
Deskripsi
Haii gaes, Broken Down update untuk terakhir kalinya ya. Ini ada ekstra part:
4. Deep Talk
5. Lala Nggak Marah
6. Our Lovely Kids
Buat yang sudah dukung Spesial Part 2. Talak, jangan lupa dipakai kode vouchernya yaa. Thank you ♡
3,698 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Broken Down
Selanjutnya
Banyu Biru (File PDF)
11
3
Harga: 25k (250 koin)364 halaman21 partMenjadi orang yang dilimpahi kasih sayang dan kepedulian oleh Banyu membuat Biru hilang kendali atas hatinya. Ia mulai memiliki rasa di atas wajar, mencintai layaknya perempuan pada laki-laki. Lima tahun Biru menyembunyikan dan menyimpan untuknya sendiri, hingga saat untuk pengakuan itu tiba. Semua jadi kacau. Hubungan mereka dingin.Biru ingin bersikukuh bahwa tidak ada yang salah dari cara ia jatuh rasa. Tapi bagi Banyu, cintanya adalah dosa yang tak akan pernah dibenarkan seluruh makhluk di dunia. Note: bukan cerita tabu. PREVIEW: 1. Cinta dan LukaTahukah kalian apa arti keindahan itu? Keindahan adalah dia. Ya, dia. Wajahnya itu adalah keindahan terhebat yang pernah ditangkap oleh netraku. Bahkan tujuh keajaiban dunia pun tidak ada apa-apanya dibanding wajahnya itu. Bentuk rahangnya yang keras, menunjukkan sifat yang tegas dan tak terbantahkan. Patahan hidungnya yang sempurna, membuatku merasa iri karena bentuk hidungku yang mancung ke dalam. Kedua iris mata berwarna hitam pekat yang selalu menatap tajam dan mengintimidasi saat dia tidak setuju akan sesuatu, atau saat sedang marah. Kedua alis tebalnya yang hampir menyatu, dan sering dia angkat sebelah saat tak ingin bertanya menggunakan lisan. Terakhir, bibir merah kecoklatan yang sering melengkung sempurna ke atas, namun kadang membentuk garis lurus.Kadang aku bertanya-tanya, apakah Tuhan sedang dalam suasana bahagia saat menciptakan makhluk di sampingku ini sehingga parasnya sedemikian sempurna? Dan tahukah kalian apa arti kebahagiaan itu? Kebahagiaan adalah saat aku duduk di sampingnya, berdampingan berdua di atas hamparan rumput pinggir danau dan memandangi lekat-lekat wajahnya tanpa ada yang mengganggu. Hanya berdua. Aku dan dia.Tumben ajak aku ke sini? tanyaku, setelah lama kami hanya terdiam dan terhanyut dalam pikiran masing-masing.Aku mau bicara, katanya. Datar.Aku terkekeh, menggeleng-gelengkan kepala. Kenapa harus ke sini? Di rumah kan bisa? Atau ... ada rahasia yang nggak ingin sampai orang rumah tahu? tebakku, setengah bercanda.Dia tak menyahut, membuatku berhenti terkekeh. Saat kutolehkan kepala ke arahnya, dia tampak sedang memikirkan sesuatu. Memandang ke danau sambil sesekali melemparkan kerikil kecil, menciptakan bunyi kecipak dari danau itu.Apa benar-benar sesuatu yang penting? tanyaku, kali ini serius.Sekali lagi, dia mengambil kerikil di dekatnya dan melemparkannya ke permukaan danau. Bunyi kecipaknya lebih nyaring kali ini, dari pada sebelum-sebelumnya.Menurut kamu, apa itu cinta? tanyanya. Masih dengan pandangan ke depan.Aku tertegun. Baru kali ini dia menanyakan hal seperti itu padaku. Hal yang sebenarnya lazim ditanyakan oleh orang dewasa seperti kami, namun kurasa cukup aneh jika pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Cukup lama aku terdiam, memandangi lingkaran-lingkaran di permukaan danau yang terbentuk akibat kerikil yang barusan dilemparkan oleh dia.Cinta adalah mengagumi, jawabku.Maksud kamu? tanyanya tanpa menoleh padaku yang justru semakin leluasa untuk memandangi wajahnya dari samping.Iya. Mengagumi. Kagum akan pribadinya. Kagum akan suaranya. Kagum akan tawanya. Kagum akan senyumnya. Kagum akan harum tubuhnya. Semuanya. Mencintai berarti mengagumi meski mengagumi tidak mesti berarti mencintai, ucapku, memandangnya tanpa berkedip.Sejenak aku berharap bahwa dia mungkin akan menyadari apa yang kuucapkan tulus dari hati itu.Kamu sudah pernah jatuh cinta? tanyanya saat itu.Bukan hanya pernah. Tapi sampai sekarang pun aku masih jatuh cinta.Mungkin saat itu adalah waktunya untuk dia mengetahui semuanya. Tentang perasaanku. Mumpung dia membicarakan tentang hal seperti itu dan kapan lagi aku bisa mengutarakan isi hatiku padanya? Itu yang kupikirkan saat itu. Belakangan aku menyesal setengah mati karena mengatakannya saat itu.Siapa? Akhirnya dia menoleh ke arahku, namun tatapannya itu membuatku merasa ada sesuatu yang tidak beres.Aku terdiam. Tiba-tiba lidahku kelu dan mati rasa. Aku hanya menatapnya, tanpa mampu membuka suara. Dan tatapannya semakin tajam dan mengintimidasi.Kamu jatuh cinta padaku?Empat kata. Ya, empat kata itu mampu membuatku tak berkutik sama sekali. Aku hanya terdiam dengan bibir bergetar dan pelupuk mata yang semakin memanas. Bahkan sebelum aku berhasil mengutarakannya sendiri, dia sudah mengetahuinya. Dia tidak mungkin bercanda, karena dia tidak pernah bercanda.Jadi benar, kamu cinta aku? tanyanya lagi, tajam.Dari mana kamu tahu?Dia spontan berdiri, menunduk menatapku tajam dengan bahu naik turun. Dia marah. Kamu sudah gila?!Aku berdiri. Kenapa gila?Cintamu itu gila!Kenapa? Bukankah cinta itu anugerah? Lalu kenapa itu bisa disebut gila waktu aku mencinta?Karena itu aku. Obyek cintamu itu aku. Dan itu adalah sebuah kegilaan.Aku nggak gila. Cintaku .nggak gila, tekanku.Tentu saja gila! Selamanya kita nggak akan pernah bisa saling mencintai, kamu tahu itu!Aku nggak butuh saling mencintai. Aku cuma ingin mencintaimu. Persetan apakah kamu mencintaiku atau nggak! Emosiku mulai naik dan dia juga.Berhentilah mencintaiku.Nggak bisa!Itu bukan cinta. Itu hanya obsesi. Kamu nggak cinta padaku. Kamu hanya menginginkan sosok sepertiku yang bisa menjagamu sebaik aku.Apa itu salah?Tentu saja salah. Bahkan dunia pun nggak akan pernah merestui cintamu.Aku nggak butuh restu dari dunia buat cinta sama kamu. Bahkan aku nggak minta balasan dari kamu.Berhentilah kumohon, lirihnya.Nggak akan!Dia mengumpat kesal dan menatapku sangat tajam. Baiklah. Lakukan apa pun sesukamu.Dan dia pergi.Dan tahukah kalian apa arti sakit itu? Sakit adalah saat menatap punggungnya yang semakin menjauh diiringi rintik hujan yang perlahan mengguyur lukaku yang basah. Perih. Luka itu adalah luka pertama yang tergores atas namanya. Dan luka itu abadi.Hari itu adalah terakhir kali kami bicara berdua. Karena setelahnya, dia selalu menjauh dan menjaga jarak dariku. Menghindari cintaku. Menghindari perasaan yang kuanggap anugerah namun merupakan sebuah kesalahan baginya. Sebuah kesalahan. Karena aku mencintai kakakku. Kakak kandungku. Banyu Samudra.***
2. Bukan Masalah SepeleAku tahu betul bahwa pekerjaan mencintai itu memang berat. Ia harus sepaket dengan luka agar bisa sempurna. Itu juga berlaku untuk apa yang kurasakan selama lima tahun ini, tepatnya sejak awal aku duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas. Sementara saat itu dia sedang berada di tahun terakhir kuliah.Aku tahu rasaku ini adalah dosa. Sebuah perasaan terlarang yang tak seharusnya ada. Hanya saja, aku masih manusia lemah yang selalu gagal menampik rasa cinta itu. Setiap kali dia tersenyum dan bersikap manis, aku selalu membayangkan jika suatu saat kami akan hidup bersama selamanya. Memilikinya hanya untuk diriku sendiri. Segila itu aku padanya. Tentu itu dulu, saat aku hanya memendamnya diam-diam.Sejak hari di mana aku mengakui cinta itu padanya, semua berubah. Banyu tak lagi sehangat dulu. Sikapnya yang dingin dan tak tersentuh pada orang-orang yang bukan keluarga, kini dia tujukan juga padaku. Aku tak lagi pernah melihat senyumnya. Tidak lagi merasakan genggaman tangannya, pelukannya atau bahkan perhatian-perhatian kecil darinya. Bahkan ketika berada satu ruang denganku saja, dia seolah jijik dan cepat-cepat menyingkir. Aku merasa begitu rendah, kotor dan tak pantas dihargai karena sikapnya itu.Kamu lagi ada masalah sama Banyu? tanya Denis, di suatu siang tepat delapan bulan aku dan Banyu saling berjarak.Biasa aja, jawabku waktu itu, sambil memakan baksoku di kantin kampus. Kenapa kamu mikirnya gitu?Karena kalian lama banget nggak saling ngobrol. Atau minimal dia antar kamu ke kampus.Kenapa harus antar aku? Kan ada kamu. Kita serumah dan satu kampus. Ngapain harus Banyu yang antar aku?Karena kamu adik kecilnya. Di antara aku, Deril, Deni dan kamu, perhatian dia paling banyak ya ke kamu—Birunia Permata. Jangan ngelak karena itu kenyataan. Bahkan walaupun aku juga kakakmu, mana percaya dia kalau aku juga bisa jaga kamu sebaik dia?Karena dulu kamu terlalu sibuk sama selir-selirmu yang nggak ada habisnya itu? Aku mengedikkan bahu. Dan sekarang kamu udah taubat. Jadi Banyu percaya kalau kamu bisa jaga aku.Bisa diterima, sih. Dia mengangguk-angguk, yang tentu membuatku tersenyum tipis. Tapi hanya sebentar karena setelah itu matanya memicing lagi. Tapi tetap aneh. Kalian nggak pernah saling ngobrol, aku ulang lagi. Dan kalau dipikir-pikir lagi, dia juga nggak pernah lagi kan bangunin kamu tiap pagi. Itu aneh banget, sedangkan sampai sekarang aja kamu masih tidur kebo dan harus dibangunin aku atau Deril.Banyu kan beberapa bulan ini sibuk sama kerjaan dia. Jadi nggak ada waktu cuma buat bangunin aku pagi-pagi.Tetep aneh, Ru. Dan kalau diingat-ingat, itu udah sejak Banyu belum ambil alih posisi Paman. Tapi kok aku baru nyadar sekarang ya?Diam-diam aku setuju. Kok Denis baru menyadarinya sekarang ya? Deril saja sudah curiga dari lima bulan lalu. Untungnya aku bisa memberikan alasan logis yang membuatnya tidak khawatir lagi.Aku sama Banyu nggak ada masalah apa-apa, serius. Jadi nggak usah mikir macam-macam, kataku kemudian.Denis mengangguk-angguk, tapi tatapannya kelihatan serius saat merangkul bahuku. Semisal kalian ada masalah pun, tolong diselesaikan baik-baik. Kita keluarga. Kita berlima harus saling menggenggam tangan masing-masing. Hanya kalian berempat yang aku punya di dunia ini. Jadi jangan sampai kita pecah karena masalah sepele.Jatuh cinta dengan Banyu, itu bukan masalah sepele, Denis.***
3. Tentang JoshBanyu lagi ke rumah Paman. Kita makan malam duluan aja. Itu kata Deni, ketika dia selesai memasak nasi goreng untuk kami.Deril dan Denis hanya mengangguk, melahap makanan mereka. Sedangkan aku sedikit termenung. Jika Banyu datang ke rumah Paman malam-malam begini, pasti ada sesuatu yang penting. Tapi apa?Biru, habiskan makanmu dan jangan bengong.Ucapan tegas Deril membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk, kemudian menyantap nasiku dengan pelan. Rasanya berbeda jika salah satu dari kami ada yang bisa ikut sarapan atau makan malam bersama. Sejak kedua orang tua kami meninggal karena tragedi kecelakaan pesawat sebelas tahun lalu, kami terbiasa bersama. Aku yang paling bungsu dan baru berusia sepuluh tahun, mendapat banyak perhatian dari keempat kakakku.Banyu yang anak sulung dan masih berada di tahun kedua sekolah menengah atas, dipaksa untuk dewasa demi bisa menjadi orang tua untuk kami. Karena kami tidak bersedia ketika Paman—adik Ayah—ingin memboyong kami semua ke rumahnya. Kami tidak bisa meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan Ayah dan Ibu. Untungnya kami tidak kekurangan finansial, karena perusahaan tekstil milik Ayah dijalankan dengan baik oleh Paman. Biaya hidup kami terjamin, bahkan lebih dari cukup.Sejak saat itu, Banyu dan Deni bertindak sebagai orang tua kami, karena umur mereka yang lebih dewasa. Banyu mulai ikut Paman untuk bekerja sambil sekolah, sedangkan Deni yang mengurus makanan kami. Waktu itu Banyu berumur tujuh belas, Deni lima belas, Deril tiga belas, dan Denis satu tahun di atasku yaitu sebelas tahun. Karena itu Denis dan aku selalu kebagian membersihkan rumah dan Deril mencuci pakaian kami. Tidak adanya asisten rumah tangga membuat kami bisa kompak bekerja sama. Kecuali aku yang selalu dilarang jika ingin membantu banyak, terlebih oleh Banyu, Deni dan Deril. Denis? Dia lebih sering berdebat sih denganku.Siapa? Deril bertanya, ketika ponselku berdering.Josh. Denis yang duduk di sampingku, menjawab dengan suka rela.Siapa Josh? tanya Deni dan Deril bersamaan. Kening mereka berkerut.Teman kuliahku.Sekaligus gebetan.Enggak! Aku segera membantah. Kutatap Denis dengan kesal. Apaan sih, Nis!Emang benar, kok. Semua orang di kampus juga udah tahu kali, kalau kamu lagi dekat sama Joshua—si Presbem itu. Nggak ada yang nggak nyadar kalau kalian itu lagi pendekatan.Sok tahu! Aku mereject panggilan dari Josh dan menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Lalu menoleh pada Deril dan Deni yang sudah memasang wajah interogasi. Aku sama Josh tuh dekat karena satu kelompok. Kita kan di kelompok yang sama sampai akhir semester nanti.Sambil pendekatan jug—auw! Denis mengusap-usap lengannya yang barusan kucubit. Kalau marah berarti iya.Enggak! Aku semakin cemberut.Iya juga nggak masalah. Deni menimpali. Dengan tatapan teduh dan hangat, khas dia sekali. Biru sudah dua puluh satu. Sudah sewajarnya dekat dengan laki-laki.Tapi ingat, Deril ikut menimpali. Berbeda dengan Deni, tatapannya lebih ke tegas dan tajam. Ya, begitulah kakak ketigaku ini. Kalau kamu memang dekat dan berniat punya hubungan sama dia, bawa dia ke sini. Kami harus tahu dan menilai dia juga.Aku hanya mengangguk sekenanya yang langsung mendapat sambutan ledekan oleh Denis. Biar saja mereka menganggap seperti itu. Malah jauh lebih baik daripada mereka tahu siapa yang sebenarnya kusuka.Aku jadi ingat enam bulan lalu, ketika Josh menyatakan cinta untuk kesekian kalinya. Laki-laki itu memang mengaku memiliki perasaan padaku. Tapi aku menolaknya dengan tegas. Dan Josh justru mengatakan bahwa dia tidak mengharap balasanku, hanya minta izin untuk tetap dekat sebagai sahabat. Karena paham bahwa ditolak dan dijauhi itu menyakitkan, maka aku membiarkan saja dia. Yang penting dia sudah paham bagaimana caraku melihatnya. Tak lebih dari seorang teman.Habis ini tidur, Ru. Jangan kebanyakan nonton film sama drama cantik, terus tidur larut. Drama cantik yang dimaksud Deni itu adalah drama Korea. Dia menyebutnya begitu karena menganggap para aktornya berwajah cantik. Ngawur kan?Biru mah nggak nonton juga sama aja, Den. Kebo.Kamu juga, Nis. Jangan main game terus. Pikirkan itu proposal skripsinya.Iya, Den.Aku menahan tawa mendengar nada patuh Denis. Mau bagaimana lagi? Dia kan memang paling hormat ya dengan Deni, alih-alih Banyu dan Deril yang justru lebih tegas dan galak. Padahal Deni kan lembut dan tidak mudah marah. Entahlah. Oh ya, meskipun umur mereka terpaut cukup jauh denganku, aku tetap memanggil nama. Mereka yang tidak mau ketika aku menambahkan embel-embel Abang, Mas, Kak, dan sebagainya. Mereka ingin lebih dekat saja, katanya.Biru besok aku yang antar soalnya Denis nggak ke kampus. Aku meeting pagi-pagi banget, jadi jangan telat bangun.Aku hanya mengangguk, menanggapi ucapan Deril. Baik Banyu, Deni dan Deril memang sudah bekerja di perusahaan Ayah. Jadi mereka selalu sibuk. Maka dari itu aku yang kini bersikeras mengerjakan pekerjaan rumah, walaupun selalu dilarang oleh Deni dan Deril. Tapi tentu, aku tidak menurut untuk yang satu itu.***
4. Perdebatan PagiAku merasa lega karena tidak bangun terlambat kali ini. Tidak perlu mendengar Deril maupun Denis mengomel panjang lebar sepagian. Bahkan sekarang aku sudah siap dengan celana jeans dan kaus lengan panjang, juga rambut yang kuikat ekor kuda. Kuambil tas dan kardigan, lalu keluar dari kamar. Tapi sampai di ruang makan, aku hanya menemukan Banyu dan Denis duduk di sana. Denis tersenyum tengil dan meledek karena tumben aku tepat waktu. Sedangkan Banyu sama sekali tak menoleh atau bahkan melirik sedikit pun.Aku menghela napas, meletakkan tas di kursi kosong sebelah Denis dan hendak melangkah ke kamar Deril. Tapi ucapan Denis membuat langkahku terhenti.Deril nggak jadi antar kamu.Aku menoleh dengan kening berkerut. Kenapa? Aku kan nggak telat. Masa Deril ninggalin aku?Bukan ninggalin, tapi karena emang ada yang urgent dan harus cepat-cepat ke kantor. Deni juga udah pergi, tuh.Aku cemberut tanpa sadar. Lalu aku berangkat dengan siapa?Kamu bareng Banyu.Aku nyaris melotot mendengar jawaban Denis atas pertanyaan yang tak kusuarakan itu. Diantar Banyu? Yang benar saja. Dia saja alergi kalau dekat-dekat denganku.Sama kamu aja, deh. Kamu kan nganggur.Aku mau tidur lagi. Semalam begadang ngerjain tugas. Sama Banyu, deh.Aku melotot padanya, yang dia tanggapi dengan kedikan bahu. Ini yang membuatku kadang malas padanya. Selalu tidak mau tahu dengan keberatanku. Ya ... walaupun dia memang tidak tahu, sih.Mengembuskan napas berat, aku berlalu ke dapur dan membuat susu cokelat hangat. Tadi di meja aku belum menemukannya. Deni pasti terburu-buru berangkat sampai lupa membuatkan minuman pelengkap sarapanku itu. Biasanya kalau bukan Deni, selalu Banyu yang melakukannya. Tapi itu dulu, sebelum aku mengubah hubungan kami menjadi sedingin ini.Oh iya lupa bikinin susu buat adik kecil ini. Denis menyeletuk, ketika aku sudah kembali ke meja makan dan menaruh susu di meja. Kamu lupa juga, Nyu?Iya. Banyu menjawab sangat singkat.Aku bisa melihat ekspresi heran Denis. Kuembuskan napas berat sambil duduk di sebelah Denis tanpa merasa perlu melirik pada Banyu. Dia juga tidak sudi melirikku, bukan? Kemudian aku mulai mengolesi roti tawar dengan selai cokelat. Segila itu aku dengan makanan dan minuman berbau cokelat. Dulu Banyu sering membawakan pulang kesukaanku itu, entah es krim, permen cokelat, cokelat batangan, biskuit dan banyak lagi. Tapi sekali lagi, itu dulu.Makan di mobil. Banyu berkata seperti itu sambil bangkit berdiri dan meninggalkan ruang makan.Aku merasakan sengatan yang tak nyaman di ulu hati karena itu. Selalu begitu, selama delapan bulan ini. Rasanya sangat menyakitkan ketika seseorang yang biasanya hangat dan penuh perhatian, kini menjadi dingin dan tak acuh.Serius, kalian nggak marahan? tanya Denis, ketika aku meletakkan roti di atas piring untuk memakai kardigan. Banyu aneh banget sama kamu, tahu.Biasa aja.Denis berdecih. Kamu bilang 'biasa aja' dengan nada ragu. Nyadar nggak?Aku hanya mengangkat bahu setelah menandaskan segelas susuku. Aku mau berangkat.Ru. Denis buru-buru ikut bangkit dan menahan lenganku. Tatapannya kali ini sangat serius. Aku nggak mau di antara kita ada perpecahan. Jadi tolong, semisal kamu nggak bisa selesaiin masalah kalian sendiri, minta tolong sama aku. Atau Deni dan Deril.Iya.Setelahnya, kubiarkan Denis merangkul bahuku saat kami berjalan keluar rumah. Tanganku membawa setangkup roti yang bahkan baru berkurang satu gigitan. Mobil Banyu sudah menyala ketika kami sampai di depan. Denis menyempatkan diri mencubit pipi dan mengacak-acak rambutku sebelum aku berpamitan. Bibirku cemberut sambil masuk ke mobil, di depan setelah bangku kemudi. Dan langsung saja kudatarkan ekspresi saat melihat Banyu bahkan sama sekali tak melirik ketika kendaraan itu melaju.Dia dingin, benar-benar dingin. Suasana di dalam mobil sangat hening dan membuatku merasa sangat tidak nyaman. Aku memakan rotiku dengan tanpa selera sambil terus menolehkan kepala ke luar jendela. Jujur, aku begitu rindu suasana menyenangkan dalam mobil tiap kali diantar Banyu. Aku akan menirukan lagu dari playlist yang terputar, kemudian Banyu akan tertawa-tawa. Atau kadang aku melemparkan tebak-tebakan yang akan dia jawab dengan senang hati dan akhirnya aku yang menang. Rasanya itu sangat menyenangkan dibanding sekarang.Kalau tahu begini, delapan bulan lalu aku tidak akan mengakui perasaan yang kupunya untuknya. Itu lebih baik, ketimbang hubungan kami yang jadi tidak menyenangkan begini. Dia yang hangat jadi dingin. Dia yang selalu memastikan sarapanku lengkap, sekarang tak acuh. Dan dia yang menatapku penuh kasih sayang, sekarang aku justru mungkin terlihat seperti bangkai busuk yang menjijikkan.Atas pemikiranku yang terakhir ini, tanpa sadar aku meremas sisa roti di tanganku. Dadaku sangat sakit. Jatuh cinta begini bukan kuasaku dan melupakannya pun aku selalu gagal. Aku sudah berusaha kok, tapi selalu tidak berhasil. Harus apa aku?Berhenti di depan. Aku berusaha agar terdengar datar saat mengatakannya.Tapi tidak ada jawaban dari Banyu. Saat aku menoleh, dia tetap menatap lurus ke jalan dan melajukan mobilnya. Kepalan tanganku makin kuat.Berhenti! Kunaikkan nada suaraku. Tapi Banyu tetap tidak menanggapi. Aku bilang berhenti di depan!Kali ini dia menoleh. Tatapannya begitu tajam. Jangan macam-macam.Aku mau berangkat sendiri!Aku bilang jangan macam-macam! Aku bisa melihat jemarinya mencengkeram kuat roda kemudi.Tapi aku tidak mau takut, untuk kali ini. Berhenti, aku bilang. Aku nggak mau diantar kamu dan aku nggak mau semobil sama kamu!Birunia!Nggak usah panggil-panggil nama orang yang menjijikkan di matamu ini, Banyu! Dia menukikkan kedua alis. Rahangnya mengeras. Sedikit gentar, tapi aku tidak mau kelihatan takut. Aku tahu selama ini kamu jijik sama aku. Mungkin di mata kamu aku cuma sampah rendahan yang nggak pantas walaupun dilirik sekali pun. Jadi biarin aku turun!Dia menatapku nyalang, lama sekali. Lalu tatapannya kembali ke depan sambil berkata datar, Nggak.Aku mau turun! Air mataku memanas. Aku nggak mau dekat-dekat sama orang yang benci dan jijik sama aku. Aku emang pendosa, tapi kamu kira aku nggak punya hati? Kamu pikir aku nggak kesiksa dengan ini semua? Kamu kira aku gimana waktu kamu delapan bulan ini jauhin aku? Aku tidak bisa menahan tangis sekarang. Kamu nggak suka kan lihat makhluk menjijikkan kayak aku? Makanya biarin aku turun! Aku masih dalam usaha lupain kamu, jadi berhentiin mobilnya sekarang!Tapi nyatanya, kecepatan mobil makin cepat. Aku sampai sedikit gemetar karenanya. Apalagi sekarang wajah Banyu sangat tidak bersahabat. Dia terlihat begitu emosi.Berhenti, Banyu!Tidak ada jawaban.Aku bilang berhenti!Dia tetap tidak bereaksi.Atau aku akan loncat dari sini! Persetan jika ini terlalu drama. Aku tidak bisa mengontrol emosiku saat dari tadi dia makin menambah kecepatan mobil. Jadi dengan tangan makin gemetar, aku mengulurkan tangan untuk membuka pintu. Aku akan benar-benar merealisasikan ucapanku jika—FINE!Mobilnya berhenti tiba-tiba. Dahiku hampir terbentur dashboard karenanya. Dan Banyu sudah menatapku marah. Matanya berkilat tajam dan merah. Rahangnya makin mengeras.Turun.Hanya satu kata. Dan itu begitu dingin. Berusaha menepis rasa sakitku yang makin menjadi, aku membuka pintu dan turun. Kubiarkan emosi menguasai diri hingga tanganku menutup mobilnya dengan keras. Aku berjalan lurus di pinggir trotoar. Dengan air mata yang cepat-cepat kuhapus menggunakan punggung tangan saat menyadari tatapan aneh para pejalan kaki. Ketika membuka kepalan tangan, aku mengernyit karena menyadari kulitku terasa lengket. Sisa roti yang kugenggam jatuh begitu saja di tanah. Selai cokelat itu menempel di permukaan telapak tangan. Aku mengembuskan napas berat, mengentakkan kaki tanpa sadar.Biru!Panggilan serta suara mesin sepeda motor yang mendekat itu membuatku menoleh. Aku menemukan Josh dengan motor besarnya berhenti di sampingku.Kirain tadi salah orang. Ternyata beneran kamu, katanya di balik helm yang menutupi kepala. Kenapa jalan kaki? Nggak diantar Denis?Dia nggak ke kampus hari ini.Kakak-kakakmu yang lain?Kerja. Aku mengedikkan bahu, sebal kalau teringat Banyu.Aku bisa melihat dahi Josh berkerut, karena kaca helm sudah dibuka. Kamu nangis?Enggak, elakku.Oh. Berarti kelilipan? Ada nada menggoda dari suaranya.Iya!Josh tertawa kecil. Ya udah yuk, bareng aku aja. Tapi kemudian dia berkata, Tunggu!Apaan? Nggak jadi dibarengin?Bukan. Sensitif banget, Nona. Josh kembali tertawa. Lalu dia meraih tangan kakanku. Ini kotor kenapa?Megang kotoran ayam, jawabku sekenanya.Josh menatapku geli sambil mendekatkan telapak tanganku ke wajahnya. Sekarang, kotoran ayam bau cokelat ya. Segera kutarik tangan sambil mendengus. Josh mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan memberikan padaku. Bersihin dulu.Aku segera membersihkan telapak tangan dengan tisu basah pemberiannya. Setelah itu barulah aku naik ke boncengannya dan motor melaju ke kampus. Aku mendesah lega, diam-diam. Untung ada Josh. Tapi saat tanpa sengaja menoleh ke belakang, mataku terbelalak. Banyu mengikuti kami?!***Dukung untuk membaca lanjutannya ya :)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan