. Hm.Aku memandangi bantal itu dan mengusap permukaannya yang masih halus dan bersih. Sepertinya benda ini dirawat dengan baik.Aku kira udah dibuang. Aku tersenyum simpul.Nggak mungkin.Aku mengangkat kepala dan menatapnya penuh tanya. Kenapa?Bang Kefan menatapku intens. Dia hanya diam selama beberapa detik, sebelum proses senyumnya tersungging.Karena dari kamu.Jawabannya sungguh tak kusangka. Aku hanya mampu menatapnya tak berkedip, sementara dia menyunggingkan senyum tipis. Debar itu masih sama seperti empat tahun lalu. Dan ini gawat.***Dukung untuk membaca lanjutannya. Thank you ♡
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan